Tentang Selamanya

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Bagi semua orang di SMA 24, Razakky Bhadrika adalah serupa matahari. Kalimat itu agaknya tidak terlalu melebih-lebihkan, dan semua orang sepakat bahwa Zakky memang layak dianggap demikian. Di ekstrakulikuler basket SMA yang kerap tanding sampai ke tingkat provinsi, Zakky adalah kartu as mereka. Pemain yang mereka turunkan hampir di setiap pertandingan. Nama Zakky tidak pernah mundur dari 5 besar sekolah, sekalipun ia sibuk membangun relasi di OSIS. Semua orang menyukainya, beberapa iri pada pencapaiannya.

Zakky memang matahari. Semua orang ingin menggenggamnya, tapi mereka takut terbakar kalau berada terlalu dekat dengannya. Barangkali itu pula alasan kenapa Hayyan terus bergerak gelisah di tempatnya duduk. Raut wajahnya berteriak bahwa ia tidak ingin berada di dekat Zakky di sini, di bawah ratusan pasang mata yang terus-menerus melirik pada mereka dengan raut ingin tahu. Buat apa orang paling tidak mencolok seperti Hayyan Nandhana duduk bareng dengan Razakky Bhadrika? Terlebih, bertukar sapa dan minum sirup koko pandan seolah mereka kawan lama?

β€œMasih di Bandung, ya, Yan?”

Menyudahi hening penuh kecanggungan mereka, Zakky membuka obrolan lagi. Sesungguhnya ia bukan orang yang senang membangun percakapan. Selama ini Zakky terbiasa jadi laki-laki yang dikejar, jadi orang yang dipujaβ€”jadi si pasif dalam setiap konversasi. Hanya saja, ia tidak berniat menghabiskan sore duduk sendirian tanpa teman. Apalagi dengan informasi tambahan yang semua orang tahu dengan cepat seperti api melalap kayu; bahwa Razakky Bhadrika baru saja patah hati hebat beberapa hari lalu.

Hayyan mengerjap beberapa kali, kentara sekali enggan bicara. Zakky tidak menyalahkan bagaimana tatapan Hayyan bicara padanya seperti bicara pada orang asing. Faktanya begitulah mereka sepuluh menit lalu, begitulah meraka selama tiga tahun duduk di sekolah yang sama. Begitulah mereka setelah berpisah jalan malam nanti.

β€œIya, Zak. Masih di Bandung.”

Ada nada enggan dari suara Hayyan yang Zakky tangkap dengan sempurna. Cowok itu memangku wajah dengan punggung tangan, memandang teman-teman sekolah mereka tanpa minat. Untuk pertama kalinya ia ingin sekali tahu, bagaimana Hayyan memandang interaksi mereka, bagaimana Hayyan mendengar musik yang berulang kali berganti, bagaimana Hayyan merespon terhadap segala sesuatu yang ia lalui sampai saat ini.

Baru saja hendak bicara, Zakky dikejutkan oleh pertanyaan Hayyan. Pertanyaan yang ia pikir takkan pernah keluar dari belah bibir cowok itu. Sebab dari semua orang, Zakky adalah yang paling tahu, kalau Hayyan tidak pernah tertarik padanya; bagaimanapun dia, seperti apapun ia bersikap, dan menjadi apapun ia kelak.

β€œMelati kemana, Zak?”

Zakky terkekeh, senyumannya terlihat palsu. Tangannya menggoyang-goyangkan gelas kertas sebelum merematnya sampai remuk. Entah harus bagaimana ia bersikap, sedang hatinya seolah dihiasi luka irisan lagi dan lagi. Seperti luka panjang yang darahnya mengalir terus tanpa pernah berhenti.

Melati Rengganis adalah selamanya yang terangkum dalam satu raga. Dia adalah mimpi-mimpi masa kecil Razakky, teman terdekatnya, sahabat terbaiknya, dan cinta pertamanya. Bagaimana bisa Zakky baik-baik saja saat sosok itu perlahan tapi pasti memutuskan keluar dari kehidupannya?

β€œPergi dia, Yan.”

Kalimat Zakky rancu. Tapi bagi Hayyan, sore itu, kalimat itu bisa menjelaskan segala-galanya.