Pada Luka yang Menjadi Napasnya
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Zakky tidak pernah menyangka akan datang hari dimana ia berjalan menyusuri lorong SMA 24 bersama Hayyan di sisinya. Zakky tidak pernah mengira bahwa acara yang digagas angkatannya kelak akan pernah membawanya pada Hayyan. Bukan berarti ia mendamba bertemu cowok itu. Hanya saja imaji mengenai Hayyan dan obrolan pendek yang mereka bagi di pesta perpisahan dulu sekali tidak pernah berhasil ia enyahkan. Di waktu-waktu kosong dimana Zakky akan mengingat Melati, ia akan secara otomatis teringat pada banyak hal—yang kemudian berujung pada ingatan mengenai sore itu. Sore yang ia habiskan bersama Hayyan, saat mereka berdua berusaha memberi banyak lewat kehadiran satu sama lain.
“Kamu nggak kerepotan bawa nampan gitu, Zak?” Hayyan bertanya. Matanya yang kecil melirik pada mangkuk-mangkuk mi di kedua tangan Zakky. “Aku bisa bantu bawain, kok. Atau mau gantian?”
Masih ada beberapa pintu sampai ruang panitia, dan Hayyan rasanya sudah bicara terlalu banyak. Mereka tidak pernah banyak bicara. Duh, intensitas percakapan mereka bahkan tidak sampai seperempat percakapan Hayyan dan Radit atau Yosef. Tapi ia masih merasa buruk. Rasanya ada banyak hal yang kadung ia bagi bersama Zakky; orang yang bukan siapa-siapa.
“Santai aja. Saya kuat, kok, bawa segini doang, mah.”
Hayyan mengangguk, masih merasa tidak enak, tapi tidak bicara lagi. Ada kecanggungan yang sulit dihilangkan dari interaksi mereka berdua. Ada kekhawatiran yang tidak bisa dijelaskan dalam hati Hayyan, kalau-kalau Zakky tiba-tiba bertanya soal dulu. Soal dua tahun lalu. Soal sesuatu atau seseorang yang berusaha Hayyan lupakan.
Tapi mungkin ia hanya terlalu parno. Zakky bukan orang seperti itu. Yosef tidak pernah bicara buruk tentang Zakky, saat ia bicara buruk soal hampir semua teman-teman Naufal. Mungkin Zakky memang bukan orang yang perlu Hayyan takutkan.
“Kamu tau nggak, Yan, apa yang paling saya inget dari kamu?”
Atau tidak. Hayyan menggigit bibir. Takut-takut Zakky akan bicara soal Guntur seperti dua tahun lalu.
“Apa?” tanyanya, sedikit cemas.
Zakky terkekeh, seolah bayangan mengenai Hayyan yang ia simpan dan kenang begitu lucu sampai bisa membuatnya tertawa. “Saya inget kamu dulu ribut sama Hilmi anak Pramuka di rapat bulanan. Seumur-umur liat kamu, baru kali itu saya liat kamu berani ngebentak orang lain, lho. Sampai gebrak meja segala.”
Hayyan tidak tahu harus lega atau malu mendengar penuturan Zakky. Tapi setidaknya, lebih baik punya memori memalukan ketimbang menyedihkan, 'kan?
“Duh, memori buruk, itu. Hapus aja, dong!” protesnya sambil tertawa. Tanpa sadar pertahanan yang Hayyan mati-matian pasang sejak tadi sedikit luruh lewat percakapan ini.
“Nggak bisa. Saya masih takut aja inget kamu hari itu,” tutur Zakky, tidak ada kebohongan dari raut wajahnya. “Tapi saya liat kamu baik-baik aja sama Hilmi sekarang, ya? Dia suka share foto di insta sama kamu.”
Hayyan mengangguk. “Di luar organisasi, mah, kita santai kok, Zak. Malah sering hangout bareng karena dia masih kuliah di Bandung juga. Tanggal lombanya juga udah kapan tau selesai, udah lupa semua!”
Zakky tertawa.
“Sebagai anak biasa-biasa aja, aku terharu diperhatiin sama kamu, nih!” kelakar Hayyan, masih dengan senyum terbit di wajahnya.
Zakky mendengus. “Apaan, deh. Lebay aja kamu.”
Pintu ruang panitia mengayun terbuka saat Hayyan menarik kenop pintunya. Ada beberapa orang di dalam, dengan kaos panitia dan jaket bomber khas angkatan Zakky. Hayyan mengenal wajah-wajah itu, meski ia tidak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak basket. Ia kenal Aldebaran dan Egi sebagai teman-teman dekat Zakky. Alde sendiri cukup dekat dengan Hayyan sebab mereka sering banyak mengobrol di kelas sebelas.
“Hayyan!” Alde berseru, hampir meloncat memeluk Hayyan kalau saja Zakky tidak pasang badan menghalangi. “Duh, nanaonan sih maneh! (Duh, apa-apaan sih lo)”
“Ngerakeun, (malu-maluin)” kata Zakky. “Si Jamet geus balik, can? (Si Jamet udah pulang belum?)”
“Keur ka indomaret heula, ceunah. Sakeudeung deui ge nepi. (Lagi ke indomaret dulu, katanya. Sebentar lagi juga sampe)” kata Egi, memilih es pesanannya dan memisahkan semangkuk mi untuk dirinya sendiri.
“Mantap he'euh, Mang Zakky. Tibang ka kantin oge balik-balik mawa gandengan, (Mantap ya, Bang Zakky. Cuma ke kantin aja balik-balik bawa gandengan),” komentar cowok berpakaian panitia di belakang Alde. Hayyan meringis, tak tahu harus merespon apa.
Zakky tidak menggubris godaan itu. Cowok itu malah berbalik dan memberi Hayyan sebaris senyum. “Tungguin dulu aja, Yan. Bentar lagi juga ketua pelaksananya balik. Nanti saya minta dia anterin kamu wawancara Kepsek juga. Kebetulan beliau ada di kantornya.”
Hayyan memandang Zakky dengan tatapan penuh syukur. “Duh, serius? Nuhun pisan (makasih banget), Zak!” katanya, refleks memegang bahu Zakky. “Aku bayar pake traktir makan siang, OK, nggak?”
Alde bersiul. “Zakky mah kalo soal makanan mana bisa nolak, Yan.”
Zakky melempar jaket bombernya ke wajah Alde sambil menggerutu, “Bacot, maneh.”
Hayyan tertawa.
“Boleh. Minta nomor kamu, dong? Saya nggak punya.”
Hayyan menurut. Tanpa sadar membuka pintu bagi pertemuan-pertemuan lainnya bersama Razakky Bhadrika. Cowok ini orang yang menyenangkan, pikir Hayyan. Lagi-lagi, tanpa sadar, meluruhkan sedikit tembok pertahanannya.