ghouldens

I write so I won't die without leaving a trace.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

“Jadi maksudnya, Bapak ingin kembali lagi menghidupkan paradigma kampus yang sudah mulai dilupakan, ya, Pak?” Suara Hayyan sedikit bergema di ruangan rektor yang sepi. Tidak banyak orang berlalu lalang di bangunan yang sayap kirinya sedang direnovasi ini selain beberapa petugas administrasi rektorat. Benar-benar suasana yang cocok untuk melakukan wawancara, tapi sempurna menyumbang rasa tegang dalam hatinya.

“Oh, ya, tentu! Paradigma itu, 'kan, sudah ada sejak kampus ini berdiri. Kata paradigma sendiri, 'kan, dapat diartikan kerangka berpikir. Pilar-pilar yang membentuk kampus ini lahir dari paradigma itu. Miris banget 'kan, Jang, kalau pilar-pilar kayak gitu... semacam fondasi itu lah... dilupakan dan tergerus zaman ibaratnya.”

Jari Hayyan dengan telaten menulis di atas buku, menggaris bawahi beberapa poin penting. Berkali-kali Syarif bilang padanya bahwa mengambil catatan selama wawancara itu penting. Meski ponselnya bekerja merekam suara, ada beberapa poin krusial yang harus tetap seorang jurnalis catat; semacam poin-poin yang kelak akan membantunya selama proses penulisan berjalan.

“Apa target jangka panjang yang ini Bapak capai setelah menghidupkan kembali paradigma tersebut, Pak?”

Lelaki paruh baya yang baru beberapa bulan duduk di kursi Rektor itu mengusap dagu, barangkali sedang mencoba menyusun jawaban yang tepat. Hayyan dengan sabar menunggu (ia bahkan menunggu hampir lima hari demi wawancara berharga ini, omong-omong), meski hanya tersisa sepuluh menit sampai kelas siangnya dimulai. Ia tidak punya pilihan, dan di antara menghadiri kelas Pak Ali (yang pasti hanya diisi presentasi kelompok) atau duduk dan melanjutkan wawancara dengan Pak Burhan, Hayyan tahu mana yang harus jadi prioritasnya.

“Prioritas yang salah. Masa' iya lo ngorbanin kuliah buat UKM?” Yosef pernah berkomentar suatu waktu. Hayyan tidak peduli. Hatinya bilang bahwa mengejar passion bukan sesuatu yang harus disesali. Lagipula sejauh tiga semester bersama Aksara, pers mahasiswa kampus mereka, nilai-nilai Hayyan relatif stabil dan tidak banyak terganggu.

“Target jangka panjangnya mungkin menumbuhkan kecintaan terhadap kampus. Tiga tahun, lima, atau puluhan tahun ke depan, Adek mungkin tidak akan pernah datang ke kampus ini lagi. Tapi saya harap, paradigma itu bisa membimbing mahasiswa dalam hal-hal tertentu di hidupnya. Tidak perlu besar, yang kecil-kecil saja cukup. Tapi ketika Adek mendapat manfaat itu, Adek akan teringat bahwa hal itu Adek dapatkan di kampus ini. Untuk kesadaran kecil itu, Adek akan bilang ke diri Adek sendiri kalau pilihan Adek sekolah di sini bukan pilihan yang salah.”

***

Matahari siang itu bersinar terik sekali. Panasnya terasa membakar di puncak kepala Hayyan saat cowok itu berjalan di pedestrian kampus. Lalu lalang motor, suara tawa yang datang dari berbagai arah, juga semilir angin yang kadang-kadang berhembus jadi suara latar yang menemaninya meniti langkah. Wawancara selesai tepat pukul setengah dua siang. Terlambat hampir satu jam dari dimulainya kelas membuat Hayyan memutuskan untuk menunggu jam praktikum dengan melihat-lihat baazar buku di depan Masjid Agung. Bukan opsi yang buruk menghabiskan waktu luang; meski jelas bukan kabar baik bagi dompetnya yang mulai kosong.

“Hei.”

Pikiran Hayyan masih berlarian ke sana ke mari saat sebuah tangan menepuk bahunya lumayan kencang. Hayyan berjengit, buru-buru berbalik dengan ekspresi horor mengental di wajah. Di bawah terik matahari yang terasa membakar ujung kepala itu, berdiri Razakky Bhadrika dengan kemeja flanel hitam kotak-kotak tertawa menatapnya.

“Ih, kamu!” Hayyan berseru, mencoba mengais kembali udara setelah sempat menahan napas untuk beberapa waktu. “Kalau aku punya penyakit jantung, udah wasaalamu'alaikum, tau!”

Tawa Zakky berderai-derai. Mungkin baginya ekspresi panik Hayyan dan gerutuan yang terus meluncur keluar dari bibir tebal cowok itu adalah hiburan yang menyegarkan di hari yang terlalu panas ini.

“Lagian, kamu melamun aja dari tadi. Saya udah manggilin dari seberang jalan, masih melamun juga.”

Hayyan mengerucutkan bibir, kehilangan kata-kata untuk kembali menghujani Zakky dengan gerutuan-gerutuan kecil. Ia bahkan tak sadar sudah berjalan jauh dari gedung rektorat. “Sorry, deh. Tadi lagi mikirin sesuatu.”

“Udah makan?” tanya Zakky, tidak membuang kesempatan mengajak Hayyan bicara setelah jeda pendek yang hampir menumbuhkan kembali kecanggungan di antara mereka. “Udah jam setengah dua, juga.”

“Belum. Tadi habis wawancara Pak Rektor, terus ini mau nyari makan sebenernya.”

“Pas banget, dong? Saya juga mau nyari makan. Sekalian bareng aja, yuk?”

Ada keheningan singkat yang mengikuti ajakan Zakky siang itu. Jeda pendek yang diisi keragu-raguan Hayyan. Kalau dihitung, sudah lebih dari empat belas hari sejak mereka terakhir kali bertemu. Sudah berhari-hari berlalu sejak Zakky dan Hayyan saling bertukar sapa. Hayyan pikir mungkin malam di Nagreg itu adalah akhir. Kebersamaan yang mereka bagi malam itu mungkin hanya akan menjadi fragmen dari memorinya yang buram. Mungkin Zakky sudah memutuskan bahwa ia tidak lagi memerlukan Hayyan. Mungkin keberadaannya tidak lagi memberi rasa tenang seperti yang semula Zakky bilang. Mungkin sudah saatnya mereka berjalan sendiri-sendiri ke entah apa tujuan yang sedang menanti mereka di ujung jalan.

Atau mungkin juga tidak.

“Boleh, yuk?”

***

“Zak, mau niron kesimpulan lo, dong. Gue buntu banget, ini!” Rengekan Alde mengisi siang hari Zakky yang ia habiskan di kantin fakultas. Meja berkapasitas empat orang itu penuh oleh lembaran kertas, kalkulator, buku referensi, piring bekas makan dan cangkang gelas kertas kopi yang tidak lagi terisi.

Zakky tidak bergeming. Alih-alih menjawab, cowok itu malah fokus menatap pada ponselnya yang masih terkunci. Seperti sedang menunggu sesuatu, meski cowok itu sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang ia tunggu. Alde—yang merasa bahwa permintaannya tidak kunjung dipenuhi—melirik dengan dahi berkerut. Sudah berhari-hari temannya yang satu ini bertingkah aneh. Di waktu-waktu tertentu, Zakky akan terlihat gelisah. Namun ketika ditanya, cowok itu hanya akan menjawab, “Nggak apa-apa” seperti sudah diprogram demikian.

“Woy!” Alde nyaris menggebrak meja. “Gue ajak ngomong lo diem aja dari tadi.”

“Eh,” Zakky bergumam pendek, kembali pada kesadarannya setelah membiarkan pikirannya sejenak melanglangbuana. “Hampura, euy. Tadi maneh ngomong naon?”

Alde berdecak. “Pinjem tugas lo. Gue mau niron kesimpulan.”

“Lah? Kan lo sama gue topik praktikumnya aja beda, Setan.”

“Lah? Bukannya lo juga kebagian mesin pengering teh?”

Zakky mendengus. Ia menutup laptop, membereskan kabel charger yang berantakan di atas meja, memasukkan laporan yang sudah selesai ditulis ke dalam tas dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal sebelum menjawab, “Gue 'kan kebagian proses oksidasi. Makanya, kalo lagi bagi-bagi topik, tuh, jangan molor.”

Alde menggumam 'anjing' dengan suara rendah, diikuti runtukan-runtukan kecil lantaran ia sudah mulai kehabisan ide. Zakky membiarkan sahabatnya itu melanjutkan marah-marah, tidak berniat sedikitpun menemani Alde sebab enggan mengambil resiko jadi objek emosinya. Kursi berderak saat Zakky bangkit, diikuti delikan tajam Alde yang siap menyemprotnya sebab tahu Zakky sama sekali tidak berniat membantu.

“Yok, semangat, yok,” kelakarnya sambil tertawa. “Gue cabut, ya. Mau balik, terus tidur.”

Tanpa menunggu jawaban Alde, Zakky segera melangkah menjauh dari kantin. Matahari siang ini sungguh bersinar terik sekali, dan perjalanan dari kampus ke rumahnya pasti akan terasa sangat menyiksa. Baru berjalan keluar sebentar dari bangunan fakultas saja, setiap inci tubuh Zakky ingin meleleh rasanya. Belum lagi macet di Cibiru nanti, belum lagi kalau Ujungberung ikut macet juga. Rasa-rasanya Bandung belakangan ini hanya diisi kemacetan saja.

Kaki-kakinya melangkah di pedestrian kampus dengan ritme konstan. Ponselnya terus bergetar sejak tadi. Sejujurnya Zakky benci men-setting ponselnya dalam mode selain sunyi. Tapi sudah beberapa hari ini ponselnya berada dalam mode getar, dan meski Zakky sedikit membenci hal itu, ia tidak punya pilihan lain.

'Kalau gini, harusnya gue chat aja.'

'Tapi lo mau ngechat apa, goblok? Hei, gitu? Payah banget, anjing.'

'Lah, ngapain juga gue pusing? 'Kan cuma temenan aja.'

“Ah, anjing.” Tanpa sadar, makian itu lolos begitu saja. Zakky menghentikan langkah, merogoh kembali ponselnya dan mencari kontak orang yang belakang gemar lari-lari di pikirannya. Nama 'Hayyan SMA24' terpampang di layar ponselnya, diikuti foto profil berlatar biru yang tidak pernah Hayyan ganti sejak mereka kembali bertemu.

Sudah lama sekali rasanya sejak mereka terakhir bicara, dan Zakky kehabisan ide untuk mengajak Hayyan bertemu. Tidak ada hal menarik yang bisa ia jadikan bait, tidak ada cerita lucu, tidak ada kabar, dan yang lebih penting lagi Zakky tidak ingin jadi pengganggu. Padahal kalau ia punya nyali, mungkin sekadar 'Apa kabar?' saja cukup. Tidak perlu sedih, tidak perlu menderita dulu untuk mencari alasan bicara pada Hayyan Nandhana. After all, they're friends, aren't they?.

Di samping semua hal yang berjalan biasa-biasa saja di hidupnya, Zakky tetap merasa ia ingin bicara. Mungkin karena tugasnya sudah tidak sebanyak minggu lalu, ia jadi sedikit bosan. Lagipula agendanya untuk lebih mengenal Hayyan belum karam; ia masih ingin tahu banyak soal cowok itu. Mungkin juga memberi satu-dua cerita hidupnya pada Hayyan. Sesekali ingin rasanya berbagi kisah-kisah menyenangkan. Bukan terus-menerus menjadikan cowok itu media penyembuhannya. Kain bebat bagi luka-lukanya.

“Gue balik dulu aja, abis itu chat dia kali, ya?” gumamnya pada diri sendiri.

Menarik napas panjang, Zakky lanjut berjalan. Sedikit menyesal memarkir motornya di halaman parkir Masjid Agung alih-alih di depan fakultas. Sedikit menyesal kenapa ia tidak makan di depan laboratorium saja alih-alih berjalan jauh menemani Alde memesan soto betawi di kantin fakultas. Zakky baru saja berhasil menyelesaikan penyesalan pendek yang bergema di kepalanya saat ia melihat cowok itu, orang yang lalu-lalang di pikirannya beberapa hari ini, berjalan sambil melamun di depan fakultas Perikanan seorang diri.

'Panjang umur,' bisik batin Zakky.

Tanpa sadar kakinya berbelok sendiri dan menyeberang jalan tanpa perlu ia komando. Tanpa sadar sudut-sudut bibirnya sudah naik membentuk senyuman bahagia. Tanpa sadar tangannya sudah menepuk bahu Hayyan, diikuti sapaan yang selalu Zakky anggap payah selama ini;

“Hei.”

***

P.S 1. Niron = nyontek 2. Masjid Agung dan Lab terpadu itu sebelahan.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

“Berangkat, Zak?” suara lelaki paruh baya menghentikan kegiatan Zakky mengikat tali sepatu. Sudah dua hari lelaki itu pulang dari perjalanan studinya yang panjang. Dua bulan, kalau Zakky tak salah ingat. Waktu yang cukup panjang untuknya beradaptasi pada ketiadaan Papa.

Zakky mengangguk. “Iya, Pa. Udah sarapan?”

Lelaki itu mengangguk. “Dimasakin pancake sama Rayan,” katanya. Ia masih memakai baju tidur abu-abu yang Zakky hadiahkan di ulang tahunnya yang ke lima puluh. Kerutan di wajah lelaki itu terpampang di dahi, di bawah mata, di bawah bibir, sebagai bukti nyata bahwa ia tak lagi muda.

Lelaki itu bernama Rudi, sudah dua puluh tahun ia hidup sebagai ayah Zakky dan Rayan. Waktu-waktunya ia habiskan mengurus rumah dan bekerja sebagai dosen tetap di universitas swasta. Ia lelaki yang luar biasa, kalau Zakky boleh melebih-lebihkan. Lahir dalam ketiadaan tapi berhasil tumbuh dengan baik adalah alasan mengapa Rudi menempati posisi penting dalam mimpi-mimpinya.

“Rayan lagi yang masak sarapan?” tanya Zakky. Nada suaranya dingin, seperti representasi sempurna dari udara Bandung pagi itu yang diam-diam masuk lewat celah jendela. Bangunan yang mereka tempati bertiga terasa sesak diliputi hening yang janggal. Papa hanya tersenyum maklum, senyum yang tidak lelah ia pasang meski Zakky yakin hatinya luluh-lantak tanpa sisa.

“Jangan terlalu benci dia,” kata Papanya dengan suara lembut yang selalu Zakky benci. “Dia juga Mama kamu.”

Mama. Kata itu terasa pahit di lidah Zakky. Rasanya asing, seperti tahun-tahun yang ia habiskan hidup di bawah kungkungan rasa frustrasi wanita yang pernah melahirkannya. Seolah waktu-waktu itu tidak pernah jadi bagian dari perjalanan hidupnya. Zakky mendengus keras, menolak menyematkan titel agung pada wanita sundal semacam dia. Bayang-bayang tentang bagaimana tubuh polos wanita itu mengerang tak berdaya di bawah pelukan lelaki yang bukan ayahnya cukup membuat Zakky trauma.

“Zakky berangkat dulu,” katanya, tidak mengindahkan permintaan papanya soal benci-membenci.

Lelaki tua itu mengangguk, senyum hangat masih tersangkut di bibirnya yang tipis. Zakky memilih untuk tidak menjawab, melempar senyum, dan melangkah keluar dengan beragam pikiran berlalu-lalang di kepala.

“Apa mungkin Papa nggak cukup ya, Zak?”

Kalimat papa malam itu masih membayang-bayangi kepala Zakky seperti lintah. Menyedot sedikit demi sedikit kemampuannya percaya bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak mengharap pamrih. Mungkin memang begitu, mungkin Papa memang tidak cukup untuk Mama. Mungkin Zakky memang tidak cukup untuk Melati. Mungkin mereka memang diciptakan untuk terus merasa kurang, meski sudah berupaya banyak.

“Kamu tuh cukup.”

“Gampang betul ngomong sama orang,” kata Zakky, terkekeh tanpa ekspresi. “Giliran motivasi diri sendiri aja, nggak becus.”

Zakky menyalakan motor, memasang helm, lalu menarik gas meninggalkan halaman rumah yang menaunginya selama dua puluh tahun. Mungkin rumah itu juga tidak cukup untuknya. Sebagaimana orang-orang akan selalu merasa kecewa begitu mereka mengenal Zakky lebih dalam. Bahwa ia bukan manusia sempurna seperti yang mereka duga. Bahwa ia tak cukup terang untuk jadi matahari, tak cukup cantik untuk jadi bulan, tak pernah cukup bahkan untuk jadi dirinya sendiri.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Zakky sampai di depan kosan Hayyan dengan sebuah motor matic warna hitam metalik. Helm hitam-putih yang dipakainya tampak bagus, pikir Hayyan saat ia menutup pintu gerbang dengan tangan berkeringat. Hayyan sudah merasa gelisah sepanjang pagi, membuatnya kini tidak lagi punya energi untuk meredakan rasa tidak nyaman yang mengental di dalam hatinya kapanpun ia melihat Zakky. Cowok itu menghela napas, lalu memandang Zakky sambil memaksakan seulas senyum (yang ia harap tidak terlampau kelihatan palsu).

“Ini, pake,” kata Zakky, menyerahkan sebuah helm coklat tua ke arah Hayyan.

Alis Hayyan berkerut. “Ngapain? 'Kan deket, cuma ke Fapsi?”

Zakky terkekeh. “Safety first.”

Angin menerbangkan jaket yang mereka berdua pakai. Matahari siang itu sedikit terik, membakar punggung tangan Hayyan yang beristirahat di atas lutut. Wangi tubuh Zakky samar-samar dapat ia cium dari jok belakang, sedikit membantunya merasa rileks meski Hayyan sendiri tak bisa jelaskan mengapa.

Kantin Fapsi selalu penuh di jam makan siang, dan masih lumayan padat meski jam sudah menunjuk pukul setengah dua. Hayyan memesan dua porsi nasi bakar, sebelum beranjak ke penjual minuman dan memesan dua gelas es teh manis. Zakky sedang duduk memangku wajah, memandang ke arah luar.

“Udah pesen?” tanya Zakky, saat Hayyan kembali ke meja panjang yang mereka bagi bersama tiga orang mahasiswa lain. Cowok yang ditanya mengangguk singkat, memberi senyum ala kadarnya.

Zakky mengangguk, tidak bertanya lagi. Untuk beberapa waktu yang terasa amat lama, hening menyelimuti mereka berdua. Hayyan menggunakan waktu itu untuk memandangi langit, atau dinding kantin, atau kelompok mahasiswa di meja berpayung di luar tempat mereka makan. Dalam kepala sibuk berseru, 'lihat ke mana saja asal jangan ke arah Zakky'. Bicara dan mengobrol bersama lelaki itu terasa amat sangat tidak biasa. Dulu, sewaktu Hayyan gemar mengekori Guntur ke pertandingan-pertandingan basket mereka, dia tidak pernah bicara pada Zakky. Hanya bertukar senyum dan gestur sopan layaknya dua orang asing yang tidak sering berpapasan di koridor sekolah.

Mungkin rasa asing itu juga yang membuat mereka sulit menyatu. Seperti minyak kepada air, bukan kepada sumbu. Atau mungkin karena Hayyan dan Zakky tidak pernah mencoba untuk saling bicara. 'Kenapa?' tanya Hayyan pada dirinya sendiri.

Ia sendiri tak tahu.

“Kamu nggak nyaman sama saya, ya?” Zakky memecah sepi dengan melontar sebaris tanya; kalimat yang mungkin seharusnya ia telan bulat-bulat saja.

Hayyan melirik kaget. Jelas terkejut sebab tidak mengira lelaki itu akan pernah membacanya seperti sedang membaca sebaris buku. Gamblang dan apa adanya.

“Sedikit,” kata Hayyan.

“Karena saya temenan sama Guntur?” tanya Zakky lagi.

“Itu faktor utama.”

“Faktor lainnya, ada?”

Hayyan mengangguk. “Kadang kalau aku bicara sama kamu, kerasa kayak lagi jalan di tempat yang benar-benar asing.”

Zakky diam, sejenak, sebelum menjawab; “Saya juga sama.”

“Hah?” Hayyan mengerutkan dahi. “Maksudnya... kamu juga nggak nyaman sama aku?”

Zakky menggeleng. Ada senyum tipis di wajahnya saat ia menjawab, “Saya nyaman, kok, sama kamu. Yang justru aneh, mengingat kita dulu nggak pernah saling ngobrol sama sekali kecuali masalah penting aja. Mungkin karena itu, ada yang asing dari cara kita ngomong. Waktu kamu saya bonceng, kamu ke kantin sekolah sama saya, makan siang bareng saya... kayak lagi ada di tempat yang nggak pernah saya datangi, tapi saya ngerasa biasa-biasa aja.”

“Maksud kamu... ketika harusnya kamu ngerasa canggung sama aku, tapi faktanya kamu nggak ngerasa canggung sama aku, kamu jadi ngerasa aneh?”

Zakky tertawa. “Cara kamu ngomong bikin saya bingung, tau.”

Hayyan mengerucutkan bibir. “Jangankan kamu, aku juga bingung sama omonganku sendiri.”

Obrolan mereka terjeda saat seorang lelaki mengantar dua gelas es teh manis ke meja. Hayyan memperhatikan bagaimana senyum Zakky terukir tulus, dan ucapan terima kasih meluncur mulus dari bibirnya. Sekali lagi, kepalanya membisik, bahwa kini ia sedang duduk dengan Razakky Bhadrika; lelaki yang disebut-sebut jadi matahari di SMA mereka.

“Saya tau, kamu nggak nyaman karena setiap bareng saya, mungkin kamu inget sama Guntur,” kata Zakky, memandang Hayyan dengan tatapan paling teduh yang pernah Hayyan dapat dari seorang manusia. Melihat bagaimana iris sehitam jelaga itu memandangnya dengan tulus membuat Hayyan merasa aneh.

Aneh adalah kata yang sering ia pakai beberapa waktu ini. Tepatnya, sejak bertemu Zakky.

“Saya nggak masalah kalau kamu mau saya menjauh—”

“Nggak,” potong Hayyan. Perlu sepersekian detik untuknya sadar lidahnya bekerja sendiri tanpa aba-aba.

“Hm?” Zakky menggumam, ada nada heran terselip dalam suaranya.

“Itu childish banget. Aku nggak seharusnya jauhin kamu karena kamu pernah temenan sama Guntur. Kalian juga nggak sedekat itu,” kata Hayyan. “Aku dan ketakutanku ngadepin masa lalu adalah hal yang harus diubah. Mungkin dengan temenan sama kamu, aku bisa pelan-pelan nyoba.”

“Jangan dipaksa, Yan. Saya ngerti rasanya dipaksa ingat meski udah setengah mati mencoba lupa.”

Hayyan menggeleng. “Nggak. Aku mau temenan sama kamu. Dan mungkin agak terlambat tapi...” Hayyan menelan ludah, “makasih udah nemenin aku sore itu, dua tahun lalu.”

Zakky terhenyak. Tidak ada di antara mereka berdua yang sadar saat ibu penjual nasi bakar meletakkan piring di depan masing-masing. Zakky pelan-pelan melukis senyum, dan Hayyan bersumpah ia mungkin gila, dulu. Gila sebab... bagaimana bisa ia melewatkan Razakky Bhadrika di tiga tahun masa putih abu-abunya?

Sejujurnya, melihat Zakky masih kerap kali membawa ingatan-ingatan yang berusaha Hayyan matikan. Tentang bagaimana ia berteriak di bangku penonton, menyerukan nama Guntur. Tentang bagaimana ia duduk di pinggir lapangan dengan botol air mineral dan handuk bersih di kedua tangan. Tentang bagaimana segala hal yang membuatnya terkoneksi pada Razakky Bhadrika berasal dari orang yang menusuk luka pada nadi-nadinya.

Tapi mungkin, Zakky bukan pembawa kenangan-kenangan itu kembali. Ia hanya pemantik, dan apakah bertemu Zakky atau selamanya hidup sebagai dua orang asing yang tidak berbagi apapun, Hayyan akan tetap mengingat Guntur. Bara api itu mungkin sudah sejak lama ada di sana. Hanya menunggu angin yang tepat datang untuk berkobar kembali, membumi-hanguskan upaya-upaya melupakannya yang sia-sia.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Bagi semua orang di SMA 24, Razakky Bhadrika adalah serupa matahari. Kalimat itu agaknya tidak terlalu melebih-lebihkan, dan semua orang sepakat bahwa Zakky memang layak dianggap demikian. Di ekstrakulikuler basket SMA yang kerap tanding sampai ke tingkat provinsi, Zakky adalah kartu as mereka. Pemain yang mereka turunkan hampir di setiap pertandingan. Nama Zakky tidak pernah mundur dari 5 besar sekolah, sekalipun ia sibuk membangun relasi di OSIS. Semua orang menyukainya, beberapa iri pada pencapaiannya.

Zakky memang matahari. Semua orang ingin menggenggamnya, tapi mereka takut terbakar kalau berada terlalu dekat dengannya. Barangkali itu pula alasan kenapa Hayyan terus bergerak gelisah di tempatnya duduk. Raut wajahnya berteriak bahwa ia tidak ingin berada di dekat Zakky di sini, di bawah ratusan pasang mata yang terus-menerus melirik pada mereka dengan raut ingin tahu. Buat apa orang paling tidak mencolok seperti Hayyan Nandhana duduk bareng dengan Razakky Bhadrika? Terlebih, bertukar sapa dan minum sirup koko pandan seolah mereka kawan lama?

“Masih di Bandung, ya, Yan?”

Menyudahi hening penuh kecanggungan mereka, Zakky membuka obrolan lagi. Sesungguhnya ia bukan orang yang senang membangun percakapan. Selama ini Zakky terbiasa jadi laki-laki yang dikejar, jadi orang yang dipuja—jadi si pasif dalam setiap konversasi. Hanya saja, ia tidak berniat menghabiskan sore duduk sendirian tanpa teman. Apalagi dengan informasi tambahan yang semua orang tahu dengan cepat seperti api melalap kayu; bahwa Razakky Bhadrika baru saja patah hati hebat beberapa hari lalu.

Hayyan mengerjap beberapa kali, kentara sekali enggan bicara. Zakky tidak menyalahkan bagaimana tatapan Hayyan bicara padanya seperti bicara pada orang asing. Faktanya begitulah mereka sepuluh menit lalu, begitulah meraka selama tiga tahun duduk di sekolah yang sama. Begitulah mereka setelah berpisah jalan malam nanti.

“Iya, Zak. Masih di Bandung.”

Ada nada enggan dari suara Hayyan yang Zakky tangkap dengan sempurna. Cowok itu memangku wajah dengan punggung tangan, memandang teman-teman sekolah mereka tanpa minat. Untuk pertama kalinya ia ingin sekali tahu, bagaimana Hayyan memandang interaksi mereka, bagaimana Hayyan mendengar musik yang berulang kali berganti, bagaimana Hayyan merespon terhadap segala sesuatu yang ia lalui sampai saat ini.

Baru saja hendak bicara, Zakky dikejutkan oleh pertanyaan Hayyan. Pertanyaan yang ia pikir takkan pernah keluar dari belah bibir cowok itu. Sebab dari semua orang, Zakky adalah yang paling tahu, kalau Hayyan tidak pernah tertarik padanya; bagaimanapun dia, seperti apapun ia bersikap, dan menjadi apapun ia kelak.

“Melati kemana, Zak?”

Zakky terkekeh, senyumannya terlihat palsu. Tangannya menggoyang-goyangkan gelas kertas sebelum merematnya sampai remuk. Entah harus bagaimana ia bersikap, sedang hatinya seolah dihiasi luka irisan lagi dan lagi. Seperti luka panjang yang darahnya mengalir terus tanpa pernah berhenti.

Melati Rengganis adalah selamanya yang terangkum dalam satu raga. Dia adalah mimpi-mimpi masa kecil Razakky, teman terdekatnya, sahabat terbaiknya, dan cinta pertamanya. Bagaimana bisa Zakky baik-baik saja saat sosok itu perlahan tapi pasti memutuskan keluar dari kehidupannya?

“Pergi dia, Yan.”

Kalimat Zakky rancu. Tapi bagi Hayyan, sore itu, kalimat itu bisa menjelaskan segala-galanya.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Zakky tidak pernah menyangka akan datang hari dimana ia berjalan menyusuri lorong SMA 24 bersama Hayyan di sisinya. Zakky tidak pernah mengira bahwa acara yang digagas angkatannya kelak akan pernah membawanya pada Hayyan. Bukan berarti ia mendamba bertemu cowok itu. Hanya saja imaji mengenai Hayyan dan obrolan pendek yang mereka bagi di pesta perpisahan dulu sekali tidak pernah berhasil ia enyahkan. Di waktu-waktu kosong dimana Zakky akan mengingat Melati, ia akan secara otomatis teringat pada banyak hal—yang kemudian berujung pada ingatan mengenai sore itu. Sore yang ia habiskan bersama Hayyan, saat mereka berdua berusaha memberi banyak lewat kehadiran satu sama lain.

“Kamu nggak kerepotan bawa nampan gitu, Zak?” Hayyan bertanya. Matanya yang kecil melirik pada mangkuk-mangkuk mi di kedua tangan Zakky. “Aku bisa bantu bawain, kok. Atau mau gantian?”

Masih ada beberapa pintu sampai ruang panitia, dan Hayyan rasanya sudah bicara terlalu banyak. Mereka tidak pernah banyak bicara. Duh, intensitas percakapan mereka bahkan tidak sampai seperempat percakapan Hayyan dan Radit atau Yosef. Tapi ia masih merasa buruk. Rasanya ada banyak hal yang kadung ia bagi bersama Zakky; orang yang bukan siapa-siapa.

“Santai aja. Saya kuat, kok, bawa segini doang, mah.”

Hayyan mengangguk, masih merasa tidak enak, tapi tidak bicara lagi. Ada kecanggungan yang sulit dihilangkan dari interaksi mereka berdua. Ada kekhawatiran yang tidak bisa dijelaskan dalam hati Hayyan, kalau-kalau Zakky tiba-tiba bertanya soal dulu. Soal dua tahun lalu. Soal sesuatu atau seseorang yang berusaha Hayyan lupakan.

Tapi mungkin ia hanya terlalu parno. Zakky bukan orang seperti itu. Yosef tidak pernah bicara buruk tentang Zakky, saat ia bicara buruk soal hampir semua teman-teman Naufal. Mungkin Zakky memang bukan orang yang perlu Hayyan takutkan.

“Kamu tau nggak, Yan, apa yang paling saya inget dari kamu?”

Atau tidak. Hayyan menggigit bibir. Takut-takut Zakky akan bicara soal Guntur seperti dua tahun lalu.

“Apa?” tanyanya, sedikit cemas.

Zakky terkekeh, seolah bayangan mengenai Hayyan yang ia simpan dan kenang begitu lucu sampai bisa membuatnya tertawa. “Saya inget kamu dulu ribut sama Hilmi anak Pramuka di rapat bulanan. Seumur-umur liat kamu, baru kali itu saya liat kamu berani ngebentak orang lain, lho. Sampai gebrak meja segala.”

Hayyan tidak tahu harus lega atau malu mendengar penuturan Zakky. Tapi setidaknya, lebih baik punya memori memalukan ketimbang menyedihkan, 'kan?

“Duh, memori buruk, itu. Hapus aja, dong!” protesnya sambil tertawa. Tanpa sadar pertahanan yang Hayyan mati-matian pasang sejak tadi sedikit luruh lewat percakapan ini.

“Nggak bisa. Saya masih takut aja inget kamu hari itu,” tutur Zakky, tidak ada kebohongan dari raut wajahnya. “Tapi saya liat kamu baik-baik aja sama Hilmi sekarang, ya? Dia suka share foto di insta sama kamu.”

Hayyan mengangguk. “Di luar organisasi, mah, kita santai kok, Zak. Malah sering hangout bareng karena dia masih kuliah di Bandung juga. Tanggal lombanya juga udah kapan tau selesai, udah lupa semua!”

Zakky tertawa.

“Sebagai anak biasa-biasa aja, aku terharu diperhatiin sama kamu, nih!” kelakar Hayyan, masih dengan senyum terbit di wajahnya.

Zakky mendengus. “Apaan, deh. Lebay aja kamu.”

Pintu ruang panitia mengayun terbuka saat Hayyan menarik kenop pintunya. Ada beberapa orang di dalam, dengan kaos panitia dan jaket bomber khas angkatan Zakky. Hayyan mengenal wajah-wajah itu, meski ia tidak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak basket. Ia kenal Aldebaran dan Egi sebagai teman-teman dekat Zakky. Alde sendiri cukup dekat dengan Hayyan sebab mereka sering banyak mengobrol di kelas sebelas.

“Hayyan!” Alde berseru, hampir meloncat memeluk Hayyan kalau saja Zakky tidak pasang badan menghalangi. “Duh, nanaonan sih maneh! (Duh, apa-apaan sih lo)”

“Ngerakeun, (malu-maluin)” kata Zakky. “Si Jamet geus balik, can? (Si Jamet udah pulang belum?)”

“Keur ka indomaret heula, ceunah. Sakeudeung deui ge nepi. (Lagi ke indomaret dulu, katanya. Sebentar lagi juga sampe)” kata Egi, memilih es pesanannya dan memisahkan semangkuk mi untuk dirinya sendiri.

“Mantap he'euh, Mang Zakky. Tibang ka kantin oge balik-balik mawa gandengan, (Mantap ya, Bang Zakky. Cuma ke kantin aja balik-balik bawa gandengan),” komentar cowok berpakaian panitia di belakang Alde. Hayyan meringis, tak tahu harus merespon apa.

Zakky tidak menggubris godaan itu. Cowok itu malah berbalik dan memberi Hayyan sebaris senyum. “Tungguin dulu aja, Yan. Bentar lagi juga ketua pelaksananya balik. Nanti saya minta dia anterin kamu wawancara Kepsek juga. Kebetulan beliau ada di kantornya.”

Hayyan memandang Zakky dengan tatapan penuh syukur. “Duh, serius? Nuhun pisan (makasih banget), Zak!” katanya, refleks memegang bahu Zakky. “Aku bayar pake traktir makan siang, OK, nggak?”

Alde bersiul. “Zakky mah kalo soal makanan mana bisa nolak, Yan.”

Zakky melempar jaket bombernya ke wajah Alde sambil menggerutu, “Bacot, maneh.”

Hayyan tertawa.

“Boleh. Minta nomor kamu, dong? Saya nggak punya.”

Hayyan menurut. Tanpa sadar membuka pintu bagi pertemuan-pertemuan lainnya bersama Razakky Bhadrika. Cowok ini orang yang menyenangkan, pikir Hayyan. Lagi-lagi, tanpa sadar, meluruhkan sedikit tembok pertahanannya.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Alunan melodi dan suara dari Is, vokalis Payung Teduh, menemani sore sepi yang melingkupi kesedihan Hayyan. Sinar jingga dari matahari menelusup lewat jendela, dan celah-celah pintu gedung serbaguna tempatnya berada. Di ruangan yang besar ini, segala jenis suara rasanya bercampur-aduk menjadi satu, mencoba mengisi ruang sempit bernama gendang telinga milik Hayyan Nandhana. Suara-suara percakapan, melodi, tawa ringan dan langkah kaki terasa seolah sedang mencoba menelan keberadaan Hayyan yang tak kasat mata.

Di tengah semua ingar-bingar itu Hayyan duduk, melipir ke dinding, mencoba menjauh dari ratusan pasang mata bersama secangkir sirup koko pandan yang esnya hampir mencair sempurna. Tidak ada secuilpun keinginan untuk bergabung dalam gagap gempita di sekitarnya.

Hayyan memandang pantulan sinar matahari di permukaan gelasnya sebelum menandaskan isinya tanpa sisa. Kepalanya mau tak mau berpikir mengenai apa dan bagaimana orang menilai dirinya kini. Mungkin ia tampak menyedihkan sekarang. Tapi tak apa, pikirnya. Berpura-pura kuat kala hatinya hanya tersisa serpihan-serpihan kecil terdengar lebih tidak masuk akal. Ia sedang hancur, sedang merasa terluka, dan mengakui semua itu rasanya lebih heroik ketimbang memasang senyum palsu dan membuat dirinya merasa semakin buruk.

Hayyan memutar gelas kertas di tangannya yang sudah kosong. Ia terkekeh, meski suara yang keluar justru terdengar seperti helaan napas. Pikirnya, ia takkan bisa melupakan nama itu. Juga nama lain yang akan selalu datang bersamanya. Ia adalah orang yang pelupa, tapi baru kali ini Hayyan merasa bahwa lupa adalah karunia Tuhan yang amat berharga.

Baru saja ia hendak bangkit. Pulang ke rumah terdengar lebih masuk akal ketimbang menghabiskan sore sendirian di pojok ruangan. Baru saja ia hendak merealisasikan rencana itu saat seorang lelaki berjalan mendekat. Rambut hitamnya tampak sedikit ikal, helaiannya ikut bergoyang saat lelaki itu berjalan mendekat. Matanya besar dengan lipatan mata yang hampir tidak terlihat, dan alisnya yang selalu menukik (membuatnya hampir selalu tampak marah) seperti melebur sempurna dengan sinar matahari yang berpendar jingga.

“Oh, kamu udah punya minum, ya?” kata lelaki itu. Suaranya merdu seperti biasa, meski tidak banyak interaksi di antara mereka selain bahasan soal ekstrakulikuler dan tugas sekolah dulu sewaktu kelas sepuluh.

Hayyan menggeleng. “Udah habis,” katanya. Tangannya terulur menerima gelas kertas yang Zakky bawa.

“Yosef sama Radit pada ke mana, Yan?” lelaki itu bertanya. Tanpa permisi, Zakky ikut duduk di sofa tempat Hayyan menghabiskan waktu. “Kamu sendirian aja?”

Hayyan melirik bagian tengah gedung, ke tempat beberapa orang mengobrol sambil memasang tawa. Ia memandang beberapa pasangan yang sedang asyik bicara. “Tuh, liat aja,” ia mengedikkan dagu.

Kepala Zakky menoleh, mendapati orang-orang yang ditanyainya sedang nampak asyik bersama pasangan masing-masing. Ia menahan napas sejenak sebelum kembali memandang lawan bicaranya. “You okay?”

“Pertanyaan kamu lucu,” Hayyan tertawa, tapi tidak ada binar geli di kedua matanya. “Do I look like I am?”

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Hayyan memarkirkan motor Yosef di halaman SMA 24 yang sudah penuh oleh kendaraan pribadi. Ia jadi ingat lelucon di televisi yang tak sengaja didengarnya beberapa waktu lalu, bahwa bangunan sekolah dan mantan punya beberapa kesamaan. Di antaranya, sama-sama tampak lebih baik ketika sudah ditinggalkan. Lelucon yang tidak lucu, tapi entah kenapa jadi hal pertama yang mampir ke kepalanya saat ia menjejak kaki kembali di tempat penuh kenangan ini.

Sejak perpisahan yang tidak menyenangkan dulu, Hayyan tidak pernah lagi mendengar kabar Guntur. Ia bukannya tidak ingin tahu, tapi akal sehatnya menolak untuk mencari. Buku yang mereka tulis berdua sudah usai di pertengahan jalan, tidak lagi memberi kesempatan baginya untuk sekadar menoleh dan membaca ulang. Lagipula, apa yang hendak ia kenang dari cerita menyakitkan itu selain rasa rendah diri dan sakit akibat ditinggalkan yang tidak pernah tanggal.

Rindu kerap kali datang tidak pada waktu dan tempat yang seharusnya. Hayyan sering duduk melamun dan tiba-tiba dilanda pemikiran singkat semacam: 'masihkah Guntur senang pakai parfum wangi coklat yang dulu ia puji-puji?', atau 'apakah bekas luka kecelakaan di kakinya masih sering terasa linu?'. Di waktu-waktu dimana Hayyan memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, ia akan menangis. Lalu berharap ia bisa menelan sesuatu dan bangun dalam keadaan melupakan Guntur dan Findi seolah mereka berdua tak pernah ada di hidupnya. Tak pernah menjadi bagian berharga dari masa lalunya.

Hayyan menggelengkan kepala. Ini bukan waktu yang tepat untuk bernostalgia.

Ditemani sebuah kamera dan note kecil di tangan kanan, Hayyan melangkah mantap memasuki lorong yang dulu pernah melatari masa-masa putih abunya yang manis. Gambaran-gambaran yang berusaha ia tinggalkan memaksa kembali masuk dalam ingatan. Hayyan mengencangkan rahang, mencoba bersikap seolah semua nostalgia itu tidak berhasil mengguncang dirinya; namun nihil.

Langkah kakinya bergerak semakin cepat, membelah kerumunan yang memenuhi lorong. Ironis sekali, kalau ingat bahwa beberapa menit lalu, sewaktu sedang menghadapi kemacetan di Cibiru, ia berpikir bahwa mungkin saja... mungkin saja Guntur akan datang hari ini. Sebagai orang yang pernah duduk di kursi Wakil Ketua OSIS, mantan siswa populer dan anggota ekskul basket yang berprestasi, mungkin saja ia sudi menyisakan waktu untuk kembali ke Bandung. Ke bawah langit dimana cerita mereka pernah meninggalkan jejak di antara aspal dan pedestrian jalan.

“Jangan mimpi, Yan,” bisiknya pada diri sendiri. Kepalanya tertunduk dalam, lebih memilih memandangi sepasang sepatu yang tak henti berjalan alih-alih memberi tontonan pada dunia; wajahnya yang penuh duka.

Asyik tenggelam dalam lamunan, Hayyan bahkan tidak sadar bahwa dari arah berlawanan ada seorang lelaki yang berjalan ke arahnya dengan pandangan fokus ke arah lapangan. Tabrakan di antara dua manusia itu tentu saja tidak bisa terhindari. Masalahnya, tubuh Hayyan jauh lebih kecil kalau mesti dibandingkan dengan si penabrak yang mungkin dua kali lebih besar.

“Aduh...” Hayyan mengaduh, selepas bokongnya dengan mulus menghantam lantai tanpa permisi.

“Makanya kalau jalan liat-li....Hayyan Nandhana?” Suara yang terdengar dekat itu berat dan merdu. Menyudahi kegiatan Hayyan mengasihani bokong sendiri.

Lelaki yang jatuh mengangkat kepala. Berniat melihat siapa yang memanggil namanya, sekaligus memberi satu-dua omelan sebabă…ˇhei, bokongnya sakit sekali sekarang!

Saat itu, sekali lagi setelah dua tahun lamanya, ia kembali tertangkap. Tenggelam dalam iris hitam milik Razakky Bhadrika.

////////////

“Nih, helm.” Erlangga menyodorkan pada Nalesha sebuah helm coklat tua. Nampaknya baru, sebab ia belum pernah lihat helm itu selama menumpang pada Erlangga. Nale mengambil helm sambil tersenyum, mengurungkan niat untuk bertanya helm baru ini datang dari mana.

Motor Erlang berderum halus saat roda-rodanya membawa mereka menjauhi kediaman Nale. Angin dingin Bandung pagi hari dan genangan air bekas hujan semalam membuat Nale merapatkan jaketnya. Tanpa sadar genggamannya pada kedua ujung jaket Erlang mengerat. Erlang tidak memperlambat laju motor, tidak jua berkata atau merespon apapun atas gestur refleks cowok di belakangnya. Ia hanya dengan khusyuk menarik gas dan terus memandang ke depan bersama seulas senyum. Membiarkan Nale menikmati bau dedaunan basah dan wangi pengharum pakaian yang samar-samar menguar dari jaket cowok di depannya.

Sepanjang hari, yang Nale pikirkan hanya Erlangga. Memang dasar hati, bandel dan senang sekali bergerak sendiri. Beberapa kali ia mencuri lirik pada Erlang, yang duduk dengan tenang di atas meja. Sesekali mata mereka akan bersiborok, dan keduanya akan membiarkan benang pandang itu terhubung selama beberapa detik sebelum membuang muka. Nale tidak akan bisa menahan senyumannya selama beberapa menit setelah adu pandang yang singkat itu, membuat Yulian menghela napas sambil berbisik menggoda.

“Silakan kalian sobek kertas kecil, dan buat soal mengenai Hidrolisis Garam.” Pak Sukanta, duduk dengan tenang di meja guru sambil tertawa. “Lalu cari partner dan tukeran soalnya, ya. Kalau sudah dikerjakan, boleh kumpulkan ke saya. Nanti tulis siapa yang kasih soal di bagian atas jawabannya.”

Maudy mengangkat tangan. “Sama temen sebangku, Pak?”

“Siapa aja boleh. Bebas.”

Semua kepala menunduk fokus saat Nale mengangkat wajahnya. Hanya beberapa dari mereka selesai membuat soal. Juna, Yulian, Dewi dan Erlang, misalnya. Nale menggigit bibir, melirik pada Juna (yang sudah memandangnya seolah berkata 'Tukeran sama gue, ya!'), dan Erlang yang beberapa kali kedapatan melirik padanya.

Suhu tubuh Nale rasanya naik ke pipi saat ia bangkit dan menghampiri Erlang. Ia bisa merasakan tatapan menggoda teman-teman lain menusuk punggungnya, membuat wajahnya semakin memerah dari waktu ke waktu. Tapi kedua kakinya dengan lantang bergerak mendekat, seolah berkata bahwa mereka akan abai pada orang-orang sekitar.

“Tukeran?” ajaknya, menyerahkan secarik kertas berisi soal yang ia buat sendiri.

Erlang tertawa. “Nih,” tutur cowok itu, balik menyerahkan soal miliknya. Tulisan Erlang sejujurnya tidak bagus-bagus amat. Cenderung berantakan dan tajam di sudut-sudut yang kurang tepat. Tapi Nale menerima kertas dari cowok itu dengan hati berbunga-bunga. Dasar, cinta monyet. Serasa kentut bau kenanga dan tahi kucing jadi coklat belgia.

“Saya udah, Pak.” Nale, menjadi siswa yang menyandang titel berprestasi, jadi orang pertama yang menyerahkan kertas berisi jawaban soalnya ke depan. Ia tersenyum tipis saat Pak Sukanta mengangkat kepala, memberinya senyuman manis dengan lesung pipi yang mengingatkannya pada Krisna.

Pak Sukanta menerima kertas jawabannya sambil tertawa. “Udah, Nal, bales surat cinta dari Erlangnya?”

Yang Nale tahu kemudian adalah bagaimana panas tubuhnya naik menjalari pipi, diiringi seruan menggoda hampir empat puluh siswa di kelas mereka. Hampir, karena ada orang bernama Erlangga Rasyafariq yang tidak ikut bersorak, sibuk menutupi wajah yang ikut memerah malu.

/////////////////////////////

“Ada ya guys yang sayang-sayangan mulu tapi nggak jadian?” celetuk Ganesha saat Erlang dan Nale berhenti di parkiran motor. Ada Arsa, Krisna, Yasa, Sagara dan Juna di tempat yang sama. Jarak di antara mereka tidak begitu jauh, tapi tidak cukup dekat juga. Beberapa anak kelas sebelas terkikik mendengar sindiran Ganesh, dan anak-anak kelas sepuluh melirik pada mereka penuh tanya.

Erlang mendengus. “Sa, tuh lo disindir, Sa,” tukasnya, melantangkan suara dan memanggil Arsa.

“Aing nyindir maneh, anying (Gue nyindir lo, anying).”

Nale mengunci helm di kepalanya, tidak berani mendongak, saat Erlang menjawab, “Lah selama ini 'kan yang sayang-sayangan mah si Arsa? Gue mah belom.”

Ganesh menggerutu pelan dalam suara yang tidak bisa Erlang maupun Nale dengar. Yasa menghela napas, sementara hampir semua orang hanya tertawa. Yah, sangkalan itu tidak salah juga.

“Siap?” kata Erlang, menoleh dari jok depan.

Nale tertawa. Tangannya menepuk bahu Erlang ringan sambil berseru, “Go, go!”

////////////////////////////////

Nale duduk di kursi kosong di depan gedung museum Asia-Afrika dengan segelas es teh manis di tangan. Erlang sedang berjongkok tak jauh dari tempatnya duduk, memotret seekor ulat bulu yang sedang melintas. Tidak peduli pada lalu-lintas yang cukup ramai, apalagi pada kemungkinan ia bisa terlindas ujung sepatu para pejalan kaki. Nale tertawa, mencoba mengalihkan perhatian dari debaran jantungnya yang mulai menggila.

“Lucu, Ca,” kata Erlang, memperlihatkan potret ulat yang tadi ditangkapnya dengan kamera ponsel.

Nale bergidik. “Geli ih, Lang!” protesnya, menjauhkan gambar itu dari jangkauan pandangan.

Erlang tertawa. Hening menyelimuti mereka. Erlang sibuk memandang pada lalu-lalang kendaraan di jalan, sementara Nale terus-terusan menyedot isi gelasnya seperti orang kehausan. Barangkali di dalam kepala, mereka berdua sama-sama bingung bagaimana harus memulai ini.

Erlang pikir, nyalinya yang sebesar bendungan Jatiluhur semalam sudah longsor dilindas kegugupan. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia bersedia membelah jalanan malam Bandung untuk meyakinkan orang di sebelahnya perihal kesungguhan. Siapa yang tahu saat kini ia sungguhan menghadapi Nalesha, kata-kata yang sudah dirangkai otaknya sedemikian rupa luluh lantak entah hanyut ke mana.

“Ca,” Erlang memanggil. Suaranya sedikit gemetar karena gugup, tapi Nale tidak cukup teliti untuk menyadari itu saat ia sendiri sama salah tingkahnya. “Aduh, gue bingung mau mulainya gimana.”

Nale tertawa kecil. “Sama,” katanya. “Gue malu.”

Kalau Erlang boleh jujur, ingin ia kantongi Nale saat seluruh wajahnya merona begini. Ia bawa ke mana-mana, pastikan tidak ada satupun entitas di dunia yang hendak mengganggu manusia satu itu. Gemas adalah kata yang terlalu sedehana, tidak cukup menggambarkan sensasi meledak-ledak di dadanya yang berusaha ia tahan sekuat tenaga.

“Sejujurnya gue nggak tahu caranya nembak orang,” kata Erlang. Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirnya seperti motor yang kehilangan fungsi rem. “Pertama dan terakhir kali nembak orang, gue malah ditolak. Dibilang nggak jujur sama diri gue sendiri.”

Nale memainkan kesepuluh jemarinya, tidak berani memandang Erlang. Es dalam gelasnya sudah habis, jadi ia berusaha mencari pengalih perhatian lain; yang mana berakhir gagal total sebab kata-kata yang Erlang lontarkan terekam dengan jelas di dalam kepalanya.

“Terus emangnya lo yakin sekarang lo lagi jujur, Lang?” Nale memberanikan diri bicara, masih sepenuh hati mencoba menghindari pandangan Erlangga.

Erlang menyisir rambutnya, gestur yang ia buat saat gugup atau frustrasi. Dua emosi yang ia rasakan sekaligus kini. “Iya. Seenggaknya gue mikir gitu,” katanya.

Erlang menghadap Nale, melukis senyum di bibirnya yang tak bisa Nale lihat. “Yang gue tau, gue mau ngasih lo label sekarang, Ca. Sejujurnya gue pribadi nggak terlalu peduli sama status. Tapi lo tau kadang suka ada serangga kayak Bobby...”

Nale tertawa.

“Gue serius, Ca!” Erlang ikut tertawa. “Gue nggak bisa jamin apa-apa sama lo. Manusia itu tempatnya perubahan paling setia, Ca. Semua orang bakal berubah. Gue, lo, perasaan kita... tapi gue mau usaha sama lo. Perubahan-perubahan di depan, kita hadapin bareng-bareng.”

“Lo pernah suka sama Yulian...” Nale tidak tahu kenapa kalimat itu terucap. Ia melirik Erlang, mencoba menemukan keraguan dari kedua iris hitam cowok itu.

Tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya kesungguhan yang rasanya terlalu banyak sampai menyesakkan dada.

“Kita masih ABG. Lo bisa aja nemu yang lebih dari gue nanti pas kuliah, pas kerja. Kita nggak bisa selamanya bareng.”

Erlang menutup mulut, mencoba menahan tawa. Tidak ingin tampak meremehkan rasa cemas yang mengental dalam suara Nalesha.

“Belum jadian aja udah takut gue tinggalin,” katanya, masih mati-matian menahan kekehan.

Nale mengerutkan dahi, sedang bibirnya mengerucut tanda sebal. “Ih, yang bener, dong!”

“Abisnya lo lucu banget, Ca,” Erlang masih tertawa. “Nggak ada yang tau besok bakal kayak gimana. Tapi gue beneran jujur dan tulus sama lo. Gue bukan orang yang langsung balik kanan begitu menurut gue lo udah gak menarik lagi.”

“Beneran?”

Erlang mengangguk. “Lo bisa pukulin gue, kalo gue nggak nge-treat lo dengan baik. Gue bisa marah sama lo, kalo lo nggak nganggap perasaan gue serius. Di hubungan ini gue mau kita berusaha buat bikin nyaman satu sama lain.”

Nale tidak menjawab. Alih-alih bicara, ia malah menonjok bahu Erlang main-main dengan wajah semerah tomat.

“Diterima, nggak, jadinya ini tèh?”

Nale mendengus. “Ngajak pacaran juga nggak.”

“Iya, ya? Dari tadi gue ngebacot terus itu buat apaan, dong?”

“Um,” Nale memiringkan kepala, lantas memberi Erlang cengiran lebar. “Bikin gue percaya lo suka beneran sama gue?”

“Lah, jadi sebelumnya lo pikir gue sukanya bo'ongan?”

Nale menjawab dengan tawa.

Tangan Erlang bersandar di kepala Nale, mengacak helai-helai rambutnya penuh afeksi. Lagi, mata hitam cowok itu seperti membawa Nale pada dimensi yang hanya mereka berdua pahami. Sebuah magis yang membuatnya jatuh pada Erlang berkali-kali tanpa kenal berhenti.

“Pacaran yuk, Ca?”

Nale tertawa lagi, penuh rona dan rasa bahagia kali ini. Erlang hanya perlu sebuah tawa itu untuk tahu bahwa perasaan dan ajakannya bersambut sempurna. Sore itu, lalu-lalang dan suara bising di sisi jalan alun-alun kota menjadi latar mereka berdua bergerak ke arah yang sama.

//////////

Nale berdiri dengan cemas di gerbang rumah. Ayah dan Bunda sedang duduk di ruang keluarga, menonton TV. Bunda sempat bertanya padanya, kenapa Nale terlihat begitu cemas malam ini. Ia bahkan melewatkan makan malamnya dan bergegas pergi ke depan untuk menunggu sesuatuă…ˇ atau seseorang?

Erlang mengangkat telepon sekitar setengah jam yang lalu. Artinya sudah setengah jam pula Nale berdiri di depan pagar menunggunya. Kalau boleh berterus-terang, ia cemas luar biasa. Sepanjang mengenal, Erlang tidak pernah terlihat menyentuh rokok. Tentu, ia kadang terlihat sedih karena sesuatu, tapi Erlang bukan perokok. Jadi saat Nale mengisi waktu senggangnya tadi dengan berselancar di media sosial, adalah respon yang wajar kala ia hampir melempar ponsel melihat postingan terbaru Erlang di twitternya.

/Nanti gue ke sana./

Adalah kata singkat yang Erlang sampaikan di telepon sebelum sambungan terputus. Nanti, kapan? Bagaimana kalau saat dalam perjalanan Erlang berubah pikiran? Bagaimana kalau ketika Erlang sampai di depan rumah, ia kembali pulang? Bagaimana kalau rasa cemas dalam hati Nale ini tidak jua sirna?

Ia perlu melihat Erlang. Ia perlu memastikan cowok itu baik-baik saja.

Tapi baik-baik saja adalah kata-kata yang hilang dari kamus hidup Erlangga hari ini.

🍂🍂🍂

Lima belas menit kemudian, sinar lampu motor Erlang tampak di ujung jalan. Nale tidak sempat melihat jam karena terlalu semringah. Jantungnya berdebar bertalu-talu, antara gugup dan takut. Takut ia tidak bisa menampung kesedihan Erlang. Takut ia justru memberi garam di atas luka cowok itu, yang ia sendiri tak tahu sedalam apa. Takut Nale tidak bisa memberi apa-apa selain pelukan dan waktu mendengarkan.

“Hai,” sapa Erlang. Ia masih setampan saat mereka bertemu tadi. Namun ada pilu di kedua matanya yang sayu. Ia terlihat... hancur. Seperti sepotong kue yang terinjak tanpa sengaja, lumat di atas tanah tanpa sisa.

Nale tidak menjawab. Ia langsung menghambur masuk dalam pelukan Erlang, saat yang bersangkutan baru saja turun dari motor. Ada bau nikotin dari jaket hitam yang ia pakai, tapi Nale tidak peduli. Ia hanya ingin memastikan Erlang ada dalam pelukannya, aman dan tidak terluka.

Ah, pengandaian itu agaknya terlalu memaksa. Sebab Erlang sudah terluka lama... lama sekali sebelum mereka berdua bersua.

“Masuk dulu, yuk?” Erlang terkekeh kecil. “Malu diliatin tetangga lo, pelukan di depan rumah gini. Kayak orang mau ditinggal ke medan perang aja.”

“Jangan ke mana-mana,” kata Nale, dengan suara yang tertahan sebab wajah sudah sembunyi di dada Erlang.

Erlang mengusap bagian belakang kepala Nale dengan penuh afeksi. “Mau ke mana. Lo ada di sini, gue mau ke mana lagi?”

🍂🍂🍂

“Ini selimut sama kasur lipatnya. Erlang nggak apa-apa, tidur di bawah?” Ayah meletakkan kasur dan selimut di atas ranjang Nale, tampak khawatir pada penampilan Erlang sekarang. Jujur saja, ia tampak berantakan. Berantakan dan sangat muram.

Erlang menggigit bibir. “Saya bisa tidur di ruang tengah kok, Yah.”

Bunda menggeleng. “Nggak boleh. Nanti kamu masuk angin, gimana? Udah, tidur aja sama Eca. Besok Bunda bangunin buat sholat subuh.”

Lepas bicara begitu, Bunda dan Ayah pamit tidur lebih dulu. Sudah jam sepuluh malam, kata mereka, dan Nale dengan sabar menunggu Erlang mandi sambil memeluk bantal gulingnya dengan gugup. Sejak bertemu tadi, Nale mendapat dorongan aneh untuk menangis. Melihat Erlang kacau, sedih, dan tampak seperti tidak punya pijakan membuatnya ingin berteriak dan memaki dunia. Mungkin begini rasanya jatuh cinta, pikir Nale. Mungkin karena itu ia merasa marah pada siapa saja yang membuat Erlang tidak baik-baik saja.

“Jangan masang muka galak gitu dong, Ca,” tegur Erlang saat ia berjalan masuk ke dalam kamar dengan baju dan celana pinjaman dari Ayah. Senyum di bibirnya nampak tersungging tulus, dan senyum itu anehnya membuat Nale semakin ingin menangis.

“Kenapa...”

Erlang tidak menjawab. Ia berjalan ke depan Nale, berlutut di atas lantai dengan handuk masih menggantung di kepala. Mata hitamnya menatap iris coklat Nale seolah berusaha menyampaikan sesuatu. “Gue ceritain, tapi lo jangan nangis, ya?”

Nale menggigit bibir. “Nggak janji.”

Malam itu, bersama bunyi dari kipas angin di dalam kamar dan jangkrik di luar rumah, Erlang menumpahkan semuanya. Kelahirannya, ekspektasi Papa di kedua bahunya, setiap pukulan yang didapatkannya, tangisan Mama, kesedihan kakaknya, rumah yang hilang darinya. Ia menceritakan semua hal itu dengan sabar, bersama tangan yang mengusap pipi Nale yang leleh oleh air mata, bersama rasa sakit yang masih basah seolah lukanya baru timbul kemarin lusa.

Di akhir cerita, Erlang bilang, “Hidup ini ternyata kayak panggung wayang ya, Ca. Gue kadang mikir, jangan-jangan si Dalang lagi ketawa puas liat hidup gue kayak gini.”

Nale menghambur memeluk cowok itu, menenggelamkan wajah di cerukan antara leher Erlang dan bahu. Tidak peduli bobot tubuhnya bisa membuat Erlang roboh, sampai ia harus menyangga tubuh dengan tangan dan bokongnya harus rela terbentur lantai menahan pelukan yang tiba-tiba datang.

“Nggak,” lirih Nale, isakannya tertahan di leher Erlang. “Lo udah lewatin semuanya dengan baik. Gue...” Nale berhenti bicara, tercekat. Tangan Erlang dengan sabar menepuk-nepuk punggungnya.

“Gue bangga sama lo.”

Ah, Erlang menghela napas. Cowok dalam pelukannya ini benar-benar...

“Makasih, Ca,” lirih Erlang, membalas merengkuh tubuh kecil itu semakin erat.

Erlang pikir Nale istimewa. Awalnya sesederhana, ia melihat proyeksi dirinya di dalam cowok itu. Erlang pikir, tidak ada salahnya mengatakan pada Nale bahwa kadang ia tidak perlu memikirkan pendapat dunia; cukup bahagianya saja. Ketika mengatakan itu, menyaksikan tangisan Nale, menghiburnya sambil jalan-jalan di Tahura, Erlang tidak pernah meminta balasan apa-apa.

Tapi siapa sangka karma baiknya terlampau manis begini.

“Makasih,” kata Erlang lagi. Dibumbui tawa kali ini.

Benar, terima kasih Nalesha. Untuk pertama kali dalam hidup akhirnya Erlang tahu rasanya diterima; rasanya pulang. Untuk pertama kalinya ada manusia yang mau menangis untuknya. Menumpahkan segala kesedihan yang tidak mampu lagi Erlang bahasakan lewat tangis dan air mata. Mungkin luka di hatinya bisa kering dan tanggal. Mungkin Nalesha adalah obat yang tanpa Erlang sadari ia cari-cari selama ini.

Malam itu berlalu. Bersama Erlang dan Nale, tidur bersisian di kasur lipat sempit sambil berbagi kehangatan.

////////////////////////////////

Erlang ingat malam itu dengan begitu jelas. Sejelas ia melihat pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Ia bisa menceritakan kembali malam itu dengan detail, kata per kata, menit per menit, seolah setiap hembusan napas tinggal di balik memorinya dengan erat. Enggan untuk memburam, tidak jua terlupa.

“Nih, helm lo,” kata Nale pada Erlang.

Hari itu sinar jingga di batas semesta tidak tinggal terlalu lama untuk mereka pandangi. Semua orang di Bina Bakti sibuk berbenah. Tenda-tenda dipugar dan hiasan-hiasan ditanggalkan. Festival sudah berakhir, dan tinggal menunggu waktu sampai hasil ujian nasional terpajang di mading sekolah. Siswa tingkat satu dan dua harus sudah kembali ke realita lepas seminggu menghabiskan semua euforia yang mereka punya.

Nale tersenyum riang. Lelah masih bersarang di wajahnya yang sedikit kusam. Mungkin karena seharian penuh berlarian ke sana ke mari memastikan bahwa Closing Ceremony dapat berlangsung tanpa halangan berarti. Erlang sendiri bukannya tidak lelah, mengingat ia terus menerus berjalan ke berbagai tempat mendokumentasikan kegiatan tanpa sempat menjeda.

“Gue balik, ya,” Erlang berujar, lepas meletakkan helm pada ruang kosong antara jok motor dengan stang.

Nale mengangguk. “Hati-hati,” katanya, pesan yang tak pernah Erlang lupa.

Erlang pulang ke rumah Mbah dengan senyum yang mengembang dan hati yang ringan.

🍂🍂🍂

Hidup memiliki pola yang aneh, abstrak, dan seringnya sukar dipahami. Erlang kerap kali berpikir soal bagaimana hidup punya alur yang tidak teratur, tidak terduga, dan tidak selamanya mengundang rasa bahagia. Sedetik lalu ia merasa bisa melompat ke langit tertinggi, sebelum detik selanjutnya jatuh tanpa ampun ke dasar bumi.

Mungkin itu sebabnya Erlang seringkali ingatkan diri sendiri untuk jangan terlalu merasa bahagia, jangan terlalu rileks, jangan terlalu berharap, jangan terlalu berbangga diri. Ia tidak tahu kapan kereta bernama realita akan tiba-tiba melintas dan semua rasa senang itu luluh lantak dibakar perasaan kecewa.

“Lama nggak ketemu, Nak.”

Lelaki itu jauh lebih tua ketimbang terakhir Erlang melihatnya. Padahal baru dua tahunan berlalu, dan uban sudah mendominasi kepalanya. Kerutan di dahi dan kulit dekat matanya sudah semakin jelas, seolah berusaha mempertegas kesulitan hidup macam apa yang ia jalani dalam kurun waktu yang singkat itu.

Kedatangan Papa yang tanpa permisi, ketidaksiapan Erlang menghadapi monster yang menghantui malam-malamnya, serta banyaknya waktu yang mereka sia-siakan untuk saling menolak keberadaan membuat Erlang gemetar di tempatnya berdiri. Mbah Putri tampak khawatir, tapi Erlang tidak ingin disentuh siapapun di rumah ini; saat ini.

“Kenapa kamu ada di sini?” Suara Erlang dingin dan tidak berperasaan. Sebeku hatinya yang ditinggal Papa bertahun-tahun lalu, mengais kasih sayang sendirian.

Lelaki yang pernah ia panggil Papa itu mengetatkan rahang. Jantung Erlang berdebar bertalu-talu. Meski sedikit tidak mungkin, Erlang ingin percaya bahwa Papanya sudah bukan manusia kasar seperti dirinya dahulu.

“Gitu, cara kamu manggil Papa yang udah lama nggak kamu temui, Erlangga?”

Ah. Rupanya angan baiknya memang tinggal saja dalam kepala. Tidak perlu menjelma jadi harap yang justru memporak-porandakan segala keyakinannya seperti ini.

“Mas!” Mama menarik bahu Papa, mungkin mengingatkan lelaki itu soal 'mengendalikan emosi'. Janji yang mereka buat bersama Mbah kalau lelaki itu hendak menemui anak bungsunya di sini.

Erlang menarik salah satu sudut bibirnya. Mempertontonkan dengan gamblang kepedihan di balik senyuman itu. “Apa, sih, yang saya harap dari Anda?”

“Apa!?” Papa menggeram.

Mama menarik lengan suaminya kuat-kuat. Di saat seperti ini, Papa bahkan mungkin terlalu emosi untuk memikirkan soal kesehatan jantung ibunya sendiri.

“Erlang udah bilang, Erlang nggak mau ketemu dia,” Erlang melirik Mama, yang menatapnya seolah memohon ampun.

Untuk apa? Pikir Erlang. Bukankah dalam keluarga ini, hati semua orang sudah kadung menjadi serpihan-serpihan kaca? Apa lagi yang hendak mamanya cari dari rekonsiliasi yang sia-sia ini? Toh diperbaiki seperti apapun, luka-luka yang Erlang dapat dari papanya selamanya akan menjadi luka yang basah. Dan darah dari luka-luka itu akan menjadi pengingat baginya bahwa hidupnya ini lucu, lucu dan menyedihkan.

“Saya pergi dulu. Saya pulang, kalau dia sudah nggak di sini.”

Dengan itu, Erlang melangkah meninggalkan pintu rumah Mbah dengan segala kesemrawutan perasaan yang sulit ditata ulang. Ia mungkin akan menumpang tinggal di rumah salah satu temannya sampai rasa perih di hatinya sedikit mereda. Tapi luka itu, luka yang Papa tinggalkan dalam benang-benang kenangannya tidak akan pernah sirna.

“Meman harus begini,” gumamnya, saat menarik pintu pagar terbuka dan mendorong motor tanpa menoleh lagi.

Memang harus begini. Kehilangan sosok ayah adalah harga yang harus ia bayar untuk kebebasannya.