Tak Pernah Cukup
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
“Berangkat, Zak?” suara lelaki paruh baya menghentikan kegiatan Zakky mengikat tali sepatu. Sudah dua hari lelaki itu pulang dari perjalanan studinya yang panjang. Dua bulan, kalau Zakky tak salah ingat. Waktu yang cukup panjang untuknya beradaptasi pada ketiadaan Papa.
Zakky mengangguk. “Iya, Pa. Udah sarapan?”
Lelaki itu mengangguk. “Dimasakin pancake sama Rayan,” katanya. Ia masih memakai baju tidur abu-abu yang Zakky hadiahkan di ulang tahunnya yang ke lima puluh. Kerutan di wajah lelaki itu terpampang di dahi, di bawah mata, di bawah bibir, sebagai bukti nyata bahwa ia tak lagi muda.
Lelaki itu bernama Rudi, sudah dua puluh tahun ia hidup sebagai ayah Zakky dan Rayan. Waktu-waktunya ia habiskan mengurus rumah dan bekerja sebagai dosen tetap di universitas swasta. Ia lelaki yang luar biasa, kalau Zakky boleh melebih-lebihkan. Lahir dalam ketiadaan tapi berhasil tumbuh dengan baik adalah alasan mengapa Rudi menempati posisi penting dalam mimpi-mimpinya.
“Rayan lagi yang masak sarapan?” tanya Zakky. Nada suaranya dingin, seperti representasi sempurna dari udara Bandung pagi itu yang diam-diam masuk lewat celah jendela. Bangunan yang mereka tempati bertiga terasa sesak diliputi hening yang janggal. Papa hanya tersenyum maklum, senyum yang tidak lelah ia pasang meski Zakky yakin hatinya luluh-lantak tanpa sisa.
“Jangan terlalu benci dia,” kata Papanya dengan suara lembut yang selalu Zakky benci. “Dia juga Mama kamu.”
Mama. Kata itu terasa pahit di lidah Zakky. Rasanya asing, seperti tahun-tahun yang ia habiskan hidup di bawah kungkungan rasa frustrasi wanita yang pernah melahirkannya. Seolah waktu-waktu itu tidak pernah jadi bagian dari perjalanan hidupnya. Zakky mendengus keras, menolak menyematkan titel agung pada wanita sundal semacam dia. Bayang-bayang tentang bagaimana tubuh polos wanita itu mengerang tak berdaya di bawah pelukan lelaki yang bukan ayahnya cukup membuat Zakky trauma.
“Zakky berangkat dulu,” katanya, tidak mengindahkan permintaan papanya soal benci-membenci.
Lelaki tua itu mengangguk, senyum hangat masih tersangkut di bibirnya yang tipis. Zakky memilih untuk tidak menjawab, melempar senyum, dan melangkah keluar dengan beragam pikiran berlalu-lalang di kepala.
“Apa mungkin Papa nggak cukup ya, Zak?”
Kalimat papa malam itu masih membayang-bayangi kepala Zakky seperti lintah. Menyedot sedikit demi sedikit kemampuannya percaya bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak mengharap pamrih. Mungkin memang begitu, mungkin Papa memang tidak cukup untuk Mama. Mungkin Zakky memang tidak cukup untuk Melati. Mungkin mereka memang diciptakan untuk terus merasa kurang, meski sudah berupaya banyak.
“Kamu tuh cukup.”
“Gampang betul ngomong sama orang,” kata Zakky, terkekeh tanpa ekspresi. “Giliran motivasi diri sendiri aja, nggak becus.”
Zakky menyalakan motor, memasang helm, lalu menarik gas meninggalkan halaman rumah yang menaunginya selama dua puluh tahun. Mungkin rumah itu juga tidak cukup untuknya. Sebagaimana orang-orang akan selalu merasa kecewa begitu mereka mengenal Zakky lebih dalam. Bahwa ia bukan manusia sempurna seperti yang mereka duga. Bahwa ia tak cukup terang untuk jadi matahari, tak cukup cantik untuk jadi bulan, tak pernah cukup bahkan untuk jadi dirinya sendiri.