Langit Mendung di Kepala Lelaki Itu

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Hayyan memarkirkan motor Yosef di halaman SMA 24 yang sudah penuh oleh kendaraan pribadi. Ia jadi ingat lelucon di televisi yang tak sengaja didengarnya beberapa waktu lalu, bahwa bangunan sekolah dan mantan punya beberapa kesamaan. Di antaranya, sama-sama tampak lebih baik ketika sudah ditinggalkan. Lelucon yang tidak lucu, tapi entah kenapa jadi hal pertama yang mampir ke kepalanya saat ia menjejak kaki kembali di tempat penuh kenangan ini.

Sejak perpisahan yang tidak menyenangkan dulu, Hayyan tidak pernah lagi mendengar kabar Guntur. Ia bukannya tidak ingin tahu, tapi akal sehatnya menolak untuk mencari. Buku yang mereka tulis berdua sudah usai di pertengahan jalan, tidak lagi memberi kesempatan baginya untuk sekadar menoleh dan membaca ulang. Lagipula, apa yang hendak ia kenang dari cerita menyakitkan itu selain rasa rendah diri dan sakit akibat ditinggalkan yang tidak pernah tanggal.

Rindu kerap kali datang tidak pada waktu dan tempat yang seharusnya. Hayyan sering duduk melamun dan tiba-tiba dilanda pemikiran singkat semacam: 'masihkah Guntur senang pakai parfum wangi coklat yang dulu ia puji-puji?', atau 'apakah bekas luka kecelakaan di kakinya masih sering terasa linu?'. Di waktu-waktu dimana Hayyan memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, ia akan menangis. Lalu berharap ia bisa menelan sesuatu dan bangun dalam keadaan melupakan Guntur dan Findi seolah mereka berdua tak pernah ada di hidupnya. Tak pernah menjadi bagian berharga dari masa lalunya.

Hayyan menggelengkan kepala. Ini bukan waktu yang tepat untuk bernostalgia.

Ditemani sebuah kamera dan note kecil di tangan kanan, Hayyan melangkah mantap memasuki lorong yang dulu pernah melatari masa-masa putih abunya yang manis. Gambaran-gambaran yang berusaha ia tinggalkan memaksa kembali masuk dalam ingatan. Hayyan mengencangkan rahang, mencoba bersikap seolah semua nostalgia itu tidak berhasil mengguncang dirinya; namun nihil.

Langkah kakinya bergerak semakin cepat, membelah kerumunan yang memenuhi lorong. Ironis sekali, kalau ingat bahwa beberapa menit lalu, sewaktu sedang menghadapi kemacetan di Cibiru, ia berpikir bahwa mungkin saja... mungkin saja Guntur akan datang hari ini. Sebagai orang yang pernah duduk di kursi Wakil Ketua OSIS, mantan siswa populer dan anggota ekskul basket yang berprestasi, mungkin saja ia sudi menyisakan waktu untuk kembali ke Bandung. Ke bawah langit dimana cerita mereka pernah meninggalkan jejak di antara aspal dan pedestrian jalan.

β€œJangan mimpi, Yan,” bisiknya pada diri sendiri. Kepalanya tertunduk dalam, lebih memilih memandangi sepasang sepatu yang tak henti berjalan alih-alih memberi tontonan pada dunia; wajahnya yang penuh duka.

Asyik tenggelam dalam lamunan, Hayyan bahkan tidak sadar bahwa dari arah berlawanan ada seorang lelaki yang berjalan ke arahnya dengan pandangan fokus ke arah lapangan. Tabrakan di antara dua manusia itu tentu saja tidak bisa terhindari. Masalahnya, tubuh Hayyan jauh lebih kecil kalau mesti dibandingkan dengan si penabrak yang mungkin dua kali lebih besar.

β€œAduh...” Hayyan mengaduh, selepas bokongnya dengan mulus menghantam lantai tanpa permisi.

β€œMakanya kalau jalan liat-li....Hayyan Nandhana?” Suara yang terdengar dekat itu berat dan merdu. Menyudahi kegiatan Hayyan mengasihani bokong sendiri.

Lelaki yang jatuh mengangkat kepala. Berniat melihat siapa yang memanggil namanya, sekaligus memberi satu-dua omelan sebabγ…‘hei, bokongnya sakit sekali sekarang!

Saat itu, sekali lagi setelah dua tahun lamanya, ia kembali tertangkap. Tenggelam dalam iris hitam milik Razakky Bhadrika.