Untuk Jadi Berani

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

“Jadi maksudnya, Bapak ingin kembali lagi menghidupkan paradigma kampus yang sudah mulai dilupakan, ya, Pak?” Suara Hayyan sedikit bergema di ruangan rektor yang sepi. Tidak banyak orang berlalu lalang di bangunan yang sayap kirinya sedang direnovasi ini selain beberapa petugas administrasi rektorat. Benar-benar suasana yang cocok untuk melakukan wawancara, tapi sempurna menyumbang rasa tegang dalam hatinya.

“Oh, ya, tentu! Paradigma itu, 'kan, sudah ada sejak kampus ini berdiri. Kata paradigma sendiri, 'kan, dapat diartikan kerangka berpikir. Pilar-pilar yang membentuk kampus ini lahir dari paradigma itu. Miris banget 'kan, Jang, kalau pilar-pilar kayak gitu... semacam fondasi itu lah... dilupakan dan tergerus zaman ibaratnya.”

Jari Hayyan dengan telaten menulis di atas buku, menggaris bawahi beberapa poin penting. Berkali-kali Syarif bilang padanya bahwa mengambil catatan selama wawancara itu penting. Meski ponselnya bekerja merekam suara, ada beberapa poin krusial yang harus tetap seorang jurnalis catat; semacam poin-poin yang kelak akan membantunya selama proses penulisan berjalan.

“Apa target jangka panjang yang ini Bapak capai setelah menghidupkan kembali paradigma tersebut, Pak?”

Lelaki paruh baya yang baru beberapa bulan duduk di kursi Rektor itu mengusap dagu, barangkali sedang mencoba menyusun jawaban yang tepat. Hayyan dengan sabar menunggu (ia bahkan menunggu hampir lima hari demi wawancara berharga ini, omong-omong), meski hanya tersisa sepuluh menit sampai kelas siangnya dimulai. Ia tidak punya pilihan, dan di antara menghadiri kelas Pak Ali (yang pasti hanya diisi presentasi kelompok) atau duduk dan melanjutkan wawancara dengan Pak Burhan, Hayyan tahu mana yang harus jadi prioritasnya.

“Prioritas yang salah. Masa' iya lo ngorbanin kuliah buat UKM?” Yosef pernah berkomentar suatu waktu. Hayyan tidak peduli. Hatinya bilang bahwa mengejar passion bukan sesuatu yang harus disesali. Lagipula sejauh tiga semester bersama Aksara, pers mahasiswa kampus mereka, nilai-nilai Hayyan relatif stabil dan tidak banyak terganggu.

“Target jangka panjangnya mungkin menumbuhkan kecintaan terhadap kampus. Tiga tahun, lima, atau puluhan tahun ke depan, Adek mungkin tidak akan pernah datang ke kampus ini lagi. Tapi saya harap, paradigma itu bisa membimbing mahasiswa dalam hal-hal tertentu di hidupnya. Tidak perlu besar, yang kecil-kecil saja cukup. Tapi ketika Adek mendapat manfaat itu, Adek akan teringat bahwa hal itu Adek dapatkan di kampus ini. Untuk kesadaran kecil itu, Adek akan bilang ke diri Adek sendiri kalau pilihan Adek sekolah di sini bukan pilihan yang salah.”

***

Matahari siang itu bersinar terik sekali. Panasnya terasa membakar di puncak kepala Hayyan saat cowok itu berjalan di pedestrian kampus. Lalu lalang motor, suara tawa yang datang dari berbagai arah, juga semilir angin yang kadang-kadang berhembus jadi suara latar yang menemaninya meniti langkah. Wawancara selesai tepat pukul setengah dua siang. Terlambat hampir satu jam dari dimulainya kelas membuat Hayyan memutuskan untuk menunggu jam praktikum dengan melihat-lihat baazar buku di depan Masjid Agung. Bukan opsi yang buruk menghabiskan waktu luang; meski jelas bukan kabar baik bagi dompetnya yang mulai kosong.

“Hei.”

Pikiran Hayyan masih berlarian ke sana ke mari saat sebuah tangan menepuk bahunya lumayan kencang. Hayyan berjengit, buru-buru berbalik dengan ekspresi horor mengental di wajah. Di bawah terik matahari yang terasa membakar ujung kepala itu, berdiri Razakky Bhadrika dengan kemeja flanel hitam kotak-kotak tertawa menatapnya.

“Ih, kamu!” Hayyan berseru, mencoba mengais kembali udara setelah sempat menahan napas untuk beberapa waktu. “Kalau aku punya penyakit jantung, udah wasaalamu'alaikum, tau!”

Tawa Zakky berderai-derai. Mungkin baginya ekspresi panik Hayyan dan gerutuan yang terus meluncur keluar dari bibir tebal cowok itu adalah hiburan yang menyegarkan di hari yang terlalu panas ini.

“Lagian, kamu melamun aja dari tadi. Saya udah manggilin dari seberang jalan, masih melamun juga.”

Hayyan mengerucutkan bibir, kehilangan kata-kata untuk kembali menghujani Zakky dengan gerutuan-gerutuan kecil. Ia bahkan tak sadar sudah berjalan jauh dari gedung rektorat. “Sorry, deh. Tadi lagi mikirin sesuatu.”

“Udah makan?” tanya Zakky, tidak membuang kesempatan mengajak Hayyan bicara setelah jeda pendek yang hampir menumbuhkan kembali kecanggungan di antara mereka. “Udah jam setengah dua, juga.”

“Belum. Tadi habis wawancara Pak Rektor, terus ini mau nyari makan sebenernya.”

“Pas banget, dong? Saya juga mau nyari makan. Sekalian bareng aja, yuk?”

Ada keheningan singkat yang mengikuti ajakan Zakky siang itu. Jeda pendek yang diisi keragu-raguan Hayyan. Kalau dihitung, sudah lebih dari empat belas hari sejak mereka terakhir kali bertemu. Sudah berhari-hari berlalu sejak Zakky dan Hayyan saling bertukar sapa. Hayyan pikir mungkin malam di Nagreg itu adalah akhir. Kebersamaan yang mereka bagi malam itu mungkin hanya akan menjadi fragmen dari memorinya yang buram. Mungkin Zakky sudah memutuskan bahwa ia tidak lagi memerlukan Hayyan. Mungkin keberadaannya tidak lagi memberi rasa tenang seperti yang semula Zakky bilang. Mungkin sudah saatnya mereka berjalan sendiri-sendiri ke entah apa tujuan yang sedang menanti mereka di ujung jalan.

Atau mungkin juga tidak.

“Boleh, yuk?”

***

“Zak, mau niron kesimpulan lo, dong. Gue buntu banget, ini!” Rengekan Alde mengisi siang hari Zakky yang ia habiskan di kantin fakultas. Meja berkapasitas empat orang itu penuh oleh lembaran kertas, kalkulator, buku referensi, piring bekas makan dan cangkang gelas kertas kopi yang tidak lagi terisi.

Zakky tidak bergeming. Alih-alih menjawab, cowok itu malah fokus menatap pada ponselnya yang masih terkunci. Seperti sedang menunggu sesuatu, meski cowok itu sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang ia tunggu. Alde—yang merasa bahwa permintaannya tidak kunjung dipenuhi—melirik dengan dahi berkerut. Sudah berhari-hari temannya yang satu ini bertingkah aneh. Di waktu-waktu tertentu, Zakky akan terlihat gelisah. Namun ketika ditanya, cowok itu hanya akan menjawab, “Nggak apa-apa” seperti sudah diprogram demikian.

“Woy!” Alde nyaris menggebrak meja. “Gue ajak ngomong lo diem aja dari tadi.”

“Eh,” Zakky bergumam pendek, kembali pada kesadarannya setelah membiarkan pikirannya sejenak melanglangbuana. “Hampura, euy. Tadi maneh ngomong naon?”

Alde berdecak. “Pinjem tugas lo. Gue mau niron kesimpulan.”

“Lah? Kan lo sama gue topik praktikumnya aja beda, Setan.”

“Lah? Bukannya lo juga kebagian mesin pengering teh?”

Zakky mendengus. Ia menutup laptop, membereskan kabel charger yang berantakan di atas meja, memasukkan laporan yang sudah selesai ditulis ke dalam tas dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal sebelum menjawab, “Gue 'kan kebagian proses oksidasi. Makanya, kalo lagi bagi-bagi topik, tuh, jangan molor.”

Alde menggumam 'anjing' dengan suara rendah, diikuti runtukan-runtukan kecil lantaran ia sudah mulai kehabisan ide. Zakky membiarkan sahabatnya itu melanjutkan marah-marah, tidak berniat sedikitpun menemani Alde sebab enggan mengambil resiko jadi objek emosinya. Kursi berderak saat Zakky bangkit, diikuti delikan tajam Alde yang siap menyemprotnya sebab tahu Zakky sama sekali tidak berniat membantu.

“Yok, semangat, yok,” kelakarnya sambil tertawa. “Gue cabut, ya. Mau balik, terus tidur.”

Tanpa menunggu jawaban Alde, Zakky segera melangkah menjauh dari kantin. Matahari siang ini sungguh bersinar terik sekali, dan perjalanan dari kampus ke rumahnya pasti akan terasa sangat menyiksa. Baru berjalan keluar sebentar dari bangunan fakultas saja, setiap inci tubuh Zakky ingin meleleh rasanya. Belum lagi macet di Cibiru nanti, belum lagi kalau Ujungberung ikut macet juga. Rasa-rasanya Bandung belakangan ini hanya diisi kemacetan saja.

Kaki-kakinya melangkah di pedestrian kampus dengan ritme konstan. Ponselnya terus bergetar sejak tadi. Sejujurnya Zakky benci men-setting ponselnya dalam mode selain sunyi. Tapi sudah beberapa hari ini ponselnya berada dalam mode getar, dan meski Zakky sedikit membenci hal itu, ia tidak punya pilihan lain.

'Kalau gini, harusnya gue chat aja.'

'Tapi lo mau ngechat apa, goblok? Hei, gitu? Payah banget, anjing.'

'Lah, ngapain juga gue pusing? 'Kan cuma temenan aja.'

“Ah, anjing.” Tanpa sadar, makian itu lolos begitu saja. Zakky menghentikan langkah, merogoh kembali ponselnya dan mencari kontak orang yang belakang gemar lari-lari di pikirannya. Nama 'Hayyan SMA24' terpampang di layar ponselnya, diikuti foto profil berlatar biru yang tidak pernah Hayyan ganti sejak mereka kembali bertemu.

Sudah lama sekali rasanya sejak mereka terakhir bicara, dan Zakky kehabisan ide untuk mengajak Hayyan bertemu. Tidak ada hal menarik yang bisa ia jadikan bait, tidak ada cerita lucu, tidak ada kabar, dan yang lebih penting lagi Zakky tidak ingin jadi pengganggu. Padahal kalau ia punya nyali, mungkin sekadar 'Apa kabar?' saja cukup. Tidak perlu sedih, tidak perlu menderita dulu untuk mencari alasan bicara pada Hayyan Nandhana. After all, they're friends, aren't they?.

Di samping semua hal yang berjalan biasa-biasa saja di hidupnya, Zakky tetap merasa ia ingin bicara. Mungkin karena tugasnya sudah tidak sebanyak minggu lalu, ia jadi sedikit bosan. Lagipula agendanya untuk lebih mengenal Hayyan belum karam; ia masih ingin tahu banyak soal cowok itu. Mungkin juga memberi satu-dua cerita hidupnya pada Hayyan. Sesekali ingin rasanya berbagi kisah-kisah menyenangkan. Bukan terus-menerus menjadikan cowok itu media penyembuhannya. Kain bebat bagi luka-lukanya.

“Gue balik dulu aja, abis itu chat dia kali, ya?” gumamnya pada diri sendiri.

Menarik napas panjang, Zakky lanjut berjalan. Sedikit menyesal memarkir motornya di halaman parkir Masjid Agung alih-alih di depan fakultas. Sedikit menyesal kenapa ia tidak makan di depan laboratorium saja alih-alih berjalan jauh menemani Alde memesan soto betawi di kantin fakultas. Zakky baru saja berhasil menyelesaikan penyesalan pendek yang bergema di kepalanya saat ia melihat cowok itu, orang yang lalu-lalang di pikirannya beberapa hari ini, berjalan sambil melamun di depan fakultas Perikanan seorang diri.

'Panjang umur,' bisik batin Zakky.

Tanpa sadar kakinya berbelok sendiri dan menyeberang jalan tanpa perlu ia komando. Tanpa sadar sudut-sudut bibirnya sudah naik membentuk senyuman bahagia. Tanpa sadar tangannya sudah menepuk bahu Hayyan, diikuti sapaan yang selalu Zakky anggap payah selama ini;

“Hei.”

***

P.S 1. Niron = nyontek 2. Masjid Agung dan Lab terpadu itu sebelahan.