Sepenggal Cerita April (Bagian 1)

////////////////////////////

Sewaktu Nale keluar ruang kelas IPA 1, jantungnya terus berdebar bertalu-talu. Ia seratus persen yakin dirinya gugup, dan berusaha sebisa mungkin tidak menampakkannya di depan umum. Tapi bukannya semakin tenang, ia malah semakin salah tingkah kala berpikir Erlang jauh-jauh datang ke mari hanya untuk menjemputnya pulang.

Malam sudah lama datang, dan tidak ada aktivitas apapun di sekolah selain obrolan samar yang Nale dengar dari arah pos satpam. Afif, yang kali ini bertugas sebagai Kabid Acara, mengobrol soal konsep acara dengan Fanty di depannya, diekori Juang dan Tasya. Nale sendiri berjalan seorang diri di belakang, sibuk menyudahi rasa gugupnya yang tidak jua usai.

“Balik sama siapa nih, kalian?” Afif bertanya, menunjukkan afeksinya sebagai ketua bidang dengan tulus. “Kalo ada yang belum tau balik sama siapa, nebeng urang aja.”

Tasya dan Juang bilang mereka akan pulang bareng. Fanty sudah memesan gojek, dan Afif menambahkan dia akan pulang setelah ngobrol sebentar dengan Yosef dari divisi logistik. Nale menggigit bibir, berpikir mengenai haruskah ia bilang dirinya dijemput Erlang, atau sembunyi-sembunyi ke gerbang tanpa mereka ketahui?

/Gue udah di gerbang/, bunyi pesan yang Nale dapat dari Erlang beberapa menit lalu.

“Dijemput,” kata Nale, singkat sambil tersenyum.

Afif tidak bertanya lagi sampai mereka tiba di lobby. Mungkin karena ia pikir Nale dijemput ayahnya seperti biasa. Ia langsung pamit karena katanya Yosef sudah menunggu. Nale tidak sempat mendengar ucapan sampai jumpa dari Fanty, Juang maupun Tasya karena ia langsung berlari ke gerbang depan. Ia tidak mau membuat Erlang menunggu. Itu alasan kedua. Alasan utama, ia ingin segera melihatㅡ

Itu dia. Erlang, duduk dengan sweater hitam polos dan helm putih di atas motor bebek kesayangannya. Tangannya menggenggam ponsel, melihat entah apa di layarnya. Nale menarik napas panjang, refleks yang sebenarnya tidak berguna sebab jantungnya masih berdebar keras seperti tadi. Kakinya berlari-lari kecil ke tempat cowok itu menunggu, dan dalam setiap langkahnya, Nale perlu mengingatkan diri sendiri kalau ia tidak sedang bermimpi.

Erlang sungguhan ada di sini.

“Hei!” Nale menyapa, senyumannya lebar sekali.

Erlang berjengit, lantas menoleh ke arahnya. “Lama juga, lo,” katanya, menyerahkan helm ke arah Nale.

Nale nyengir. “Maafin, deh. Tadi seru banget gelutnya.”

Erlang hanya tertawa.

“Lo dari rumah langㅡ”

“Eleuh, sugan teh dijemput saha (Ciye, kirain dijemput siapa).”

Nale langsung menoleh, mencari dari mana datangnya suara itu dan menemukan Fanty, Afif, Yosef, Tasya dan Juang tepat di belakang gerbang. Mereka menatap Nale dengan mata berbinar dan mulut menyungging tawa.

“Kirain dijemput ayah kamu kayak biasa, Nal,” kata Tasya. “Eh taunya sama si doi.”

Nale berani bertaruh wajahnya sudah sangat matang kini, lantas buru-buru memakai helm dan naik ke motor Erlang.

“Parah lo, Lang, maennya lewat belakang,” komentar Juang, diikuti tawa anak-anak lain.

Erlang balas tertawa. “Erek liwat hareup budakna kieu, Wang. Ngarti meren maneh oge (Mau lewat depan anaknya kayak gini, Wang. Ngerti kan, lo juga).”

Juang bersiul iseng.

“Ati-ati ah, Lang. Jangan sampe lecet,” kata Fanty sambil terkikik.

“Iya Lang. Dijagain ya, nitip,” Yosef menimpal.

Erlang tertawa lagi. “Selow. Sampe rumah dengan aman sentosa kok.”

Nale mengubur wajahnya di kedua telapak tangan, tidak berani mengangkat muka dan melihat ekspresi menggoda di raut teman-temannya. Ia memukul bahu Erlang, sebelum berkata, “Buruan, ih!” dengan nada memaksa. Cowok di depannya tertawa lagi.

“Duluan,” kata Erlang, sebelum kemudian memacu motor bebeknya menjauh dari siulan menggoda dan tawa geli Afif dan kawan-kawan lainnya.