Sepenggal Cerita April (Bagian 3)

////////////////////////////////

Erlang ingat malam itu dengan begitu jelas. Sejelas ia melihat pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Ia bisa menceritakan kembali malam itu dengan detail, kata per kata, menit per menit, seolah setiap hembusan napas tinggal di balik memorinya dengan erat. Enggan untuk memburam, tidak jua terlupa.

“Nih, helm lo,” kata Nale pada Erlang.

Hari itu sinar jingga di batas semesta tidak tinggal terlalu lama untuk mereka pandangi. Semua orang di Bina Bakti sibuk berbenah. Tenda-tenda dipugar dan hiasan-hiasan ditanggalkan. Festival sudah berakhir, dan tinggal menunggu waktu sampai hasil ujian nasional terpajang di mading sekolah. Siswa tingkat satu dan dua harus sudah kembali ke realita lepas seminggu menghabiskan semua euforia yang mereka punya.

Nale tersenyum riang. Lelah masih bersarang di wajahnya yang sedikit kusam. Mungkin karena seharian penuh berlarian ke sana ke mari memastikan bahwa Closing Ceremony dapat berlangsung tanpa halangan berarti. Erlang sendiri bukannya tidak lelah, mengingat ia terus menerus berjalan ke berbagai tempat mendokumentasikan kegiatan tanpa sempat menjeda.

“Gue balik, ya,” Erlang berujar, lepas meletakkan helm pada ruang kosong antara jok motor dengan stang.

Nale mengangguk. “Hati-hati,” katanya, pesan yang tak pernah Erlang lupa.

Erlang pulang ke rumah Mbah dengan senyum yang mengembang dan hati yang ringan.

🍂🍂🍂

Hidup memiliki pola yang aneh, abstrak, dan seringnya sukar dipahami. Erlang kerap kali berpikir soal bagaimana hidup punya alur yang tidak teratur, tidak terduga, dan tidak selamanya mengundang rasa bahagia. Sedetik lalu ia merasa bisa melompat ke langit tertinggi, sebelum detik selanjutnya jatuh tanpa ampun ke dasar bumi.

Mungkin itu sebabnya Erlang seringkali ingatkan diri sendiri untuk jangan terlalu merasa bahagia, jangan terlalu rileks, jangan terlalu berharap, jangan terlalu berbangga diri. Ia tidak tahu kapan kereta bernama realita akan tiba-tiba melintas dan semua rasa senang itu luluh lantak dibakar perasaan kecewa.

“Lama nggak ketemu, Nak.”

Lelaki itu jauh lebih tua ketimbang terakhir Erlang melihatnya. Padahal baru dua tahunan berlalu, dan uban sudah mendominasi kepalanya. Kerutan di dahi dan kulit dekat matanya sudah semakin jelas, seolah berusaha mempertegas kesulitan hidup macam apa yang ia jalani dalam kurun waktu yang singkat itu.

Kedatangan Papa yang tanpa permisi, ketidaksiapan Erlang menghadapi monster yang menghantui malam-malamnya, serta banyaknya waktu yang mereka sia-siakan untuk saling menolak keberadaan membuat Erlang gemetar di tempatnya berdiri. Mbah Putri tampak khawatir, tapi Erlang tidak ingin disentuh siapapun di rumah ini; saat ini.

“Kenapa kamu ada di sini?” Suara Erlang dingin dan tidak berperasaan. Sebeku hatinya yang ditinggal Papa bertahun-tahun lalu, mengais kasih sayang sendirian.

Lelaki yang pernah ia panggil Papa itu mengetatkan rahang. Jantung Erlang berdebar bertalu-talu. Meski sedikit tidak mungkin, Erlang ingin percaya bahwa Papanya sudah bukan manusia kasar seperti dirinya dahulu.

“Gitu, cara kamu manggil Papa yang udah lama nggak kamu temui, Erlangga?”

Ah. Rupanya angan baiknya memang tinggal saja dalam kepala. Tidak perlu menjelma jadi harap yang justru memporak-porandakan segala keyakinannya seperti ini.

“Mas!” Mama menarik bahu Papa, mungkin mengingatkan lelaki itu soal 'mengendalikan emosi'. Janji yang mereka buat bersama Mbah kalau lelaki itu hendak menemui anak bungsunya di sini.

Erlang menarik salah satu sudut bibirnya. Mempertontonkan dengan gamblang kepedihan di balik senyuman itu. “Apa, sih, yang saya harap dari Anda?”

“Apa!?” Papa menggeram.

Mama menarik lengan suaminya kuat-kuat. Di saat seperti ini, Papa bahkan mungkin terlalu emosi untuk memikirkan soal kesehatan jantung ibunya sendiri.

“Erlang udah bilang, Erlang nggak mau ketemu dia,” Erlang melirik Mama, yang menatapnya seolah memohon ampun.

Untuk apa? Pikir Erlang. Bukankah dalam keluarga ini, hati semua orang sudah kadung menjadi serpihan-serpihan kaca? Apa lagi yang hendak mamanya cari dari rekonsiliasi yang sia-sia ini? Toh diperbaiki seperti apapun, luka-luka yang Erlang dapat dari papanya selamanya akan menjadi luka yang basah. Dan darah dari luka-luka itu akan menjadi pengingat baginya bahwa hidupnya ini lucu, lucu dan menyedihkan.

“Saya pergi dulu. Saya pulang, kalau dia sudah nggak di sini.”

Dengan itu, Erlang melangkah meninggalkan pintu rumah Mbah dengan segala kesemrawutan perasaan yang sulit ditata ulang. Ia mungkin akan menumpang tinggal di rumah salah satu temannya sampai rasa perih di hatinya sedikit mereda. Tapi luka itu, luka yang Papa tinggalkan dalam benang-benang kenangannya tidak akan pernah sirna.

“Meman harus begini,” gumamnya, saat menarik pintu pagar terbuka dan mendorong motor tanpa menoleh lagi.

Memang harus begini. Kehilangan sosok ayah adalah harga yang harus ia bayar untuk kebebasannya.