Sepenggal Cerita April (Bagian 2)
//////////////////////////////////////
Jam setengah lima lewat dua adalah waktu dimana Erlang sampai di warung teteh. Sebutan warung teteh adalah julukan yang dibuat anak-anak angkatannya untuk warung sederhana di dekat sekolah mereka. Sebuah tempat terpencil yang kadang dipakai sebagai tempat kumpul anak-anak fotografi kalau sedang suntuk dan tidak punya uang. Erlang kenal baik dengan Teh Arum, seorang janda dua anak yang menjaga tempat itu.
“Aduh, Erlang, meni karak ningali (Aduh, Erlang, baru liat lagi),” kata Teh Arum. Suaranya yang memang halus dan logat sunda yang kental membuat Erlang senang berlama-lama bicara dengannya. Seperti sedang bicara pada Mbah, pikirnya.
Erlang tertawa. “Muhun, Teh. Hampura, euy, rada paciweuh di sakolaan (Iya, Teh. Maaf, ya, agak sibuk di sekolah).”
“Nyalira waé? (Sendiri aja?)”
“Henteu. Ieu nuju ngantosan rerencangan, (Nggak. Ini lagi nunggu temen),” kata Erlang, meletakkan tas di kursi kayu panjang dekat tempatnya berdiri. “Bade meser es teh manis wae, Teh. Da moal lami, (Mau beli es teh manis aja, Teh. Soalnya gak akan lama).”
“Muhun atuh. Mangga diantos, nya (Iya, deh. Ditunggu, ya).”
/////////////////////////
Olaf tiba lima belas menit setelah es teh manisnya tersaji. Ketika lelaki itu muncul, Erlang sedang mengunyah satu-satunya es batu yang tersisa dari gelasnya. Ia tidak protes, meski teman yang ditunggunya terlambat datang. Ia seratus persen mengerti kesibukan Olaf mengingat Ujian Nasional sudah tinggal menghitung hari.
“Udah lama, Lang?” Cowok yang lebih tua bertanya.
Erlang mengangguk, tersenyum tipis. “Nggak, kok. Santai.”
Olaf tidak menimpal. Ia menghampiri Teh Arum yang sedang menata barisan biskuit, meminta satu porsi air mineral, sebelum duduk di depan Erlang dengan air muka serius. Erlang tidak tersinggung meski mata Olaf menatapnya penuh curiga. Toh, mereka berdua tidak pernah bicara banyak sampai bisa dikategorikan sebagai teman dekat. Tidak ada cerita hidup yang pernah dibagi, momen yang pernah dijalani bersama, atau pendapat yang pernah ditukar. Erlang dan Olaf hanya dua manusia asing yang dipertemukan oleh satu entitas; Nalesha Rawindra.
“Lo pasti mau ngomongin Nalesha, ya?” Olaf menebak, memecah keheningan yang merebak di antara mereka berdua.
Erlang menggeser gelas es teh manisnya yang sisa separuh. “Mepet ke situ, berhubungan, tapi nggak sepenuhnya bener.”
Alis Olaf terangkat sebelah.
“To the point aja. Gue tau lo lagi deketin Findi.”
Yang lebih tua memilih bungkam. Erlang menangkap sinyal itu sebagai tanda bahwa ia bisa lanjut bicara. “Gue tau lo udah hampir sebulanan deketin Findi. Dan tujuan gue di sini bukan buat ikut campur di hubungan kalian.”
“Tau dari mana, lo?”
Erlang mengangkat bahu. “Findi satu klub sama gue, FYI. Lo juga nggak pinter ngumpet-ngumpet. Anak-anak fotografi tau kok, lo berdua lagi PDKT.”
Olaf tidak menjawab.
“Gue gak tau lo ada kesepakatan apa sama Findi, tapi maksud gue undang lo datang ke sini, karena gue mau minta lo berdua publikasi hubungan kalian. Entah itu update di medsos atau terang-terangan bareng di sekolah.”
“Kenapa?”
Erlang menarik napas. “Karena kalau lo udah punya gandengan baru, si Eca nggak akan kepikiran lagi omongan anak-anak. Lo tentunya tau, dong, apa aja yang anak-anak gosipin soal dia belakangan ini?”
Olaf tidak menjawab. Jadi Erlang melanjutkan, “Gue gak tau gimana Eca waktu masih sama lo. Tapi dia anak yang gampang kesetir omongan orang lain. Meskipun dia gak bilang, dia bakal terus ngerasa dirinya salah udah deket sama gue saat lo belom move on, dalam tanda kutip. Gue gak mau liat dia begitu.”
Olaf tahu. Tahu betul. Ia juga merasa iba pada Nalesha, sebab bisa dibilang namanya ikut terseret dan justru membuat mantan kekasihnya itu makin tersudut. Di sisi lain, Olaf juga tertahan janjinya pada Findi. 'Jangan kasih tau orang lain dulu, Kak,' pinta cewek itu sebulan lalu yang Olaf amini dengan senang hati. Toh, dari pengalaman ia belajar bahwa publikasi berlebihan tidak membawanya pada apapun selain patah hati yang sulit sembuh.
“Gue harus ngomong sama Findi dulu. Tapi gue pribadi nggak masalah sama request lo. Toh, gue juga nggak seneng liat hubungan gue sama Nale ditarik-tarik lagi cuma buat jadi bahan gosip doang.”
Erlang tersenyum. “Thanks, Laf. Tapi gue masih ada satu lagi, yang mau gue omongin ke lo.”
“Hm? Apa?”
“Gue tau ini udah bukan urusan lo. Tapi gue rasa, nggak afdol kalau gue gak bilang dulu,” Erlang memulai. Ia menarik napas lagi, lebih dalam kali ini.
“Gue mau deketin Eca. Serius, dan nggak main-main. Gue harap, lo nggak sakit hati karena itu. Sorry juga, kemarin-kemarin udah nyolong start tanpa ngomong dulu.”
Ah, Olaf tidak menduga.
Sejujurnya sejak awal putus, Olaf sering bertanya-tanya perihal apa Nalesha mendadak meminta pisah padanya. Apakah itu bosan, muak, atau hatinya sudah pindah pada pemilik baru; Olaf tak tahu. Ketika kedekatan Nale dan Erlang mulai berhembus di media sosial, menyebar lewat mulut-mulut anak Biba lainnya, ia pikir mungkin karena ini Nale tidak lagi ingin bersamanya. Olaf mau tidak mau mulai membandingkan diri. Apa yang Erlang punya dan tidak ia miliki, yang menarik perhatian Nale sampai cowok itu tega meninggalkannya?
Rupanya ini. Sosok Erlangga yang seperti ini, Olaf tidak heran Nalesha ikut terpesona.
“Cerita gue sama Nale udah lama kelar, Lang. Gue udah baik-baik aja,” kata Olaf. “Pepet terus dia. Orang bego juga bisa liat, dia lebih seneng sama lo ketimbang dulu sama gue.”
Tawa lega Erlang terlantun membelah sore yang makin hilang. Ia menarik kembali es teh manisnya, menyudahi obrolan serius mereka dan mulai menyambung pembicaraan soal jual-beli pemain Persib musim ini sampai rencana kepindahan Bu Nita (guru matematika mereka) ke SMA Negeri 3.
Sore itu berlalu bersama tawa mereka, es teh manis yang tidak lagi dingin, dan celetukan Teh Arum dalam logat sunda halusnya.