ghouldens

I write so I won't die without leaving a trace.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Sewaktu Hayyan berjalan keluar dari rumah Aziz, Zakky sudah menunggu dengan sabar di depan gerbang rumah; bersandar pada motor kesayangannya. Senyum Hayyan tanpa sadar berkembang lebih lebar. Zakky tampak tampan hari ini (bukan berarti ia biasanya tidak tampan, ya!). Dan untuk beberapa detik yang singkat, Hayyan menemukan dirinya sedikit sulit percaya kalau cowok ini benar-benar menyukainya, benar-benar sedang menunggunya. Ia berlari-lari kecil ke arah Zakky yang masih lurus memandang pada langit malam yang menghampar hitam kebiruan, tidak menyadari kedatangan Hayyan.

“Hei!” Hayyan berujar tiba-tiba, dibarengi tangan yang ia gunakan menarik lengan jaket Zakky. Samar-samar bau sitrus tercium, bercampur dengan parfum beraroma coklat yang Hayyan bantu pilihkan sewaktu Zakky pergi ke Indomaret beberapa hari lalu. “Nunggunya udah lama?”

Lelaki yang lahir satu tahun satu bulan lebih dulu itu menoleh. Ada ekspresi keterkejutan di wajahnya, yang seketika luntur oleh afeksi. “Ngagetin aja, kamu,” keluhnya.

Jemari Zakky yang sedikit dingin meraup jari-jari Hayyan dengan kasual, seolah mereka sudah berjuta-juta kali melakukan ini (yang mana dibuat sedikit hiperbolis). Aneh sekali, ini bukan pertama kalinya mereka berpegangan tangan. Tapi percik-percik kembang api di perut Hayyan tidak pernah kenal kata berhenti. Seolah segala sesuatu yang mereka lakukan selalu punya rasa pertama; padahal faktanya bukan hal baru.

“Baru sampe lima menitan lalu, lah. Tadi lumayan macet ke arah sini. Karena mau libur kali ya, besok?”

Hayyan terkekeh, memperdalam genggaman tangan mereka. “Mungkin? Tapi da Bandung mah tiap hari macet terus.”

Zakky tidak menampik. “Belum makan, 'kan? Mau makan dulu? Sekalian ngomongin soal chat yang tadi kalau kamu mau.”

“Boleh. Kebetulan aku emang udah salatri, mana bahasan tadi lumayan banyak.”

Zakky hanya terkekeh, tidak menimpal. Ia mengambil helm yang ia gantung di spion motor, lantas menyerahkannya pada Hayyan. “Lepas dulu tangan saya-nya, ini pake dulu helmnya,” kata Zakky.

Tidak ada balasan dari Hayyan selain jemari yang terlepas dan rona-rona merah tipis di atas pipi. Hayyan memakai helm, kemudian menghabiskan sisa waktunya berdiri sambil menunduk, mendengarkan renyah tawa Zakky terlantun di udara.

“Cakep bener emang lo ya, Hayyan. Pacaran di depan pager rumah orang.”

Itu Aziz, dengan kaos putih polos dan kolor abu-abu tua, berdiri di gerbang sambil memandang Hayyan dan Zakky dengan tatapan menghakimi. Bercanda, tentu saja, tapi tetap sukses menambah warna di pipi Hayyan yang kian waktu kian bertambah matang.

“Punten, A,” kata Zakky, masih dengan tawa yang gagal ia redam. “Numpang dulu, ya, biarin telat izinnya.”

Aziz gantian tergelak. “Santai aja, A. Maafin ya pulangnya rada lama.”

“Gapapa, A. Kalau gitu kita pamit dulu, ya?” Zakky beranjak menaiki motor, menyalakan mesin, lalu menunggu Hayyan naik.

“Makasih ya Ziz, udah mau direpotin,” kata Hayyan, masih dengan ekspresi malu.

Aziz melambaikan tangan. “Santai aja, Yan. Hati-hati di jalan, ya.”

Motor berbunyi halus, Hayyan melambai lagi, sebelum roda-roda kendaraan membawanya dan Zakky menjauhi pagar rumah Aziz yang perlahan tertutup.

***

Bebek Om Aris di Antapani menjadi pilihan bagi Hayyan dan Zakky menghabiskan makan malam. Tempat itu cukup ramai sewaktu Hayyan dan Zakky datang, beruntungnya menyisakan dua meja kosong. Kedai bebek ini jadi kedai ketiga yang Hayyan dan Zakky datangi bersama. Ketiga setelah kedai di Dipatiukur dan Bojongsoang. Sekarang kalau Hayyan pikir kembali, mereka sudah mengunjungi cukup banyak tempat.

“Kamu sama aku punya banyak banget kesamaan nggak sih, Zak, kalau dipikir lagi?” Hayyan membuka, menggeser gelas teh manis miliknya dan Zakky lebih dekat. “Coba pikir, deh. Kamu sama aku sama-sama suka buku, sama-sama suka ngopi, sama-sama suka jajan juga.”

“Tapi banyak nggak samanya juga,” timpal Zakky. “Mau tau nggak, itu tandanya apa?”

“Apa?”

Sudut-sudut bibir Zakky tertarik membentuk seringai. “Tandanya emang kamu tuh paling cocok sama saya.”

“Dih, gombal!” Hayyan tergelak.

Zakky ikut tertawa, “Omong-omong soal Ati, ini kamu baca sendiri aja chatnya, ya?”

Hayyan menyudahi tawa, gantian mengerutkan dahi kini. “Nggak apa-apa emangnya?”

“Nggak,” kata Zakky kalem, “kalau mau liat yang lain juga nggak masalah. Ngomong dulu, tapi.”

“Nggak, ah. Yang lain itu 'kan privasi kamu. Aku cuma kepo sama Melati doang.”

Zakky tidak menimpal lagi. Ia merogoh saku, menarik keluar ponsel, lantas menyerahkannya pada Hayyan. “Nggak ada yang penting banget, sih. Dia cuma tanya soal kamu aja.”

Mata Hayyan menelusuri room chat Melati, membaca dengan seksama kata demi kata, sembari berusaha untuk tidak berpikiran negatif. Apa pula yang layak ia khawatirkan sewaktu Zakky dengan sepenuh hati berterus-terang begini padanya?

“Dua tahun teh ternyata waktu yang panjang banget ya, Zak?” Kata Hayyan tiba-tiba. Ia geser ponsel Zakky mendekat pada si empunya sambil memandang netra jelaga itu dalam-dalam. “Aku tiba-tiba mikir, kalau sebenernya cobaan manusia itu nggak terletak di masalah melupakannya, tapi masalah ikhlas atau nggaknya. Pada akhirnya kalau hati udah bisa nerima, prosesnya tuh ternyata nggak seberat yang kita duga.”

“Dan terbiasa,” Zakky menambahkan. “Dua tahun itu waktu yang panjang buat jadi terbiasa sama keberadaan dan ketiadaan sih, Yan. Ketika kita udah di titik itu, segala hal yang kerasa ngeberatin bakal kereset.”

“Aku kadang masih sering nggak percaya kalau kamu beneran suka aku, Zak. Kayak... apa, ya? Guntur juga dulu bilang gitu. Tapi liat setelahnya gimana?” Hayyan menarik napas panjang. “Sejujurnya aku masih sering takut kalau kamu bakal berubah pikiran. Kalau yang kita lakuin sekarang nggak lebih dari karena kamu lagi ragu-ragu aja. Mungkin kamu salah ngartiin, atau gimana. Hal-hal negatif kayak gitu masih terus aja kebayang-bayang sama aku. Aku ini beneran nyusahin banget kalo dipikir-pikir.”

Hayyan mengakhiri pengakuan panjang itu dengan selantun tawa. Zakky membuka mulut, bersiap menampikă…ˇatau minimal memberi Hayyan sedikit pengertian. Tapi belum sempat sepenggal kata itu lolos dari mulutnya, pesanan mereka tiba. Hayyan tersenyum riang melihat bebek dan kol gorengnya datang, mengusir raut masam yang sempat terpasang di wajahnya sedetik lalu.

“Makasih, A,” kata Hayyan, yang dibalas anggukan si pelayan. Zakky selalu suka cara Hayyan berterima kasih pada setiap jiwa yang mereka jumpa. Pada tukang parkir Indomaret, pada pengamen di lampu merah, pada pelayan di tempat-tempat makan yang mereka sambangi, pada barista di kedai kopiㅡpada hampir semua orang, termasuk mereka yang kerap dilupakan jasa-jasa kecilnya.

“Yan,” Zakky memanggil. Hayyan, yang baru saja memasukkan sesuap penuh nasi ke dalam mulut, mengangkat kepala.

“Makasih, ya? Udah ngasih tau soal keraguan kamu sama saya,” ujar Zakky, dibumbui senyuman tipis. “Jangan ragu buat ngomong terus terang sama saya. Kita jalan pelan-pelan aja. Nggak masalah ragu sama saya, manusiawi. Justru jadi PR buat saya, kalau saya perlu bikin kamu yakin. Baby steps, OK?”

Iris jelaga milik Zakky berpendar di bawah cahaya jingga lampu ruangan. Lurus, tulus. Hayyan bisa merasakan hatinya menghangat perlahan-lahan. Hayyan selalu penasaran pada cara Zakky membacanya, pada cara cowok itu mengeja kata demi kata yang ia butuh dengarkan. Mungkin Zakky benar. Mungkin yang Hayyan butuhkan untuk jiwanya yang senantiasa ketakutan adalah sosok yang tidak pernah lelah menyakinkan. Sosok seperti Razakky Bhadrika.

“Aku udah selesai sama Guntur,” kata Hayyan, “dan kamu bukan Guntur. Aku mau mulai sama kamu.”

“Dengan senang hati saya terima.” Zakku tertawa. Tawa lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya. Tawa lebar yang belakangan ini selalu menemani Hayyan menghadapi hari-hari melelahkan. Tawa lebar yang Hayyan harap akan selalu ia lihat. Besok, lusa, dan berhari-hari setelahnya.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Rasanya masih aneh menemukan Zakky duduk di lantai kosan, dengan buku Rahvayana di kedua tangan. Sesekali alisnya akan menukik, sesekali dia akan tertawa, dan lembar demi lembar buku karya Sujiwo Tejo itu ia lahap habis sampai lupa waktu. Rasanya aneh saat jemariku menyurusi helai-helai rambutnya, memberinya pijatan kecil sambil berpuas diri menghirup bau sitrus yang datang dari fabrik pakaiannya. Rasanya aneh, tapi aku tidak merasa ini aneh dalam arti yang buruk.

Kadang kalau dipikir lagi, benar kata Yosef. Tidakkah aku terlalu mudah memaafkan orang? Tentu, aku tidak bisa pungkiri kalau Zakky punya andil besar menambah nanah di dalam lukaku. Aku juga tidak bisa mengelak kalau barangkali aku melukai Zakky juga dengan satu dan lain cara. Tapi tidakkah menjadi pemaaf tidak harus punya syarat? Aku memaafkan Zakky. Kami berjanji akan berubah. Aku pikir, sampai situ segala hal terasa cukup.

“Kenapa penulis cuma pakai perumpamaan perempuan dan laki-laki, ya?” Zakky bicara, suaranya sedikit serak. Ia menoleh, menatap aku yang sedang duduk nyaman di atas ranjang tanpa kaki di kamar kosanku yang sedikit sempit.

Aku menggumam, tidak menghentikan usapanku di kepalanya. “Hmm, mungkin itu cara beliau menginterpretasi dua jenis manusia yang berbeda? Kayak, apa ya, dua sisi mata koin gitu, lho. Analogi yang dipakai ya itu, dengan lelaki dan perempuan,” jelasku.

“Itu interpretasi kamu, ya?” Zakky menebak, yang kubalas dengan anggukan.

“Menikmati seni itu nggak melulu harus baku, kan?”

Zakky tertawa. Kembali lagi ia pada kegiatan membacanya yang sempat terjeda, memberi ruang bagi aku untuk mencicipi hal-hal yang berubah dari cowok itu sejak kami tidak bertemu. Rambutnya makin panjang sekarang. Zakky harus mengikatnya ke belakang agar nampak sedikit rapi, mengingat cowok itu malas pakai gel rambut. Selain penampilan luar, ia masih Zakky yang aku ingat. Masih orang yang rela kutelepon larut malam menemaniku yang kadang mendadak gelisah. Masih sosok yang selalu setia mendengarku bicara soal apapun. Apapun di dunia.

“Zak? Menurut kamu, kira-kira ada nggak ya hal di dunia ini yang terjadi tapi nggak punya maksud? Kayak, ya udah, kejadian aja gitu?”

Zakky mengangkat kepala sebentar, menatap pada styrofoam dekat lemariku yang masih ditempeli kertas-kertas sampah bersejarah. “Nggak ada, kayaknya?” jawabnya. “Semua hal yang terjadi tuh pasti ada maksudnya, dong? Kita hidup di dunia yang kompleks, yang terjadi karena ada sebab-akibat. Kalau tiba-tiba ada sesuatu yang nggak terikat dengan apapun, muncul, goyah nggak jadinya fondasi dunia ini?”

“Iya, ya? Dasarnya tuh semua hal punya fondasi, kan?” aku membalas. “Bahkan fondasi itu juga dibangun di atas penyebab-penyebab tertentu.”

Zakky mengangguk, mengulas senyum yang hanya bisa aku lihat lewat sisi kanannya. Aku kembali fokus lagi pada layar ponsel, membaca catatan yang sudah hampir kurampungkan setengah jalan.

“Buku ini bikin pandangan saya ke Rahwana, ya.” Zakky bergumam. Aku mengamini dalam hati.

“Tapi caranya nulis rada kaditu-kadieu kitu, nya?” tukasnya lagi, yang lagi-lagi aku setujui. “Kayak nggak fokus, tapi fokus banget. Mau baca berkali-kali, tetep aja nggak bosen.”

“Makanya aku suka banget cara dia nulis,” kataku, mengulas senyum.

“Omong-omong, Yan,” buku ditutup, dan tubuh Zakky berputar, menghadapku sepenuhnya. Cowok itu menatapku tepat di mata. Sudah kubilang, belum, kalau cara Zakky menatap itu sedikit berbahaya? Berulang kali aku terperangkap di iris mata hitam itu, dan berulang kali pula aku kesulitan menemukan jalan keluar.

“Hmm?” aku menggumam, susah payah menemukan kembali suaraku yang sempat hilang.

“Saya laper. Beli makan, yuk?” katanya, diikuti cengiran lebar.

Aku terkekeh. “Yuk? Makan siang hari ini gantian siapa yang beli?”

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Gerbang kosan Hayyan sore itu kelihatan lebih tinggi dari biasanya. Pagar besi berwarna hitam yang ditutupi fiber berwarna biru tua itu seperti sedang menegaskan posisi gue sore ini; menjadi benteng yang membatasi antara gue dan Hayyan dengan jelas. Berjalan ke bangunan dua tingkat yang sudah tidak gue sambangi selama empat bulan ini membuat gue merasa kompleks. Gabungan antara perasaan rindu dan takut yang masih bercokol di sudut terdalam hati gue membuat langkah gue terasa berat. Gelap yang sejak dulu bertumbuh dalam diam itu perlahan-lahan memakan nyali gue, tepat disaat gue butuh dia dengan amat sangat.

Gue menarik napas, mencoba memberi diri gue sendiri motivasi-motivasi murahan yang gue tahu tidak akan berdampak banyak. Melangkah maju berarti menghadapi Hayyan dan keputusannya yang masih belum bisa gue terka. Tapi berdiam dan mundur bukan solusi yang gue cari. Gue harus maju sekarang, atau mungkin selamanya akan membenci diri gue sendiri. Membenci gue yang payah, gue yang pengecut, gue yang kehilangan kesempatan.

Lepas menurunkan sedikit kegugupan, gue membuka gerbang. Bentuk kosan itu masih seperti terakhir kali gue berkunjung. Suara dari kamar-kamar lain mengetuk gendang telinga gue. Di minggu-minggu menuju akhir semester begini, kesibukan memang bukan hal yang bisa dihindari. Gue melangkah lagi, menyambangi kamar yang sudah berulang kali gue datangi. Pintu kamar Hayyan dan gerbang depan terasa amat jauh, sebelum gue sadar bahwa langkah gue lah yang kelewat lambat.

Kegugupan sialan.

Jemari gue gemetar sewaktu mengetuk pintu. Susah payah gue menelan ludah, tapi tenggorokan gue lagi-lagi terasa kering dan panas. Suara Hayyan menyahut dari dalam, dan baru sampai detik itu gue sadar betapa besar rindu yang gue simpan untuknya selama waktu-waktu perpisahan yang mencekik ini. Gue pikir saat itu, gue tidak akan mampu menghadapi satu hari tanpa suaranya bisa gue dengar lagi.

Rindu bergerak dengan pola yang abstrak. Sebelum ini, gue merasa mulai bisa menerima keabsenan Hayyan di keseharian gue yang monoton. Tidak ada suaranya lagi yang bisa gue dengar, atau tangannya untuk menepuk bahu gue. Tidak ada lagi Hayyan dan pengertiannya yang ia curahkan tanpa pernah meminta balas dari gue yang serba terbatas. Gue pikir, 'Ah, pada akhirnya gue mungkin bisa baik-baik saja'.

Tapi sewaktu mendengar suara itu dari balik pintu yang masih menutup, rasa rindu gue membuncah seperti air yang keluar dari sebuah bendungan jebol. Rasa rindu yang tidak gue sadari tersimpan dan tertumpuk begitu banyak itu meluluhlantakkan pertahanan diri yang susah payah gue bangun dari keputusasaan. Barangkali rasa putus asa itu lah yang membuat gue gagal menerjemahkan kerinduan gue sendiri. Gue menarik napas lagi, mewanti-wanti pada tubuh gue untuk tidak menghambur memeluk Hayyan andaikata ia membuka pintu.

Pintu mengayun terbuka, memberi gue akses sempurna pada Hayyan dengan hoodie abu-abu dan celana selutut. Rambutnya sedikit berantakan, dan ia berulang kali menyisir bagian depan rambutnya seolah berusaha merapikan surai-surai itu barang sedikit.

“Ayo masuk, Zak,” kata Hayyan. Suaranya menyadarkan gue bahwa sejak tadi gue hanya berdiri di depan pintu seperti manusia tolol yang terpesona.

Gue berdeham. “Ah, iya. Thanks.”

Ruangan itu masih sama seperti terakhir kali gue bisa mengingat. Rapi, hangat, dengan wangi vanili samar di udara. Mata gue menjelajahi dinding dan lantai dengan lapar, mengais satu-dua perubahan yang sedikit samar. Gue tidak sering menghabiskan waktu di sini, tapi Hayyan cukup banyak bicara soal kamarnya sewaktu kami masih bertukar banyak hal, dulu. Seperti bagaimana dia malas menyetrika pakaian sehingga tidak punya satupun alat setrika. Atau soal dispensernya yang rusak sehingga berminggu-minggu ia harus memasak air panas di penanak nasi. Atau kecenderungannya menulis jadwal di weekly schedule board yang ditempel dekat ranjang, dan kebiasaannya menempel struk-struk yang dianggapnya berharga di styrofoam berwarna biru tua dekat lemari pakaian.

Hayyan selalu jadi orang yang melankolis dan senang menyimpan kenangan manis. Struk belanja bulanan dari gaji pertamanya sebagai part-timer di tempat penyewaan komik, tiket nonton pertamanya bersama Guntur, tiket masuk candi Borobudur sewaktu kami karyawisata ke Yogyakarta; segala hal yang menurutnya berharga.

“Mau kopi? Atau air putih aja? Aku ada nutrisari juga kalau kamu mau yang seger-seger...” Hayyan memberondong gue dengan tanya. Ia menyibukkan diri di sudut kecil di kamar minimalis itu, tempatnya menaruh alat makan dan nampan penuh minuman instan.

Gue tanpa sadar mengulas senyum. “Bebas aja, Yan,” kata gue.

Hayyan mengangguk. Ia mengambil dua buah cangkir. Satu cangkir porselen putih, satu lagi cangkir kaca transparan dengan gambar zodiak dan tulisan Libra besar di salah satu sisinya. Gue memperhatikan bagaimana Hayyan membuka dua bungkus kopi instan, menuangkan pada masing-masing cangkir, menyeduhnya dengan air panas (sepertinya dispensernya sudah tidak rusak), dan mengaduknya menggunakan bungkus kopi yang digulung pipih.

Bau kopi mengawali kecanggungan kami, yang gue prediksi akan berlanjut sampai akhir percakapan. Gue menerima kopi dari Hayyan sambil menggumamkan terima kasih, yang dibalasnya dengan sebuah anggukan. Lalu kami berdua sama-sama membisu; sama-sama tidak tahu harus memulai dari mana.

“Kemarin aku ketemu Alde di FTIP,” Hayyan membuka, membuang pandang ke arah dinding yang tampak pucat. Gue mengintipnya dari balik cangkir. “Katanya kamu lagi ada kelas. Kalian ngambil mata kuliah yang beda, ya?”

Gue mengangguk, penasaran percakapan macam apa yang mereka lalui kemarin, tapi menahan diri untuk bertanya. “Kamu ada keperluan di FTIP?”

Hayyan mengangguk. “Kemarin janjian sama Pak Made, dosen kamu. Tapi beliau batalin di last minute banget dan minta re-schedule ke hari Kamis,” Hayyan menyesap kopinya, “karena ketemu Alde, jadi sekalian makan siang bareng aja.”

“Pasti dia ngajak kamu ke Mang Titing.”

Hayyan terkekeh. “'Kok tau?”

Gue mengangkat bahu. “Favoritnya Alde, tuh. Mi ayamnya emang juara banget, sih. Jus alpukatnya juga.”

“Aku belum sempet beli jus alpukatnya, duh. Kemarin Alde pesennya teh aja, jadi aku ngikutin.”

Gue menelan ludah, meletakkan cangkir yang sejak tadi tidak sadar gue genggam erat. “Nanti saya ajak beli. Kalau kamu mau.”

Hayyan tersenyum.

“Kamu udah beli dispenser baru?” gue bertanya lagi, melirik pada dispenser yang Hayyan pakai menyeduh kopi tadi.

Hayyan mengangguk. “Ribet juga kalau harus nunggu air mateng dulu di rice cooker tiap mau ngopi.”

Gue hanya terkekeh, tidak lagi menemukan topik yang tepat untuk dijadikan bahan basa basi.

“Aku turut sedih soal orang tua kamu, Zak. Maaf karena waktu itu nggak sempet ngomong dan dengerin banyak. Sekarang keadaannya gimana?”

Gue menggeleng, berkata pada Hayyan untuk tidak khawatir. “Surprisingly OK. Orang tua saya udah mulai jalan masing-masing. Mama mulai nerima saya dan Rayyan di hidup dia, kita berusaha ngisi dua puluh tahun yang hilang pelan-pelan,” kata gue. Tangan gue tanpa sadar memutar-mutar cangkir, membiarkan ampas-ampas kopi di dasar gelas bercampur dengan cairan berwarna coklat susu di atasnya. “Aneh banget, rasanya. Saya udah lama berusaha buat dapet kasih sayang Mama, lalu nyerah dan mati-matian nolak Mama; tapi pada akhirnya saya dapet apa yang saya mau justru sewaktu saya nyoba buat ikhlasin semuanya.”

Gue tidak tahu bagaimana cara menjelaskan soal mengapa gue begitu mudah jatuh dan merasa nyaman di depan Hayyan. Bersama Hayyan, gue seolah diberi waktu untuk mulai memahami diri gue sendiri lewat hal-hal yang gue ceritakan padanya. Aneh, memang. Gue sendiri bingung menerjemahkan keadaan ini lewat kata-kata. Bahasa kata-kata, sekali lagi, terlalu terbatas untuk mampu mewakili segala hal yang bersilang-sengkarut di dalam kepala dan hati gue sewaktu bersama Hayyan.

“Berjarak sama kamu bikin saya ngerti dari mana datangnya pemahaman kamu, Yan. Soal saya yang cuma datang ke kamu kalau saya butuh sandaran. Soal kamu yang menganggap saya hanya memandang kamu sebagai substitusi dari Ati. Saya paham betul bagaimana sikap saya selama ini bikin kamu jadi berpikir demikian,” gue menarik napas lagi, “dan sungguh, saya mau minta maaf atas itu.”

Hayyan tidak bicara. Gue melihat jarinya menggenggam cangkir semakin erat. Gue memutuskan untuk melanjutkan bicara. Terlebih, tidak ada yang tahu apakah setelah ini gue masih akan punya kesempatan menjelaskan apapun lagi, 'kan?

“Pertama kali ketemu kamu, saya pikir kita ini aneh. Mungkin karena obrolan pertama kita terjadi sewaktu saya dan kamu ada di kondisi yang sama, saya pikir kamu kerasa akrab buat saya. Saya ngerasa kamu mungkin bisa ngerti saya, sekalipun saya sendiri kadang sering gagal ngerti diri saya sendiri. Saya tau kamu nggak nyaman, tapi saya tutup mata dan terus deketin kamu karena saya ngerasa begitu. Saya ngerasa, kalau itu kamu, mungkin kamu bisa jadi tempat saya istirahat.”

Hayyan masih belum bicara. Gue meneguk kopi lagi, semata mengurangi kegugupan yang mendadak semakin membesar. Meski pada akhirnya sia-sia, sebab jantung gue malah semakin gencar bertalu-talu.

“Semakin saya kenal kamu, semakin saya ngerasa, saya udah pulang. Kamu punya pengaruh yang aneh, Hayyan, buat saya. Saya nggak mau munafik, karena dari awal saya pikir kamu benar-benar teman berbagi yang menyenangkan. Rasa nyaman yang terus numpuk itu bikin saya lama-lama ngerti kalau kamu lebih dari itu. Eksistensi kamu buat saya nggak semerta cuma teman cerita, sandaran yang saya cari pas saya butuh, atau orang yang bisa saya ajak berbagi rasa sakit saya.”

Hayyan memandang gue. Ada kerlip menyilaukan di matanya yang sore itu bermandikan cahaya matahari keemasan. Gue menemukan diri gue di dalam bola mata coklat hangat itu perlahan-lahan meleleh oleh kejujuran dan kepasrahan.

“Pada satu titik, saya ngerti, kalau bukan kamu semuanya nggak akan sama. Sebelum reuni, saya udah tau Ati bakal pulang. Saya nggak terlalu peduli sama masalah itu. Kepala saya penuh sama kamu, sama saya, dan gimana caranya saya ngomong sama kamu kalau saya nggak lagi mandang kamu sebagai Hayyan dari SMA 24. Tapi Hayyan yang saya mau telepon jam sebelas malam, Hayyan yang saya ajak kondangan bareng, Hayyan yang saya jemput dari kampus kalau pulang kemaleman. Pada akhirnya saya mutusin buat ngomongin ini sama Ati, soal dua tahun ini dan posisinya yang udah nggak sama lagi di hidup saya.”

Hayyan menarik napas, gue melihat bagaimana dadanya naik turun diisi udara. Tapi fokus gue masih tertumpu pada matanya yang cantik, matanya yang membawa gue masuk lebih dalam dari sebuah retina. “Waktu itu aku pikir kamu dan Ati nyambung lagi apa-apa yang sempat kalian putus dua tahun lalu. Sejujurnya, setelah aku pikirin sekarang, kesimpulan yang aku buat malam itu terlalu gegabah. Aku bahkan nggak nanya atau minta penjelasan apapun ke kamu. I shut you down, kayak pengecut aja.”

Gue terkekeh. “Saya juga sama aja, Yan.”

“Malam itu Guntur ngajak saya ngomong, Zak. Kamu inget, kan? Dia minta maaf soal kejadian dua tahun lalu. Sewaktu dia akhirnya ngomong kata sakral itu, aku nggak ngerasa apapun selain kosong. Aneh, ya? Sampai beberapa minggu sebelumnya, aku masih nulis soal dia di blog, di twitter, masih meratapi patah hatiku yang udah lewat lama banget itu.”

Hayyan mengulas senyuman tipis, senyum yang menunjukkan pada gue betapa kuat dia. Betapa hebat Hayyan sudah sembuh dari luka yang pernah membuatnya luluh lantak; luka yang membentuk Hayyan Nandhana yang duduk bersama gue di sofa acara perpisahan sambil bicara tentang rasa sakit lewat kata-kata ambigu.

“Mungkin yang bikin aku langsung narik kesimpulan kalau kamu main-main adalah percakapan aku sama Guntur malam itu,” Hayyan melirik dinding lagi. “Malam itu aku tau, Zak, kalau selama pacaran sama aku dia nggak pernah sekalipun sayang sama aku kayak aku sayang sama dia. Aku pikir malam itu, setelah ngomong sama Guntur dan liat kamu milih pergi sama Ati ketimbang nganter aku pulang, aku nempatin kamu dan Guntur di kotak yang sama. Aku mau minta maaf juga soal itu.”

Gue mengepalkan tangan, mencoba mengontrol gejolak emosi yang timbul dari keterangan Hayyan. “Harusnya kamu tinju dia dulu, malam itu.”

Hayyan tergelak. “Nggak, ah. Serem. Badan dia dua kali lebih gede dari badan aku.”

Gue mendengus. Mata gue melirik pada styrofoam biru tua tempat Hayyan menempel bukti kenangan berharganya.

“Maaf ya, Zak. Soal malam itu, soal waktu kamu datang ke rumah juga. Nyangga kamu memang bukan kewajiban aku, tapi aku seharusnya nggak sedingin itu juga.”

Gue menggeleng. “Seperti yang kamu bilang, nyangga saya memang bukan kewajiban kamu. Saya pikir saya pantas dapat perlakuan kayak gitu,” gue menatap Hayyan lagi. “Naufal bilang ke saya kalau dua orang yang sama-sama luka nggak bisa jadi penyembuh buat satu sama lain. Mungkin begitu kondisi saya dan kamu waktu itu, terlalu payah buat nyembuhin diri sendiri; nggak punya tenaga buat jadi sandaran orang lain. Kita mungkin memang butuh jeda untuk ngelarin apa-apa yang masih menggantung.”

“Sejujurnya empat bulan ini aku nunggu kamu ngechat duluan.”

Gue menggigit bibir, mengusap tengkuk sembari memasang ekspresi salah tingkah. “Saya takut kalau saya kejar, kamu malah makin kabur.”

Hayyan tertawa. “Kamu hati-hatian banget.”

Gue mengangkat bahu. “Ini soal kamu. Saya nggak mau ambil resiko,” tukas gue. “Jadi kalau yang saya tangkep, kamu suka sama saya. Bener, kan?”

Hayyan membuang muka. Ada semburat merah yang pelan-pelan merambati pipinya. Gue tanpa sadar menarik kedua sudut bibir, membentuk senyuman yang kelewat lebar.

“Nggak, tuh? Aku nggak pernah ngomong gitu.”

Gue mengulurkan tangan sambil tertawa. “Yan, saya tau kalau saya punya banyak kekurangan. Saya nggak bisa jamin kalau ke depannya saya bakal terus bersikap benar. Tapi saya nggak mau ngabisin empat bulan lagi, atau satu hari lagi dengan anggapan bahwa kamu bakal lenyap kayak asap sewaktu-waktu.”

Hayyan masih membuang muka, tapi gue tahu dia mendengarkan dengan seksama, jadi gue melanjutkan omongan gue yang sempat terpotong.

“Saya suka sama kamu, tapi saya tahu merasa ada banyak hal yang harus diperbaiki sebelum kita sama-sama siap. Jadi sekarang saya mau minta izin buat terus deket sama kamu, buat deketin kamu bukan dengan tujuan cuma jadiin kamu temen. Saya mau kamu punya ruang yang bebas untuk ngasih tau saya apapun yang bikin kamu nggak nyaman, atau negur saya kalau saya salah,” gue menelan ludah. “Kamu mau, nggak, izinin saya?”

Ketika gue selesai ngomong, ada keheningan yang tidak nyaman di ruangan yang kami tempati. Di dalam sunyi itu, gue bisa mendengar jantung gue berdebar bertalu-talu, gue bisa merasakan ketakutan gue perlahan menyebar ke setiap nadi. Pikiran-pikiran buruk gue kembali mengetuk kesadaran, membuat perut gue mulas dan keringat gue timbul di pelipis.

Mata coklat Hayyan memerangkap gue dalam benang pandang yang intim. Seperti sedang menggali kebohongan dari kedua mata gue yang memandangnya penuh sorot putus asa. Gue bertanya-tanya kemana perginya kebanggaan gue selama ini, ego yang gue puja-puja. Sebelum ingat bahwa segala hal itu tidak berlaku di hadapan Hayyan Nandhana. Aneh. Gue yakin betul gue pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi nampaknya cinta yang gue pernah lakoni sebelumnya tidak pernah segila ini.

“Jangan nyerah sama aku yang kayak gini ya, Zak?” Hayyan pada akhirnya membuka suara. “Soalnya kayaknya, kalau udah maju sama kamu, aku susah mundur lagi.”

Gue bisa merasakan pipi gue tertarik semakin jauh, melukis senyum yang secara mengejutkan bisa lebih lebar lagi. Tangan Hayyan menyusup masuk di antara ruas-ruas jemari gue, mengirimkan rasa hangat yang familiar. Rasa hangat yang gue rindukan.

Gue menjawab dengan anggukan. “Saya bakal terus nyoba,” kata gue, mengeratkan genggaman. “Jangan niat mundur juga, ya? Saya nggak tau lagi gimana balik ke hari-hari tanpa kamu kalau itu beneran kejadian.”

Hayyan memukul punggung tangan gue dengan tangannya yang lain. “Gombal!”

Gue mengaduh. “Beneran, kok!”

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

“Maneh beneran geus janjian jam hiji, Win?” (Lo beneran udah janjian jam satu, Win?)

Adalah pertanyaan ketiga yang Hayyan lontarkan di siang yang amat terik itu. Berulang kali Hayyan mengecek panah pada jam di pergelangan tangan kirinya, memastikan bahwa baik ia maupun Winda tidak datang di waktu yang salah. Sekarang sudah hampir jam dua siang dan orang yang mereka berdua cari masih belum menampakkan batang hidungnya di ruang dosen.

Winda mengangguk, tampak sama dongkolnya. “Gue udah konfirm dua kali, Yan. Si Bapak bilang dia cuma bisa jam satu sampai setengah dua siang.”

Hayyan berdecak. “Udah coba dikontak lagi belom, Bapaknya?”

Winda mengangguk, enggan menjawab. Perempuan yang sedang berada di semester keenam Ilmu Komunikasi Jurnalistik itu memperlihatkan layar ponselnya ke arah Hayyan; menunjukkan sederet chat berisi pertanyaan yang belum dibaca.

Hayyan menghela napas, topik yang mereka angkat kali ini memang bukan hal yang terlalu sensitif. Tidak akan diletakkan sebagai laporan utama di tabloid, pula. Tapi Adam, seniornya yang kali ini jadi penanggung jawab tabloid bulanan, bukan orang yang mudah diatasi. Hayyan merenggangkan punggungnya yang sedikit kaku, tanpa malu berbaring di atas lantai tepat di depan ruang dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian.

“Yan, Bapaknya bales, nih.” Winda menarik-narik ujung kaos panjang yang Hayyan pakai, memaksa si empunya bangkit dari kegiatan berbaringnya yang singkat. “Katanya minta direschedule ke hari Kamis aja. Jam empat sore.”

“Bangsat emang,” Hayyan tanpa sadar memaki. “Astagfirullah, boga dosen kawas kitu pidorakaeun pisan.” (Punya dosen kayak gitu bikin durhaka banget)

[Maksud dari bikin durhakan di sini maksudnya karena Hayyan jadi banyak maki-maki orang yang lebih tua.]

Winda tertawa. Ia mengetik persetujuan singkat di room chat sebelum memasukkan ponsel ke dalam totebag hitam bergaris yang dipakainya. “Yaudah, kalo gitu. Gue ada kelas jam tiga, abis ini mau ke perpus dulu. Lo mau ikut?”

Hayyan menggeleng. “Laper banget gue. Abis bubar kelas 'kan tadi langsung ke sini. Mau makan dulu aja di kantin FTIP.”

Winda mengangguk mengerti, lantas segera berpamitan pada Hayyan dan berjalan menjauh. Kantin FTIP tidak terlalu terkenal di kampus ini, kalah pamor dengan Fapsi. Tapi berjalan ke Fapsi dalam keadaan perut kosong jelas bukan solusi yang menyenangkan. Jadi Hayyan putuskan untuk mengisi perut di tempat terdekat saja.

Pukul dua siang mayoritas mahasiswa masih berada di kelas. Hanya satu-dua yang terlihat di lorong maupun lobi depan. Hayyan terus melangkah, tidak repot melihat kanan dan kiri sebab selain Zakky dan Alde, tidak ada satupun yang ia kenal di fakultas ini.

“Lah, Hayyan?”

Panjang umur memang, manusia bernama Aldebaran Rahardi ini. Baru sedetik lalu Hayyan memikirkan dirinya, mereka sudah bertemu di depan kantin saja.

“Lah, Alde?” Hayyan terkekeh, menganggap pertemuan mereka hari ini terkesan lucu. “Kebetulan banget ketemu. Sendirian aja, De?”

Alde balas tertawa. “Iya, lah ini 'kan fakultas gue,” jawabnya lugas. “Maunya gue sama siapa emang, Yan?”

Harus Hayyan akui, ia menunggu suara Zakky muncul menyusul sapaan Alde. Jantungnya berdebar tidak sabar, tapi kepalanya berteriak bahwa ia belum siap mental. Akal dan perasaan yang tidak selaras belakangan ini memang jadi masalah bagi Hayyan dan pendiriannya. Ia ingin melihat Zakky, sekaligus tidak tahu hendak apa kalau itu sungguh terjadi. Menghadapi Zakky berarti menghadapi permasalahan mereka yang masih menggantung (meski entah bagaimana seolah dianggap usai), sekaligus menuntaskan rasa rindunya yang belakangan mulai terasa amat mengganggu.

Benar-benar kontradiksi yang merepotkan.

“Mau kemana, lo?” Alde memutuskan bertanya lagi setelah tahu bahwa pertanyaannya tidak akan mendapat jawaban.

“Makan. Laper banget, gue, dari tadi nungguin dosen lo nggak balik-balik. Taunya malah minta reschedule ke Kamis. Asem banget, gak?”

“Pak Pri, bukan?” Alde menebak. “Kalo iya, jangan heran. Dia mah emang gitu orangnya, sok sibuk.”

Hayyan menjentikkan jari. “Betul. Sia-sia gue lari-lari dari kelas ke Masjid, terus ke sini karena takut telat. Taunya orangnya malah nggak nongol-nongol.”

Alde tertawa. “Lo mau makan siang, 'kan? Bareng aja sama gue, yuk? Mi ayam di sini lumayan, lho.”

Penawaran Alde tentu bukan hal yang buruk. Hayyan bukannya keberatan makan sendirian, tapi ditemani sambil bicara terdengar seperti ide yang lebih baik. Akan tetapi Alde jelas bukan teman yang tepat, melihat bagaimana selama ini ia mati-matian menghindari Zakky, namun sekarang justru dengan sukarela masuk ke teritori cowok itu.

Alde paham betul apa yang membuat Hayyan ragu. Baru beberapa hari lalu ia dan Zakky bicara soal ini; soal permasalahan mereka yang jalan di tempat. Barangkali kondisi ini tidak hanya sulit bagi sahabatnya, namun bagi Hayyan juga. Laki-laki yang lahir di akhir bulan Desember itu menghela napas.

“Tenang aja. Zakky lagi ada kelas sampai jam empat, kok. Dia ambil mata kuliah yang beda sama gue, jadi jadwal kita nggak semua sama.”

Hayyan menarik kedua sudut bibirnya dengan canggung. “Keliatan banget, ya?” tanyanya.

“Lo sama Zakky sama aja,” kata Alde dibubuhi tawa kecil. “Emosi kalian berdua tuh sama-sama keliatan banget di muka. Gue yang nggak peka gini aja bisa langsung tau.”

Hayyan menghela napas lagi, mengambil langkah pertama memasuki kantin disusul Alde di sebelahnya. “Iyakah?” tanyanya, tidak benar-benar ingin tahu jawaban Alde. Mereka berhenti di depan gerobak mi ayam bertuliskan 'Mang Titing', satu-satunya gerobak mi ayam dari tujuh gerobak yang ada.

“Lo beneran nggak mau ada hubungan apa-apa lagi ya, sama dia?” Alde bertanya setelah menyebutkan pesanan pada laki-laki paruh baya yang Hayyan tebak adalah Mang Titing itu.

Hayyan tidak menjawab. Di dalam kepala, ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri perihal haruskah bicara pada Alde atau berusaha menghindar saja. Keduanya tidak terdengar seperti keputusan yang benar, jadi Hayyan tidak berani mengambil sikap. Ia hanya berdiri di sana, menunggu pesanan jadi sambil berpura-pura tidak mengengar apa-apa.

“Lo nggak jawab pun nggak masalah sih, Yan. Toh, itu urusan lo dan apapun keputusan lo, itulah yang terbaik buat lo,” kata Alde, tidak tedengar keberatan pada kebisuan Hayyan.

“Masalahnya gue nggak tau keputusan gue ini bener apa nggak,” tukasnya. “Gue takut kalau gue ambil keputusan, gue bakal nyesel sama keputusan gue. Gue takut suatu saat nanti gue mikir; 'Ah, kenapa sih gue nggak kayak gini pas dulu'.”

Alde tidak menimpal untuk beberapa saat, membuat Hayyan berpikir bahwa mungkin lelaki itu memang tidak ingin menjawab. Atau ia tidak menemukan jawaban yang cukup layak. Apapun bentuknya, Hayyan memutuskan untuk membiarkan permasalahan itu berlalu. Toh, ia juga tidak sedang bertanya. Mang Titing memberikan mangkuk pada mereka dan berkata akan mengantar teh manis hangat ke meja. Alde dan Hayyan mengangguk nyaris berbarengan sebelum mencari tempat yang kosong.

“Menurut gue, jenis keputusan itu cuma ada dua. Yang diambil dan yang nggak diambil. Masalah bener atau nggak, menurut gue itu balik lagi gimana caranya lo mengeksekusi keputusan yang udah lo buat.” Alde berkata setelah mereka duduk di meja yang kosong, hanya beberapa langkah dari gerobak Mang Titing.

“Saran terbaik gue saat ini adalah, ikutin aja apa kata hati lo. Ketika lo ngikutin apa yang hati lo mau, seberat apapun pilihan itu nanti, lo bakal bisa ngejalanin dengan sepenuh hati. Lo bakal mikir; 'Ah, ini lho yang gue mau'.”

“Kalau nantinya gue nyesel?”

“Orang bisa nyesel karena mereka nggak ngasih seratus persen usaha mereka. Menurut pendapat gue, selama gue udah berusaha untuk itu, apapun hasilnya nanti itulah yang akan gue terima. Gue nggak nyesel karena hasilnya berbeda sama ekspektasi gue, Yan. Gue justru mikir kalau gue bakal nyesel kalau gue nggak pernah bener-bener usaha.”

Mang Titing datang setelah itu bersama dua gelas besar es teh manis di atas nampan kayu. Lelaki paruh baya yang masih memiliki jejak-jejak ketampanan masa muda itu tersenyum sewaktu meletakkan gelas Hayyan di atas meja.

“Masih muda mah jangan banyak takut, atuh, Jang. Banyak kesempatan yang nggak datang dua kali,” katanya, sebelum berlalu ke balik gerobaknya kembali.

Alde tertawa, berkata, “Mantap emang, Mang Titing!” dengan lantang sambil mengacungkan ibu jarinya ke udara. Mang Titing membalas dengan tawa.

“Di luar dugaan, lo pinter banget ya nasehatin orang,” puji Hayyan tulus, dibubuhi cengiran lebar. “Makasih sarannya, De.”

“Gak tau aja lo, gue titisannya Mario Teguh!”

Hayyan dan Alde tertawa. Makan siang itu mereka habiskan dengan sesi tukar pikiran yang lebih ringan. Tentang kabar-kabar teman masing-masing, soal perkuliahan, soal agenda praktik lapangan, jadwal kuliah kerja nyata; dan banyak hal-hal lain. Hayyan menyimpan dengan baik nasihat Alde di dalam kepala, bersiap merenungkannya sendiri nanti.

Alde memakan mi ayamnya dengan riang. Dalam hati tak lupa memuji dirinya sendiri. Tidak sia-sia dua malam ia habiskan memikirkan perkara Zakky dan Hayyan yang tidak kunjung usai ini. Pada akhirnya Alde berharap kedua temannya dapat bertemu solusi yang tepat. Sebab sebagaimana sahabat yang baik, bagi Zakky dan Hayyan untuk terus berenang dalam ketakutan dan ketidakpastian adalah hal terkahir yang ingin Alde lihat.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Ketika Zakky memandang ke langit, ada semburat merah muda dan ungu di tengah lautan biru dan jingga. Gradasi yang terlihat sempurna itu mengirimkan rasa nyaman yang aneh ke dalam hatinya yang berhari-hari ini berkubang dalam resah. Zakky meletakkan helm di kaca spion kanan motornya, lantas kembali memandang pada langit sore yang hari itu terlihat luar biasa cantik. Rasanya sudah lama sejak ia punya waktu memikirkan hal-hal kecil yang biasanya ia abaikan. Seperti kenapa orang-orang kerap memandang jingga sebagai representasi senja, padahal Zakky pikir warna violet di langit jauh lebih cantik.

Sejak pagi, Zakky tidak melakukan apapun selain tidur-tidur di kamarnya sembari membaca kembali komik-komik online yang sebelumnya ia lupakan. Rayyan memanggilnya untuk makan siang bersama, dan Zakky bertanya kemana Papa pergi sebab sejak pagi mereka tidak bertemu.

“Pergi mancing hari ini,” kata Rayyan, menggigit paha ayam setelahnya dengan penuh khidmat. “Abang nggak kemana-mana hari ini?”

“Rencananya mau main basket sama anak-anak,” jawab Zakky, ikut larut dalam makan siangnya.

Tidak ada yang bicara lagi setelah itu. Rayyan pamit pukul dua siang untuk pergi bersama teman-temannya, dan tinggallah Zakky sendiri di rumah yang terasa sunyi itu. Aneh, pikir Zakky. Biasanya keheningan di rumah terasa amat mencekik lehernya. Tapi hari ini, segala sesuatu terasa benar. Rasa malasnya, makan siang mereka yang singkat, percakapan-percakapan kecil, bahkan hening yang sedang berlangsung tak berujung.

Aneh. Zakky merasa begitu tenang hari ini.

Sejak hari itu, Mama sesekali menelepon. Bertanya soal kabarnya, soal kabar Papa, kabar Rayyan, dan apakah Zakky butuh tambahan uang jajan. Interaksi mereka terasa amat canggung. Barangkali karena Mama tidak pernah peduli padanya selama hampir dua puluh tiga tahun Zakky hidup di dunia. Zakky tahu Mama berusaha mengisi rongga kosong yang sudah hampa selama bertahun-tahun itu, dan Zakky dengan senang hati memberinya kesempatan.

Mama memintanya untuk datang berkunjung kalau Zakky tidak keberatan, dan ia mengabulkan permintaan itu. Mereka makan malam di rumah, bersama masakan Mama yang nyaris tidak pernah Zakky cicipi bagaimana rasanya. Zakky bertanya bagaimana kabar Mama, bagaimana pekerjaannya, dan apakah ia kembali mengalami episode selama beberapa hari ke belakang.

Semuanya terasa benar, tapi Zakky merasa bahwa ada yang janggal.

***

“Udah lama banget gue nggak liat muka lo, rasanya,” seorang laki-laki berpakaian basket di samping Egi menyapa. Zakky lupa namanya. Barangkali itu Aldi? Atau Andi? Lama tidak bertemu membuat memorinya sedikit kabur.

Zakky tertawa. “Asli,” katanya setengah hati. “Aldi, ya? Apa Andi?”

Lelaki itu tertawa, membenarkan kacamatanya yang sedikit melorot. “Aldi, bener. Gue baru ikutan lagi kumpul, sih. Jadi nggak aneh kalau lo nggak inget.”

Zakky menggaruk tengkuknya salah tingkah. Beberapa orang gantian menyapa. Ada total dua belas orang angkatannya yang datang sore itu. Lima orang perempuan dan tujuh orang laki-laki termasuk Zakky. Ia tidak begitu ingat nama mereka semua. Dua setengah tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan banyak hal.

Permianan berlangsung sebanyak tujuh quarter. Jantung Zakky berdebar cepat sepanjang ia berlari dan melompat. Telapak tangannya yang bersentuhan dengan permukaan bola yang kasar terasa panas. Tapi benda bundar berbahan kulit itu terasa amat pas di permukaan kulitnya, seperti bertemu kawan lama. Sepanjang sore, kepala Zakky hanya berpusat pada bola, pada ring, dan pada bagaimana ia bisa membuat poin dan tertawa bersama rekan satu timnya yang lain.

Sore itu, sekali lagi, segalanya terasa amat benar. Seperti potongan-potongan puzzle yang hampir utuh. Tepat, tapi belum lengkap.

Zakky membaringkan tubuh di atas aspal lapangan basket, membiarkan peluhnya mengalir turun. Dadanya naik turun, berusaha meraup udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya yang terasa menyempit. Alde mengambil posisi duduk tepat di sebelah Zakky sembari menempelkan sebotol air mineral dingin di pelipisnya yang dibanjiri peluh. Langit malam yang berpendar biru tua hari itu juga masih tampak cantik, meski gelap mendominasi ronanya. Zakky terkekeh pelan, menertawakan keromantiasannya malam ini yang mendadak datang.

“Udah gila apa lo, ketawa-ketawa sendiri?” Alde bertanya, lebih terdengar seperti menghakimi, sebenarnya.

Zakky tertawa lagi. “Nggak. Gue lagi pujangga banget aja rasanya, hari ini.”

“Daryan nggak dateng hari ini. Gue chat juga dia nggak bales,” Alde memberi jeda untuknya meneguk air mineral. “Itu anak kemana, deh?”

“Lagi sibuk PDKT, dia. Ada anak magang baru di kantornya, katanya. Junior Staff Engineering, lagi PPL.”

“Itu udah yang ke berapa kalinya sejak kita masuk kuliah?” Alde bertanya lagi.

Zakky tertawa, “Baru ketiga kali. Positif kali ini bakal super susah.”

Alde ikut tertawa, sebelum kemudian meminum lagi air mineralnya sampai tinggal tersisa setengah botol. Zakky kembali memandang langit, membiarkan semilir angin malam menjalankan tugas mengeringkan peluhnya. Suara tawa dari anggota lain menjadi latar dari keheningan di antara mereka berdua, sebelum Alde memecah sunyi itu dengan sebuah tanya.

Tanya yang entah bagaimana terasa sedang Zakky tunggu.

“Lo gimana sama si Hayyan? Udah berapa bulan deh, ini, lo berdua diem-dieman kayak orang nggak kenal?”

Hayyan, ya. Nama itu secara ajaib terasa memenuhi rongga yang Zakky risaukan. Bagian puzzle yang kosong. Hal janggal yang Zakky mengerti, tapi enggan ia ungkit kembali. Hayyan Nandhana adalah kekosongan yang membuat rasa lega dalam hati Zakky tidak terasa sempurna. Bahwa masih ada yang hilang, masih ada yang belum kembali. Masih ada sesuatu yang Zakky tunggu dan ingin perbaiki.

“Dari Desember. Udah empat bulanan lebih, kayaknya,” jawab Zakky sebelum membuang napas yang terasa berat. “Mau gue omongin, tapi entah kenapa nggak pernah ngerasa dapet timing yang tepat. Kayak, belum waktunya aja.”

“Yakin, tuh, bukan lo-nya aja yang lagi cemen?”

Zakky mengangkat bahu. “Nggak tau. Bisa jadi?” suaranya terdengar tidak yakin. “Gue takut malah ngerusak alirannya, De. Rasanya belum pas aja, ngomong sekarang. Gue nggak mau ngeganggu dia saat dia butuh waktu jauh dari gue. Gimana kalau selama empat bulan gue mati-matian mertahanin flownya, dan semuanya jadi ancur karena gue nggak sabaran?”

Alde mengacak rambutnya frustrasi. Sejujurnya ia sendiri tidak tahu saran apa yang paling tepat bagi sahabatnya kini. Seperti yang Zakky bilang, segala keputusan terasa amat riskan sekarang. Sebagai orang yang didorong menjauh, memaksa mendekat justru bukan pilihan yang tepat.

“Mungkin lo cuma harus nunggu?” Alde terdengar ragu. “Ah, gak tau deh gue, Zak. Di satu sisi, seperti yang lo bilang, bisa jadi dia emang lagi nggak mau ada hubungan dulu sama lo. Tapi di sisi lain, gimana kalau dia tuh ternyata mau lo maju duluan. Dan selama lo nunggu timing gini, gimana kalau ternyata timingnya udah lama kelewat?”

Satu menit, dua menit, lima menit berlalu tanpa jawaban. Alde menghela napas, berpikir bahwa mungkin Zakky memang tidak berniat menjawab. Ia toh tidak akan memaksa. Alde meneguk air mineralnya lagi. Percakapan mereka yang amat singkat itu terasa cukup membuat tenggorokannya kering.

“Kalau gitu,” Zakky bergumam tepat ketika Alde selesai menelan. “Kalau emang udah lewat, ya gue mau gimana lagi? Mungkin emang bukan waktunya. Atau justru lebih ekstrim lagi,” Zakky menoleh, memberi Alde senyum tipis, “mungkin emang dia bukan buat gue.”

***

Tentu saja itu bohong. Senyum itu, ucapan itu. Zakky bukan orang yang pandai berdusta. Sekalipun iya, Alde sudah berteman dengannya cukup lama untuk tahu kalau Zakky sesungguhnya tidak sedang baik-baik saja. Zakky tahu ia pembohong yang payah, dan Alde tahu sahabatnya sedang mencoba untuk tidak memperlihatkan kepahitannya terang-terangan.

Tapi lelaki bernama lengkap Aldebaran Rahardi itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, membiarkan percakapan itu mati di ujung jawaban Zakky.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

“Bade kamana, A?” Adalah suara Bunda yang mengiringi langkah Hayyan yang tergopoh-gopoh pagi itu. A Kelana, kakak sepupunya, menyahuti dari ruang tamu, tapi Hayyan tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan Bunda, ataupun mendengar apa yang A Kelana katakan. Kepalanya sudah terlanjur panik, sebab siapa yang menduga Razakky Bhadrika sudi menempuh puluhan kilometer ke sini, ke pinggiran Garut yang dingin dan sepi.

Desa Sarjambé, tempat rumahnya berada, adalah sebuah desa kecil yang cukup asri. Keluar dari gang sempit yang jadi tempat keluar-masuk, adalah jalan kecil diikuti hamparan sawah dan bukit. Bagi Hayyan, rumah adalah tempatnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan yang kadang sedikit kejam. Tempat yang tepat untuk berpikir dan beristirahat. Ketika memutuskan pulang lebih cepat, Hayyan bermaksud mengenyahkan segala rasa tidak menyenangkan yang bercokol di hatinya sewaktu memikirkan Zakky; atau Guntur, atau segala hal rumit yang berjejal di kepalanya yang sempit.

Siapa yang menduga, bahwa sumber dari segala kerumitan pikiran itu justru menyusulnya ke sini?

Razakky masih seperti terakhir kali Hayyan bisa mengingat. Rambut hitam cowok itu sudah tumbuh agak panjang sejak terakhir mereka bertemu. Ia memakai jaket hitam, dengan celana dan kaos senada. Cowok itu duduk di atas motornya, memandang pada langit pagi yang berpendar biru dan kuning dengan sedikit rona jingga. Hayyan perlu menarik napas berkali-kali, perlu memastikan bahwa ia siap bertemu Zakky setelah puluhan sesi menghindar yang sekarang terdengar jenaka di telinga.

Setiap langkah yang Hayyan bawa mendekati Zakky menusuknya dengan fakta betapa besar rindu yang ia pupuk sejak mereka terakhir bersua. Ia rindu melihat Zakky tertawa, rindu mencicipi kembali obrolan sore mereka, rindu mencium aroma buku, bicara soal musik dan film, atau apapun yang sudah mereka lalui bersama. Perlahan tapi pasti, Hayyan sadar bahwa tidak ada gunanya menghindari Zakky. Perasaannya tetap tumbuh dengan atau tanpa ia berusaha lupa.

“Zak?” Hayyan memanggil, sedikit malu mendengar suaranya tercekat.

Zakky menoleh, dan ada sekelumit perasaan menyebar di dada Hayyan yang ia sendiri tak bisa definisikan. “Hei,” Zakky membalas, mengulas senyuman tipis. Cowok itu turun dari motor dan berdiri menunggu Hayyan menghampiri.

“Udah lama nunggunya?” Hayyan bertanya, susah payah menyembunyikan rasa gugup yang datang tiba-tiba.

Zakky menggeleng. “Nggak lama. Pas saya telpon, saya baru sampe.”

“Kamu ada apa ke sini? Pagi-pagi banget, lagi. Baru jam delapan, lho? Jalan jam berapa dari Bandung?”

Zakky tertawa lepas diberondong pertanyaan tanpa jeda. “Mau ketemu kamu. Berangkat jam setengah tujuh, kok. Jalannya lumayan lancar, meski agak macet tadi di Rancaekek.”

Hayyan berdecak gemas. “Udah sarapan, belum?” tanyanya, yang dibalas Zakky dengan gelengan kepala.

“Duh,” Hayyan jadi kesal sendiri. “Ayo ke rumah. Beruntung ya, kamu, kita juga belum sarapan. Nimbrung aja, yuk?”

“Nggak ganggu, emangnya?”

Hayyan mendengus. “Nggak. Ayo, cepet, sebelum kamu pingsan!”

***

Melangkahkan kaki di rumah sederhana yang entah bagaimana terasa hangat itu, Zakky disambut dengan senyum hangat Bunda dan tawa bersahabat Ayah. A Kelana, kakak sepupu Hayyan, dengan sigap membuatkannya segelas teh manis hangat setelah tahu Zakky sudah berkendara sepanjang pagi. Keluarga mereka sempurna dan bahagia. Keluarga yang hanya tinggal di mimpi Zakky.

Nampaknya semua keluarga memang diciptakan untuk jadi hangat dan bahagia. Nampaknya hanya keluarga Zakky yang menjadi pengecualian.

“Maafin A Kelana, ya. Dia emang suka agak kaku sama orang baru.”

Zakky melirik, menangkap rasa bersalah di wajah Hayyan yang sedikit pucat. “Nggak masalah. A Kelana udah baik banget nyeduhin saya teh manis, tadi.”

Hayyan menimpali dengan kekehan singkat. “Kamu ada apa, Zak?”

Zakky menelan ludah, kembali membuang pandang pada hamparan tanaman herbal Bunda di taman belakang. Di kepalanya, cowok itu sibuk memilah kata; memilih satu dari berbagai penjelasan yang bersilang-sengkarut di dalam kepala.

“Mama saya selingkuh,” katanya, tanpa sadar mengeratkan genggaman pada gagang gelas yang ia pegang. “Udah lama, mungkin sejak saya masih dalam kandungan. Sejak kecil, Mama nggak pernah nerima keberadaan saya. Atau Rayyan. Kami cuma batu sandungan buat Mama dan pacarnya; dan mimpi-mimpi mereka berdua. Sejak kecil saya selalu berdoa semoga Mama menderita, semoga Mama tau rasanya jadi saya; ditinggalkan dan nggak pernah dianggap ada.

“Tapi saya nggak pernah bener-bener berharap gitu. Dua malam lalu, Mama pulang sambil nangis-nangis karena hubungannya sama laki-laki itu berakhir. Dua puluh tahun saya menderita, dan Mama akhirnya benar-benar tau rasanya jadi saya. Tapi sewaktu saya liat Mama nangis, saya liat Mama hancur, saya jadi marah sama diri saya sendiri. Bisa-bisanya saya, yang paling tau betapa sakit dianggap nggak ada, berharap Mama saya sendiri ngerasain itu?”

Jemari kecil Hayyan terulur, memberi usapan pada punggung Zakky yang bidang. Berharap lewat sentuhan kecil itu, cowok itu bisa sedikit tenang. Berharap Zakky tahu bahwa Hayyan ada di sini, dan Zakky tidak sendiri.

“Saya nggak tau kenapa saya milih cerita ini ke kamu sekarang. Jujur aja, saya nggak ngerti kenapa Mama tetap minta pisah sama Papa setelah laki-laki itu jelas-jelas sudah buang dia.”

“Mungkin...” Hayyan menelan ludah, “mungkin karena Mama kamu ngerasa ini semua nggak adil buat dia dan buat Papa kamu. Aku nggak tau apa yang ada di kepala dia, Zak. Kamu juga nggak bisa nebak-nebak. Kenapa nggak kamu ajak ngomong aja Mama kamu, dengan kepala dingin?”

“Mama benci sama saya, Yan,” Zakky terkekeh miris. “Lihat saya aja, dia kayaknya nggak sudi.”

“Nggak ada Ibu yang benci sama anaknya sendiri, Zak,” potong Hayyan, kini ganti mengusap kepala Zakky penuh afeksi. “Tapi kalau kamu masih ada di fase ini, ada baiknya kamu tenangin diri dulu sebelum jalan lagi. Pelan-pelan aja.”

Zakky mengangguk, memejamkan mata menikmati belaian tangan Hayyan di kepalanya. Masih sampai kini, Hayyan Nandhana entah bagaimana selalu punya cara untuk mengerti Zakky; meski kadang lelaki itu tidak dapat mengerti dirinya sendiri. Betapa senang, betapa bahagianya kalau Hayyan sudi membersamai Zakky menghadapi segala mimpi buruknya di depan mata.

“Saya nggak ada apa-apa sama Melati, Yan.”

Hayyan menggumam. Gumaman singkat yang kemudian berhenti menyisakan jeda panjang di antara mereka berdua. Gumam yang tidak pernah Zakky duga akan jadi satu-satunya respon atas penjelasannya yang teramat singkat. Usapan tangannya di kepala Zakky berhenti, membuat cowok itu kembali merasa hampa.

“Hari itu sewaktu saya minta pulang duluan, Melati bilang dia suka sama saya. Sedikit telat, sebenarnya, karena udah dua tahun lebih kelewat dan dia sebenarnya punya banyak waktu untuk jelasin ke saya. Tapi dia milih hari itu, sewaktu reuni, sewaktu perasaan saya ke dia udah sepenuhnya tuntas. Saya harusnya—”

“Nggak perlu dijelasin ke aku, Zak,” Hayyan berujar, memberi senyuman manisnya. “Aku bukan siapa-siapa kamu.”

Zakky tertegun. Kalimat-kalimat penjelasan yang siap ia lontarkan tertahan di tenggorokan. Kabut di mata Hayyan menjadi penanda bahwa lelaki itu tidak mengharapkan apapun dari Zakky. Tidak penjelasan, tidak kehadiran. Bahwa Hayyan tentu saja punya lukanya sendiri, yang sedang berusaha ia tanggalkan.

Hayyan menahan napas, mencoba menetralkan kembali degup jantungnya yang mulai bertalu. Kepalanya berteriak meminta akal sehatnya bekerja.

“Kamu udah lewatin garis itu lama banget, Yan. Kamu ada buat saya, kamu lebih dari sekedar 'bukan siapa-siapa'.” Hati-hati, Zakky memilih kata. Tidak ingin memperpanjang kesalahpahaman, sekaligus tidak tahu mana yang paling cocok dijadikan penjelasan. Bagaimana caranya menyampaikan pada Hayyan bahwa cowok itu punya andil yang amat besar di hidup Zakky?

Hayyan terkekeh, jelas tidak percaya. Akal sehatnya berteriak lagi, lebih kencang kali ini.

Tidak, Hayyan Nandhana. Ini bukan pertanda apa-apa. Barangkali Razakky Bhadrika hanya sedang bingung, seperti bagaimana Guntur pernah salah mengartikan perhatiannya padamu sebagai cinta dulu sekali. Kamu pikir, orang-orang dengan cinta pertama sehebat itu bisa sembuh hanya lewat menghabiskan beberapa bulan bersama? Kamu terlalu banyak bermimpi.

Hayyan bangkit, memberi Zakky senyuman yang ia sendiri tak peduli meski terlihat palsu. “Kamu nggak bisa bergantung sama aku, Zak. Kamu inget, kan, aku dulu bilang apa? Aku bukan Melati.”

“Saya tau,” Zakky memotong, terdengar tidak berdaya. “Saya tau, dan saya masih tetap liat kamu sebagai Hayyan Nandhana.”

“Udah ya, Zak? Kamu sekarang cuma bingung. Liat aja nanti, kamu bakal sadar kalau ternyata kamu tuh cuma salah mengartikan aja.”

Zakky ingin membantah, tapi Hayyan tidak memberinya kesempatan bicara sebelum menambahkan:

“Semuanya bakal baik-baik aja, Zak. Kamu, aku. Kita baik-baik aja sebelum kita ketemu, dan kita bakal baik-baik aja setelah ini. Beberapa waktu dari sekarang, kamu bakal sadar kalau memang selama ini, aku gak pernah jadi rumah buat kamu.”

Kalimat Hayyan menutup percakapan pagi mereka hari itu. Cowok yang masih berstelan piyama itu bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Zakky yang masih berusaha memproses keadaan. Ketika ia berhasil mencerna ucapan Hayyan, Zakky dihadapkan pada kalimat-kalimat perpisahan dari Bunda, Ayah dan A Kelana, semata lantaran Hayyan sudah lebih dulu berkata bahwa ia akan pamit karena tidak bisa berlama-lama.

“Nanti main lagi ya, Kasep?” bujuk Bunda, diikuti anggukan Ayah dan ucapan hati-hati di jalan dari A Kelana.

“Ke depan sendiri ya, Zak? Aku mau mandi dulu, udah arateul (gatel-gatel) badannya. Nanti dianterin sama A Kelana.”

Zakky tidak bisa membantah. Cowok itu mengangguk, menangkap sinyal dari Hayyan bahwa percakapan mereka cukup dihentikan sampai sini saja. Cowok itu memakai jaketnya, menyalami Ayah dan Bunda, dan melangkah dengan berat meninggalkan rumah Hayyan yang hangat.

Masih ada nanti, Zakky pikir.

Benarkah nanti masih akan ada?

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Suara musik dari Silampukau memantul di dinding ruang tengah sewaktu pintu depan mengayun terbuka. Zakky sedang duduk di depan televisi, dengan laptop di atas meja dan ponsel di genggaman tangan. Rayyan sedang belajar mati-matian di dalam kamar, meski Zakky yakin hanya menyoal waktu sampai anak itu terlelap di atas meja belajarnya sendiri. Papa bilang akan pulang besok siang, jadi Zakky tidak perlu menoleh untuk tahu kalau yang pulang barusan adalah Mama.

Susah payah menyuruh tubuhnya untuk tidak memberi perhatian pada wanita itu, Zakky akhirnya menyerah. Ia menoleh, membuang pandang sejenak dari layar ponselnya dan menatap Mama. Perempuan itu terlihat kacau, paling kacau dari semua versi Mama yang selama ini Zakky perhatikan. Jejak-jejak air mata di pipinya nampak segar, dan Mama tampak terlalu abai untuk sekadar menyamarkan keberadaannya.

“Mana Papa kamu?” Mama bertanya, suaranya tanpa intonasi. Perempuan itu melempar tas kerjanya ke atas sofa, lantas mendudukkan diri satu meter dari anak sulungnya yang tampak tidak peduli.

“Kerja,” Zakky menjawab singkat, kembali pada layar ponselnya meski kepalanya memusatkan perhatian pada Mama dan segala gestur yang ia buat.

Maya, perempuan berusia empat puluh tujuh tahun itu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Zakky melirik lagi, menyusuri jejak-jejak kelelahan di wajah wanita itu. Jantungnya berdebar kencang tanpa alasan. Mama menarik keluar ponselnya, ada retakan di permukaan layarnya. Perempuan itu melakukan sesuatu, sebelum menempelkan ponsel di telinga; barangkali berniat menelepon Papa.

“Halo?” suara Papa di seberang sambungan terdengar riang. Zakky berusaha terlihat tidak peduli, meski ia mati-matian mempertajam pendengaran. “Tumben kamu telepon aku, May? Ada apa, Sayang?”

Lelehan air mata jatuh lagi di pipi Mama, mengejutkan Zakky. Mama menarik napas panjang, lantas berkata sambil tersedu, “Aku mohon, Rud. Cerai sama aku, ya?”

***

Sejujurnya, Zakky benci Mama. Kalau ada orang di dunia ini yang Zakky paling benci, Mama orangnya. Perempuan itu tidak pernah memperkenalkan Zakky pada kehangatan seorang ibu. Sejak kecil, Zakky tumbuh besar di bawah asuhan Papa. Anak-anak sebayanya sewaktu Sekolah Dasar senang membawa bekal buatan ibu, tapi Zakky tidak pernah tahu apakah Mama bisa memasak ayam kecap, pernahkah Mama tidak sengaja menumpahkan banyak air sewaktu memasak nasi, atau apa rasa puding kesukaan Mama. Mereka tidak pernah punya obrolan semacam itu bersama satu sama lain.

Mama tidak pernah peduli apakah Zakky juara kelas, atau apakah dia menang di turnamen basket. Mama tidak ada menggoda Zakky sewaktu ada anak perempuan menyatakan cinta padanya. Mama tidak mengusap bahu dan memeluk Zakky sewaktu ia jatuh dari sepeda. Mama ada, tapi terasa tidak pernah ada. Zakky benci Mama karena Mama mengabaikannya. Di kelas lima, Zakky pernah berdoa agar Mama menderita. Agar Mama tahu rasanya ditinggalkan seperti bagaimana wanita itu meninggalkan Zakky. Agar Mama mengerti bahwa kasih sayang adalah elemen yang amat berharga, dan bahwa Zakky membutuhkannya.

Tapi Zakky tidak pernah sungguh-sungguh pada doanya. Ia tidak pernah benar-benar ingin melihat Mama menderita. Ia tidak sanggup melihat air mata Mama terus-menerus jatuh. Ia tidak bisa melihat isakan Mama yang terdengar menyayat hati. Jauh di dalam hatinya, Zakky ingin Mama bahagia.

“Ma, udah,” Zakky membawa perempuan itu ke dalam pelukan. Membiarkan Mama meringis dan tersedu di dadanya. Jantungnya terasa diremas, dan dadanya sesak melihat Mama demikian hancur.

Mungkin jauh di dalam hatinya, Zakky hanya ingin Mama melihat ke arahnya. Zakky ingin Mama membagi bahagianya, sebagaimana Zakky bersedia membagi kebahagiaannya bersama wanita itu. Zakky ingin Mama menerima kehadirannya, ingin Mama berhenti memandangnya seperti menatap seorang pengganggu.

Rayyan berlari keluar dari kamar sewaktu Mama mengerang semakin kencang. Bahu wanita itu berguncang-guncang di dalam pelukan Zakky yang semakin erat. “Mama kenapa?” Rayyan bertanya, tampak panik menghadapi histeria Mama yang tiba-tiba.

Zakky menggeleng, mengeratkan pelukan. “Nggak papa, Ma. Keluarin aja semua. Ada Zakky di sini, ada Rayyan, ada Papa. Mama bisa nangis sepuas Mama.”

Jauh di dalam hatinya, Zakky ingin mampu menyangga kesedihan Mama. Malam itu, Mama terus menangis sampai napasnya tersengal dan tubuhnya lemas terkulai. Zakky dan Rayyan duduk di kedua sisi wanita itu, menunggunya dengan sabar.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Lampu taman yang temaram melatarbelakangi keheningan di antara Hayyan dan Guntur. Meja-meja di bagian luar restoran tampak tidak terisi, dan di sana lah mereka berdua duduk bersama mulut yang terus terkatup. Hayyan memandang pada barisan rumput, sesekali melirik pada langit malam yang sudah sepenuhnya menggelap. Ia melirik kemana pun kecuali pada Guntur.

“Lo apa kabar, Yan?” Guntur bertanya, menjadi orang pertama yang menghancurkan kebekuan di antara mereka berdua.

Hayyan melirik sebentar, sebelum kembali memandang langit setelah memastikan bahwa Guntur tidak sedang memandang padanya. Ada rasa lega yang sulit dijelaskan setelah ia tahu bahwa lelaki itu tidak sedang menangkan raut menyedihkan di wajahnya. “Gue gini-gini aja, Tur. Nothing really changes during these two years.”

“You look better, though. Dibanding waktu terakhir kali kita ketemu.”

Hayyan mengulas senyum, jenis senyum yang tidak mencapai matanya. “Nggak bisa dibandingin juga, lah, Tur. Terakhir kali kita ketemu, lo bikin segala hal terasa kayak becandaan buat gue.”

Guntur menarik napas, tahu betul apa yang Hayyan maksud. Sayup-sayup suara ragu Semesta dari Isyana Sarasvati terdengar di belakang punggung mereka, menemani Hayyan dan Guntur sekali lagi tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Gue mau jelasin semuanya sama lo sekarang, di sini.”

Hayyan tidak menjawab. Ia membiarkan kepalanya menggali kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan. Ingatan-ingatan yang ia kubur jauh-jauh lantaran hanya menyisakan luka yang tidak kunjung kering dan tanggal.

“After all this time?“

Guntur menggigit bibir. “Maaf, Yan. Maaf untuk semua yang pernah gue lakukan ke lo.”

Hayyan tersenyum kecut. “Kalau maaf lo bisa bikin sakit hati gue hilang, gue terima dengan senang hati, Tur. Tapi maaf lo nggak berguna buat gue sekarang. Maaf lo udah kadaluwarsa, udah nggak berarti apa-apa. Maaf lo udah gak bisa nutup kekecewaan gue yang tumbuh subur selama dua tahun ini. Maaf lo itu cuma sekadar kata, Tur.”

***

Januari, 2014

“Tugas Pak Pri udah kelar belum, lo?” Radit menarik kursi di belakang Hayyan. Tas berisi buku-buku sekolahnya hampir ia banting ke atas meja. Tinggal beberapa menit lagi sebelum bel masuk berbunyi, dan Hayyan mengerti sumber tetes-tetes keringat yang menggantung di pelipisnya.

Hayyan menggeleng, memamerkan senyum tak bersalahnya. “Mau niron sama Roro nanti istirahat pertama.”

Radit mendengus, tapi tidak berkomentar. Barangkali mengerti bahwa tugas Fisika yang diberi Pak Pri memang sulit dan mereka berdua sama-sama bukan penggemar mata pelajaran yang satu itu. Ia melirik Roro, menangkap yang dimaksud sedang sibuk mengobrol bersama Siti. Radit mengangkat bahu, urung meminta buku tugas Roro dan memutuskan menunggu Hayyan di jam istirahat pertama.

Tiga menit lagi menuju bel masuk dan Hayyan sudah mengeluarkan buku Biologi; siap menghadapi Bu Dwi dan lanjutan mengenai replikasi DNA yang tidak kunjung ia pahami. Radit menyentuh bahunya, berniat mengajaknya bicara sembari membunuh waktu sewaktu teman sebangkunya Ervan angkat bicara.

“Eh, Yan, lo udah putus sama Guntur, ya?” celetuk cowok yang menghabiskan waktu dengan main flappy bird itu. “Kemaren gue ketemu dia lagi makan berdua sama Findi di IP.”

Alis Hayyan berkerut dalam. “Findi?”

Ervan mengangguk. “Iya, anak IPA 6 yang suka bareng pulang-pergi sekolah sama lo itu.”

“Lo liat mereka di mana?” Radit memotong.

“Di Hanamasa IP. Gue kira sama Hayyan juga, tapi kayaknya mereka cuma berdua aja. Jadi gue pikir lo sama Guntur putus.”

“Eh iya, Yan,” Alfina, cewek berkacamata yang duduk di baris kanan ikut masuk ke dalam percakapan mereka. “Aku juga ketemu sama si Guntur sama Findi waktu nyari buku ke Gramedia Merdeka. Mereka kayaknya sering jalan berdua gitu, ya?”

Hayyan tidak menjawab. Ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk digunakan menutupi ketidaktahuannya. Sejak kenal Guntur, menjadi dekat dan akhirnya memutuskan pacaran, Hayyan tahu cowok itu dekat dengan Findi. Mereka teman sejak kecil, dan ia tidak enggan mengakui kalau Findi mungkin kenal pacarnya lebih baik dari dirinya sendiri.

“Mereka 'kan emang udah deket dari dulu,” timpal Hayyan sambil terkekeh. “Gue sama Guntur nggak putus kok, Vin. Kita baik-baik aja.”

Ervin dan Alfina mengagguk mengerti, meski mungkin masih ada keragu-raguan di dalam hati mereka yang tidak mereka tunjukkan terang-terangan. Hayyan bisa merasakan tatapan tidak setuju Radit, tapi ia tidak berniat memperpanjang dialog soal Guntur dan Findi pagi ini. Hayyan pikir ia pandai berbohong. Perlu waktu dua bulan baginya untuk mengerti bahwa ia tidak bisa berdusta; terutama pada dirinya sendiri.

***

April 2014

Halaman depan rumah yang Hayyan tempati gelap sore itu. Tidak ada orang di rumah hari ini. Bibi, Mamang dan sepupunya pergi ke Garut menjenguk Mbah Putri yang darah tingginya kambuh lagi. Matahari yang semula menyiram tubuh Hayyan dengan sinar jingganya sudah lama kembali ke tempat peristirahatan. Hanya ada Hayyan, Guntur, gelap dan hening yang tak kunjung pecah.

Perlu waktu lama untuk Hayyan mengerti penjelasan pendek dan permintaan Guntur yang memporak-porandakan hatinya. Perlu waktu lama baginya untuk menahan tangis meluncur turun, meski pada akhirnya ia menyerah juga pada ketidakberdayaan.

“Kita putus aja, ya? Aku gak enak giniin kamu terus.”

Adalah kalimat yang Guntur pilih untuk mengakhiri hubungan mereka. Hubungan yang Hayyan jaga setengah mati. Lewat kalimat minim empati itu, Guntur memutuskan untuk menyudahi sandiwara yang ia mainkan cukup lama. Ia memutus benang di antara mereka, benang yang susah payah Hayyan pintal dan ikat sendiri di jari Guntur yang rupanya selalu dingin.

“Kamu beneran sama Findi—”

“Findi gak ada hubungannya sama kita,” potong Guntur. Tidak ada emosi berarti dalam suaranya yang datar. “Ini murni karena aku. Aku udah nggak bisa sama kamu lagi.”

“Aku yang terlalu nuntut kamu, kah? Aku minta maaf, Tur. We can make this work once again. Jangan tiba-tiba minta putus gini aja...”

Guntur mengusap wajahnya kasar, kentara sekali tidak berniat menerima penolakan Hayyan. Cowok itu nampak lelah, dan Hayyan tidak perlu berpikir dua kali untuk mengerti bahwa ia adalah sumber segala rasa lelah yang Guntur rasakan.

Di dalam kepala, Hayyan mulai bertanya-tanya. Sejak kapan semuanya menjadi terasa salah? Ia pikir ia cukup mengenal Guntur, tapi Hayyan benci menghadapi fakta bahwa ia terlalu mengenal Guntur untuk mengerti bahwa lelaki itu tidak lagi menghendaki keberadaannya. Rumah Guntur bukan lagi dirinya. Dan meski Guntur tidak berkata apa-apa, atau menyangkal soal 'rumah' barunya, Hayyan bisa melihat 'rumah' itu lewat matanya. Mata manusia tidak pernah berdusta.

“Oke,” Hayyan membalas, suaranya terdengar seperti sedang tercekat. “Oke kalau itu yang kamu mau.”

Guntur tidak membalas. Ia membuka mulut, tapi memutuskan untuk menelan kembali apapun yang hendak ia katakan. Cowok dengan rahang tegas itu bangkit, berbisik 'aku pulang kalau gitu, jaga diri kamu' dengan suara yang amat kecil dan langsung pergi. Hayyan menggigit bibir, menahan tangis sembari memandangi tubuh cowok itu menghilang di balik gelapnya malam.

***

Maaf dari Guntur bukanlah hal yang Hayyan inginkan sekarang. Kalau boleh jujur, ia tidak mengharapkan apapun dari cowok itu saat ini. Semua hal sudah berlalu, waktu sudah berjalan cukup lama, luka di hatinya masih dan akan selalu menganga. Guntur Gumilang hanyalah masa lalu yang selalu Hayyan tengok, semata untuk membuat dirinya sendiri mengerti bahwa mencintai orang kadang tidak meninggalkan jejak apa-apa selain rasa sakit yang tidak pernah usai.

Hayyan menoleh, memandangi Guntur yang sibuk menunduk. Perasaan bersalah berkabut di wajahnya, tapi tidak ada yang mengetuk hati Hayyan selain rasa hampa. Segala sesuatu tentang mereka sudah mati lama sekali. Entah itu rasa cinta, rasa sakit, kerinduan, dan yang tersisa di antara mereka hanya rongga yang tidak akan pernah terisi sendiri. Sebuah jarak.

“Gue cuma mau tau satu hal, Tur,” tutur Hayyan, memandang kembali apda hampar rumput yang jauh lebih menarik ketimbang mantan pacarnya. “Pernah nggak, sekali aja lo beneran tulus sayang sama gue?”

Hayyan pikir ia akan menangis mengingat masa-masa itu. Ia pikir ia akan hancur di bawah kaki Guntur saat mereka kembali bertemu. Tapi rupanya tidak. Ia masih utuh dan baik-baik saja. Barangkali kehancurannya sudah terjadi dua tahun yang lalu. Barangkali hatinya adalah serpihan kaca yang sudah tidak bisa lebih hancur lagi. Ia hanya ingin tahu, dan Hayyan begitu yakin bahwa apapun yang Guntur katakan tidak bisa menyakitinya lebih dari bagaimana cowok itu menghancurkannya dua tahun yang lalu.

Tapi Guntur tidak menjawab. Tidak ada satu katapun lolos dari bibirnya. Hayyan sudah menunggu, tapi cowok itu nampaknya memilih bisu.

“Oke, gue ngerti,” kata Hayyan, membuang napas seolah kediaman Guntur juga adalah jawaban yang sudah ia perkirakan. “Semoga lo langgeng sama Findi, ya. I really mean it.”

Lepas bicara begitu, Hayyan bangkit. Meninggalkan rasa sakit dan masa lalunya menutup buku di meja restoran malam itu. Ia akan melangkah meninggalkan episode cinta masa remajanya tanpa penyesalan apapun. Ia akan bangkit dan menemukan kembali dirinya sendiri.

“Jaga diri lo, Tur.”

Sebab untuk apa terus berkubang dalam rasa sakit, saat tahu bahwa hanya kita yang hancur sendirian? Hayyan menolak menjadi tidak berdaya. Ia menolak untuk menempatkan Guntur dalam singgasana tertinggi di hidupnya saat ia hanyalah seserpih debu dalam lemari kenangan Guntur yang tidak berharga.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Memasuki resto kecil yang Radit sewa untuk reuni seperti melangkah ke dalam ruang yang penuh oleh masa lalu. Hayyan mengekor di belakang Zakky, menggandeng ujung jaket denim yang cowok itu pakai seperti seorang anak kecil yang hilang di tengah kerumunan. Lampu tempat yang lebih cocok disebut kafe itu berpendar jingga, membawa kembali Hayyan ke malam perpisahan dua tahun yang lalu. Sedikit jenaka rasanya. Waktu sudah cukup lama berlalu dan di sini lah ia, bersama lelaki yang sama yang menemaninya merasai patah hati dulu sekali.

“Gak mau gandeng tangan aja?” Lagi, Zakky bertanya iseng. Sudut bibirnya terangkat sedikit, kentara sekali empunya sedang menahan tawa. Hayyan mendengus, lantas mendorong lengan Zakky kepalang pelan sebagai bentuk protes.

Beberapa pasang mata memandang pada mereka, dan Hayyan langsung dihujani perasaan tidak nyaman. Matanya berpendar mencari wajah-wajah yang terasa akrab, menggali sosok Radit dan Yosef di antara sekian banyak wajah teman-teman yang sudah lama ia lupakan. Tanpa terasa, genggaman tangannya semakin erat di jaket Zakky; tanpa bahasa meminta cowok itu tidak meninggalkannya sendiri.

“Iya, iya. Saya gak akan kemana-mana, kok,” tukas Zakky sambil terkekeh.

“Zak, belah dieu!” Yudha berseru dari arah kanan, melambai-lambai ke arah Zakky bermaksud meminta yang dipanggil berjalan mendekat. Ada Alde, Naufal dan Yosef berdiri di sisinya.

Zakky menggenggam pergelangan tangan Hayyan, menarik pemiliknya mendekat. “Ke sana, yuk? Ada si Yosef juga, tuh.”

Hayyan mengangguk. Rasa tidak nyamannya mendadak menguap entah kemana sewaktu kulit mereka bersentuhan. Seperti segala hal magis yang dipertontonkan Zakky kepadanya selama beberapa bulan kedekatan mereka, Hayyan merasa kenyamanan datang padanya secara instan. Ia melukis senyum, membiarkan Zakky menuntunnya melipir. Ia tidak lagi memedulikan tatapan-tatapan penasaran para alumni lain. Bagi Hayyan, saat ini, segala sesuatu tidak terasa berarti lagi.

“Lama banget lo datengnya. Udah mau jam tujuh ini,” Alde adalah yang paling pertama bicara. Sambil berpura cemberut, ia menyerahkan dua gelas kertas berisi sirup koko pandan. “Ngapain dulu lo berdua?”

Hayyan mengambil gelas itu sambil mencibir. “Sholat dulu, lah. Mohon maaf kayaknya gue masuk surga duluan.”

Tawa Alde berderai. “Sombong, banget. Harusnya lo nyicip surga duluan, tapi karena udah riya, Tuhan bilang batal.”

Yudha menarik bahu Zakky, membuat genggaman tangannya lepas dari pergelangan tangan Hayyan. Yang disebut belakangan berjalan mendekati Yosef, mengajaknya mengambil beberapa makanan ringan yang terpajang dua meja dari tempat mereka berdiri.

“Aya naon? (Ada apa?)” Zakky bertanya.

“Si Ati tadi nyariin lo,” kata Yudha, mengusak poninya dengan gusar. “Tadi dia curhat dikit, katanya lo dihubungin dari siang nggak bisa. Padahal dia mau ngajak bareng.”

Zakky mengangkat bahu. “Gue mute anaknya. Lagian udah ngajak Hayyan bareng juga.”

Yudha melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya sedikit memicing, berusaha mencari sedikit saja kebohongan di mata Zakky. Tapi tidak ada apapun di sana.

“Gue sih nggak masalah lo mau kayak gimana. Asal jangan plin-plan aja. Kasian sama Hayyan. Kasian sama Ati. Kasian juga sama diri lo sendiri kalo kesempatannya tiba-tiba udah lewat dan lo gak bisa apa-apa.”

Zakky menepuk bahu Yudha, berbisik 'makasih' diikuti, “Gue juga nggak mau sampai begitu. Tenang aja.”

***

Semesta punya cara sendiri menabur garam di atas luka yang belum kering sempurna. Barangkali dunia memang senang bersenda-gurau dengan Hayyan yang kepayahan bangkit. Mungkin menurutnya, Hayyan belum cukup remuk; belum cukup pecah. Mungkin menurutnya, masih ada banyak langkah menuju merdeka. Merdeka dari rasa sakitnya, merdeka dari ingatan menyakitkan di kepalanya.

Jemari Yosef menjadi satu-satunya hal yang membawa Hayyan kembali merasakan kedua kakinya. Ia bisa merasakan jantungnya berdenyut nyeri, ia bisa mendengar bisikan hatinya menyuruh Hayyan lari. Tapi ia tetap diam, memandang pada lelaki itu seolah tidak ada lagi hal yang menarik di dunia ini selain ia dan langkah yang lelaki itu bawa mendekatinya.

“Hai, Yan. Lama nggak ketemu.”

Suara Guntur Gumilang masih sedalam yang terakhir Hayyan ingat. Matanya menjelajahi Guntur dengan khidmat, mengais perubahan-perubahan kecil yang kedatangannya tidak ia bersamai. Tidak ada yang berubah dari Guntur, tapi entah bagaimana auranya menjadi semakin dewasa. Ada nyeri dalam hatinya kala Hayyan sadar bahwa lelaki itu baik-baik saja tanpa kehadirannya.

“Hai,” Hayyan membalas. Suaranya sedikit tercekat. “Iya. Udah lama banget nggak ketemu ya, Tur? Sehat kamu?”

Guntur mengulas senyum. “Alhamdulillah, sehat.”

Hayyan bisa mendengar desisan Yosef berbisik, 'gue doain cepet mati', yang ditimpali Hayyan dengan sikutan di lengan kanan. “Findi mana?” Hayyan bertanya, memperhatikan air muka Guntur yang sedikit berubah menggelap.

“Lagi sama temen segengnya. Gue mau ngobrol sama lo. Ada waktu?”

Belum sempat Hayyan menjawab, Yosef melingkarkan lengah di bahu sahabatnya dengan gestur protektif. Mata kucingnya memandang garang ke arah Guntur, sedang yang dipandang hanya menggigit bibir lantaran seratus persen mengerti kenapa wajah galak itu Yosef pasang terang-terangan.

Hayyan mengangguk. Pelan-pelan ia melepaskan lingkaran tangan Yosef di bahunya sambil menjawab, “Boleh. Tunggu di luar aja, gue mau ngomong sama Yosef dulu.”

Guntur tidak membantah. Mungkin karena ia mengerti bahwa dirinya tidak berada dalam posisi yang berhak memaksa. Cowok bertubuh bidang itu pamit lebih dulu, meninggalkan Hayyan yang dihujani tatapan penuh tanya Yosef dan ketidaksetujuannya yang tampak terlalu kentara.

“Mau ngapain, sih?” ketus Yosef. “Nanti lo balik-balik ke sini, nangis. Gue gak mau ya liat lo nangis-nangis lagi kayak waktu itu karena alasan yang sama.”

Kedua sudut bibir Hayyan terangkat membentuk senyuman. “Udah kayak Bunda aja, lo.”

“Jiwa protektif gue mendadak menggelora kalau udah bawa-bawa lo sama dia,” kilah Yosef. “Mau apaan lagi sih yang diomongin? Udahlah, Yan, biarin aja semuanya kelar.”

“Justru karena gue mau semuanya kelar, Sef. Gue harus ngomong sama dia. Percaya aja sama gue, OK? Gue bakal baik-baik aja. We need this. I need this.”

Yosef membuka mulut, bersiap membantah sebelum sorot mata Hayyan memaksanya menelan semua bantahan mentah-mentah. Cowok yang lebih kecil itu membuang napas, memilih mengalah pada kekeraskepalaan sahabatnya. Mungkin Hayyan memang membutuhkan ini; mungkin ia membutuhkan alasan untuk menyerah meski hanya satu. Mungkin ia memang butuh penjelasan, sebuah arah agar ia bisa benar-benar pindah dari titik tempatnya berdiam sejak dua tahun lalu.

“OK. Tapi kalau dia bikin lo jauh lebih parah dari yang udah-udah, I swear to God I'll kick his balls with my own foot.“

Hayyan hanya tertawa.

***

Kalau pandang bisa meninggalkan jejak, Yudha pikir mungkin kepala Guntur sudah penuh lubang sejak cowok itu mengambil langkah pertama mendekati Hayyan. Bulu-bulu halus di pundak Yudha meremang kala ia melihat bagaimana Zakky menatap Guntur; intens dan penuh kewaspadaan. Ia melihat bagaimana rahang cowok itu mengeras. Yudha pikir, satu saja gerakan mencurigakan dari Guntur, dan sabuk hitam taekwondo Zakky tidak lagi hanya tinggal cerita.

“Kalemin atuh, Lur. Udah kayak mau nelen orang aja, lo.” Alde berkomentar sambil menahan tawa. Dalam kepala, cowok itu sibuk menghitung waktu; kapan kira-kira terakhir ia lihat Zakky sebegini cemburu?

“Makanya buruan dikasih tanda. Biar predatornya pada tau diri,” Alde menambahkan lagi. “Lo, sih, kelamaan maju mundurnya. Nggak semua hal punya kesempatan kedua, nyaho, teu?“

“Maneh ngomong wae, lila-lila nu diteureuy ku si Zakky lainna si Guntur tapi maneh, De. Cik atuh, jempe. (Lo ngomong mulu, lama-lama yang ditelen si Zakky bukannya si Guntur tapi lo, De. Diem, dong).” Naufal membalas.

“Tegang amat, Zak?” Yudha menyentuh bahu Zakky, berniat memberi stimulus ketenangan sebab aura yang sahabatnya keluarkan sedikit membuatnya ketakutan. “Inget, bukan siapa-siapa lo, tuh.”

Zakky menarik napas. Ia tahu betul arti kalimat itu, bukan siapa-siapa. Zakky sadar posisi, ia tahu diri. Tapi ada getar tidak nyaman di bawah sendi-sendinya melihat Hayyan dihadapkan pada masa lalu yang tidak dapat ia lepaskan. Zakky ingin memonopoli Hayyan untuk dirinya sendiri. Ia tidak sudi, tidak mau berbagi. Tapi barangkali Hayyan bahkan tidak punya tempat bagi Zakky di hatinya yang sudah patah. Kalimat Yudha hanya satu dari banyak hal yang menamparnya pada kenyataan itu.

“Daripada lo sibuk ngebolongin kepala si Guntur,” Naufal menepuk bahu Zakky dua kali. “Mending urusin yang itu, tuh.”

Perlu tiga detik bagi Zakky untuk mengalihkan pandang. Meninggalkan Hayyan dan Guntur menyelesaikan urusan apapun yang menggantung di antara mereka berdua. Ogah-ogahan, ia menoleh, mengikuti arah yang Naufal tunjukkan. Hanya untuk menemukan Melati berjalan padanya dengan senyum secerah matahari.

“Good luck aja deh, Bro.” Alde berbisik, sebelum meninggalkan Zakky sendirian bersama Naufal dan Yudha.

“Zakky!” suara riang Melati menyapa telinganya, meredakan sedikit amarah yang menggelora di hatinya hanya beberapa detik yang lalu.

Zakky mengulas senyuman tipis. “Hai, Ti. Udah lama di sini?”

Melati berhenti tepat dua langkah di hadapan Zakky, masih dengan senyuman manis yang dulu sekali pernah ia puja setengah mati. Poninya menggantung di dahi, dan Zakky tidak mau berdusta, Melati cantik sekali malam ini.

Tapi ada yang berbeda dari mereka. Ada yang berubah dari cara jantungnya berdebar di dekat cewek itu. Ada yang janggal dari udara di sekeliling mereka berdua. Tidak ada antusiasme, tidak ada jantung yang berpacu gila-gilaan, tidak ada rasa gugup. Yang tersisa hanya sebuah perasaan gamang.

“Aku hubungin kamu dari siang, lho. Tapi kamunya nggak bales terus,” nada suara Ati sedikit merajuk, “tadi ke sini sama siapa?”

Zakky melirik ke arah Hayyan lagi, hanya untuk menemukan bahwa orang yang ia cari sudah tidak ada di tempat yang sama. Kekhawatiran menyebar di hati Zakky, menjalar sampai ke setiap inci tubuhnya. Kemana Hayyan? Mungkinkah ia bicara pada Guntur lagi? Apa yang mereka berdua lakukan di tempat yang tidak bisa ia amati?

Dan lagi, kenapa Zakky tidak bisa berhenti mencemaskan hal ini?

Melati pernah jadi tempatnya untuk pulang. Muara dari segala rasa cemas dan khawatirnya. Orang yang pertama kali ia ingat sewaktu membuka dan sebelum menutup mata. Melati pernah menjadi entitas paling berharga di hidupnya, yang Zakky pikir akan tetap menduduki singgasana itu sampai selamanya. Selamanya yang tak bisa ia takar berapa lama.

Tapi bulan-bulan yang ia habiskan bersama Hayyan merubah segalanya.

“Hayyan.” Zakky mengucapkan nama itu dengan syahdu, menyelipkan sepenggal perasaan abstrak yang berkecamuk di dalam dadanya setiap kali ia mengingat si pemilik nama.

Melati mengerutkan dahi. “Hayyan yang mana? Aku kenal orangnya?”

“Hayyan Nandhana. Temennya Yosef, yang senyumnya manis.”

Yang senyumnya manis adalah sinyal bagi Melati bahwa orang yang Zakky sebut namanya ini sedikit istimewa. Razakky Bhadrika yang ia kenal tidak akan pernah terang-terangan memuji orang lain; tidak bahkan teman-teman terdekatnya sendiri. Sinyal di kepala Melati memintanya untuk berhati-hati pada pemilik nama Hayyan ini. Dua tahun adalah waktu yang lama, pikir Melati. Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk berubah.

“Senyumnya manis?”

Zakky mengangguk, mendadak antusias. “Iya. Anak yang sering nulis di mading itu, yang dulu aku bilang tulisannya bagus.”

Kerutan di dahi Melati semakin dalam. “Kamu bukannya dulu gak pernah ngomong sama dia?”

“Pernah, kok. Beberapa kali pas rapat OSIS. Terus ngobrol panjang di pesta kelulusan—”

“Kelulusan?” potong Melati.

Zakky mengangguk. “Cuma ngobrol ini dan itu, terus pulang bareng. Habis itu ketemu—”

Melati memotong lagi, “Pulang bareng?”

Zakky menghela napas. “Iya.”

“Kalian deket baru-baru ini aja, kan?”

Zakky mengangguk lagi. “Baru deket belakangan ini tapi aku berasa udah kenal dia lama banget. Seenak itu anaknya, dan senyaman itu aku sama dia—”

“Aku suka kamu.”

Hening. Kata-kata yang hendak Zakky suarakan mendadak jatuh berserak di tengah keheningan yang merebak. Ia memandang Melati dengan alis yang tanpa sadar berkerut dalam. “Sori. Apa?”

Melati mengulas senyum. Senyum yang cewek itu harap bisa mengembalikan dua tahun yang ia sia-siakan. Senyum yang ia pikir punya kekuatan magis yang sama di hadapan Razakky Bhadrika. Senyum yang tidak lagi berdampak apa-apa pada Zakky dan hatinya yang punya pemilik baru.

“Aku suka kamu, Zak.”

Oh, betapa kalimat itu datang saat segalanya sudah sangat terlambat.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Jam di pergelangan tangan gue menunjuk angka sembilan kurang lima belas sewaktu mesin motor berhenti di gerbang hitam tinggi kosan Hayyan. Selagi berkendara, gue merasa seperti mengapung. Seolah ban motor gue tidak sedang menggilas aspal, seolah segala hal di sekitar gue tidak lagi menjadi entitas yang nyata di ruang tempat gue berada. Segala hal terasa asing. Apakah itu udara yang menghantam permukaan kulit gue, suara lalu lintas yang selalu ramai, atau bau knalpot bis kota yang tidak bisa dikenali hidung gue dengan benar sekalipun gue tepat ada di belakangnya.

Segala sesuatu seperti tidak ada. Seperti realita gue sudah memutuskan untuk memisahkan diri dengan ruang dan waktu yang sebelumnya gue tempati.

Gue menekan tombol hijau, memanggil kontak Hayyan. Tangan gue yang gemetar tidak sanggup mengetik di ruang percakapan WhatsApp. Ketika gue turun dari motor tadi, rasanya payah sekali. Gue jatuh duduk di sisi motor, membiarkan celana hitam panjang yang gue pakai bergesekan dengan tanah yang kotor. Rasa-rasanya, setelah segala hal yang berdesakan di kepala gue minta diberi perhatian, pakaian yang tidak lagi bersih bukan persoalan penting lagi.

Gerbang berdecit terbuka, menampilkan Hayyan dengan sebuah baju panjang bergaris dan celana panjang abu-abu. Gue bisa mendengar deru napasnya sedikit tersengal di tengah minim penerangan jalan kecil ini. Gue bisa merasakan jantung gue perlahan-lahan menemukan ritmenya kembali. Lalu entah bagaimana gue bisa memproses kembali rasa menggelitik sewaktu angin malam membelai kulit gue, atau suara tonggeret yang samar-samar datang dari baris pepohonan di sepanjang jalan utama.

“Astagfirullah, Zak. Ngapain duduk di tanah gitu?” suara Hayyan terdengar terkejut. Dia berjalan mendekati gue dengan terburu-buru, sebelum tangannya kemudian menyusup di antara poni depan gue; mengecek suhu di kening gue.

“Capek berdiri,” kata gue sambil tertawa.

Hayyan berdecak. Setelah memastikan bahwa suhu tubuh gue normal, dia membantu gue berdiri. Gue sedikit terkejut ketika tahu bahwa keberadaan Hayyan punya efek magis sebesar itu; meski kami baru akrab mungkin hanya beberapa bulan ini. Gue tidak pernah dengan mudah membiarkan orang masuk ke hidup gue yang berantakan, tapi Hayyan punya caranya sendiri untuk membuat gue mabuk. Lalu tanpa ragu dan seratus persen sadar, gue dengan sukarela memberinya akses ke bagian paling rapuh yang selama ini gue simpan sendiri.

Sekarang saat gue memikirkan ini, kenapa gue ajak dia pergi waktu itu? Kabur menjauh dari segala realita yang sejujurnya tidak sanggup gue hadapi sendiri. Menghilang sejenak, menggunakan waktu gue yang terbatas untuk menangisi diri gue sendiri. Hayyan ada di sana bersama gue di titik terendah yang pernah gue perlihatkan pada manusia lain selain Melati. Hayyan juga orang yang gue cari saat gue butuh pegangan dan kehilangan sandaran.

Sejak kapan Hayyan Nandhana punya posisi sepenting ini di hidup gue?

“Maaf, ya? Saya ganggu waktu tidur kamu, jadinya.”

Hayyan mendengus. “Apaan, sih. Kayak sama siapa aja segala minta maaf. Masuk, yuk? Aku buatin mi rebus spesial deh, buat tamu dadakanku ini.”

***

Kamar Hayyan didominasi warna biru tua, dengan dinding dihias dua styrofoam warna putih yang ditempeli macam-macam kertas. Ranjangnya cukup lebar, dengan seprai bermotif polkadot warna hitam-putih. Ada rak buku kecil, meja belajar, meja pendek dengan dispenser dan rice cooker di atasnya, dan kaca pendek menggantung di dekat jendela. Kamar kosan standar yang benar-benar mencerminkan Hayyan Nandhana. Sederhana dan menyenangkan.

Hayyan pergi ke luar segera setelah gue meletakkan tas selempang kecil gue di atas meja belajarnya. Izin buat mi, katanya, meninggalkan gue asyik memperhatikan kertas-kertas yang ditempel Hayyan di styrofoam miliknya. Ada beberapa tiket nonton yang sudah pudar dan usang tapi masih bisa gue baca, struk Pizza Hut, sebuah kertas yang dilipat dan dimasukkan ke dalam wadah plastik kecil, tiket masuk Borobudur, tiket masuk festival Saka tahun dua ribu tiga belas, tanda tangan Ahmad Fuadi yang dilaminating dan dipajang seperti harta karun, dan beberapa struk belanja yang gue tidak tahu kenapa perlu ia pajang begitu.

Barisan buku Hayyan adalah hal kedua yang gue lihat. Ada beberapa buku dari penulis yang gue kenal; Sapardi, Eka, Pram, Jokpin, Dee, dan beberapa novel teenlit yang belum pernah gue baca. Ada buku-buku pendukung kuliah ditumpuk di sudut. Kebanyakan soal anatomi makhluk hidup, genetika, teori Kimia dan Fisika dasar, Statistika, Perancangan Percobaan, buku budidaya, dan beberapa buku latihan soal TOEFL yang semuanya tidak seukuran. Gue sedikit kagum pada bagaimana kamar ini (juga segala isinya) bisa menjadi representasi sempurna dari Hayyan Nandhana yang gue kenal selama ini.

“Punten, Kang. Ini mi rebusnya udah jadi. Sekalian saya kasih bonus teh manis anget, nih. Meski sebenarnya nggak perlu karena saya sendiri juga udah manis.”

Gue tertawa menanggapi candaan Hayyan. Tangan gue terulur membantu cowok itu meletakkan mangkuk dan gelas teh manis di atas lantai. “Jadi ngerepotin, nih, saya.”

Hayyan mendengus lagi. Dengusan kedua yang gue dengar malam ini. “Santai aja, ih! Kayak sama siapa aja.”

Benar. Kadang gue lupa kalau gue dan Hayyan sudah tidak lagi berada di fase 'orang asing' bagi satu sama lain. Entah bagaimana dimulainya, entah seperti apa prosesnya, gue dan Hayyan sudah menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Tapi sebagai apa gue dan Hayyan sekarang? Teman berbagi? Orang yang saling mengisi kekosongan? Gue tidak pernah merasa perlu mendefinisikan hubungan gue dengan seseorang, tapi tidakkah posisi gue dan Hayyan agak sedikit ambigu? Gue tidak menangis sesegukan di depan seorang teman. Seorang teman tidak bisa membuat gue tenang hanya lewat sebuah kehadiran.

Gue mungkin tahu kenapa. Hanya tidak punya nyali mengaku saja.

Mi yang gue masukkan ke dalam mulut terasa sedap dan hangat. Teh manis yang gue teguk membuat tenggorokan gue tidak lagi terasa seperti tercekat. Pelahan-lahan, tangan gue berhenti gemetar. Gue hanya terus makan dan tidak bicara, tapi beban yang menggelayuti bahu gue di jalan dari Sarijadi ke Jatinangor terasa menguap bersama asap putih tipis yang mengepul dari permukaan mangkuk dan gelas.

***

Hayyan berbaring di ranjangnya dengan tangan kanan menggenggam erat jemari gue. Mulutnya tidak berhenti bersenandung sejak tadi. Mulai dari Rindu-nya Banda Neira, Untuk Hati yang Terluka dari Isyana, sampai di Vertebrate Song-nya Tigapagi. Sesekali, ibu jari gue akan mengusap punggung tangan Hayyan, dan akan dibalasnya dengan cubitan pelan di buku tangan gue. Gue tidak lagi merasakan berapa lama waktu berjalan. Gue pikir waktu tidak lagi terikat pada kami malam itu, dan tidak ada yang terasa nyata selain kehadiran Hayyan dan ruangan yang kami tempati berdua.

“Saya nggak ngerti kenapa Papa saya terus memelihara cintanya untuk perempuan yang nggak pernah menganggap dia ada. Sejak kecil saya benci sama Papa yang tidak berdaya,” gue mulai buka suara setelah mungkin berjam-jam habis tanpa percakapan berarti. “Tapi mungkin seperti itulah Papa, dan sikap itulah yang tanpa sadar saya ikuti. Saya pikir, mungkin ini memang mengalir di darah saya, ketidakberdayaan ini.”

Genggaman Hayyan di tangan gue mengerat. Gue bisa merasakan bagaimana telapak tangannya basah oleh keringat. Tapi gue terlalu takut untuk melihat dia sekarang. Jadi yang gue lakukan hanya melepas kekehan kecil, sambil terus memandang pada entah apa.

“Saya nggak tahu gimana caranya orang-orang nunjukin kasih sayang mereka. Saya pikir Papa sayang sama saya. Saya pikir kalaupun Mama nggak sayang saya, Papa bisa mengisi kekosongan itu. Sebelum kemudian saya sadar kalau Papa nggak sayang saya, beliau merasa bersalah sama saya.”

Hayyan beranjak bangun, lantas duduk dekat pada gue. Hawa panas yang keluar dari setiap inci tubuhnya mengurangi rasa pahit yang menyebar di dada gue.

“Melati adalah orang yang ngisi kekosongan saya. Sebagai anak baru gede yang haus kehangatan, kedatangan Melati ke hidup saya sama aja kayak nyuntik harapan baru; harapan yang udah saya buang jauh-jauh awalnya. Melati mengerti saya saat saya bahkan nggak bisa ngerti diri saya sendiri. Melati ada buat saya saat saya percaya seluruh dunia udah ninggalin saya. Melati ada buat saya di waktu-waktu terburuk di hidup saya.

“Tapi manusia itu serakah, Yan. Saya mau lebih, saya mau Melati ada terus untuk saya. Saya mau menggantungkan semuanya ke dia saat dia mungkin nggak sekuat itu buat nopang semua kepahitan saya. Ada hal-hal yang harus dia kejar, ada masa depan yang harus dia rencanakan, dan ada beberapa hal di hidup dia yang nggak bisa dia satukan dengan saya. Saya tahu kenapa dia milih pergi; saya sepenuhnya sadar kenapa saya ditinggalkan.”

“Karena itu selama ini kamu nggak pernah nyariin dia? Karena kamu percaya kalau dia pergi dari kamu karena kamu emang layak ditinggalin, gitu?”

Gue mengangguk, mengulang kembali bagaimana malam itu Melati bilang pada gue kalau dia akan pergi jauh dari Bandung. Jauh dari gue. Jauh dari setiap kenangan yang kami buat berdua selama ini. Melati akan menempuh jalan yang berbeda dari gue, dan malam itu adalah persimpangan kami. Gue ingat bagaimana gue marah dan kecewa padanya, bagaimana gue marah dan kecewa pada dunia karena sekali lagi; satu lagi kebahagiaan gue dia rampas dan lucuti seenak hati.

Hal yang gue sadari selanjutnya adalah bagaimana tangan Hayyan melingkar di bahu gue. Embusan napasnya terdengar dengan jelas di telinga gue, sebab Hayyan menyembunyikan wajahnya di perpotongan antara bahu dan leher gue. Posisi ini tidak nyaman, tapi gue tidak bergerak. Diam-diam gue menikmati pelukan ini, menikmati kehangatan ini. Diam-diam asa yang sudah lama gue tinggalkan itu kembali lagi.

“Jangan gantungin kebahagiaan kamu ke orang lain, Zak. Manusia akan berubah, dan ketika semua perubahan itu terjadi; satu-satunya yang bisa kamu andalkan hanya diri kamu sendiri.”

Tangan gue terasa kebas, tapi gue susah payah angkat dia untuk menghadiahi usapan-usapan ringan di bahu Hayyan. Bahu gue terasa basah, dan tanpa bisa gue antisipasi, Hayyan sudah terisak di sana. Ada rasa getir bercampur lega di hati gue sewaktu gue dengar isakan Hayyan yang terus berlanjut. Gue merasa berada di antara tangis dan tawa saat sadar bahwa Hayyan sudah mewakili tangisan yang selalu gue simpan sendiri.

“Jangan nangis, dong,” kelakar gue, diikuti kekehan kecil yang terdengar seperti sedang menggoda.

Hayyan mendesis protes, barangkali malu sebab ketahuan menangisi masalah gue. Tapi tangisannya masih tidak berhenti untuk beberapa menit kemudian, dan gue (meski luar bisa sakit bahu) membiarkannya menumpahkan setiap tetes air matanya di pundak gue. Hayyan terus menangis, dan gue hanya diam merasakan kelegaan yang perlahan-lahan menyebar di dada.