Jingga
//////////
Matahari bersinar terik sekali sewaktu Erlang memarkirkan motornya di halaman parkir McDonalds bersama Maudy. Tangki motornya sudah penuh, giliran perutnya gantian minta diisi. Bergegas, Erlang berjalan mendahului Maudy masuk ke dalam restoran. Bau ayam mengental di udara, membuat rasa laparnya semakin menggila. Erlang menyisir rambutnya ke belakang, mencari sosok Juna di tengah ramainya orang dan bisingnya obrolan.
“Erlang! Moy!” Itu Juna, melambai di meja kedua dari ujung kanan restoran. Di depannya ada dua nampan berisi makanan pesanan mereka. Erlang balik melambai, sebelum mengekori Maudy menghampiri cowok itu.
Boleh ditegaskan lagi? Erlang lapar sekali.
Berbeda dengan Maudy yang memilih langsung duduk, Erlang malah berbelok ke westafel guna mencuci tangan. Ia bisa mendengar tawa kecil yang Juna dan Maudy bagi, namun memilih abai.
“Selaper itu, Lang, sampe langsung cuci tangan?” Maudy menggoda, Erlang tertawa.
“Salatri banget gue, Moy,” jawabnya, sebelum memisahkan sendiri satu paket makanan miliknya. “Untung dapet duduk.”
“Ini bekasannya kelompok Arsa, sih. Untung mereka lagi di ruang pegawai sekarang, wawancara.”
“Nanti kalo mereka balik, duduk di mana dong?” Maudy bertanya, sudah ikut memindahkan makanannya sendiri ke depan dada.
“Udah pada makan kok, mereka,” kata Juna. “By the way nanti Maudy balik sama gue, ya?”
Maudy mengangkat alisnya. “Kenapa?”
Juna tersenyum. “Gue ada mau mampir dulu ke Antapani. Biar sekalian aja, gitu.”
Erlang terlalu sibuk makan untuk menimpal, tapi ia mengangguk. Maudy mengangkat bahu, “Oke aja sih, gue. Mau sama siapa juga asal sampe rumah safe and sound.”
Erlang tersenyum, Juna tertawa. Cowok dengan senyum kotak itu merogoh saku, mencari ponsel dan mengetik beberapa kata.
Perut Erlang sedikit demi sedikit terisi. Senyum Juna melebar lagi dan lagi.