ghouldens

I write so I won't die without leaving a trace.

/////////////////////////

Manusia hanya bisa berencana. Kalau kata-kata Erlang tempo hari bisa Nale sederhanakan, mungkin begitu kedengarannya. Apa yang bisa Nale lakukan hanya berusaha dan melakukan upaya terbaik yang ia bisa. Output yang keluar dari usaha-usaha itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Berbekal kata-kata itu, Nale membuka mata dengan segunung perasaan positif di hatinya. Tidak apa kalau ia tidak menang hari ini, katanya pada diri sendiri. Erlang tidak akan kecewa.

“Olimpiade Biologi hari ini berakhir di sini. Selamat kepada Provinsi DKI Jakarta atas kemenangannya di tahun ini.”

Ah berakhir juga. Nale tidak jadi juara, tapi anehnya ia tidak kecewa. Lucu sekali, kalau sadar kata sederhana itu bisa meninggalkan impresi yang begitu dalam di kepalanya.

Mungkin karena kata-kata itu juga lah, Nale tidak lagi berpikir mengenai apapun selain keinginan untuk menelepon Erlangga selepas semua ini selesai.

Bel penanda olimpiade berakhir menjadi pembuka hela napas panjang Nale siang itu. Ia sungguh lelah sekali, tapi juga lega sebab semuanya sudah berakhir untuk sekarang. Nale bisa istirahat sebentar dari belajar tanpa henti. Ia juga tidak perlu merasa takut fokusnya terpecah karena tak punya sesuatu untuk dikejar dalam jangka waktu dekat. Aneh. Sebelum ini, Nale mana pernah membiarkan dirinya sendiri istirahat barang sebentar. Ia harus selalu siap; harus selalu awas. Erlangga benar-benar punya andil besar merubah suasana hatinya belakangan ini.

“Nale!” Pak Agus dan Bu Leni menyambutnya begitu Nale keluar dari ruangan. Sudah jam dua siang sekarang, dan ia belum sempat makan apapun sejak pagi. Dua minggu ini benar-benar berat bagi baik ia maupun Krisna. “Yuk makan dulu? Krisna udah nungguin di lobby depan.”

Nale memainkan jemarinya sambil menunduk. Ah, lupa dia. Ada dua orang ini yang pasti kecewa berat menerima hasil olimpiade tahun ini. “Maaf ya, Pak, Bu. Nale belum bisa kasih yang terbaik.”

Pak Agus terkekeh. “Ngomong apa kamu. Masuk ke nasional aja saya udah makasih banget, Nalesha. Nggak usah mikirin menang atau nggak, yang pasti kamu udah jadi kebanggaan sekolah kita.”

Nale tersenyum lemah, meski dalam hati sungguh tak sabar meminta ponselnya yang ditahan berhari-hari lalu kembali ke tangan. “Pak, saya izin mau ngabarin orang tua dulu, boleh?”

Pak Agus menepuk dahinya. Lantas lelaki berusia akhir empat puluhan itu menyenggol bahu Bu Leni. “Oh iya, lupa saya. Nih, HP kamu. Telfon dulu Ibu sama Bapakmu, ya.”

Nale menerima ponselnya, mengucap terima kasih sekali lagi dan langsung berlari menuju tempat sepi terdekat. Ia berhenti di depan sebuah pohon besar, menarik napas panjang dan mencari kontak Erlangga.

“Halo?” suara serak Erlangga menyapanya di ujung sambungan.

Nale tanpa sadar tersenyum. “Halo.”

“Hmm,” Erlang menggumam. “Selamat ya, udah jadi kebanggannya Bina Bakti.”

Alis Nale berkerut. “Apaan sih, kok lo ngomongnya kayak Pak Agus.”

“Mmm, fakta, kan?” Erlang menimpal ringan.

“Lo nonton, 'kan?” Nale menggigit bibir.

Ada jeda panjang sebelum Erlang menjawab ringan. “Iya. Sesuai janji. Muka lo tegang banget, by the way.”

Nale tertawa.

“Gue balik lusa,” Nale bicara lagi. “Lo jemput gak di stasiun?”

Erlang mendengus pelan. “Maunya lo gue jemput apa nggak?” katanya main-main.

“Maunya lo jemput.”

Erlang tertawa. “Gue jemput Krisna nanti, nemenin Yasa.”

“Bukan jemput gue?”

“Sekalian, lah. Biar ga puyeng.”

Nale tertawa. “Gue nggak menang, Lang.”

Nale menikmati hening pendek yang diisi hela napas Erlang. Ia tidak keberatan terus mendengar suara napas itu berjam-jam ke depan. Sungguh.

“Nggak apa-apa. Lo tetep bikin bangga semua orang.”

Nale tersenyum. “Termasuk lo?”

Erlang diam lagi, dua detik, sebelum bicara dengan suara yang lebih dalam dibanding sebelumnya. “Mmhm, termasuk gue.”

///////////

Namanya Yulian Maulidia. Cewek itu duduk dua bangku di depan Erlangga di kelas delapan. Rambutnya saat itu sepunggung dan lurus tanpa gelombang. Ia punya lesung pipi kecil di bawah bibir saat tertawa; sesuatu yang akan selalu Erlang ingat darinya.

Pada awalnya, Erlang tidak berencana jatuh cinta pada cewek yang selalu tertawa itu. Tapi seperti bagaimana ia luluh untuk Sagara dan Krisna, Erlang luluh juga pada Yulian. Cerita mereka diawali saat gadis itu memergokinya merintih di UKS sambil susah payah mengobati punggungnya yang memar sehabis dipukuli Papa.

“Sini, aku obatin,” kata Yulian dengan suara bergetar.

Erlang mendesis. “Nggak usah.”

Tapi Yulian adalah perempuan yang keras kepala. Dan kekeraskepalaan itu adalah hal yang mendorong kakinya berjinjit mencari betadine di lemari obat. Erlang mengerutkan dahi, tidak suka saat orang lain mengabaikan permintaannya. Ia tidak perlu dikasihani, ia bahkan tidak berencana membuka luka ini pada siapapun termasuk Sagara dan Krisna. Lantas, atas dasar apa ia biarkan cewek ini melihatnya dalam kondisi terburuknya?

“Gue bilang gak usah!” Erlang menghardik, kehilangan rasa sabar yang susah payah ia pertahankan. Di kelas delapan, untuk pertama kalinya seumur hidup, Erlangga membentak seorang perempuan.

Yulian berjengit kaget, dan detik berikutnya yang Erlang lihat adalah bulir-bulir air mata menganak sungai di pipi Yulian.

Cewek itu menangis.

Hening.

Erlang membungkam mulutnya rapat, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Ia baru saja membuat seorang perempuan menangis, pertama kali seumur hidupnya, dan itu jelas bukan pencapaian yang luar biasa.

Yulian terus menangis tanpa suara. Tapi alih-alih pergi, ia malah terus mendekat pada Erlang. Ia meletakkan kotak obat di sisi Erlang, tepat di atas ranjang, dan memandang Erlang dengan mata berkaca-kaca dan suara yang parau:

“A-aku obatin si-sini.”

Dan Erlang menurut tanpa bicara apa-apa. Siang itu hanya ada mereka dan ranjang UKS yang terus bungkam dalam hening yang tidak bertepi.

//////////////////////

Jatuh cinta itu sebenarnya sederhana. Erlang hanya merasa diterima oleh Yulian tanpa tapi dan tanpa karena. Berhari-hari setelah itu, Erlang menunggu ada gosip mengenai dirinya dan memar di punggungnya menyebar di seantero sekolah. Ia tunggu tanya meluncur dari mulut Krisna atau Sagara, perihal kenapa ia terluka, kenapa ia tidak bicara pada mereka berdua.

Tapi tidak ada apapun. Badai yang Erlang prediksi tidak pernah terjadi.

Mungkin Erlang memang kepalang skeptis pada Yulian dan bagaimana cewek itu menghadapi situasi. Mungkin Yulian bukan orang seperti itu. Mungkin sejak itu, Erlang mulai menganggap bahwa Yulian berbeda, dan mulai berpikir untuk lebih terbuka padanya. Buat apa pura-pura, toh Yulian pernah lihat ia dalam versi terburuknya?

“Lang, aku nebeng dong pulangnya? Ayah nggak bisa jemput,” kata Yulian suatu hari. Kalau itu orang lain, Erlang akan gunakan seribu satu alasan untuk menolak. Entah itu latihan basket, belajar tambahan, les, atau sesimpel ia ada urusan mendadak di rumah dan tidak bisa mampir-mampir dulu.

Tapi itu Yulian, dan Erlang dengan mudah langsung mengangguk tanpa berpikir panjang.

Yulian tidak banyak meminta tolong pada Erlang. Mungkin sekali dua kali ikut pulang dibonceng motor bebeknya. Atau meminta Erlang mengajarinya tugas yang kurang ia pahami. Tapi Erlang tidak pernah berkata 'tidak' pada dirinya. Tepatnya, ia tidak mampu.

Di kelas delapan, Erlang tahu ia menyukai Yulian jauh lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.

///////////////

Erlang baik, Yulian tahu. Semua orang akan dengan senang hati menjabarkan kebaikan Erlang yang tidak pernah berujung itu. Yulian sendiri berkali-kali dibantu tanpa pernah satu kalipun Erlang meminta balas jasa. Tapi Yulian juga berkali-kali memergoki Erlang meruntuk, kesal, marah, dan berbagai jenis emosi negatif lain yang tidak pernah ia pertontonkan di depan banyak orang.

“Dasar parasit,” Yulian dengar Erlang bicara sendiri di tengah lorong yang sepi suatu sore. “Punya tangan sama otak, tapi nggak ada yang dia pakek sama sekali.”

Yulian terpaku. Ini sungguh... Erlang yang ia tahu?

Yulian jadi berpikir; apa jangan-jangan Erlang juga melakukan itu di balik punggungnya?

Erlang yang selalu tersenyum, atau Erlang yang sering marah karena hal-hal merepotkan, mana yang adalah sosok Erlang sesungguhnya?

“Aku suka kamu, Le. Jadi pacarku, ya?” Erlang berdiri sambil tersenyum ke arah Yulian sore itu, dengan coklat batang di tangan kanan. Ia tampan sekali, kalau Yulian boleh jujur.

Tapi senyuman itu malah membuat Yulian mual.

Apa senyum itu asli, Lang?

Apa kamu beneran suka aku?

Apa dalam hati, kamu lagi kesel karena aku cuma diam dan nggak jawab cepet-cepet?

Yulian tidak bisa enyahkan pikiran-pikiran itu dari kepalanya. Di depannya, Erlang berdiri dengan gugup. Hampir kesulitan bernapas, malah. Tapi Yulian terlau hanyut dalam prasangkanya sendiri untuk dapat menyadari kegugupan cowok di hadapannya.

“Beneran kamu suka aku, Lang?”

Erlang mengerjap kaget. “Maaf?”

Yulian tersenyum getir. “Beneran, kamu suka aku? Atau jangan-jangan omonganmu ini sama palsunya kayak sikapmu selama ini ke orang-orang?”

///////////

Usia 13 tahun bagi Erlangga adalah neraka dunia. Bukan berarti sekarang ia sudah mencicip surga, hanya saja segalanya mulai terasa dapat ditahan sejak ia mencoba menjadi diri sendiri. Sesuatu yang dulu ia tak mampu. Usia tiga belas bagi Erlangga adalah masa-masa terberat dalam hidup remajanya. Orang bilang, mereka yang 'rusak' itu menakutkan. Sebab mereka tahu cara ubah neraka jadi tempat yang nyaman. Meski daging dan tulang mereka terbakar dan leleh, mereka akan terus tertawa.

Begitulah Erlang saat ia rasakan jiwanya 'rusak' dimakan kejamnya dunia.

Papa Erlang adalah lelaki yang perfeksionis. Sejak dulu, Papa gemar menumpukan ekspektasi di kedua bahu Erlang yang kecil dan rapuh. Seperti bagaimana ia timpakan beban di kedua bahu abangnya yang paling ia sayang.

“Harus jadi juara kelas, atau kamu Papa kurung di ruang baca seminggu penuh,” katanya suatu hari.

Dan Erlang gagal penuhi permintaan itu, sehingga yang ia temukan adalah bau kertas yang lembab, kayu yang lapuk dan kegelapan yang tidak berujung. Ia ingat ia menangis kencang bermalam-malam tapi entah itu Papa, Mama atau Abangnya tak pernah datang menolong. Papa selalu melakukan apa yang ia bilang akan lakukan, meski itu menyakiti Erlang. Mama biasanya tidak pernah berdaya menghadapi Papa, dan Abangnya selalu pergi; selalu lari dari tempat yang terlalu dingin untuk mereka panggil rumah ini.

“Matematika kamu harus lebih dari delapan lima, Erlang. Jangan kayak Abangmu itu, bikin malu keluarga aja bisanya!”

Dan Erlang gagal lagi. Sebab itu dua hari ini ia habiskan berjalan pincang ke sekolah sebab luka pukul kayu di betisnya masih perih bergesekan dengan celana sekolahnya.

Jadi Erlang tidak boleh gagal lagi, pikirnya. Apakah itu menjadi juara kelas, menang turnamen basket, jadi kesayangan guru, ia harus mencapai semuanya. Entah apa yang akan ayahnya lakukan nanti andai saja Erlang kembali membuatnya kecewa. Mungkin menamparnya, mungkin memukulnya di punggung dengan gagang sapu besi, mungkin menjambak rambutnya, membakar komik-komiknya, membuang kamera kesayangannya...

Erlang tidak bisa membiarkan semua itu terjadi.

//////////

“Halo, gue Sagara.”

Sagara adalah anak yang periang. Ia tertawa karena lelucon yang menurut Erlang sama sekali tidak lucu. Ia tinggi, pandai memasak, bodoh di Matematika, berisik dan susah diatur. Guru-guru tidak begitu menyukai Sagara karena ia sering tertangkap tidur di kelas selama pelajaran berlangsung. Tapi Sagara punya banyak teman. Ia menolong mereka saat mereka terlambat mengerjakan PR (meski nilai mereka tidak cukup tinggi akhirnya), membelikan temannya teh kotak saat ia kehabisan uang, mendengarkan cerita mereka, menghabiskan waktu dengan mereka. Sesuatu yang Erlang tidak pernah bisa.lakukan.

Sagara adalah segala sesuatu yang tidak bisa Erlang capai.

Melihat Sagara sedikit banyak mengusik Erlang. Di kelas tujuh, Sagara mendekatinya lebih dulu dan Erlang menyambut dengan senang hati. Tapi perasaan janggal itu tidak pernah pergi. Sagara membagi bekalnya pada Erlang saat Papa tidak memperbolehkannya makan karena nilai bahasa inggrisnya turun. Sagara mengajaknya bermain basket saat Erlang tidak punya waktu latihan karena harus persiapan olimpiade. Sagara bersikap baik padanya tanpa tapi dan tanpa karena.

“Nilai gue kurang dari sembilan puluh,” Erlang menggeram, meremas kertas hasil UTS IPAnya. Rumah Sagara kosong siang itu, sebab Bapak dan Ibunya pergi bekerja, dan Sagara tidak punya saudara. Entah sejak kapan, rumah Sagara jadi tempat paling aman untuk Erlang melarikan diri.

“Santai aja sih, Lang. Lebih parah gue nih, cuma dapet enem puluh. Ibu bakal jadiin gue oncom goreng kalo tau.”

Erlang tertawa. Tawa yang tidak mencapai matanya. Sagara tidak tahu. Erlang bahkan tidak bisa bayangkan akan bagaimana murka Papa kalau tahu ia lagi-lagi gagal penuhi ekspektasi. Sore itu Erlang pamit setelah cium tangan Bapak dan Ibu Sagara. Dalam hati ingin sekali lari ke pelukan mereka yang selalu hangat dan baik, menjauh dari Papa dan Mama. Sore itu Erlang pulang dan menemukan abu-abu buku fotografi koleksinya di halaman depan. Papa berdiri dengan wajah mengeras menahan marah, dan Erlang menangis untuk pertama kalinya.

///////////////////

Jemari Nale susuri layar besar yang terpampang di depan meja registrasi. Kalau boleh jujur, nyala birunya sedikit membuat mata Nale sakit, tapi ia enggan mundur dan membiarkan rasa penasarannya menggantung tanpa terpuaskan. Jadi Nale bertahan di sana, bersama anak-anak dari seluruh penjuru Jawa Barat, menantikan nama mereka masuk dalam barisan ranking. Nale tidak ingin berharap banyak, tapi ia tidak henti berdoa di dalam hati sejak tadi. Meski Ayah dan Bunda tidak datang, Nale ingin pulang dengan berita gembira untuk mereka berdua.

Itu dia. Namanya, ada di layar biru besar itu, tepat di posisi ketiga.

“Anjir! Edan euy, si Nale. Beneran tembus nomer tiga banget Nal?” itu suara Sultan, menepuk bahu Nale dengan suara campuran antara bahagia dan sedikit iri. Di sisinya, Ratu sudah mengembangkan senyum lima juta watt menyambut Nale yang masih susah memproses keadaan.

Nale mengerjap beberapa kali. “Asli ini teh, guys?” tanyanya. “Asli beneran urang maju ke OSN wakilin Jabar?”

Ratu tertawa. “Asliiiii Kak Nale! Hayu ih, udahan bengongnya, yang lain udah pada nunggu kayaknya di selasar masjid.”

Ketika Nale sampai di sana, beberapa anak Bina Bakti sedang tertawa bersama anak-anak yang baru saja selesai seleksi. Nale melihat Yasa, Arsa, Sagara dan Erlang mengelilingi Krisna yang ia dengar tembus jadi nomor dua di Ekonomi. Sejauh ini, hanya mereka berdua yang akan mewakili Bina Bakti sekaligus Jawa Barat di kancah nasional.

“Aing mah jadi si Yasa kapalang era da, maenya si Krisna leuwih pinter eko ti manehna nu budak IPS (Gue mah jadi si Yasa kepalang malu deh, masa iya Krisna lebih pinter dari dia yang anak IPS),” kata Arsa sambil tertawa.

Yasa mencubit bahu cowok itu sambil melotot sangat. “Kalo ngomong suka gak diayak dulu ya si babi.”

Lengan besar Krisna menarik pacarnya mendekat. “Udah ah, Yang. Dia kan emang aslinya rada edan.”

Anak-anak yang lainnya hadir adalah Juna, Farraz, Lisa, Yulian, Khalisa, Cantika, Luki, Jona, Bobby, Kak Kemala dan beberapa anak kelas dua belas yang tidak Nale kenali. Ia menemukan Olaf berderap menghampiri Sultan dan memberinya senyuman kecil, tapi Nale terlalu fokus pada jaket abu-abu belang yang Yulian pakai. Jaket yang Nale tahu berada dibawah kepemilikan Erlangga Rasyafariq. Jaket yang diam-diam Nale sukai karena Erlang selalu tampak keren dengan jaket itu.

“Nal?” Nale tersentak saat tangan Olaf menyentuh bahunya. Ia menoleh, menemukan senyuman lebar dan raut gugup pada wajah cowok itu.

“Iya Kak?”

Olaf menggigit bibir. “Abis ini balik sama aku yuk?”

Nale ingin berkata tidak. Sungguh. Ia ingin sekali pulang ke rumah dan memeluk Bunda. Bunda bilang, Bunda akan masak ayam rica-rica favorit Nale sore ini. Ayah juga akan membelikannya coklat banyak-banyak. Ia bahkan sudah berjanji akan naik gocar bareng Farraz dan Juna, barangkali mampir dulu di toko waffle favorit mereka di perjalanan nanti. Tapi Nale melirik lagi pada Erlang, yang kini memandang dirinya tanpa ekspresi. Nale tahu ini kekanakan. Tapi kalau ia bilang 'iya', akankah kedekatannya dengan Olaf sedikit mengganggu Erlang?

Jadi Nale menoleh, mengulas sebuah senyuman dan mengangguk.

“Boleh. Sekarang aja yuk, Kak?”

Dengan itu, ia pergi bersama siulan dan godaan yang meluncur bebas dari mulut-mulut teman sekolahnya.

Tinggal dua hari lagi menuju olimpiade yang Nale tunggu-tunggu tapi kepalanya terus berlarian ke sana ke mari. Berulang kali ia buka aplikasi chat, mengecek kolom bicaranya dengan Erlang yang sudah ia hapus sejak siang tadi, dan mengakhiri pencarian dengan hela napas panjang. Ada yang mengganggu dirinya, tapi Nale enggan akui kalau itu adalah kejujuran Erlang pagi tadi. Kenapa? Mengapa ia terlambat masuki hidup Erlang?

Nale tahu tidak ada gunanya bicara soal itu sekarang. Tidak ada yang bisa memutar ulang waktu, tidak jua dirinya. Manusia sungguh tidak berdaya, pikirnya.

Dua hari menuju olimpiade, Nale gagal enyahkan Erlang dari pikirannya.