Pulang

///////////

Saat Nale berjalan dari kantin ke lapangan parkir, Erlang sedang duduk di lapangan bersama Arsa dan beberapa anak futsal. Cowok itu memakai baju tipis berwarna hitam dengan celana basket sebatas lutut. Beberapa cowok di lapangan berbagi seplastik makanan ringan sambil mengobrol dengan tawa di bibir mereka.

Nale tersenyum, melangkah dengan yakin ke arah mereka sambil membawa seplastik minuman di tangannya. Keributan yang Adi dan Banu timbulkan tadi cukup besar dan menguras emosi, tapi saat melihat anak-anak futsal itu tertawa, beban Nale rasanya terangkat sepenuhnya.

“Seru banget, nih. Ngomongin apa?” Nale menimbrung, meletakkan plastik isi air mineral di tengah lingkaran kecil cowok-cowok itu.

Arsa adalah yang pertama kali mendongak. “Eh, Nale. Tumben belum pulang, Nal?”

Nale tersenyum. Senyum yang tidak mencapai matanya. “Abis rapat OSIS, Sa. Buat preswa.”

“Nale sibuk pisan, euy, ayeuna. Meuni tara ningali deui urang maneh maen di lapangan. (Nale sibuk banget, cuy, sekarang. Sampe ga pernah lagi gue liat lo main di lapangan)”

“Anjir he'eh, nya. Urang pohoan si Nale teh budak futsal oge (Anjir iya, ya. Gue lupa si Nale juga anak futsal).”

“Udah kelar, maneh?” Erlang bangkit, memisahkan satu botol air mineral dari tiga botol yang Nale bawa dan menenggak separo isinya.

“Eleuh, dek balik bareng caritana teh? (Duh, mau balik bareng ceritanya?)”

Erlang hanya berdecak, ditanya begitu, sedang Nale langsung tertawa malu. Arsa melihat adegan itu dengan jelas di depan matanya dan memutuskan untuk bicara pada Farraz perihal ini nanti. Erlang menarik tas punggungnya, menyampirkannya ke bahu dan melangkah menjauh tanpa berkata apapun lagi.

“Duluan, ya,” kata Nale sebelum mengekor di belakang Erlang.

/////////////////

Motor Erlang masih seperti yang Nale ingat. Joknya sedikit keras, suaranya halus, dan pijakan kakinya terasa familiar. Wangi pakaian Erlang sedikit samar di balik keringatnya yang membanjir. Anehnya Nale pikir Erlang tidak bau. Padahal kalau Juna atau Farraz sedikit saja berkeringat, Nale akan merasa tak nyaman meski pada akhirnya ia tak berkata apa-apa.

“Makan dulu, ya? Laper gue,” suara Erlang terdengar setengah berteriak.

Tangan Nale yang memegang ujung jaket Erlang mengerat. Bagaimana ini? Ia tak bisa lagi menahan senyuman.

“Mau makan di mana?” Nale bertanya.

Erlang menjeda sebentar sebelum menjawab; “Ayam SPG?”

“Boleh! Tapi lo yang bayar?”

Erlang menepikan motor untuk berhenti, lantas menoleh pada Nale. “70:30?”

Nale tertawa. “Cak!”

Erlang ikut tertawa sebelum menarik gas motornya lagi. Angin dingin Bandung malam itu dikalahkan oleh hangatnya punggung Erlang. Nale merasa tenang.

Ia merasa dirinya sudah temukan tempat pulang.