ghouldens

I write so I won't die without leaving a trace.

//////////////////////////////////////

Jam setengah lima lewat dua adalah waktu dimana Erlang sampai di warung teteh. Sebutan warung teteh adalah julukan yang dibuat anak-anak angkatannya untuk warung sederhana di dekat sekolah mereka. Sebuah tempat terpencil yang kadang dipakai sebagai tempat kumpul anak-anak fotografi kalau sedang suntuk dan tidak punya uang. Erlang kenal baik dengan Teh Arum, seorang janda dua anak yang menjaga tempat itu.

“Aduh, Erlang, meni karak ningali (Aduh, Erlang, baru liat lagi),” kata Teh Arum. Suaranya yang memang halus dan logat sunda yang kental membuat Erlang senang berlama-lama bicara dengannya. Seperti sedang bicara pada Mbah, pikirnya.

Erlang tertawa. “Muhun, Teh. Hampura, euy, rada paciweuh di sakolaan (Iya, Teh. Maaf, ya, agak sibuk di sekolah).”

“Nyalira waé? (Sendiri aja?)”

“Henteu. Ieu nuju ngantosan rerencangan, (Nggak. Ini lagi nunggu temen),” kata Erlang, meletakkan tas di kursi kayu panjang dekat tempatnya berdiri. “Bade meser es teh manis wae, Teh. Da moal lami, (Mau beli es teh manis aja, Teh. Soalnya gak akan lama).”

“Muhun atuh. Mangga diantos, nya (Iya, deh. Ditunggu, ya).”

/////////////////////////

Olaf tiba lima belas menit setelah es teh manisnya tersaji. Ketika lelaki itu muncul, Erlang sedang mengunyah satu-satunya es batu yang tersisa dari gelasnya. Ia tidak protes, meski teman yang ditunggunya terlambat datang. Ia seratus persen mengerti kesibukan Olaf mengingat Ujian Nasional sudah tinggal menghitung hari.

“Udah lama, Lang?” Cowok yang lebih tua bertanya.

Erlang mengangguk, tersenyum tipis. “Nggak, kok. Santai.”

Olaf tidak menimpal. Ia menghampiri Teh Arum yang sedang menata barisan biskuit, meminta satu porsi air mineral, sebelum duduk di depan Erlang dengan air muka serius. Erlang tidak tersinggung meski mata Olaf menatapnya penuh curiga. Toh, mereka berdua tidak pernah bicara banyak sampai bisa dikategorikan sebagai teman dekat. Tidak ada cerita hidup yang pernah dibagi, momen yang pernah dijalani bersama, atau pendapat yang pernah ditukar. Erlang dan Olaf hanya dua manusia asing yang dipertemukan oleh satu entitas; Nalesha Rawindra.

“Lo pasti mau ngomongin Nalesha, ya?” Olaf menebak, memecah keheningan yang merebak di antara mereka berdua.

Erlang menggeser gelas es teh manisnya yang sisa separuh. “Mepet ke situ, berhubungan, tapi nggak sepenuhnya bener.”

Alis Olaf terangkat sebelah.

“To the point aja. Gue tau lo lagi deketin Findi.”

Yang lebih tua memilih bungkam. Erlang menangkap sinyal itu sebagai tanda bahwa ia bisa lanjut bicara. “Gue tau lo udah hampir sebulanan deketin Findi. Dan tujuan gue di sini bukan buat ikut campur di hubungan kalian.”

“Tau dari mana, lo?”

Erlang mengangkat bahu. “Findi satu klub sama gue, FYI. Lo juga nggak pinter ngumpet-ngumpet. Anak-anak fotografi tau kok, lo berdua lagi PDKT.”

Olaf tidak menjawab.

“Gue gak tau lo ada kesepakatan apa sama Findi, tapi maksud gue undang lo datang ke sini, karena gue mau minta lo berdua publikasi hubungan kalian. Entah itu update di medsos atau terang-terangan bareng di sekolah.”

“Kenapa?”

Erlang menarik napas. “Karena kalau lo udah punya gandengan baru, si Eca nggak akan kepikiran lagi omongan anak-anak. Lo tentunya tau, dong, apa aja yang anak-anak gosipin soal dia belakangan ini?”

Olaf tidak menjawab. Jadi Erlang melanjutkan, “Gue gak tau gimana Eca waktu masih sama lo. Tapi dia anak yang gampang kesetir omongan orang lain. Meskipun dia gak bilang, dia bakal terus ngerasa dirinya salah udah deket sama gue saat lo belom move on, dalam tanda kutip. Gue gak mau liat dia begitu.”

Olaf tahu. Tahu betul. Ia juga merasa iba pada Nalesha, sebab bisa dibilang namanya ikut terseret dan justru membuat mantan kekasihnya itu makin tersudut. Di sisi lain, Olaf juga tertahan janjinya pada Findi. 'Jangan kasih tau orang lain dulu, Kak,' pinta cewek itu sebulan lalu yang Olaf amini dengan senang hati. Toh, dari pengalaman ia belajar bahwa publikasi berlebihan tidak membawanya pada apapun selain patah hati yang sulit sembuh.

“Gue harus ngomong sama Findi dulu. Tapi gue pribadi nggak masalah sama request lo. Toh, gue juga nggak seneng liat hubungan gue sama Nale ditarik-tarik lagi cuma buat jadi bahan gosip doang.”

Erlang tersenyum. “Thanks, Laf. Tapi gue masih ada satu lagi, yang mau gue omongin ke lo.”

“Hm? Apa?”

“Gue tau ini udah bukan urusan lo. Tapi gue rasa, nggak afdol kalau gue gak bilang dulu,” Erlang memulai. Ia menarik napas lagi, lebih dalam kali ini.

“Gue mau deketin Eca. Serius, dan nggak main-main. Gue harap, lo nggak sakit hati karena itu. Sorry juga, kemarin-kemarin udah nyolong start tanpa ngomong dulu.”

Ah, Olaf tidak menduga.

Sejujurnya sejak awal putus, Olaf sering bertanya-tanya perihal apa Nalesha mendadak meminta pisah padanya. Apakah itu bosan, muak, atau hatinya sudah pindah pada pemilik baru; Olaf tak tahu. Ketika kedekatan Nale dan Erlang mulai berhembus di media sosial, menyebar lewat mulut-mulut anak Biba lainnya, ia pikir mungkin karena ini Nale tidak lagi ingin bersamanya. Olaf mau tidak mau mulai membandingkan diri. Apa yang Erlang punya dan tidak ia miliki, yang menarik perhatian Nale sampai cowok itu tega meninggalkannya?

Rupanya ini. Sosok Erlangga yang seperti ini, Olaf tidak heran Nalesha ikut terpesona.

“Cerita gue sama Nale udah lama kelar, Lang. Gue udah baik-baik aja,” kata Olaf. “Pepet terus dia. Orang bego juga bisa liat, dia lebih seneng sama lo ketimbang dulu sama gue.”

Tawa lega Erlang terlantun membelah sore yang makin hilang. Ia menarik kembali es teh manisnya, menyudahi obrolan serius mereka dan mulai menyambung pembicaraan soal jual-beli pemain Persib musim ini sampai rencana kepindahan Bu Nita (guru matematika mereka) ke SMA Negeri 3.

Sore itu berlalu bersama tawa mereka, es teh manis yang tidak lagi dingin, dan celetukan Teh Arum dalam logat sunda halusnya.

////////////////////////////

Sewaktu Nale keluar ruang kelas IPA 1, jantungnya terus berdebar bertalu-talu. Ia seratus persen yakin dirinya gugup, dan berusaha sebisa mungkin tidak menampakkannya di depan umum. Tapi bukannya semakin tenang, ia malah semakin salah tingkah kala berpikir Erlang jauh-jauh datang ke mari hanya untuk menjemputnya pulang.

Malam sudah lama datang, dan tidak ada aktivitas apapun di sekolah selain obrolan samar yang Nale dengar dari arah pos satpam. Afif, yang kali ini bertugas sebagai Kabid Acara, mengobrol soal konsep acara dengan Fanty di depannya, diekori Juang dan Tasya. Nale sendiri berjalan seorang diri di belakang, sibuk menyudahi rasa gugupnya yang tidak jua usai.

“Balik sama siapa nih, kalian?” Afif bertanya, menunjukkan afeksinya sebagai ketua bidang dengan tulus. “Kalo ada yang belum tau balik sama siapa, nebeng urang aja.”

Tasya dan Juang bilang mereka akan pulang bareng. Fanty sudah memesan gojek, dan Afif menambahkan dia akan pulang setelah ngobrol sebentar dengan Yosef dari divisi logistik. Nale menggigit bibir, berpikir mengenai haruskah ia bilang dirinya dijemput Erlang, atau sembunyi-sembunyi ke gerbang tanpa mereka ketahui?

/Gue udah di gerbang/, bunyi pesan yang Nale dapat dari Erlang beberapa menit lalu.

“Dijemput,” kata Nale, singkat sambil tersenyum.

Afif tidak bertanya lagi sampai mereka tiba di lobby. Mungkin karena ia pikir Nale dijemput ayahnya seperti biasa. Ia langsung pamit karena katanya Yosef sudah menunggu. Nale tidak sempat mendengar ucapan sampai jumpa dari Fanty, Juang maupun Tasya karena ia langsung berlari ke gerbang depan. Ia tidak mau membuat Erlang menunggu. Itu alasan kedua. Alasan utama, ia ingin segera melihatㅡ

Itu dia. Erlang, duduk dengan sweater hitam polos dan helm putih di atas motor bebek kesayangannya. Tangannya menggenggam ponsel, melihat entah apa di layarnya. Nale menarik napas panjang, refleks yang sebenarnya tidak berguna sebab jantungnya masih berdebar keras seperti tadi. Kakinya berlari-lari kecil ke tempat cowok itu menunggu, dan dalam setiap langkahnya, Nale perlu mengingatkan diri sendiri kalau ia tidak sedang bermimpi.

Erlang sungguhan ada di sini.

“Hei!” Nale menyapa, senyumannya lebar sekali.

Erlang berjengit, lantas menoleh ke arahnya. “Lama juga, lo,” katanya, menyerahkan helm ke arah Nale.

Nale nyengir. “Maafin, deh. Tadi seru banget gelutnya.”

Erlang hanya tertawa.

“Lo dari rumah langㅡ”

“Eleuh, sugan teh dijemput saha (Ciye, kirain dijemput siapa).”

Nale langsung menoleh, mencari dari mana datangnya suara itu dan menemukan Fanty, Afif, Yosef, Tasya dan Juang tepat di belakang gerbang. Mereka menatap Nale dengan mata berbinar dan mulut menyungging tawa.

“Kirain dijemput ayah kamu kayak biasa, Nal,” kata Tasya. “Eh taunya sama si doi.”

Nale berani bertaruh wajahnya sudah sangat matang kini, lantas buru-buru memakai helm dan naik ke motor Erlang.

“Parah lo, Lang, maennya lewat belakang,” komentar Juang, diikuti tawa anak-anak lain.

Erlang balas tertawa. “Erek liwat hareup budakna kieu, Wang. Ngarti meren maneh oge (Mau lewat depan anaknya kayak gini, Wang. Ngerti kan, lo juga).”

Juang bersiul iseng.

“Ati-ati ah, Lang. Jangan sampe lecet,” kata Fanty sambil terkikik.

“Iya Lang. Dijagain ya, nitip,” Yosef menimpal.

Erlang tertawa lagi. “Selow. Sampe rumah dengan aman sentosa kok.”

Nale mengubur wajahnya di kedua telapak tangan, tidak berani mengangkat muka dan melihat ekspresi menggoda di raut teman-temannya. Ia memukul bahu Erlang, sebelum berkata, “Buruan, ih!” dengan nada memaksa. Cowok di depannya tertawa lagi.

“Duluan,” kata Erlang, sebelum kemudian memacu motor bebeknya menjauh dari siulan menggoda dan tawa geli Afif dan kawan-kawan lainnya.

///////////////////

Saat jam sudah menunjuk pukul delapan, Bunda pamit ke kamar untuk tidur duluan. Pesan Bunda untuk Erlang malam itu terdiri dari dua kalimat yang menghangatkan hati. 'Itu ada opor ayam udah Bunda siapin buat kamu, di bawa, ya' dan 'nanti kapan-kapan main lagi, ya'. Dua kalimat yang lebih dari cukup memancing senyum lebar di bibir Erlang terbit lagi. Nale merasa hatinya mengangat melihat senyuman itu, dan ikut tersenyum tanpa ia sadari.

Ayah pamit tidur hanya beberapa waktu setelah selesai mengupas habis efektivitas transfer permain Persib musim ini bersama Erlang. Kedua orangtuanya bukan orang yang terbiasa tidur cepat, tapi Nale tahu mereka mungkin berusaha memberi waktu untuknya dan Erlang, hanya berdua setelah berjam-jam Erlang dimonopoli. Ketika Ayah pergi, Nale merasa gugup tanpa sebab. Berdua dengan Erlang begini jelas bukan pengalaman pertamanya. Hanya saja hari ini beda.

Mereka beda, hari ini.

“Lo masih suka kepikiran soal nilai?” Erlang bertanya setelah menyesap sisa tehnya. Matanya menatap Nale intens, membuat gelenyar di jantungnya semakin terasa.

Nale menelan ludah, mengangguk. “Sesekali.”

Erlang bungkam. Ia berpaling pada pintu kamar Ayah dan Bunda yang sudah tertutup rapat. Mungkin sedang mencari kalimat yang tepat untuk membalas, dan Nale tidak mau menduga-duga. Meredakan debar jantungnya sendiri saja ia sudah cukup kerepotan, sekarang.

“Kenapa?” suara Erlang terdengar lagi.

Nale mengerjap. Sekali, dua kali.

“Kenapa, ya...” Nale memainkan ujung jemarinya yang saling bertaut, menunduk memandang lantai. “Mungkin karena susah buat ngerubah sudut pandang yang udah gue punya sejak entah-kapan?”

Erlang mengangguk mengerti.

“Tapi gue mau berubah,” Nale bicara lagi, menatap Erlang tepat di mata. Ketika matanya menatap iris hitam itu, Nale merasa ada riak-riak air yang sedang menelan jiwanya. Erlangga adalah lautan tanpa dasar yang sekarang berusaha ia selami. Sebuah palung yang gelap dan dingin yang berusaha ia hangatkan.

Nale tidak tahu apakah akan berhasil, tapi setidaknya ia ingin mencoba. Ia ingin mengangkat apapun beban yang Erlang punya, sebagaimana Erlang bantu ia keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Meski berat, meski akan memakan waktu lama, Nale bersedia mencoba.

“Lang?” Nale memanggil. Ia tahu ia tidak perlu memanggil sebab Erlang sudah balas menatapnya sejak tadi. Beberapa helai rambut Erlang jatuh di dahinya. Alisnya sedikit berkerut karena penasaran pada apapun yang hendak Nale sampaikan. Gigi kelincinya sedikit menyembul karena bibirnya terbuka, seperti hendak bicara kalau Nale tidak segera menyudahi kalimatnya.

Ya Tuhan. Nale suka sekali pada orang ini.

“Kalau capek terus lari-lari, istirahat, ya?”

Erlang menutup mulutnya. Kerutan di dahinya menghilang, dan untuk beberapa saat yang singkat, Nale sempat khawatir Erlang tersinggung pada kalimat ambigunya barusan. Tapi tidak. Erlang tidak bersikap sinis seperti yang sempat Nale takutkan. Alih-alih menyindirnya, Erlang justru melukis senyuman. Senyuman yang tipis tapi tulus. Senyuman lega. Senyuman yang membuat hati Nale rasanya teriris perih, entah karena apa.

“Iya,” kata Erlang.

Nale ingin sekali menangis saat ia bilang, “Kalau ada ganjalan, di buang. Jangan ditumpuk, ya?”

“Iya,” kata Erlang lagi.

“Butuh waktu, ya?” Nale bertanya. Air mata sudah menggantung di pelupuknya, bersiap turun kapan saja. Melihat itu, Erlang terkekeh pelan.

Jemari Erlang menyisir rambut depannya, membuat benang pandang di antara mereka putus sejenak sebelum ia sambung lagi. “Tunggu, ya?”

Nale mendengus, menahan tangis yang hampir jatuh di pipi. “Iya,” jawabnya.

////////////////////////////////////

Saat Nale, Arsa dan Shakila kembali dari kegiatan wawancara mereka, kelompok Juna sudah membersihkan makanan mereka dan sedang sibuk menyusun laporan. Erlang duduk bersandar pada kursi sambil menatap layar laptopnya. Alisnya yang tebal dan tajam menukik dan berkerut, tanda kalau ia sedang serius.

Nale malah berpikir itu lucu.

Saat Nale berpaling, ia melihat Arsa memandang ke arahnya sambil tersenyum. Nale tahu dan bisa menebak makna senyuman itu, jadi ia hanya membuang wajah demi menyembunyikan rona di pipi yang makin kentara.

“Udah beres wawancaranya?” Juna adalah yang paling pertama menyadari kedatangan mereka. Nale ikut mengangguk, menarik satu kursi ke depan meja dan melirik Erlang sebelum duduk. Ia tidak terlalu senang pada jarak duduk Maudy dan Erlang yang terlalu dekat, tapi Nale memutuskan untuk menelan ketidaksukaannya dan diam.

Tapi raut wajah Nale menampakkan ekspresinya dengan gamblang.

“Udah,” Arsa menjawab, sesekali masih melirik Nale dan wajahnya yang ditekuk berlipat-lipat. “Kalian langsung kerja laporannya sekarang?”

Erlang mengangkat wajah untuk pertama kalinya sejak Nale tiba. Mata hitam cowok itu meliriknya, dan Nale buru-buru memalingkan wajah saat pandangan mereka beradu. Sumpah, kenapa ia jadi malu-malu begini? Ini bukan pertama kalinya ia melihat Erlang, kan?

“Bikin mind map doang,” Erlang menjawab. “Maneh udah beres?”

Nale melihat Arsa hanya mengangguk dengan senyum yang tidak juga luntur. “Urang mau balik, ya. Udah sore, euy. Bisi dicariin si Mamah.”

Erlang tertawa. “Si Mamah apa si Mamah?” godanya.

Semua yang ada di meja itu menertawakan Arsa dan wajahnya yang berubah matang.

“Nanti di kirimin di LINE keep grup aja ya, Lang?” Maudy memiringkan kepala, memandang Erlang sambil tersenyum. Gerakan dan ekspresi yang sebenarnya biasa saja, tapi memercik amarah di hati Nale. Ia menundukkan kepala, bermain dengan ponsel tanpa bicara.

Arsa adalah orang yang pertama berdiri, diikuti Juna. Mereka berdua membawa kendaraan sendiri, dan Nale menangkap kegiatan itu sebagai tanda bahwa ia sudah harus pergi. Bagus, pikir Nale. Ia juga malas harus berdiam lama di dalam ruangan bersama Erlang dan Maudy. Berpikir tentang mereka yang harus pulang bareng saja, Nale rasanya jengkel setengah mati.

“Erlang, tolong anterin si Nale balik, ya?” Juna bicara, dengan sigap merangkul Maudy sambil tertawa. “Kasian dia kalo ngegojek, mahal ongkosnya.”

Erlang menggumam iya, sementara Nale dibiarkan menunduk mengatasi sendiri debaran jantungnya yang mulai menggila. Pantas saja Juna sigap betul menarik Maudy pergi, dan Arsa langsung ambil langkah seribu bersama Shakila yang tampak bingung. Nale pikir ia sudah sembunyikan perasaannya dengan baik. Tapi rupanya, untuk sahabat-sahabatnya, ia justru makin transparan menunjukkan isi hatinya.

“Ayo, balik,” kata Erlang, setelah laptopnya masuk dengan rapi ke dalam tas.

Duh, Nale menggigit bibir. Dekat dengan Erlang begini tidak baik untuk jantungnya!

/////////////////////////////////////////////////////////

“Erlang mau masuk dulu?” adalah kalimat yang gagal Nale hentikan keluar dari mulutnya saat ia turun dari motor Erlang. Cowok itu berdiri gugup, masih dengan helm terpasang di kepalanya, memandang Erlang yang menatapnya tanpa ekspresi. Rumah Nale sudah menyala terang, sebab saat mereka sampai, waktu sudah hampir menunjukkan pukul enam.

Erlang melirik pintu rumah dan wajah Nale bergantian. “Boleh,” sahutnya, sebelum menarik gas lagi demi memarkirkan motor di parkir depan.

Karena pertanyaan itu lah, Erlang kini duduk di ruang tengah rumahnya, dengan cangkir teh di tangan kanan dan tawa yang terus bergema. Nale merasa gambaran di depannya ini begitu hangat dan menenangan. Ayah dan Erlang terus bicara perihal sepak bola, soal pemain mana yang baru pindah klub, soal efektivitas pemain, harga beli mereka, pola permainan klub dan segala hal yang Nale tidak mengerti. Dirinya sendiri sudah berkali-kali berkilah dari pertanyaan Bunda soal siapa Erlang dan bagaimana bisa ia mampir ke sini.

Bukan berarti Bunda tak suka, “Cuma kebetulan aja lho, Ca, kamu bawa gebetan main.”

Nale mana bisa menyembunyikan wajahnya yang semerah stoberi kalau Bunda bilang begitu?!

“Erlang jadinya tinggal di mana, Nak?” Mendapat kesempatan, Bunda menyela obrolan Ayah dan Erlang yang terus berjalan tanpa berhenti. Yang ditanya sudah meletakkan cangkir teh di atas meja, memberi Bunda senyuman lima ratus watt yang tidak pernah (tolong garis bawahi) tidak pernah Nale lihat ia lukis.

“Di Batununggal, Bunda.”

Bunda menutup mulut, kaget. “Aduh, lumayan jauh dong, kalau anter Eca ke rumah?”

Erlang hanya terkekeh. “Nggak kok, Bun. Segede-gedenya Bandung, nggak segede itu juga.”

Nale berpaling, menutupi rasa malunya dengan meminum teh buatan Bunda. Ayah meliriknya sambil tersenyum penuh makna, dan Nale untuk pertama kalinya merasa bahwa ia bisa begitu terbuka di depan Ayah dan Bundanya. Mereka tidak punya ekspektasi apapun pada Nale, Mereka hanya... menerimanya.

“Eca gimana Lang, kalau di sekolah?” Ayah bertanya iseng.

Nale melotot. “Ayah!” serunya setengah merajuk. Kenapa orang tuanya semangat sekali, menyambut Erlang di rumah, sih?

Tentu, Bunda dan Ayah juga menyukai Juna dan Farraz. Tapi mereka punya rasa segan di batas tertentu pada Ayah dan Bunda, batas yang diterobos Erlang dengan mudah; memikat Ayah dan Bunda begitu rupa. Ayah dan Bunda juga pasti tahu perihal Olaf, sebab cowok itu sering menjemputnya di depan gerbang. Tapi Olaf tidak pernah masuk, tidak pernah menyapa, dan Nale tidak pernah punya niat memperkenalkannya.

“Begini-begini aja, Bun. Anaknya masih manja, masih suka maksain diri. Kemarin-kemarin pulangnya malem terus, kan, ya?” Erlang menatap Nale, tersenyum miring.

Bunda ikut melirik putranya. “Iya, nih, Lang. Aduh, Bunda sampai pusing. Anak ini kan imunnya kurang. Kedinginan sedikit, pilek. Keanginan sedikit, pusing. Tapi kegiatannya di sekolah nggak ada breaknya sama sekali.”

Ayah tertawa mendengar keluhan istrinya, membenarkan dalam hati semua keluhan itu.

“Tuh, Ca, dengerin,” Erlang menimpal.

Nale mengerucutkan bibir tidak terima. “Habisnya gimana, kan udah tanggung jawab. Lagian kalau aku pulang malem kan bisa minta Ayah jemput, hehe.”

“Nggak sama Erlang aja pulangnya?” Ayah menggoda setengah bercanda. “Kemarin Ayah liat kamu pulang sama Erlang terus. Ayah jadi sedih.”

“Ayah!”

Semua orang tertawa lagi, kecuali Nale. Ia terlalu sibuk berjalan ke dapur sambil merajuk, kesal melihat bagaimana semua orang berpaling ke pihak Erlang dengan mudah hanya lewat beberapa kali pertemuan. Tapi malam ini hangat, pikir Nale. Ia ingin menyimpan momen ini selamanya dalam ingatan.

Ketika Nale kembali, Ibu beralih ke dapur demi menyiapkan makan malam. Ayah pamit untuk membantu Ibu menyusun makanan di atas meja, meninggalkan Erlang dan Nale duduk berdua dalam keheningan di ruang keluarga.

“Ayah lo ramah. Ibu lo juga,” Erlang berkata, dan Nale otomatis mengangkat kepala memandang ke arahnya.

Nale memainkan jari-jarinya. “Mereka seterbuka ini cuma sama lo.”

Erlang terkekeh. “Oh ya?” tanyanya, yang dibalas Nale dengan anggukan.

Erlang pulang setelah makan malam. Cowok itu tidak berhenti memuji opor ayam yang dibuat Bunda. Enak sekali sampai ingin menangis, katanya. Bunda dan Ayah menganggap itu sebagai candaan yang lucu, tapi Nale tidak tahu dari mana datangnya rasa sesak yang mendadak menguasai hati. Ia melihat mata Erlang berkaca-kaca saat Ibu menyendok lagi nasi, mengisi piringnya yang hampir bersih.

Malam itu Nale tidur setelah berdoa panjang. Ia harap kelak Erlang mau berbagi cerita dan kesedihannya juga.

Semoga.

//////////

Matahari bersinar terik sekali sewaktu Erlang memarkirkan motornya di halaman parkir McDonalds bersama Maudy. Tangki motornya sudah penuh, giliran perutnya gantian minta diisi. Bergegas, Erlang berjalan mendahului Maudy masuk ke dalam restoran. Bau ayam mengental di udara, membuat rasa laparnya semakin menggila. Erlang menyisir rambutnya ke belakang, mencari sosok Juna di tengah ramainya orang dan bisingnya obrolan.

“Erlang! Moy!” Itu Juna, melambai di meja kedua dari ujung kanan restoran. Di depannya ada dua nampan berisi makanan pesanan mereka. Erlang balik melambai, sebelum mengekori Maudy menghampiri cowok itu.

Boleh ditegaskan lagi? Erlang lapar sekali.

Berbeda dengan Maudy yang memilih langsung duduk, Erlang malah berbelok ke westafel guna mencuci tangan. Ia bisa mendengar tawa kecil yang Juna dan Maudy bagi, namun memilih abai.

“Selaper itu, Lang, sampe langsung cuci tangan?” Maudy menggoda, Erlang tertawa.

“Salatri banget gue, Moy,” jawabnya, sebelum memisahkan sendiri satu paket makanan miliknya. “Untung dapet duduk.”

“Ini bekasannya kelompok Arsa, sih. Untung mereka lagi di ruang pegawai sekarang, wawancara.”

“Nanti kalo mereka balik, duduk di mana dong?” Maudy bertanya, sudah ikut memindahkan makanannya sendiri ke depan dada.

“Udah pada makan kok, mereka,” kata Juna. “By the way nanti Maudy balik sama gue, ya?”

Maudy mengangkat alisnya. “Kenapa?”

Juna tersenyum. “Gue ada mau mampir dulu ke Antapani. Biar sekalian aja, gitu.”

Erlang terlalu sibuk makan untuk menimpal, tapi ia mengangguk. Maudy mengangkat bahu, “Oke aja sih, gue. Mau sama siapa juga asal sampe rumah safe and sound.”

Erlang tersenyum, Juna tertawa. Cowok dengan senyum kotak itu merogoh saku, mencari ponsel dan mengetik beberapa kata.

Perut Erlang sedikit demi sedikit terisi. Senyum Juna melebar lagi dan lagi.

//////////////////

Nale ingin marah, rasanya. Ia sudah merasa begitu sejak seminggu lalu, dan moodnya naik turun seperti jungkat-jungkit. Nale kesal sekali sebab alih-alih dirinya, justru Juna yang masuk ke kelompok Erlang di tugas ini. Terdengar kekanakan, sih, memang. Tapi bagaimana lagi? Sisi egoisnya ingin dirinya lebih dekat dengan Erlang di banding orang lain, lebih mengerti Erlang, lebih sering bersama Erlang.

Padahal tidak mungkin, kan?

“Minta wawancaranya gimana ya, guys?” Shakila bertanya sambil mengunyah kentang gorengnya.

Arsa sudah membersihkan nasi dan ayamnya sejak lima menit lalu sementara Nale masih mencoba memasukkan sesendok demi sesendok es krim ke perutnya yang sudah penuh.

“Surat izin dari sekolah dibawa kan, Nal?” Arsa bertanya, yang dijawab Nale dengan anggukan.

“Kita langsung minta ketemu sama managernya aja apa, ya? Soalnya lagi rame, nih. Pasti pada repot semua.”

Ide Shakila lumayan juga. Nale hanya berharap mereka tidak ditolak karena seperti yang cewek itu bilang, restoran sedang ramai mengingat ini adalah jam makan siang.

“Arsa minta izin, gih. Tanya ada yang shiftnya udah selesai dan mau diwawancara apa nggak.”

Itu Nale yang minta, jadi Arsa tidak berani berkata tidak. Cowok itu hanya menghembuskan napas dan memilih pasrah, meninggalkan Nale dan Shakila asyik menandaskan makanan mereka selagi ia gelagapan bicara.

“Kelompoknya Yule pada kebagian apaan, Nal, tau gak?” Shakila bertanya. Nale sejujurnya tidak terlalu dekat dengan Shakila, jadi mempertahankan percakapan dalam hal ini terasa sulit sekali buatnya.

Tapi Nale tetap memutuskan menjawab, “Yule kayaknya kebagian sama Ganesh sama Rahayu, deh. Mereka diminta wawancara penjual asongan yang masih di bawah umur, gitu.”

Shakila mengangguk. Nale tidak ingin tahu apa yang cewek itu sedang pikirkan, jadi ia memutuskan fokus kembali pada es krimnya dan tidak memperpanjang obrolan. Nale ingin pulang, tapi tugas mereka bahkan belum dimulai meski jan sudah menunjuk angka satu.

“Eh, lho, ada Kila sama Nale?”

Nale kenal suara itu. Ia buru-buru mengangkat kepala untuk melihat siapa yang baru berjalan masuk ke McDonalds siang ini. Arjuna, dengan senyum kotaknya yang khas, melangkah mendekati Nale dengan semangat tingkat tinggi.

“Kebetulan banget, dong, ketemu di sini,” kata Juna sambil tertawa. Tanpa ragu ia menarik kursi yang tadi diduduki Arsa.

“Sendirian aja, Jun?” Shakila bertanya.

Nale mendengar jantungnya sendiri bertalu-talu dalam sekian detik yang singkat saat menunggu Juna menjawab. Ia bisa mendengar hatinya sendiri berdoa, berharap Erlang ikut datang ke mari dan Juna tidak sendiri.

“Enggak, kok. Sama Erlang sama Maudy, tapi mereka tadi pergi dulu isi bensin.”

Perasaan campur aduk ini datang lagi. Ada saat dimana Nale kesulitan memilah perasaannya sendiri. Apakah itu kesal atau lega, gembira atau cemburu, semuanya campur aduk di dalam hatinya dengan ambigu. Nale meletakkan gelas es krimnya sambil memandangi pintu, berharap Erlang datang dengan cepat agar ia bisa memilih satu dari perasaan-perasaan tak jelas itu.

“Eh, ada Juna.” Suara Arsa sedikit mengusik kegiatan Nale mengamati pintu.

Juna tertawa. “Ikut gabung ya, Sa? Kalian udah wawancaranya?”

“Belum, euy. Tapi barusan gue tanya ke mbak kasirnya, shift mereka masih lama selesainya. Kemungkinan sore banget baru bisa wawancara.”

Nale tidak sempat melihat reaksi Shakila, tapi ia tahu cewek itu sedikit kecewa.

“Tapi kabar baiknya, manager toko ini dulunya alumni Biba. Jadi beliau mau gantiin kerja salah satu crew biar kita bisa wawancara!”

Nale berpaling, menatap Arsa tidak percaya. “Serius?”

Arsa mengangguk serius.

Shakila, yang semula murung, tanpak menemukan kembali semangatnya kini. “Kalo gitu langsung aja kali, ya? Biarin ini meja ditempatin si Juna aja.”

Nale menggigit bibir. “Sekarang banget?”

Ia belum sempat melihat Erlang.

“Lebih cepat lebih baik, sih,” kata Arsa. Cowok itu mencari buku catatan kecil dalam tasnya sebelum memimpin Shakila ke arah luar.

Nale menarik napas, sedikit kecewa. Gestur kecil itu entah kenapa dibaca Juna dengan mudah. “Tadi ke sini naik apa, Nal?” Juna bertanya.

“Gojek.”

Sahabatnya itu nyengir lebar. “Oke.”

Nale mengangkat alis, heran, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang obrolan. Ia harus mengejar Arsa dan Shakila ke mana pun mereka pergi.

Nale ingin bertemu Erlang. Tapi mungkin keberuntungan tidak berdiri di sisinya hari ini.

////////////////////////

“Udah pada bagi tugas buat PKn belum, guys?” Maudy bertanya sambil dengan rajin menghapus coretan spidol di papan tulis. Erlang sudah kembali menyembunyikan wajahnya di balik tilapan tangan di atas meja saat Nale melirik, barangkali tertidur. Nale baru-baru ini menyadari kebiasaan Erlang itu. Di setiap waktu kosong, ia akan menjemput lelap atau main gim, atau menulis sesuatu dalam buku catatannya yang sudah jelek.

Mungkin karena dulu Nale terlalu takut bahkan untuk mencuri pandang, ia baru bisa memperhatikan Erlang sekarang.

Rahayu adalah yang paling pertama menjawab tidak, diikuti anak-anak lain yang sahut-menyahut seperti beo termasuk Nale sendiri. Maudy mengangguk mengerti, lalu berjalan ke arah Alfi, kemungkinan berdiskusi soal pembagian kelompok tugas PKn. Nale sendiri hampir lupa tugas yang diberi Bu Herni dia awal semester pertama itu, kalau Maudy tidak mengungkitnya hari ini. Wawancara profesi, katanya, dan pengetahuan bela negara masyarakat di bidang kerja tertentu.

“Nal, Nal,” entah kapan Juna sudah menggeser kursi ke arah Nale yang sibuk melamun. “Ntar sore Farraz ngajak mampir Upnormal. Mau, gak?”

Nale berpikir sejenak, mengingat kembali agendanya sore ini, dan menggeleng. “Nggak, ah. Mau belajar Fisika. Nilai gue turun UTS kemarin.”

Juna menghela napas, namun wajahnya nampak sudah menduga jawaban serupa keluar dari bibir Nale sebelumnya. “UTS baru juga lewat kemarin, Nal. Have fun dikit dong!”

Nale tertawa. “Duh, serius Jun, gue mau belajar aja. Bulan depan udah milad Biba, gue bakal hectic banget di OSIS, mana sempet mikirin belajar.”

“Lagian siapa suruh sih lo setuju-setuju aja pas Krisna nunjuk lo jadi Sekbid Humas,” Juna menggerutu.

Benar, sih. Tidak ada yang memaksa Nale untuk ambil bagian lagi di Kabinet Arungan yang dibangun Krisna dan Raya. Tapi ia langsung saja berkata iya saat Raya datang padanya dan memintanya bergabung. Padahal dulu, Nale masuk OSIS hanya demi dilihat sebagai siswa rajin yang peduli pada organisasi sekolah. Sekarang saat ia pikir dirinya sudah lebih jujur, kenapa ia tampaknya masih sama saja?

“Guys, jadi ini ada nomer-nomer yang udah aku bikin sama si Alfi,” Maudy bicara lagi di depan kelas, memutus lamunan Nale yang singkat. “Kita 'kan ada 30 orang, pas. Satu kelompok nanti bakal ada 3 orang ya, guys. Yang ambil nomor sama berarti sekelompok.”

Alfi menambahkan sambil tertawa, “Ulah hilap ngadu'a heula guys, ameh teu zonk (jangan lupa berdoa dulu biar gak zonk)!”

“Ieu ai geus nyokot hiji, bisa ganti teu? (Ini kalo udah ambil satu bisa ganti gak)” Jackson berteriak.

Maudy tersenyum, jenis senyum yang tidak ramah. “Nggak, lah. Tidak boleh menawar takdir.”

Nale tertawa kecil, menunggu gilirannya menarik kertas. Arjuna menarik kembali kursinya saat dimarahi Maudy. Bu Herni masuk di jam kedua nanti, menurut keterangan Alfi, dan itu hanya beberapa belas menit dari sekarang.

“Nih, Nal. Jangan lupa berdoa,” kata Alfi dengan nada bercanda. Nale pura-pura menurut, lantas menarik satu kertas dari kotak kecil yang Alfi bawa.

Nomor tiga.

Nale melirik Erlang yang masih tetap dalam posisinya, mungkin hanyut dalam lelapnya. Ganesh menggoyang bahu cowok itu agar dia bangun, dan Erlang menggerutu pendek sebelum kembali duduk dengan tegak di kursinya. Rambut cowok itu sedikit berantakan, mengikal si kedua pelipisnya.

Nale menunduk cepat-cepat. Malu. Baru saja pandang Erlang bertubrukan dengan matanya.

Nale harap Erlang dapat nomor tiga juga.

///////////

Saat Nale berjalan dari kantin ke lapangan parkir, Erlang sedang duduk di lapangan bersama Arsa dan beberapa anak futsal. Cowok itu memakai baju tipis berwarna hitam dengan celana basket sebatas lutut. Beberapa cowok di lapangan berbagi seplastik makanan ringan sambil mengobrol dengan tawa di bibir mereka.

Nale tersenyum, melangkah dengan yakin ke arah mereka sambil membawa seplastik minuman di tangannya. Keributan yang Adi dan Banu timbulkan tadi cukup besar dan menguras emosi, tapi saat melihat anak-anak futsal itu tertawa, beban Nale rasanya terangkat sepenuhnya.

“Seru banget, nih. Ngomongin apa?” Nale menimbrung, meletakkan plastik isi air mineral di tengah lingkaran kecil cowok-cowok itu.

Arsa adalah yang pertama kali mendongak. “Eh, Nale. Tumben belum pulang, Nal?”

Nale tersenyum. Senyum yang tidak mencapai matanya. “Abis rapat OSIS, Sa. Buat preswa.”

“Nale sibuk pisan, euy, ayeuna. Meuni tara ningali deui urang maneh maen di lapangan. (Nale sibuk banget, cuy, sekarang. Sampe ga pernah lagi gue liat lo main di lapangan)”

“Anjir he'eh, nya. Urang pohoan si Nale teh budak futsal oge (Anjir iya, ya. Gue lupa si Nale juga anak futsal).”

“Udah kelar, maneh?” Erlang bangkit, memisahkan satu botol air mineral dari tiga botol yang Nale bawa dan menenggak separo isinya.

“Eleuh, dek balik bareng caritana teh? (Duh, mau balik bareng ceritanya?)”

Erlang hanya berdecak, ditanya begitu, sedang Nale langsung tertawa malu. Arsa melihat adegan itu dengan jelas di depan matanya dan memutuskan untuk bicara pada Farraz perihal ini nanti. Erlang menarik tas punggungnya, menyampirkannya ke bahu dan melangkah menjauh tanpa berkata apapun lagi.

“Duluan, ya,” kata Nale sebelum mengekor di belakang Erlang.

/////////////////

Motor Erlang masih seperti yang Nale ingat. Joknya sedikit keras, suaranya halus, dan pijakan kakinya terasa familiar. Wangi pakaian Erlang sedikit samar di balik keringatnya yang membanjir. Anehnya Nale pikir Erlang tidak bau. Padahal kalau Juna atau Farraz sedikit saja berkeringat, Nale akan merasa tak nyaman meski pada akhirnya ia tak berkata apa-apa.

“Makan dulu, ya? Laper gue,” suara Erlang terdengar setengah berteriak.

Tangan Nale yang memegang ujung jaket Erlang mengerat. Bagaimana ini? Ia tak bisa lagi menahan senyuman.

“Mau makan di mana?” Nale bertanya.

Erlang menjeda sebentar sebelum menjawab; “Ayam SPG?”

“Boleh! Tapi lo yang bayar?”

Erlang menepikan motor untuk berhenti, lantas menoleh pada Nale. “70:30?”

Nale tertawa. “Cak!”

Erlang ikut tertawa sebelum menarik gas motornya lagi. Angin dingin Bandung malam itu dikalahkan oleh hangatnya punggung Erlang. Nale merasa tenang.

Ia merasa dirinya sudah temukan tempat pulang.

////////////

Nale bohong kalau bilang ia tak gugup. Ia sangat sangat khawatir, dan sangat sangat merasa bersalah. Keputusannya untuk terima Olaf berminggu-minggu lalu adalah tindakan impulsif yang tidak pernah Nale kira bisa berujung pada masalah seperti ini.

Sekadar informasi, Nale adalah orang yang keras kepala. Tentu, dirinya yang sebelumnya akan terus memaksa bersama Olaf, menjalani hubungan yang tidak ia suka, dan menelan bulat-bulat rasa bersalahnya. Tapi seperti yang Erlang bilang; hidup seperti itu tidak membawa apapun untuknya selain nestapa.

Olaf bilang, dia akan datang ke rumah sekitar pukul empat. Tapi sekarang sudah hampir empat lima belas dan Olaf belum menampakkan diri. Nale merasa makin cemas setiap detiknya, tapi ia hanya bisa menelan setiap kecemasan itu bulat-bulat.

Olaf datang sekitar setengah lima, meminta maaf karena terlambat (alasannya terjebak macet) dan berusaha tampil ceria meski matanya merah dan berair. Hati Nale rasanya teremas melihat pemandangan itu, tapi lagi-lagi Erlangga masuk membuyarkan konsentrasinya. Ia akan melakukan ini hari ini, dan tidak ada satupun yang bisa menggagalkan niatnya.

Bukit Moko sore itu agak mendung. Mungkin tahu kalau Nale hendak mematahkan satu hati hari ini. Nale duduk di salah satu kursi kosong yang sepi peminat, berhadapan dengan Olaf dan hamparan Bandung di hadapan mata.

“Kemarin gimana, Nal? Aku belum sempet tanya,” kata Olaf, dibarengi kekehan kecil. Nale tersenyum sekadarnya.

“Lancar kok, Kak. Tapi aku nggak menang.”

Olaf mengangguk. “Nggak apa-apa. There's always a next time.”

Nale tidak menimpal.

“Aku tau, hari ini kamu mau ngomong apa.”

Tentu saja Olaf tahu, pikir Nale. Tentu saja cowok itu berhasil mengumpulkan kesimpulan dari sikap Nale belakangan ini. Biasanya Nale pandai berpura-pura, tapi kemahirannya nampak pudar berhari-hari ke belakang; entah kenapa.

“Maaf, Kak,” kata Nale, tanpa intonasi berarti selain rasa bersalah yang mengental dalam suaranya. “Aku tahu aku jahat banget sama Kakak, tapi aku beneran gak bisa... lanjut...”

Olaf menarik napas. Ia membuang pandang ke hamparan bukit hijau Bandung sore itu. Ada air mata menggenang di pelupuknya, titik air yang sukses mengguyur hati Nale dengan rasa bersalah yang lebih hebat.

“Aku sayaaaaang banget Nal, sama kamu,” kata Olaf, dan Nale merapatkan mulut sebab tak temukan satu katapun yang pantas dijadikan jawaban. “Tapi kalau ini mau kamu, aku bisa apa? Aku paksa pun, kamu nggak bisa bahagia sama aku.”

Nale menunduk, menyembunyikan air matanya. Andai ia bisa bagi sedikit rasa sakit hati yang Olaf rasakan kini, Nale sudi. “Maaf, Kak. Maafin aku.”

“Nggak apa-apa,” kata Olaf sambil terkekeh paksa. “Yuk, aku anter pulang?”

Di perjalanan pulang, Nale berpegang erat pada pinggiran besi motor Olaf. Ia sudah berhenti menangis, tapi Nale tahu hati Olaf masih terluka. Luka yang dalam dan tidak akan bisa ia bantu sembuhkan. Sore itu, Bandung memburam bersama dengan hubungan mereka yang kadung karam.

////////////////////////

Erlangga mengambil helm yang menggantung di bagasi motornya, lantas menyerahkan benda itu pada Nalesha. Helm itu kelihatan baru, seperti jarang sekali dipakai. Warnanya abu-abu tua, dan besarnya pas sekali di kepala Nale. Rasanya Nale sudah lupa terakhir kali ia dibonceng motor bebek milik Erlangga. Bukan berarti ia sering juga menunggangi motor ini, Nale hanya sedang berusaha menyibukkan diri dengan berpikir kesana kemari ketimbang memperlihatkan kegugupannya di depan Erlang.

“Langsung ke rumah, 'kan?” Erlang bertanya. Helm putihnya sudah terpasang rapi di kepala.

Nalesha menunduk. Ia memandangi brik-brik yang tersusun rapi melapisi lahan parkir. Ia mengetuk-ngetukkan ujung sepatu ke atas aspal, tampak tidak ingin menjawab. Erlang bukan orang yang bodoh, atau tidak peka. Percayalah, ia adalah segalanya kecuali dua ketidakmungkinan itu. Ia tahun Nale tak ingin pulang, apapun alasannya. Tapi Erlang memutuskan untuk tidak berkomentar atau bertanya.

“Ayo naik,” titahnya ringan, sebelum men-starter motornya agar menyala.

Nale ingin bilang keras-keras kalau ia tidak bersedia pulang. Ia tidak ingin menghadapi Ayah dan Bunda serta perasaan kecewa mereka. Nale ingin pergi ke tempat yang jauh dan tidak pernah kembali. Tapi ia tidak mungkin menyuarakan keinginan itu di depan Erlang, kan? Cowok itu mana mungkin peduli, mana pernah ingin tahu. Berbekal pemikiran itu, Nale telan bulat-bulat keinginannya dan duduk manis di jok belakang motor Erlang tanpa bicara apa-apa.

Motor itu melaju santai membelah jalanan Bandung. Nale meremas ujung jaket Erlang kuat-kuat, melepaskan segala rasa resah yang berkabut di hatinya. Motor terus melaju meski keberanian Nale berserakan di jalanan.

Motor milik Erlang terus melaju. Nale tidak begitu memperhatikan jalan, sibuk menenangkan diri, sampai-sampai ia tak tahu kalau mereka sudah melewati Simpang Dago alih-alih pulang ke Kiara Condong tempat rumahnya berdiri.

“Lho? Kok ke sini?” Nale bertanya, merasakan semilir angin dingin yang mulai menerpa wajah.

Erlang membuka kaca helmnya. “Lo kan gak mau balik. Sama, gue juga. Jadi mending kita ke Tahura aja.”

Nale diam. Ada seselusup perasaan lega merebak dalam hatinya, tumpang tindih dengan rasa gugup yang mendadak mampir. Erlang tahu, Nale ulang kalimat itu berkali-kali dalam kepalanya. Erlang tahu ia tak hendaki pulang; Erlang putuskan bawa ia pergi ke tempat tenang, jauh dari keramaian.

Untuk pertama kalinya Nale pikir tidak ada salahnya menunjukkan kelemahan. Jadi ia sandarkan dahi pada bahu Erlang yang lebar, membiarkan hidungnya menghirup puas aroma pengharum pakaian Erlang yang berbau manis. Ia biarkan air matanya jatuh satu persatu membasahi jaket Erlang. Ia tanggalkan semua topeng yang ia rekat di wajah. Hanya sore ini saja, Nale pikir. Hanya pada Erlang saja, ia tegaskan lagi.

Sore itu Bandung bungkam. Ia rekam jejak roda motor bebek Erlang dan tangis Nale dalam rona jingga di batas cakrawala.

//////////////////////

Mata Nale sembab dan merah. Pun dengan hidungnya, yang sejak tadi mampet karena menangis hebat sepanjang jalan. Ia memandang gelas susu coklat hangatnya dengan tatapan kosong. Bibirnya maju sedikit, mencebik lucu, dan bulu matanya yang masih basah turun menutupi netra. Erlang pikir pemandangan ini sedikit lucu.

Di atas motor tadi, ia hampir panik mendengar suara tangis Nale yang tiba-tiba. Tidak hebat, memang, hanya isakan kecil yang agak samar karena bunyi angin. Erlang ingin bertanya kenapa, tapi ia sudah buat janji dengan dirinya sendiri untuk tak banyak bicara. Toh, bukan ranah Erlang untuk menggali perasaan Nale tanpa kehendak cowok mungil itu sendiri.

“Udah dong,” susah payah Erlang sembunyikan tawa. “Orang bakal mikir lo abis gue selingkuhin atau gimana.”

“Berisik banget lo.” Nale membalas dengan sinis. Beberapa tetes air matanya meleleh lagi, membuat hati Erlang sedikit teremas melihat penampilan cowok itu.

Erlang menarik napas. “Lo khawatirin apaan sih, Ca?”

Nale bungkam.

“Lo mau ngomong atau nggak sama gue, terserah. Tapi yang gue tau, kadang-kadang manusia tuh sering kedistract sama ketakutan mereka sampe mereka lupa kalau sebenernya hidup nggak semenyeramkan itu.”

Tahu, Nale tahu. Hanya saja percaya pada hal itu tidak semudah kedengarannya. Nale tidak tahu bagaimana ia bisa hentikan ketakutannya. Ia tidak tahu darimana harus ia mulai hidup tanpa pikirkan orang lain sebagaimana ia lihat Erlang jalani hidupnya.

“Gue takut aja pulang dan liat wajah kecewanya Ayah sama Bunda,” Nale berbisik. “Kalo mereka ninggalin gue karena kecewa, gimana?”

“Ca, gue pernah bilang, kan? Nggak semua orang deket sama lo tuh ngarepin sesuatu in return. Gue gak tau siapa yang pernah kayak gitu ke lo, tapi mukul rata dan bilang kalau semua orang sama itu nggak adil. Apalagi mereka keluarga lo.”

Nale tersenyum miris. “Papa juga keluarga gue. Gue anak kandung Papa. Tapi Papa bisa ninggalin gue karena gue bodoh dan nggak bisa diandalkan.”

“Dan apa lo merasa lo bodoh dan nggak bisa diandalkan?”

Nale diam.

“Nggak, kan? Jauh di dalam hati lo, lo tau kalau lo lebih baik dari segelintir orang. Tapi lo terus-terusan liat ke atas. Ada yang lebih pinter, lebih populer, lebih berprestasi... emang selalu ada orang yang lebih dari kita di segala sisi. Itu fakta. Lo gak bisa jadi orang yang paling segalanya di dunia ini.”

“Dengan kata lain, lo bilang gue gak bisa ngelakuin hal yang lebih dari ini?”

“Dengan kata lain, gue minta lo hargain sedikit diri lo sendiri. Coba percaya sama orang-orang di sekeliling lo. Mereka bakal tau dan ngerti, kalau aja lo mau kasih pengertian. Jangan melulu ngejar sesuatu yang nggak bikin lo bahagia.”

Nale menggigit bibir, tidak berani menimpal. Ada terlalu banyak perasaan berkecamuk di pikirannya saat ini.

“Gue tanya sekarang, deh. Apa ini bener-bener jalan hidup yang lo mau?”

Iya.

Iya...

Iya?

Iyakah?

Kenapa menjawab 'iya' saja rasanya lidah Nale kelu?

“Lo bisa berkembang dan akan terus berkembang, Ca. Tapi maksain diri lo buat mencapai tempat yang belum waktunya lo capai tuh cuma bikin capek. Sesekali kasih penghargaan sama diri lo sendiri nggak ada salahnya, kan? At least, lo bisa mencapai tempat ini sekarang, di saat orang lain masih ketinggalan jauh di belakang.”

Erlang tersenyum. Senyuman yang jarang ia bagi pada orang lain termasuk sahabatnya sendiri. Senyuman yang teduh, dengan mata yang berbinar penuh afeksi. Senyuman yang sukses meluluh lantakkan pertahanan diri Nale; membuat air matanya mengucur lebih deras lagi.

“Liat ke atas emang harus, biar lo tetep punya hasrat untuk terus tumbuh. Tapi liat ke bawah juga perlu, biar lo bisa bersyukur sama apa yang lo punya sekarang; apa yang nggak bisa orang dapat sembarangan.”

Aneh, pikir Nale. Aneh sekali. Erlang punya magis yang memberinya reaksi aneh di perut. Seperti ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan. Padahal Erlang menyebalkan, dan jutek, dan keras kepala, tapi Nale menemukan kedamaian di kata-kata Erlang. Ia menemukan kenyamanan di mata Erlang. Nale pikir Erlang punya sihir yang aneh, yang membuatnya merasa kalau semua akan baik-baik saja selama Erlang ada mendukungnya.

Aneh, tapi Nale suka perasaan ini.

“Lang,” Nale menunduk. Jari telunjuknya saling bertaut. “Boleh peluk lo, nggak?”

Jujur saja Erlang tidak bayangkan pertanyaan itu akan pernah terlontar dari mulut Nalesha. Jadi yang cowok itu lakukan hanya membuka dan menutup mulut tanpa berhasil temukan satupun kata untuk diucap bibirnya.

“Sepengen-pengennya gue ngehibur lo, gue tetep gak bisa lewatin garis, Ca. Bisa bonyok di tangan Olaf, gue, kalo pegang-pegang lo.”

Nale cemberut. “Kan gue yang pegang-pegang lo.”

“Tetep aja,” Erlang bersikeras. “Menjaga sikap itu bukan cuma peran gue, tapi peran lo juga. Lo bisa minta Juna atau Farraz peluk lo nanti.”

“Farraz temen gue. Juna juga temen gue. Lo juga temen gue, tapi kenapa gak boleh peluknya sama lo?”

“Banyak tanya ya ini bocil,” Erlang menggerutu. “Minum dulu itu susunya, terus gue anterin lo balik.”

“Nggak mau pulang....” Nale merengek.

“Baru aja tadi gue khotbah panjang lebar, ternyata lo gak dengerin sama sekali.”

Nale tertawa. /Nggak pengen pulang, pengen sama lo lebih lama/ adalah kalimat yang tak berani ia suarakan saat ini.

“Tunggu dulu, ya?” Nale berujar. “Pemandangannya bagus banget, gue masih pengen di sini.”

Erlang terkekeh. “Oke. Take as much time as you need,” katanya, kembali sibuk dengan americano dalam genggaman. Tidak sadar kalau sejak tadi mata Nale hanya bertumpu pada Erlang seorang.