A Place To Rest
///////////////////
Saat jam sudah menunjuk pukul delapan, Bunda pamit ke kamar untuk tidur duluan. Pesan Bunda untuk Erlang malam itu terdiri dari dua kalimat yang menghangatkan hati. 'Itu ada opor ayam udah Bunda siapin buat kamu, di bawa, ya' dan 'nanti kapan-kapan main lagi, ya'. Dua kalimat yang lebih dari cukup memancing senyum lebar di bibir Erlang terbit lagi. Nale merasa hatinya mengangat melihat senyuman itu, dan ikut tersenyum tanpa ia sadari.
Ayah pamit tidur hanya beberapa waktu setelah selesai mengupas habis efektivitas transfer permain Persib musim ini bersama Erlang. Kedua orangtuanya bukan orang yang terbiasa tidur cepat, tapi Nale tahu mereka mungkin berusaha memberi waktu untuknya dan Erlang, hanya berdua setelah berjam-jam Erlang dimonopoli. Ketika Ayah pergi, Nale merasa gugup tanpa sebab. Berdua dengan Erlang begini jelas bukan pengalaman pertamanya. Hanya saja hari ini beda.
Mereka beda, hari ini.
“Lo masih suka kepikiran soal nilai?” Erlang bertanya setelah menyesap sisa tehnya. Matanya menatap Nale intens, membuat gelenyar di jantungnya semakin terasa.
Nale menelan ludah, mengangguk. “Sesekali.”
Erlang bungkam. Ia berpaling pada pintu kamar Ayah dan Bunda yang sudah tertutup rapat. Mungkin sedang mencari kalimat yang tepat untuk membalas, dan Nale tidak mau menduga-duga. Meredakan debar jantungnya sendiri saja ia sudah cukup kerepotan, sekarang.
“Kenapa?” suara Erlang terdengar lagi.
Nale mengerjap. Sekali, dua kali.
“Kenapa, ya...” Nale memainkan ujung jemarinya yang saling bertaut, menunduk memandang lantai. “Mungkin karena susah buat ngerubah sudut pandang yang udah gue punya sejak entah-kapan?”
Erlang mengangguk mengerti.
“Tapi gue mau berubah,” Nale bicara lagi, menatap Erlang tepat di mata. Ketika matanya menatap iris hitam itu, Nale merasa ada riak-riak air yang sedang menelan jiwanya. Erlangga adalah lautan tanpa dasar yang sekarang berusaha ia selami. Sebuah palung yang gelap dan dingin yang berusaha ia hangatkan.
Nale tidak tahu apakah akan berhasil, tapi setidaknya ia ingin mencoba. Ia ingin mengangkat apapun beban yang Erlang punya, sebagaimana Erlang bantu ia keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Meski berat, meski akan memakan waktu lama, Nale bersedia mencoba.
“Lang?” Nale memanggil. Ia tahu ia tidak perlu memanggil sebab Erlang sudah balas menatapnya sejak tadi. Beberapa helai rambut Erlang jatuh di dahinya. Alisnya sedikit berkerut karena penasaran pada apapun yang hendak Nale sampaikan. Gigi kelincinya sedikit menyembul karena bibirnya terbuka, seperti hendak bicara kalau Nale tidak segera menyudahi kalimatnya.
Ya Tuhan. Nale suka sekali pada orang ini.
“Kalau capek terus lari-lari, istirahat, ya?”
Erlang menutup mulutnya. Kerutan di dahinya menghilang, dan untuk beberapa saat yang singkat, Nale sempat khawatir Erlang tersinggung pada kalimat ambigunya barusan. Tapi tidak. Erlang tidak bersikap sinis seperti yang sempat Nale takutkan. Alih-alih menyindirnya, Erlang justru melukis senyuman. Senyuman yang tipis tapi tulus. Senyuman lega. Senyuman yang membuat hati Nale rasanya teriris perih, entah karena apa.
“Iya,” kata Erlang.
Nale ingin sekali menangis saat ia bilang, “Kalau ada ganjalan, di buang. Jangan ditumpuk, ya?”
“Iya,” kata Erlang lagi.
“Butuh waktu, ya?” Nale bertanya. Air mata sudah menggantung di pelupuknya, bersiap turun kapan saja. Melihat itu, Erlang terkekeh pelan.
Jemari Erlang menyisir rambut depannya, membuat benang pandang di antara mereka putus sejenak sebelum ia sambung lagi. “Tunggu, ya?”
Nale mendengus, menahan tangis yang hampir jatuh di pipi. “Iya,” jawabnya.