Rumah

//////////

Nale berdiri dengan cemas di gerbang rumah. Ayah dan Bunda sedang duduk di ruang keluarga, menonton TV. Bunda sempat bertanya padanya, kenapa Nale terlihat begitu cemas malam ini. Ia bahkan melewatkan makan malamnya dan bergegas pergi ke depan untuk menunggu sesuatuㅡ atau seseorang?

Erlang mengangkat telepon sekitar setengah jam yang lalu. Artinya sudah setengah jam pula Nale berdiri di depan pagar menunggunya. Kalau boleh berterus-terang, ia cemas luar biasa. Sepanjang mengenal, Erlang tidak pernah terlihat menyentuh rokok. Tentu, ia kadang terlihat sedih karena sesuatu, tapi Erlang bukan perokok. Jadi saat Nale mengisi waktu senggangnya tadi dengan berselancar di media sosial, adalah respon yang wajar kala ia hampir melempar ponsel melihat postingan terbaru Erlang di twitternya.

/Nanti gue ke sana./

Adalah kata singkat yang Erlang sampaikan di telepon sebelum sambungan terputus. Nanti, kapan? Bagaimana kalau saat dalam perjalanan Erlang berubah pikiran? Bagaimana kalau ketika Erlang sampai di depan rumah, ia kembali pulang? Bagaimana kalau rasa cemas dalam hati Nale ini tidak jua sirna?

Ia perlu melihat Erlang. Ia perlu memastikan cowok itu baik-baik saja.

Tapi baik-baik saja adalah kata-kata yang hilang dari kamus hidup Erlangga hari ini.

🍂🍂🍂

Lima belas menit kemudian, sinar lampu motor Erlang tampak di ujung jalan. Nale tidak sempat melihat jam karena terlalu semringah. Jantungnya berdebar bertalu-talu, antara gugup dan takut. Takut ia tidak bisa menampung kesedihan Erlang. Takut ia justru memberi garam di atas luka cowok itu, yang ia sendiri tak tahu sedalam apa. Takut Nale tidak bisa memberi apa-apa selain pelukan dan waktu mendengarkan.

“Hai,” sapa Erlang. Ia masih setampan saat mereka bertemu tadi. Namun ada pilu di kedua matanya yang sayu. Ia terlihat... hancur. Seperti sepotong kue yang terinjak tanpa sengaja, lumat di atas tanah tanpa sisa.

Nale tidak menjawab. Ia langsung menghambur masuk dalam pelukan Erlang, saat yang bersangkutan baru saja turun dari motor. Ada bau nikotin dari jaket hitam yang ia pakai, tapi Nale tidak peduli. Ia hanya ingin memastikan Erlang ada dalam pelukannya, aman dan tidak terluka.

Ah, pengandaian itu agaknya terlalu memaksa. Sebab Erlang sudah terluka lama... lama sekali sebelum mereka berdua bersua.

“Masuk dulu, yuk?” Erlang terkekeh kecil. “Malu diliatin tetangga lo, pelukan di depan rumah gini. Kayak orang mau ditinggal ke medan perang aja.”

“Jangan ke mana-mana,” kata Nale, dengan suara yang tertahan sebab wajah sudah sembunyi di dada Erlang.

Erlang mengusap bagian belakang kepala Nale dengan penuh afeksi. “Mau ke mana. Lo ada di sini, gue mau ke mana lagi?”

🍂🍂🍂

“Ini selimut sama kasur lipatnya. Erlang nggak apa-apa, tidur di bawah?” Ayah meletakkan kasur dan selimut di atas ranjang Nale, tampak khawatir pada penampilan Erlang sekarang. Jujur saja, ia tampak berantakan. Berantakan dan sangat muram.

Erlang menggigit bibir. “Saya bisa tidur di ruang tengah kok, Yah.”

Bunda menggeleng. “Nggak boleh. Nanti kamu masuk angin, gimana? Udah, tidur aja sama Eca. Besok Bunda bangunin buat sholat subuh.”

Lepas bicara begitu, Bunda dan Ayah pamit tidur lebih dulu. Sudah jam sepuluh malam, kata mereka, dan Nale dengan sabar menunggu Erlang mandi sambil memeluk bantal gulingnya dengan gugup. Sejak bertemu tadi, Nale mendapat dorongan aneh untuk menangis. Melihat Erlang kacau, sedih, dan tampak seperti tidak punya pijakan membuatnya ingin berteriak dan memaki dunia. Mungkin begini rasanya jatuh cinta, pikir Nale. Mungkin karena itu ia merasa marah pada siapa saja yang membuat Erlang tidak baik-baik saja.

“Jangan masang muka galak gitu dong, Ca,” tegur Erlang saat ia berjalan masuk ke dalam kamar dengan baju dan celana pinjaman dari Ayah. Senyum di bibirnya nampak tersungging tulus, dan senyum itu anehnya membuat Nale semakin ingin menangis.

“Kenapa...”

Erlang tidak menjawab. Ia berjalan ke depan Nale, berlutut di atas lantai dengan handuk masih menggantung di kepala. Mata hitamnya menatap iris coklat Nale seolah berusaha menyampaikan sesuatu. “Gue ceritain, tapi lo jangan nangis, ya?”

Nale menggigit bibir. “Nggak janji.”

Malam itu, bersama bunyi dari kipas angin di dalam kamar dan jangkrik di luar rumah, Erlang menumpahkan semuanya. Kelahirannya, ekspektasi Papa di kedua bahunya, setiap pukulan yang didapatkannya, tangisan Mama, kesedihan kakaknya, rumah yang hilang darinya. Ia menceritakan semua hal itu dengan sabar, bersama tangan yang mengusap pipi Nale yang leleh oleh air mata, bersama rasa sakit yang masih basah seolah lukanya baru timbul kemarin lusa.

Di akhir cerita, Erlang bilang, “Hidup ini ternyata kayak panggung wayang ya, Ca. Gue kadang mikir, jangan-jangan si Dalang lagi ketawa puas liat hidup gue kayak gini.”

Nale menghambur memeluk cowok itu, menenggelamkan wajah di cerukan antara leher Erlang dan bahu. Tidak peduli bobot tubuhnya bisa membuat Erlang roboh, sampai ia harus menyangga tubuh dengan tangan dan bokongnya harus rela terbentur lantai menahan pelukan yang tiba-tiba datang.

“Nggak,” lirih Nale, isakannya tertahan di leher Erlang. “Lo udah lewatin semuanya dengan baik. Gue...” Nale berhenti bicara, tercekat. Tangan Erlang dengan sabar menepuk-nepuk punggungnya.

“Gue bangga sama lo.”

Ah, Erlang menghela napas. Cowok dalam pelukannya ini benar-benar...

“Makasih, Ca,” lirih Erlang, membalas merengkuh tubuh kecil itu semakin erat.

Erlang pikir Nale istimewa. Awalnya sesederhana, ia melihat proyeksi dirinya di dalam cowok itu. Erlang pikir, tidak ada salahnya mengatakan pada Nale bahwa kadang ia tidak perlu memikirkan pendapat dunia; cukup bahagianya saja. Ketika mengatakan itu, menyaksikan tangisan Nale, menghiburnya sambil jalan-jalan di Tahura, Erlang tidak pernah meminta balasan apa-apa.

Tapi siapa sangka karma baiknya terlampau manis begini.

“Makasih,” kata Erlang lagi. Dibumbui tawa kali ini.

Benar, terima kasih Nalesha. Untuk pertama kali dalam hidup akhirnya Erlang tahu rasanya diterima; rasanya pulang. Untuk pertama kalinya ada manusia yang mau menangis untuknya. Menumpahkan segala kesedihan yang tidak mampu lagi Erlang bahasakan lewat tangis dan air mata. Mungkin luka di hatinya bisa kering dan tanggal. Mungkin Nalesha adalah obat yang tanpa Erlang sadari ia cari-cari selama ini.

Malam itu berlalu. Bersama Erlang dan Nale, tidur bersisian di kasur lipat sempit sambil berbagi kehangatan.