Perkenalan Yang Sedikit Terlambat
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Zakky sampai di depan kosan Hayyan dengan sebuah motor matic warna hitam metalik. Helm hitam-putih yang dipakainya tampak bagus, pikir Hayyan saat ia menutup pintu gerbang dengan tangan berkeringat. Hayyan sudah merasa gelisah sepanjang pagi, membuatnya kini tidak lagi punya energi untuk meredakan rasa tidak nyaman yang mengental di dalam hatinya kapanpun ia melihat Zakky. Cowok itu menghela napas, lalu memandang Zakky sambil memaksakan seulas senyum (yang ia harap tidak terlampau kelihatan palsu).
“Ini, pake,” kata Zakky, menyerahkan sebuah helm coklat tua ke arah Hayyan.
Alis Hayyan berkerut. “Ngapain? 'Kan deket, cuma ke Fapsi?”
Zakky terkekeh. “Safety first.”
Angin menerbangkan jaket yang mereka berdua pakai. Matahari siang itu sedikit terik, membakar punggung tangan Hayyan yang beristirahat di atas lutut. Wangi tubuh Zakky samar-samar dapat ia cium dari jok belakang, sedikit membantunya merasa rileks meski Hayyan sendiri tak bisa jelaskan mengapa.
Kantin Fapsi selalu penuh di jam makan siang, dan masih lumayan padat meski jam sudah menunjuk pukul setengah dua. Hayyan memesan dua porsi nasi bakar, sebelum beranjak ke penjual minuman dan memesan dua gelas es teh manis. Zakky sedang duduk memangku wajah, memandang ke arah luar.
“Udah pesen?” tanya Zakky, saat Hayyan kembali ke meja panjang yang mereka bagi bersama tiga orang mahasiswa lain. Cowok yang ditanya mengangguk singkat, memberi senyum ala kadarnya.
Zakky mengangguk, tidak bertanya lagi. Untuk beberapa waktu yang terasa amat lama, hening menyelimuti mereka berdua. Hayyan menggunakan waktu itu untuk memandangi langit, atau dinding kantin, atau kelompok mahasiswa di meja berpayung di luar tempat mereka makan. Dalam kepala sibuk berseru, 'lihat ke mana saja asal jangan ke arah Zakky'. Bicara dan mengobrol bersama lelaki itu terasa amat sangat tidak biasa. Dulu, sewaktu Hayyan gemar mengekori Guntur ke pertandingan-pertandingan basket mereka, dia tidak pernah bicara pada Zakky. Hanya bertukar senyum dan gestur sopan layaknya dua orang asing yang tidak sering berpapasan di koridor sekolah.
Mungkin rasa asing itu juga yang membuat mereka sulit menyatu. Seperti minyak kepada air, bukan kepada sumbu. Atau mungkin karena Hayyan dan Zakky tidak pernah mencoba untuk saling bicara. 'Kenapa?' tanya Hayyan pada dirinya sendiri.
Ia sendiri tak tahu.
“Kamu nggak nyaman sama saya, ya?” Zakky memecah sepi dengan melontar sebaris tanya; kalimat yang mungkin seharusnya ia telan bulat-bulat saja.
Hayyan melirik kaget. Jelas terkejut sebab tidak mengira lelaki itu akan pernah membacanya seperti sedang membaca sebaris buku. Gamblang dan apa adanya.
“Sedikit,” kata Hayyan.
“Karena saya temenan sama Guntur?” tanya Zakky lagi.
“Itu faktor utama.”
“Faktor lainnya, ada?”
Hayyan mengangguk. “Kadang kalau aku bicara sama kamu, kerasa kayak lagi jalan di tempat yang benar-benar asing.”
Zakky diam, sejenak, sebelum menjawab; “Saya juga sama.”
“Hah?” Hayyan mengerutkan dahi. “Maksudnya... kamu juga nggak nyaman sama aku?”
Zakky menggeleng. Ada senyum tipis di wajahnya saat ia menjawab, “Saya nyaman, kok, sama kamu. Yang justru aneh, mengingat kita dulu nggak pernah saling ngobrol sama sekali kecuali masalah penting aja. Mungkin karena itu, ada yang asing dari cara kita ngomong. Waktu kamu saya bonceng, kamu ke kantin sekolah sama saya, makan siang bareng saya... kayak lagi ada di tempat yang nggak pernah saya datangi, tapi saya ngerasa biasa-biasa aja.”
“Maksud kamu... ketika harusnya kamu ngerasa canggung sama aku, tapi faktanya kamu nggak ngerasa canggung sama aku, kamu jadi ngerasa aneh?”
Zakky tertawa. “Cara kamu ngomong bikin saya bingung, tau.”
Hayyan mengerucutkan bibir. “Jangankan kamu, aku juga bingung sama omonganku sendiri.”
Obrolan mereka terjeda saat seorang lelaki mengantar dua gelas es teh manis ke meja. Hayyan memperhatikan bagaimana senyum Zakky terukir tulus, dan ucapan terima kasih meluncur mulus dari bibirnya. Sekali lagi, kepalanya membisik, bahwa kini ia sedang duduk dengan Razakky Bhadrika; lelaki yang disebut-sebut jadi matahari di SMA mereka.
“Saya tau, kamu nggak nyaman karena setiap bareng saya, mungkin kamu inget sama Guntur,” kata Zakky, memandang Hayyan dengan tatapan paling teduh yang pernah Hayyan dapat dari seorang manusia. Melihat bagaimana iris sehitam jelaga itu memandangnya dengan tulus membuat Hayyan merasa aneh.
Aneh adalah kata yang sering ia pakai beberapa waktu ini. Tepatnya, sejak bertemu Zakky.
“Saya nggak masalah kalau kamu mau saya menjauh—”
“Nggak,” potong Hayyan. Perlu sepersekian detik untuknya sadar lidahnya bekerja sendiri tanpa aba-aba.
“Hm?” Zakky menggumam, ada nada heran terselip dalam suaranya.
“Itu childish banget. Aku nggak seharusnya jauhin kamu karena kamu pernah temenan sama Guntur. Kalian juga nggak sedekat itu,” kata Hayyan. “Aku dan ketakutanku ngadepin masa lalu adalah hal yang harus diubah. Mungkin dengan temenan sama kamu, aku bisa pelan-pelan nyoba.”
“Jangan dipaksa, Yan. Saya ngerti rasanya dipaksa ingat meski udah setengah mati mencoba lupa.”
Hayyan menggeleng. “Nggak. Aku mau temenan sama kamu. Dan mungkin agak terlambat tapi...” Hayyan menelan ludah, “makasih udah nemenin aku sore itu, dua tahun lalu.”
Zakky terhenyak. Tidak ada di antara mereka berdua yang sadar saat ibu penjual nasi bakar meletakkan piring di depan masing-masing. Zakky pelan-pelan melukis senyum, dan Hayyan bersumpah ia mungkin gila, dulu. Gila sebab... bagaimana bisa ia melewatkan Razakky Bhadrika di tiga tahun masa putih abu-abunya?
Sejujurnya, melihat Zakky masih kerap kali membawa ingatan-ingatan yang berusaha Hayyan matikan. Tentang bagaimana ia berteriak di bangku penonton, menyerukan nama Guntur. Tentang bagaimana ia duduk di pinggir lapangan dengan botol air mineral dan handuk bersih di kedua tangan. Tentang bagaimana segala hal yang membuatnya terkoneksi pada Razakky Bhadrika berasal dari orang yang menusuk luka pada nadi-nadinya.
Tapi mungkin, Zakky bukan pembawa kenangan-kenangan itu kembali. Ia hanya pemantik, dan apakah bertemu Zakky atau selamanya hidup sebagai dua orang asing yang tidak berbagi apapun, Hayyan akan tetap mengingat Guntur. Bara api itu mungkin sudah sejak lama ada di sana. Hanya menunggu angin yang tepat datang untuk berkobar kembali, membumi-hanguskan upaya-upaya melupakannya yang sia-sia.