Ayunan Ombak

////////////////////////

“Udah pada bagi tugas buat PKn belum, guys?” Maudy bertanya sambil dengan rajin menghapus coretan spidol di papan tulis. Erlang sudah kembali menyembunyikan wajahnya di balik tilapan tangan di atas meja saat Nale melirik, barangkali tertidur. Nale baru-baru ini menyadari kebiasaan Erlang itu. Di setiap waktu kosong, ia akan menjemput lelap atau main gim, atau menulis sesuatu dalam buku catatannya yang sudah jelek.

Mungkin karena dulu Nale terlalu takut bahkan untuk mencuri pandang, ia baru bisa memperhatikan Erlang sekarang.

Rahayu adalah yang paling pertama menjawab tidak, diikuti anak-anak lain yang sahut-menyahut seperti beo termasuk Nale sendiri. Maudy mengangguk mengerti, lalu berjalan ke arah Alfi, kemungkinan berdiskusi soal pembagian kelompok tugas PKn. Nale sendiri hampir lupa tugas yang diberi Bu Herni dia awal semester pertama itu, kalau Maudy tidak mengungkitnya hari ini. Wawancara profesi, katanya, dan pengetahuan bela negara masyarakat di bidang kerja tertentu.

“Nal, Nal,” entah kapan Juna sudah menggeser kursi ke arah Nale yang sibuk melamun. “Ntar sore Farraz ngajak mampir Upnormal. Mau, gak?”

Nale berpikir sejenak, mengingat kembali agendanya sore ini, dan menggeleng. “Nggak, ah. Mau belajar Fisika. Nilai gue turun UTS kemarin.”

Juna menghela napas, namun wajahnya nampak sudah menduga jawaban serupa keluar dari bibir Nale sebelumnya. “UTS baru juga lewat kemarin, Nal. Have fun dikit dong!”

Nale tertawa. “Duh, serius Jun, gue mau belajar aja. Bulan depan udah milad Biba, gue bakal hectic banget di OSIS, mana sempet mikirin belajar.”

“Lagian siapa suruh sih lo setuju-setuju aja pas Krisna nunjuk lo jadi Sekbid Humas,” Juna menggerutu.

Benar, sih. Tidak ada yang memaksa Nale untuk ambil bagian lagi di Kabinet Arungan yang dibangun Krisna dan Raya. Tapi ia langsung saja berkata iya saat Raya datang padanya dan memintanya bergabung. Padahal dulu, Nale masuk OSIS hanya demi dilihat sebagai siswa rajin yang peduli pada organisasi sekolah. Sekarang saat ia pikir dirinya sudah lebih jujur, kenapa ia tampaknya masih sama saja?

“Guys, jadi ini ada nomer-nomer yang udah aku bikin sama si Alfi,” Maudy bicara lagi di depan kelas, memutus lamunan Nale yang singkat. “Kita 'kan ada 30 orang, pas. Satu kelompok nanti bakal ada 3 orang ya, guys. Yang ambil nomor sama berarti sekelompok.”

Alfi menambahkan sambil tertawa, “Ulah hilap ngadu'a heula guys, ameh teu zonk (jangan lupa berdoa dulu biar gak zonk)!”

“Ieu ai geus nyokot hiji, bisa ganti teu? (Ini kalo udah ambil satu bisa ganti gak)” Jackson berteriak.

Maudy tersenyum, jenis senyum yang tidak ramah. “Nggak, lah. Tidak boleh menawar takdir.”

Nale tertawa kecil, menunggu gilirannya menarik kertas. Arjuna menarik kembali kursinya saat dimarahi Maudy. Bu Herni masuk di jam kedua nanti, menurut keterangan Alfi, dan itu hanya beberapa belas menit dari sekarang.

“Nih, Nal. Jangan lupa berdoa,” kata Alfi dengan nada bercanda. Nale pura-pura menurut, lantas menarik satu kertas dari kotak kecil yang Alfi bawa.

Nomor tiga.

Nale melirik Erlang yang masih tetap dalam posisinya, mungkin hanyut dalam lelapnya. Ganesh menggoyang bahu cowok itu agar dia bangun, dan Erlang menggerutu pendek sebelum kembali duduk dengan tegak di kursinya. Rambut cowok itu sedikit berantakan, mengikal si kedua pelipisnya.

Nale menunduk cepat-cepat. Malu. Baru saja pandang Erlang bertubrukan dengan matanya.

Nale harap Erlang dapat nomor tiga juga.