Cerita Tentang 2 Jiwa

////////////

“Nih, helm.” Erlangga menyodorkan pada Nalesha sebuah helm coklat tua. Nampaknya baru, sebab ia belum pernah lihat helm itu selama menumpang pada Erlangga. Nale mengambil helm sambil tersenyum, mengurungkan niat untuk bertanya helm baru ini datang dari mana.

Motor Erlang berderum halus saat roda-rodanya membawa mereka menjauhi kediaman Nale. Angin dingin Bandung pagi hari dan genangan air bekas hujan semalam membuat Nale merapatkan jaketnya. Tanpa sadar genggamannya pada kedua ujung jaket Erlang mengerat. Erlang tidak memperlambat laju motor, tidak jua berkata atau merespon apapun atas gestur refleks cowok di belakangnya. Ia hanya dengan khusyuk menarik gas dan terus memandang ke depan bersama seulas senyum. Membiarkan Nale menikmati bau dedaunan basah dan wangi pengharum pakaian yang samar-samar menguar dari jaket cowok di depannya.

Sepanjang hari, yang Nale pikirkan hanya Erlangga. Memang dasar hati, bandel dan senang sekali bergerak sendiri. Beberapa kali ia mencuri lirik pada Erlang, yang duduk dengan tenang di atas meja. Sesekali mata mereka akan bersiborok, dan keduanya akan membiarkan benang pandang itu terhubung selama beberapa detik sebelum membuang muka. Nale tidak akan bisa menahan senyumannya selama beberapa menit setelah adu pandang yang singkat itu, membuat Yulian menghela napas sambil berbisik menggoda.

“Silakan kalian sobek kertas kecil, dan buat soal mengenai Hidrolisis Garam.” Pak Sukanta, duduk dengan tenang di meja guru sambil tertawa. “Lalu cari partner dan tukeran soalnya, ya. Kalau sudah dikerjakan, boleh kumpulkan ke saya. Nanti tulis siapa yang kasih soal di bagian atas jawabannya.”

Maudy mengangkat tangan. “Sama temen sebangku, Pak?”

“Siapa aja boleh. Bebas.”

Semua kepala menunduk fokus saat Nale mengangkat wajahnya. Hanya beberapa dari mereka selesai membuat soal. Juna, Yulian, Dewi dan Erlang, misalnya. Nale menggigit bibir, melirik pada Juna (yang sudah memandangnya seolah berkata 'Tukeran sama gue, ya!'), dan Erlang yang beberapa kali kedapatan melirik padanya.

Suhu tubuh Nale rasanya naik ke pipi saat ia bangkit dan menghampiri Erlang. Ia bisa merasakan tatapan menggoda teman-teman lain menusuk punggungnya, membuat wajahnya semakin memerah dari waktu ke waktu. Tapi kedua kakinya dengan lantang bergerak mendekat, seolah berkata bahwa mereka akan abai pada orang-orang sekitar.

“Tukeran?” ajaknya, menyerahkan secarik kertas berisi soal yang ia buat sendiri.

Erlang tertawa. “Nih,” tutur cowok itu, balik menyerahkan soal miliknya. Tulisan Erlang sejujurnya tidak bagus-bagus amat. Cenderung berantakan dan tajam di sudut-sudut yang kurang tepat. Tapi Nale menerima kertas dari cowok itu dengan hati berbunga-bunga. Dasar, cinta monyet. Serasa kentut bau kenanga dan tahi kucing jadi coklat belgia.

“Saya udah, Pak.” Nale, menjadi siswa yang menyandang titel berprestasi, jadi orang pertama yang menyerahkan kertas berisi jawaban soalnya ke depan. Ia tersenyum tipis saat Pak Sukanta mengangkat kepala, memberinya senyuman manis dengan lesung pipi yang mengingatkannya pada Krisna.

Pak Sukanta menerima kertas jawabannya sambil tertawa. “Udah, Nal, bales surat cinta dari Erlangnya?”

Yang Nale tahu kemudian adalah bagaimana panas tubuhnya naik menjalari pipi, diiringi seruan menggoda hampir empat puluh siswa di kelas mereka. Hampir, karena ada orang bernama Erlangga Rasyafariq yang tidak ikut bersorak, sibuk menutupi wajah yang ikut memerah malu.

/////////////////////////////

“Ada ya guys yang sayang-sayangan mulu tapi nggak jadian?” celetuk Ganesha saat Erlang dan Nale berhenti di parkiran motor. Ada Arsa, Krisna, Yasa, Sagara dan Juna di tempat yang sama. Jarak di antara mereka tidak begitu jauh, tapi tidak cukup dekat juga. Beberapa anak kelas sebelas terkikik mendengar sindiran Ganesh, dan anak-anak kelas sepuluh melirik pada mereka penuh tanya.

Erlang mendengus. “Sa, tuh lo disindir, Sa,” tukasnya, melantangkan suara dan memanggil Arsa.

“Aing nyindir maneh, anying (Gue nyindir lo, anying).”

Nale mengunci helm di kepalanya, tidak berani mendongak, saat Erlang menjawab, “Lah selama ini 'kan yang sayang-sayangan mah si Arsa? Gue mah belom.”

Ganesh menggerutu pelan dalam suara yang tidak bisa Erlang maupun Nale dengar. Yasa menghela napas, sementara hampir semua orang hanya tertawa. Yah, sangkalan itu tidak salah juga.

“Siap?” kata Erlang, menoleh dari jok depan.

Nale tertawa. Tangannya menepuk bahu Erlang ringan sambil berseru, “Go, go!”

////////////////////////////////

Nale duduk di kursi kosong di depan gedung museum Asia-Afrika dengan segelas es teh manis di tangan. Erlang sedang berjongkok tak jauh dari tempatnya duduk, memotret seekor ulat bulu yang sedang melintas. Tidak peduli pada lalu-lintas yang cukup ramai, apalagi pada kemungkinan ia bisa terlindas ujung sepatu para pejalan kaki. Nale tertawa, mencoba mengalihkan perhatian dari debaran jantungnya yang mulai menggila.

“Lucu, Ca,” kata Erlang, memperlihatkan potret ulat yang tadi ditangkapnya dengan kamera ponsel.

Nale bergidik. “Geli ih, Lang!” protesnya, menjauhkan gambar itu dari jangkauan pandangan.

Erlang tertawa. Hening menyelimuti mereka. Erlang sibuk memandang pada lalu-lalang kendaraan di jalan, sementara Nale terus-terusan menyedot isi gelasnya seperti orang kehausan. Barangkali di dalam kepala, mereka berdua sama-sama bingung bagaimana harus memulai ini.

Erlang pikir, nyalinya yang sebesar bendungan Jatiluhur semalam sudah longsor dilindas kegugupan. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia bersedia membelah jalanan malam Bandung untuk meyakinkan orang di sebelahnya perihal kesungguhan. Siapa yang tahu saat kini ia sungguhan menghadapi Nalesha, kata-kata yang sudah dirangkai otaknya sedemikian rupa luluh lantak entah hanyut ke mana.

“Ca,” Erlang memanggil. Suaranya sedikit gemetar karena gugup, tapi Nale tidak cukup teliti untuk menyadari itu saat ia sendiri sama salah tingkahnya. “Aduh, gue bingung mau mulainya gimana.”

Nale tertawa kecil. “Sama,” katanya. “Gue malu.”

Kalau Erlang boleh jujur, ingin ia kantongi Nale saat seluruh wajahnya merona begini. Ia bawa ke mana-mana, pastikan tidak ada satupun entitas di dunia yang hendak mengganggu manusia satu itu. Gemas adalah kata yang terlalu sedehana, tidak cukup menggambarkan sensasi meledak-ledak di dadanya yang berusaha ia tahan sekuat tenaga.

“Sejujurnya gue nggak tahu caranya nembak orang,” kata Erlang. Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirnya seperti motor yang kehilangan fungsi rem. “Pertama dan terakhir kali nembak orang, gue malah ditolak. Dibilang nggak jujur sama diri gue sendiri.”

Nale memainkan kesepuluh jemarinya, tidak berani memandang Erlang. Es dalam gelasnya sudah habis, jadi ia berusaha mencari pengalih perhatian lain; yang mana berakhir gagal total sebab kata-kata yang Erlang lontarkan terekam dengan jelas di dalam kepalanya.

“Terus emangnya lo yakin sekarang lo lagi jujur, Lang?” Nale memberanikan diri bicara, masih sepenuh hati mencoba menghindari pandangan Erlangga.

Erlang menyisir rambutnya, gestur yang ia buat saat gugup atau frustrasi. Dua emosi yang ia rasakan sekaligus kini. “Iya. Seenggaknya gue mikir gitu,” katanya.

Erlang menghadap Nale, melukis senyum di bibirnya yang tak bisa Nale lihat. “Yang gue tau, gue mau ngasih lo label sekarang, Ca. Sejujurnya gue pribadi nggak terlalu peduli sama status. Tapi lo tau kadang suka ada serangga kayak Bobby...”

Nale tertawa.

“Gue serius, Ca!” Erlang ikut tertawa. “Gue nggak bisa jamin apa-apa sama lo. Manusia itu tempatnya perubahan paling setia, Ca. Semua orang bakal berubah. Gue, lo, perasaan kita... tapi gue mau usaha sama lo. Perubahan-perubahan di depan, kita hadapin bareng-bareng.”

“Lo pernah suka sama Yulian...” Nale tidak tahu kenapa kalimat itu terucap. Ia melirik Erlang, mencoba menemukan keraguan dari kedua iris hitam cowok itu.

Tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya kesungguhan yang rasanya terlalu banyak sampai menyesakkan dada.

“Kita masih ABG. Lo bisa aja nemu yang lebih dari gue nanti pas kuliah, pas kerja. Kita nggak bisa selamanya bareng.”

Erlang menutup mulut, mencoba menahan tawa. Tidak ingin tampak meremehkan rasa cemas yang mengental dalam suara Nalesha.

“Belum jadian aja udah takut gue tinggalin,” katanya, masih mati-matian menahan kekehan.

Nale mengerutkan dahi, sedang bibirnya mengerucut tanda sebal. “Ih, yang bener, dong!”

“Abisnya lo lucu banget, Ca,” Erlang masih tertawa. “Nggak ada yang tau besok bakal kayak gimana. Tapi gue beneran jujur dan tulus sama lo. Gue bukan orang yang langsung balik kanan begitu menurut gue lo udah gak menarik lagi.”

“Beneran?”

Erlang mengangguk. “Lo bisa pukulin gue, kalo gue nggak nge-treat lo dengan baik. Gue bisa marah sama lo, kalo lo nggak nganggap perasaan gue serius. Di hubungan ini gue mau kita berusaha buat bikin nyaman satu sama lain.”

Nale tidak menjawab. Alih-alih bicara, ia malah menonjok bahu Erlang main-main dengan wajah semerah tomat.

“Diterima, nggak, jadinya ini tèh?”

Nale mendengus. “Ngajak pacaran juga nggak.”

“Iya, ya? Dari tadi gue ngebacot terus itu buat apaan, dong?”

“Um,” Nale memiringkan kepala, lantas memberi Erlang cengiran lebar. “Bikin gue percaya lo suka beneran sama gue?”

“Lah, jadi sebelumnya lo pikir gue sukanya bo'ongan?”

Nale menjawab dengan tawa.

Tangan Erlang bersandar di kepala Nale, mengacak helai-helai rambutnya penuh afeksi. Lagi, mata hitam cowok itu seperti membawa Nale pada dimensi yang hanya mereka berdua pahami. Sebuah magis yang membuatnya jatuh pada Erlang berkali-kali tanpa kenal berhenti.

“Pacaran yuk, Ca?”

Nale tertawa lagi, penuh rona dan rasa bahagia kali ini. Erlang hanya perlu sebuah tawa itu untuk tahu bahwa perasaan dan ajakannya bersambut sempurna. Sore itu, lalu-lalang dan suara bising di sisi jalan alun-alun kota menjadi latar mereka berdua bergerak ke arah yang sama.