Tied Together With A Smile

////////////////////////////////////

Saat Nale, Arsa dan Shakila kembali dari kegiatan wawancara mereka, kelompok Juna sudah membersihkan makanan mereka dan sedang sibuk menyusun laporan. Erlang duduk bersandar pada kursi sambil menatap layar laptopnya. Alisnya yang tebal dan tajam menukik dan berkerut, tanda kalau ia sedang serius.

Nale malah berpikir itu lucu.

Saat Nale berpaling, ia melihat Arsa memandang ke arahnya sambil tersenyum. Nale tahu dan bisa menebak makna senyuman itu, jadi ia hanya membuang wajah demi menyembunyikan rona di pipi yang makin kentara.

“Udah beres wawancaranya?” Juna adalah yang paling pertama menyadari kedatangan mereka. Nale ikut mengangguk, menarik satu kursi ke depan meja dan melirik Erlang sebelum duduk. Ia tidak terlalu senang pada jarak duduk Maudy dan Erlang yang terlalu dekat, tapi Nale memutuskan untuk menelan ketidaksukaannya dan diam.

Tapi raut wajah Nale menampakkan ekspresinya dengan gamblang.

“Udah,” Arsa menjawab, sesekali masih melirik Nale dan wajahnya yang ditekuk berlipat-lipat. “Kalian langsung kerja laporannya sekarang?”

Erlang mengangkat wajah untuk pertama kalinya sejak Nale tiba. Mata hitam cowok itu meliriknya, dan Nale buru-buru memalingkan wajah saat pandangan mereka beradu. Sumpah, kenapa ia jadi malu-malu begini? Ini bukan pertama kalinya ia melihat Erlang, kan?

“Bikin mind map doang,” Erlang menjawab. “Maneh udah beres?”

Nale melihat Arsa hanya mengangguk dengan senyum yang tidak juga luntur. “Urang mau balik, ya. Udah sore, euy. Bisi dicariin si Mamah.”

Erlang tertawa. “Si Mamah apa si Mamah?” godanya.

Semua yang ada di meja itu menertawakan Arsa dan wajahnya yang berubah matang.

“Nanti di kirimin di LINE keep grup aja ya, Lang?” Maudy memiringkan kepala, memandang Erlang sambil tersenyum. Gerakan dan ekspresi yang sebenarnya biasa saja, tapi memercik amarah di hati Nale. Ia menundukkan kepala, bermain dengan ponsel tanpa bicara.

Arsa adalah orang yang pertama berdiri, diikuti Juna. Mereka berdua membawa kendaraan sendiri, dan Nale menangkap kegiatan itu sebagai tanda bahwa ia sudah harus pergi. Bagus, pikir Nale. Ia juga malas harus berdiam lama di dalam ruangan bersama Erlang dan Maudy. Berpikir tentang mereka yang harus pulang bareng saja, Nale rasanya jengkel setengah mati.

“Erlang, tolong anterin si Nale balik, ya?” Juna bicara, dengan sigap merangkul Maudy sambil tertawa. “Kasian dia kalo ngegojek, mahal ongkosnya.”

Erlang menggumam iya, sementara Nale dibiarkan menunduk mengatasi sendiri debaran jantungnya yang mulai menggila. Pantas saja Juna sigap betul menarik Maudy pergi, dan Arsa langsung ambil langkah seribu bersama Shakila yang tampak bingung. Nale pikir ia sudah sembunyikan perasaannya dengan baik. Tapi rupanya, untuk sahabat-sahabatnya, ia justru makin transparan menunjukkan isi hatinya.

“Ayo, balik,” kata Erlang, setelah laptopnya masuk dengan rapi ke dalam tas.

Duh, Nale menggigit bibir. Dekat dengan Erlang begini tidak baik untuk jantungnya!

/////////////////////////////////////////////////////////

“Erlang mau masuk dulu?” adalah kalimat yang gagal Nale hentikan keluar dari mulutnya saat ia turun dari motor Erlang. Cowok itu berdiri gugup, masih dengan helm terpasang di kepalanya, memandang Erlang yang menatapnya tanpa ekspresi. Rumah Nale sudah menyala terang, sebab saat mereka sampai, waktu sudah hampir menunjukkan pukul enam.

Erlang melirik pintu rumah dan wajah Nale bergantian. “Boleh,” sahutnya, sebelum menarik gas lagi demi memarkirkan motor di parkir depan.

Karena pertanyaan itu lah, Erlang kini duduk di ruang tengah rumahnya, dengan cangkir teh di tangan kanan dan tawa yang terus bergema. Nale merasa gambaran di depannya ini begitu hangat dan menenangan. Ayah dan Erlang terus bicara perihal sepak bola, soal pemain mana yang baru pindah klub, soal efektivitas pemain, harga beli mereka, pola permainan klub dan segala hal yang Nale tidak mengerti. Dirinya sendiri sudah berkali-kali berkilah dari pertanyaan Bunda soal siapa Erlang dan bagaimana bisa ia mampir ke sini.

Bukan berarti Bunda tak suka, “Cuma kebetulan aja lho, Ca, kamu bawa gebetan main.”

Nale mana bisa menyembunyikan wajahnya yang semerah stoberi kalau Bunda bilang begitu?!

“Erlang jadinya tinggal di mana, Nak?” Mendapat kesempatan, Bunda menyela obrolan Ayah dan Erlang yang terus berjalan tanpa berhenti. Yang ditanya sudah meletakkan cangkir teh di atas meja, memberi Bunda senyuman lima ratus watt yang tidak pernah (tolong garis bawahi) tidak pernah Nale lihat ia lukis.

“Di Batununggal, Bunda.”

Bunda menutup mulut, kaget. “Aduh, lumayan jauh dong, kalau anter Eca ke rumah?”

Erlang hanya terkekeh. “Nggak kok, Bun. Segede-gedenya Bandung, nggak segede itu juga.”

Nale berpaling, menutupi rasa malunya dengan meminum teh buatan Bunda. Ayah meliriknya sambil tersenyum penuh makna, dan Nale untuk pertama kalinya merasa bahwa ia bisa begitu terbuka di depan Ayah dan Bundanya. Mereka tidak punya ekspektasi apapun pada Nale, Mereka hanya... menerimanya.

“Eca gimana Lang, kalau di sekolah?” Ayah bertanya iseng.

Nale melotot. “Ayah!” serunya setengah merajuk. Kenapa orang tuanya semangat sekali, menyambut Erlang di rumah, sih?

Tentu, Bunda dan Ayah juga menyukai Juna dan Farraz. Tapi mereka punya rasa segan di batas tertentu pada Ayah dan Bunda, batas yang diterobos Erlang dengan mudah; memikat Ayah dan Bunda begitu rupa. Ayah dan Bunda juga pasti tahu perihal Olaf, sebab cowok itu sering menjemputnya di depan gerbang. Tapi Olaf tidak pernah masuk, tidak pernah menyapa, dan Nale tidak pernah punya niat memperkenalkannya.

“Begini-begini aja, Bun. Anaknya masih manja, masih suka maksain diri. Kemarin-kemarin pulangnya malem terus, kan, ya?” Erlang menatap Nale, tersenyum miring.

Bunda ikut melirik putranya. “Iya, nih, Lang. Aduh, Bunda sampai pusing. Anak ini kan imunnya kurang. Kedinginan sedikit, pilek. Keanginan sedikit, pusing. Tapi kegiatannya di sekolah nggak ada breaknya sama sekali.”

Ayah tertawa mendengar keluhan istrinya, membenarkan dalam hati semua keluhan itu.

“Tuh, Ca, dengerin,” Erlang menimpal.

Nale mengerucutkan bibir tidak terima. “Habisnya gimana, kan udah tanggung jawab. Lagian kalau aku pulang malem kan bisa minta Ayah jemput, hehe.”

“Nggak sama Erlang aja pulangnya?” Ayah menggoda setengah bercanda. “Kemarin Ayah liat kamu pulang sama Erlang terus. Ayah jadi sedih.”

“Ayah!”

Semua orang tertawa lagi, kecuali Nale. Ia terlalu sibuk berjalan ke dapur sambil merajuk, kesal melihat bagaimana semua orang berpaling ke pihak Erlang dengan mudah hanya lewat beberapa kali pertemuan. Tapi malam ini hangat, pikir Nale. Ia ingin menyimpan momen ini selamanya dalam ingatan.

Ketika Nale kembali, Ibu beralih ke dapur demi menyiapkan makan malam. Ayah pamit untuk membantu Ibu menyusun makanan di atas meja, meninggalkan Erlang dan Nale duduk berdua dalam keheningan di ruang keluarga.

“Ayah lo ramah. Ibu lo juga,” Erlang berkata, dan Nale otomatis mengangkat kepala memandang ke arahnya.

Nale memainkan jari-jarinya. “Mereka seterbuka ini cuma sama lo.”

Erlang terkekeh. “Oh ya?” tanyanya, yang dibalas Nale dengan anggukan.

Erlang pulang setelah makan malam. Cowok itu tidak berhenti memuji opor ayam yang dibuat Bunda. Enak sekali sampai ingin menangis, katanya. Bunda dan Ayah menganggap itu sebagai candaan yang lucu, tapi Nale tidak tahu dari mana datangnya rasa sesak yang mendadak menguasai hati. Ia melihat mata Erlang berkaca-kaca saat Ibu menyendok lagi nasi, mengisi piringnya yang hampir bersih.

Malam itu Nale tidur setelah berdoa panjang. Ia harap kelak Erlang mau berbagi cerita dan kesedihannya juga.

Semoga.