🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Gerbang kosan Hayyan sore itu kelihatan lebih tinggi dari biasanya. Pagar besi berwarna hitam yang ditutupi fiber berwarna biru tua itu seperti sedang menegaskan posisi gue sore ini; menjadi benteng yang membatasi antara gue dan Hayyan dengan jelas. Berjalan ke bangunan dua tingkat yang sudah tidak gue sambangi selama empat bulan ini membuat gue merasa kompleks. Gabungan antara perasaan rindu dan takut yang masih bercokol di sudut terdalam hati gue membuat langkah gue terasa berat. Gelap yang sejak dulu bertumbuh dalam diam itu perlahan-lahan memakan nyali gue, tepat disaat gue butuh dia dengan amat sangat.
Gue menarik napas, mencoba memberi diri gue sendiri motivasi-motivasi murahan yang gue tahu tidak akan berdampak banyak. Melangkah maju berarti menghadapi Hayyan dan keputusannya yang masih belum bisa gue terka. Tapi berdiam dan mundur bukan solusi yang gue cari. Gue harus maju sekarang, atau mungkin selamanya akan membenci diri gue sendiri. Membenci gue yang payah, gue yang pengecut, gue yang kehilangan kesempatan.
Lepas menurunkan sedikit kegugupan, gue membuka gerbang. Bentuk kosan itu masih seperti terakhir kali gue berkunjung. Suara dari kamar-kamar lain mengetuk gendang telinga gue. Di minggu-minggu menuju akhir semester begini, kesibukan memang bukan hal yang bisa dihindari. Gue melangkah lagi, menyambangi kamar yang sudah berulang kali gue datangi. Pintu kamar Hayyan dan gerbang depan terasa amat jauh, sebelum gue sadar bahwa langkah gue lah yang kelewat lambat.
Kegugupan sialan.
Jemari gue gemetar sewaktu mengetuk pintu. Susah payah gue menelan ludah, tapi tenggorokan gue lagi-lagi terasa kering dan panas. Suara Hayyan menyahut dari dalam, dan baru sampai detik itu gue sadar betapa besar rindu yang gue simpan untuknya selama waktu-waktu perpisahan yang mencekik ini. Gue pikir saat itu, gue tidak akan mampu menghadapi satu hari tanpa suaranya bisa gue dengar lagi.
Rindu bergerak dengan pola yang abstrak. Sebelum ini, gue merasa mulai bisa menerima keabsenan Hayyan di keseharian gue yang monoton. Tidak ada suaranya lagi yang bisa gue dengar, atau tangannya untuk menepuk bahu gue. Tidak ada lagi Hayyan dan pengertiannya yang ia curahkan tanpa pernah meminta balas dari gue yang serba terbatas. Gue pikir, 'Ah, pada akhirnya gue mungkin bisa baik-baik saja'.
Tapi sewaktu mendengar suara itu dari balik pintu yang masih menutup, rasa rindu gue membuncah seperti air yang keluar dari sebuah bendungan jebol. Rasa rindu yang tidak gue sadari tersimpan dan tertumpuk begitu banyak itu meluluhlantakkan pertahanan diri yang susah payah gue bangun dari keputusasaan. Barangkali rasa putus asa itu lah yang membuat gue gagal menerjemahkan kerinduan gue sendiri. Gue menarik napas lagi, mewanti-wanti pada tubuh gue untuk tidak menghambur memeluk Hayyan andaikata ia membuka pintu.
Pintu mengayun terbuka, memberi gue akses sempurna pada Hayyan dengan hoodie abu-abu dan celana selutut. Rambutnya sedikit berantakan, dan ia berulang kali menyisir bagian depan rambutnya seolah berusaha merapikan surai-surai itu barang sedikit.
“Ayo masuk, Zak,” kata Hayyan. Suaranya menyadarkan gue bahwa sejak tadi gue hanya berdiri di depan pintu seperti manusia tolol yang terpesona.
Gue berdeham. “Ah, iya. Thanks.”
Ruangan itu masih sama seperti terakhir kali gue bisa mengingat. Rapi, hangat, dengan wangi vanili samar di udara. Mata gue menjelajahi dinding dan lantai dengan lapar, mengais satu-dua perubahan yang sedikit samar. Gue tidak sering menghabiskan waktu di sini, tapi Hayyan cukup banyak bicara soal kamarnya sewaktu kami masih bertukar banyak hal, dulu. Seperti bagaimana dia malas menyetrika pakaian sehingga tidak punya satupun alat setrika. Atau soal dispensernya yang rusak sehingga berminggu-minggu ia harus memasak air panas di penanak nasi. Atau kecenderungannya menulis jadwal di weekly schedule board yang ditempel dekat ranjang, dan kebiasaannya menempel struk-struk yang dianggapnya berharga di styrofoam berwarna biru tua dekat lemari pakaian.
Hayyan selalu jadi orang yang melankolis dan senang menyimpan kenangan manis. Struk belanja bulanan dari gaji pertamanya sebagai part-timer di tempat penyewaan komik, tiket nonton pertamanya bersama Guntur, tiket masuk candi Borobudur sewaktu kami karyawisata ke Yogyakarta; segala hal yang menurutnya berharga.
“Mau kopi? Atau air putih aja? Aku ada nutrisari juga kalau kamu mau yang seger-seger...” Hayyan memberondong gue dengan tanya. Ia menyibukkan diri di sudut kecil di kamar minimalis itu, tempatnya menaruh alat makan dan nampan penuh minuman instan.
Gue tanpa sadar mengulas senyum. “Bebas aja, Yan,” kata gue.
Hayyan mengangguk. Ia mengambil dua buah cangkir. Satu cangkir porselen putih, satu lagi cangkir kaca transparan dengan gambar zodiak dan tulisan Libra besar di salah satu sisinya. Gue memperhatikan bagaimana Hayyan membuka dua bungkus kopi instan, menuangkan pada masing-masing cangkir, menyeduhnya dengan air panas (sepertinya dispensernya sudah tidak rusak), dan mengaduknya menggunakan bungkus kopi yang digulung pipih.
Bau kopi mengawali kecanggungan kami, yang gue prediksi akan berlanjut sampai akhir percakapan. Gue menerima kopi dari Hayyan sambil menggumamkan terima kasih, yang dibalasnya dengan sebuah anggukan. Lalu kami berdua sama-sama membisu; sama-sama tidak tahu harus memulai dari mana.
“Kemarin aku ketemu Alde di FTIP,” Hayyan membuka, membuang pandang ke arah dinding yang tampak pucat. Gue mengintipnya dari balik cangkir. “Katanya kamu lagi ada kelas. Kalian ngambil mata kuliah yang beda, ya?”
Gue mengangguk, penasaran percakapan macam apa yang mereka lalui kemarin, tapi menahan diri untuk bertanya. “Kamu ada keperluan di FTIP?”
Hayyan mengangguk. “Kemarin janjian sama Pak Made, dosen kamu. Tapi beliau batalin di last minute banget dan minta re-schedule ke hari Kamis,” Hayyan menyesap kopinya, “karena ketemu Alde, jadi sekalian makan siang bareng aja.”
“Pasti dia ngajak kamu ke Mang Titing.”
Hayyan terkekeh. “'Kok tau?”
Gue mengangkat bahu. “Favoritnya Alde, tuh. Mi ayamnya emang juara banget, sih. Jus alpukatnya juga.”
“Aku belum sempet beli jus alpukatnya, duh. Kemarin Alde pesennya teh aja, jadi aku ngikutin.”
Gue menelan ludah, meletakkan cangkir yang sejak tadi tidak sadar gue genggam erat. “Nanti saya ajak beli. Kalau kamu mau.”
Hayyan tersenyum.
“Kamu udah beli dispenser baru?” gue bertanya lagi, melirik pada dispenser yang Hayyan pakai menyeduh kopi tadi.
Hayyan mengangguk. “Ribet juga kalau harus nunggu air mateng dulu di rice cooker tiap mau ngopi.”
Gue hanya terkekeh, tidak lagi menemukan topik yang tepat untuk dijadikan bahan basa basi.
“Aku turut sedih soal orang tua kamu, Zak. Maaf karena waktu itu nggak sempet ngomong dan dengerin banyak. Sekarang keadaannya gimana?”
Gue menggeleng, berkata pada Hayyan untuk tidak khawatir. “Surprisingly OK. Orang tua saya udah mulai jalan masing-masing. Mama mulai nerima saya dan Rayyan di hidup dia, kita berusaha ngisi dua puluh tahun yang hilang pelan-pelan,” kata gue. Tangan gue tanpa sadar memutar-mutar cangkir, membiarkan ampas-ampas kopi di dasar gelas bercampur dengan cairan berwarna coklat susu di atasnya. “Aneh banget, rasanya. Saya udah lama berusaha buat dapet kasih sayang Mama, lalu nyerah dan mati-matian nolak Mama; tapi pada akhirnya saya dapet apa yang saya mau justru sewaktu saya nyoba buat ikhlasin semuanya.”
Gue tidak tahu bagaimana cara menjelaskan soal mengapa gue begitu mudah jatuh dan merasa nyaman di depan Hayyan. Bersama Hayyan, gue seolah diberi waktu untuk mulai memahami diri gue sendiri lewat hal-hal yang gue ceritakan padanya. Aneh, memang. Gue sendiri bingung menerjemahkan keadaan ini lewat kata-kata. Bahasa kata-kata, sekali lagi, terlalu terbatas untuk mampu mewakili segala hal yang bersilang-sengkarut di dalam kepala dan hati gue sewaktu bersama Hayyan.
“Berjarak sama kamu bikin saya ngerti dari mana datangnya pemahaman kamu, Yan. Soal saya yang cuma datang ke kamu kalau saya butuh sandaran. Soal kamu yang menganggap saya hanya memandang kamu sebagai substitusi dari Ati. Saya paham betul bagaimana sikap saya selama ini bikin kamu jadi berpikir demikian,” gue menarik napas lagi, “dan sungguh, saya mau minta maaf atas itu.”
Hayyan tidak bicara. Gue melihat jarinya menggenggam cangkir semakin erat. Gue memutuskan untuk melanjutkan bicara. Terlebih, tidak ada yang tahu apakah setelah ini gue masih akan punya kesempatan menjelaskan apapun lagi, 'kan?
“Pertama kali ketemu kamu, saya pikir kita ini aneh. Mungkin karena obrolan pertama kita terjadi sewaktu saya dan kamu ada di kondisi yang sama, saya pikir kamu kerasa akrab buat saya. Saya ngerasa kamu mungkin bisa ngerti saya, sekalipun saya sendiri kadang sering gagal ngerti diri saya sendiri. Saya tau kamu nggak nyaman, tapi saya tutup mata dan terus deketin kamu karena saya ngerasa begitu. Saya ngerasa, kalau itu kamu, mungkin kamu bisa jadi tempat saya istirahat.”
Hayyan masih belum bicara. Gue meneguk kopi lagi, semata mengurangi kegugupan yang mendadak semakin membesar. Meski pada akhirnya sia-sia, sebab jantung gue malah semakin gencar bertalu-talu.
“Semakin saya kenal kamu, semakin saya ngerasa, saya udah pulang. Kamu punya pengaruh yang aneh, Hayyan, buat saya. Saya nggak mau munafik, karena dari awal saya pikir kamu benar-benar teman berbagi yang menyenangkan. Rasa nyaman yang terus numpuk itu bikin saya lama-lama ngerti kalau kamu lebih dari itu. Eksistensi kamu buat saya nggak semerta cuma teman cerita, sandaran yang saya cari pas saya butuh, atau orang yang bisa saya ajak berbagi rasa sakit saya.”
Hayyan memandang gue. Ada kerlip menyilaukan di matanya yang sore itu bermandikan cahaya matahari keemasan. Gue menemukan diri gue di dalam bola mata coklat hangat itu perlahan-lahan meleleh oleh kejujuran dan kepasrahan.
“Pada satu titik, saya ngerti, kalau bukan kamu semuanya nggak akan sama. Sebelum reuni, saya udah tau Ati bakal pulang. Saya nggak terlalu peduli sama masalah itu. Kepala saya penuh sama kamu, sama saya, dan gimana caranya saya ngomong sama kamu kalau saya nggak lagi mandang kamu sebagai Hayyan dari SMA 24. Tapi Hayyan yang saya mau telepon jam sebelas malam, Hayyan yang saya ajak kondangan bareng, Hayyan yang saya jemput dari kampus kalau pulang kemaleman. Pada akhirnya saya mutusin buat ngomongin ini sama Ati, soal dua tahun ini dan posisinya yang udah nggak sama lagi di hidup saya.”
Hayyan menarik napas, gue melihat bagaimana dadanya naik turun diisi udara. Tapi fokus gue masih tertumpu pada matanya yang cantik, matanya yang membawa gue masuk lebih dalam dari sebuah retina. “Waktu itu aku pikir kamu dan Ati nyambung lagi apa-apa yang sempat kalian putus dua tahun lalu. Sejujurnya, setelah aku pikirin sekarang, kesimpulan yang aku buat malam itu terlalu gegabah. Aku bahkan nggak nanya atau minta penjelasan apapun ke kamu. I shut you down, kayak pengecut aja.”
Gue terkekeh. “Saya juga sama aja, Yan.”
“Malam itu Guntur ngajak saya ngomong, Zak. Kamu inget, kan? Dia minta maaf soal kejadian dua tahun lalu. Sewaktu dia akhirnya ngomong kata sakral itu, aku nggak ngerasa apapun selain kosong. Aneh, ya? Sampai beberapa minggu sebelumnya, aku masih nulis soal dia di blog, di twitter, masih meratapi patah hatiku yang udah lewat lama banget itu.”
Hayyan mengulas senyuman tipis, senyum yang menunjukkan pada gue betapa kuat dia. Betapa hebat Hayyan sudah sembuh dari luka yang pernah membuatnya luluh lantak; luka yang membentuk Hayyan Nandhana yang duduk bersama gue di sofa acara perpisahan sambil bicara tentang rasa sakit lewat kata-kata ambigu.
“Mungkin yang bikin aku langsung narik kesimpulan kalau kamu main-main adalah percakapan aku sama Guntur malam itu,” Hayyan melirik dinding lagi. “Malam itu aku tau, Zak, kalau selama pacaran sama aku dia nggak pernah sekalipun sayang sama aku kayak aku sayang sama dia. Aku pikir malam itu, setelah ngomong sama Guntur dan liat kamu milih pergi sama Ati ketimbang nganter aku pulang, aku nempatin kamu dan Guntur di kotak yang sama. Aku mau minta maaf juga soal itu.”
Gue mengepalkan tangan, mencoba mengontrol gejolak emosi yang timbul dari keterangan Hayyan. “Harusnya kamu tinju dia dulu, malam itu.”
Hayyan tergelak. “Nggak, ah. Serem. Badan dia dua kali lebih gede dari badan aku.”
Gue mendengus. Mata gue melirik pada styrofoam biru tua tempat Hayyan menempel bukti kenangan berharganya.
“Maaf ya, Zak. Soal malam itu, soal waktu kamu datang ke rumah juga. Nyangga kamu memang bukan kewajiban aku, tapi aku seharusnya nggak sedingin itu juga.”
Gue menggeleng. “Seperti yang kamu bilang, nyangga saya memang bukan kewajiban kamu. Saya pikir saya pantas dapat perlakuan kayak gitu,” gue menatap Hayyan lagi. “Naufal bilang ke saya kalau dua orang yang sama-sama luka nggak bisa jadi penyembuh buat satu sama lain. Mungkin begitu kondisi saya dan kamu waktu itu, terlalu payah buat nyembuhin diri sendiri; nggak punya tenaga buat jadi sandaran orang lain. Kita mungkin memang butuh jeda untuk ngelarin apa-apa yang masih menggantung.”
“Sejujurnya empat bulan ini aku nunggu kamu ngechat duluan.”
Gue menggigit bibir, mengusap tengkuk sembari memasang ekspresi salah tingkah. “Saya takut kalau saya kejar, kamu malah makin kabur.”
Hayyan tertawa. “Kamu hati-hatian banget.”
Gue mengangkat bahu. “Ini soal kamu. Saya nggak mau ambil resiko,” tukas gue. “Jadi kalau yang saya tangkep, kamu suka sama saya. Bener, kan?”
Hayyan membuang muka. Ada semburat merah yang pelan-pelan merambati pipinya. Gue tanpa sadar menarik kedua sudut bibir, membentuk senyuman yang kelewat lebar.
“Nggak, tuh? Aku nggak pernah ngomong gitu.”
Gue mengulurkan tangan sambil tertawa. “Yan, saya tau kalau saya punya banyak kekurangan. Saya nggak bisa jamin kalau ke depannya saya bakal terus bersikap benar. Tapi saya nggak mau ngabisin empat bulan lagi, atau satu hari lagi dengan anggapan bahwa kamu bakal lenyap kayak asap sewaktu-waktu.”
Hayyan masih membuang muka, tapi gue tahu dia mendengarkan dengan seksama, jadi gue melanjutkan omongan gue yang sempat terpotong.
“Saya suka sama kamu, tapi saya tahu merasa ada banyak hal yang harus diperbaiki sebelum kita sama-sama siap. Jadi sekarang saya mau minta izin buat terus deket sama kamu, buat deketin kamu bukan dengan tujuan cuma jadiin kamu temen. Saya mau kamu punya ruang yang bebas untuk ngasih tau saya apapun yang bikin kamu nggak nyaman, atau negur saya kalau saya salah,” gue menelan ludah. “Kamu mau, nggak, izinin saya?”
Ketika gue selesai ngomong, ada keheningan yang tidak nyaman di ruangan yang kami tempati. Di dalam sunyi itu, gue bisa mendengar jantung gue berdebar bertalu-talu, gue bisa merasakan ketakutan gue perlahan menyebar ke setiap nadi. Pikiran-pikiran buruk gue kembali mengetuk kesadaran, membuat perut gue mulas dan keringat gue timbul di pelipis.
Mata coklat Hayyan memerangkap gue dalam benang pandang yang intim. Seperti sedang menggali kebohongan dari kedua mata gue yang memandangnya penuh sorot putus asa. Gue bertanya-tanya kemana perginya kebanggaan gue selama ini, ego yang gue puja-puja. Sebelum ingat bahwa segala hal itu tidak berlaku di hadapan Hayyan Nandhana. Aneh. Gue yakin betul gue pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi nampaknya cinta yang gue pernah lakoni sebelumnya tidak pernah segila ini.
“Jangan nyerah sama aku yang kayak gini ya, Zak?” Hayyan pada akhirnya membuka suara. “Soalnya kayaknya, kalau udah maju sama kamu, aku susah mundur lagi.”
Gue bisa merasakan pipi gue tertarik semakin jauh, melukis senyum yang secara mengejutkan bisa lebih lebar lagi. Tangan Hayyan menyusup masuk di antara ruas-ruas jemari gue, mengirimkan rasa hangat yang familiar. Rasa hangat yang gue rindukan.
Gue menjawab dengan anggukan. “Saya bakal terus nyoba,” kata gue, mengeratkan genggaman. “Jangan niat mundur juga, ya? Saya nggak tau lagi gimana balik ke hari-hari tanpa kamu kalau itu beneran kejadian.”
Hayyan memukul punggung tangan gue dengan tangannya yang lain. “Gombal!”
Gue mengaduh. “Beneran, kok!”