Segelas Sirup dan Teman Bicara
π±π±π±π±π±π±
Alunan melodi dan suara dari Is, vokalis Payung Teduh, menemani sore sepi yang melingkupi kesedihan Hayyan. Sinar jingga dari matahari menelusup lewat jendela, dan celah-celah pintu gedung serbaguna tempatnya berada. Di ruangan yang besar ini, segala jenis suara rasanya bercampur-aduk menjadi satu, mencoba mengisi ruang sempit bernama gendang telinga milik Hayyan Nandhana. Suara-suara percakapan, melodi, tawa ringan dan langkah kaki terasa seolah sedang mencoba menelan keberadaan Hayyan yang tak kasat mata.
Di tengah semua ingar-bingar itu Hayyan duduk, melipir ke dinding, mencoba menjauh dari ratusan pasang mata bersama secangkir sirup koko pandan yang esnya hampir mencair sempurna. Tidak ada secuilpun keinginan untuk bergabung dalam gagap gempita di sekitarnya.
Hayyan memandang pantulan sinar matahari di permukaan gelasnya sebelum menandaskan isinya tanpa sisa. Kepalanya mau tak mau berpikir mengenai apa dan bagaimana orang menilai dirinya kini. Mungkin ia tampak menyedihkan sekarang. Tapi tak apa, pikirnya. Berpura-pura kuat kala hatinya hanya tersisa serpihan-serpihan kecil terdengar lebih tidak masuk akal. Ia sedang hancur, sedang merasa terluka, dan mengakui semua itu rasanya lebih heroik ketimbang memasang senyum palsu dan membuat dirinya merasa semakin buruk.
Hayyan memutar gelas kertas di tangannya yang sudah kosong. Ia terkekeh, meski suara yang keluar justru terdengar seperti helaan napas. Pikirnya, ia takkan bisa melupakan nama itu. Juga nama lain yang akan selalu datang bersamanya. Ia adalah orang yang pelupa, tapi baru kali ini Hayyan merasa bahwa lupa adalah karunia Tuhan yang amat berharga.
Baru saja ia hendak bangkit. Pulang ke rumah terdengar lebih masuk akal ketimbang menghabiskan sore sendirian di pojok ruangan. Baru saja ia hendak merealisasikan rencana itu saat seorang lelaki berjalan mendekat. Rambut hitamnya tampak sedikit ikal, helaiannya ikut bergoyang saat lelaki itu berjalan mendekat. Matanya besar dengan lipatan mata yang hampir tidak terlihat, dan alisnya yang selalu menukik (membuatnya hampir selalu tampak marah) seperti melebur sempurna dengan sinar matahari yang berpendar jingga.
βOh, kamu udah punya minum, ya?β kata lelaki itu. Suaranya merdu seperti biasa, meski tidak banyak interaksi di antara mereka selain bahasan soal ekstrakulikuler dan tugas sekolah dulu sewaktu kelas sepuluh.
Hayyan menggeleng. βUdah habis,β katanya. Tangannya terulur menerima gelas kertas yang Zakky bawa.
βYosef sama Radit pada ke mana, Yan?β lelaki itu bertanya. Tanpa permisi, Zakky ikut duduk di sofa tempat Hayyan menghabiskan waktu. βKamu sendirian aja?β
Hayyan melirik bagian tengah gedung, ke tempat beberapa orang mengobrol sambil memasang tawa. Ia memandang beberapa pasangan yang sedang asyik bicara. βTuh, liat aja,β ia mengedikkan dagu.
Kepala Zakky menoleh, mendapati orang-orang yang ditanyainya sedang nampak asyik bersama pasangan masing-masing. Ia menahan napas sejenak sebelum kembali memandang lawan bicaranya. βYou okay?β
βPertanyaan kamu lucu,β Hayyan tertawa, tapi tidak ada binar geli di kedua matanya. βDo I look like I am?β