Bandung Sore Itu

////////////////////////

Erlangga mengambil helm yang menggantung di bagasi motornya, lantas menyerahkan benda itu pada Nalesha. Helm itu kelihatan baru, seperti jarang sekali dipakai. Warnanya abu-abu tua, dan besarnya pas sekali di kepala Nale. Rasanya Nale sudah lupa terakhir kali ia dibonceng motor bebek milik Erlangga. Bukan berarti ia sering juga menunggangi motor ini, Nale hanya sedang berusaha menyibukkan diri dengan berpikir kesana kemari ketimbang memperlihatkan kegugupannya di depan Erlang.

“Langsung ke rumah, 'kan?” Erlang bertanya. Helm putihnya sudah terpasang rapi di kepala.

Nalesha menunduk. Ia memandangi brik-brik yang tersusun rapi melapisi lahan parkir. Ia mengetuk-ngetukkan ujung sepatu ke atas aspal, tampak tidak ingin menjawab. Erlang bukan orang yang bodoh, atau tidak peka. Percayalah, ia adalah segalanya kecuali dua ketidakmungkinan itu. Ia tahun Nale tak ingin pulang, apapun alasannya. Tapi Erlang memutuskan untuk tidak berkomentar atau bertanya.

“Ayo naik,” titahnya ringan, sebelum men-starter motornya agar menyala.

Nale ingin bilang keras-keras kalau ia tidak bersedia pulang. Ia tidak ingin menghadapi Ayah dan Bunda serta perasaan kecewa mereka. Nale ingin pergi ke tempat yang jauh dan tidak pernah kembali. Tapi ia tidak mungkin menyuarakan keinginan itu di depan Erlang, kan? Cowok itu mana mungkin peduli, mana pernah ingin tahu. Berbekal pemikiran itu, Nale telan bulat-bulat keinginannya dan duduk manis di jok belakang motor Erlang tanpa bicara apa-apa.

Motor itu melaju santai membelah jalanan Bandung. Nale meremas ujung jaket Erlang kuat-kuat, melepaskan segala rasa resah yang berkabut di hatinya. Motor terus melaju meski keberanian Nale berserakan di jalanan.

Motor milik Erlang terus melaju. Nale tidak begitu memperhatikan jalan, sibuk menenangkan diri, sampai-sampai ia tak tahu kalau mereka sudah melewati Simpang Dago alih-alih pulang ke Kiara Condong tempat rumahnya berdiri.

“Lho? Kok ke sini?” Nale bertanya, merasakan semilir angin dingin yang mulai menerpa wajah.

Erlang membuka kaca helmnya. “Lo kan gak mau balik. Sama, gue juga. Jadi mending kita ke Tahura aja.”

Nale diam. Ada seselusup perasaan lega merebak dalam hatinya, tumpang tindih dengan rasa gugup yang mendadak mampir. Erlang tahu, Nale ulang kalimat itu berkali-kali dalam kepalanya. Erlang tahu ia tak hendaki pulang; Erlang putuskan bawa ia pergi ke tempat tenang, jauh dari keramaian.

Untuk pertama kalinya Nale pikir tidak ada salahnya menunjukkan kelemahan. Jadi ia sandarkan dahi pada bahu Erlang yang lebar, membiarkan hidungnya menghirup puas aroma pengharum pakaian Erlang yang berbau manis. Ia biarkan air matanya jatuh satu persatu membasahi jaket Erlang. Ia tanggalkan semua topeng yang ia rekat di wajah. Hanya sore ini saja, Nale pikir. Hanya pada Erlang saja, ia tegaskan lagi.

Sore itu Bandung bungkam. Ia rekam jejak roda motor bebek Erlang dan tangis Nale dalam rona jingga di batas cakrawala.

//////////////////////

Mata Nale sembab dan merah. Pun dengan hidungnya, yang sejak tadi mampet karena menangis hebat sepanjang jalan. Ia memandang gelas susu coklat hangatnya dengan tatapan kosong. Bibirnya maju sedikit, mencebik lucu, dan bulu matanya yang masih basah turun menutupi netra. Erlang pikir pemandangan ini sedikit lucu.

Di atas motor tadi, ia hampir panik mendengar suara tangis Nale yang tiba-tiba. Tidak hebat, memang, hanya isakan kecil yang agak samar karena bunyi angin. Erlang ingin bertanya kenapa, tapi ia sudah buat janji dengan dirinya sendiri untuk tak banyak bicara. Toh, bukan ranah Erlang untuk menggali perasaan Nale tanpa kehendak cowok mungil itu sendiri.

“Udah dong,” susah payah Erlang sembunyikan tawa. “Orang bakal mikir lo abis gue selingkuhin atau gimana.”

“Berisik banget lo.” Nale membalas dengan sinis. Beberapa tetes air matanya meleleh lagi, membuat hati Erlang sedikit teremas melihat penampilan cowok itu.

Erlang menarik napas. “Lo khawatirin apaan sih, Ca?”

Nale bungkam.

“Lo mau ngomong atau nggak sama gue, terserah. Tapi yang gue tau, kadang-kadang manusia tuh sering kedistract sama ketakutan mereka sampe mereka lupa kalau sebenernya hidup nggak semenyeramkan itu.”

Tahu, Nale tahu. Hanya saja percaya pada hal itu tidak semudah kedengarannya. Nale tidak tahu bagaimana ia bisa hentikan ketakutannya. Ia tidak tahu darimana harus ia mulai hidup tanpa pikirkan orang lain sebagaimana ia lihat Erlang jalani hidupnya.

“Gue takut aja pulang dan liat wajah kecewanya Ayah sama Bunda,” Nale berbisik. “Kalo mereka ninggalin gue karena kecewa, gimana?”

“Ca, gue pernah bilang, kan? Nggak semua orang deket sama lo tuh ngarepin sesuatu in return. Gue gak tau siapa yang pernah kayak gitu ke lo, tapi mukul rata dan bilang kalau semua orang sama itu nggak adil. Apalagi mereka keluarga lo.”

Nale tersenyum miris. “Papa juga keluarga gue. Gue anak kandung Papa. Tapi Papa bisa ninggalin gue karena gue bodoh dan nggak bisa diandalkan.”

“Dan apa lo merasa lo bodoh dan nggak bisa diandalkan?”

Nale diam.

“Nggak, kan? Jauh di dalam hati lo, lo tau kalau lo lebih baik dari segelintir orang. Tapi lo terus-terusan liat ke atas. Ada yang lebih pinter, lebih populer, lebih berprestasi... emang selalu ada orang yang lebih dari kita di segala sisi. Itu fakta. Lo gak bisa jadi orang yang paling segalanya di dunia ini.”

“Dengan kata lain, lo bilang gue gak bisa ngelakuin hal yang lebih dari ini?”

“Dengan kata lain, gue minta lo hargain sedikit diri lo sendiri. Coba percaya sama orang-orang di sekeliling lo. Mereka bakal tau dan ngerti, kalau aja lo mau kasih pengertian. Jangan melulu ngejar sesuatu yang nggak bikin lo bahagia.”

Nale menggigit bibir, tidak berani menimpal. Ada terlalu banyak perasaan berkecamuk di pikirannya saat ini.

“Gue tanya sekarang, deh. Apa ini bener-bener jalan hidup yang lo mau?”

Iya.

Iya...

Iya?

Iyakah?

Kenapa menjawab 'iya' saja rasanya lidah Nale kelu?

“Lo bisa berkembang dan akan terus berkembang, Ca. Tapi maksain diri lo buat mencapai tempat yang belum waktunya lo capai tuh cuma bikin capek. Sesekali kasih penghargaan sama diri lo sendiri nggak ada salahnya, kan? At least, lo bisa mencapai tempat ini sekarang, di saat orang lain masih ketinggalan jauh di belakang.”

Erlang tersenyum. Senyuman yang jarang ia bagi pada orang lain termasuk sahabatnya sendiri. Senyuman yang teduh, dengan mata yang berbinar penuh afeksi. Senyuman yang sukses meluluh lantakkan pertahanan diri Nale; membuat air matanya mengucur lebih deras lagi.

“Liat ke atas emang harus, biar lo tetep punya hasrat untuk terus tumbuh. Tapi liat ke bawah juga perlu, biar lo bisa bersyukur sama apa yang lo punya sekarang; apa yang nggak bisa orang dapat sembarangan.”

Aneh, pikir Nale. Aneh sekali. Erlang punya magis yang memberinya reaksi aneh di perut. Seperti ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan. Padahal Erlang menyebalkan, dan jutek, dan keras kepala, tapi Nale menemukan kedamaian di kata-kata Erlang. Ia menemukan kenyamanan di mata Erlang. Nale pikir Erlang punya sihir yang aneh, yang membuatnya merasa kalau semua akan baik-baik saja selama Erlang ada mendukungnya.

Aneh, tapi Nale suka perasaan ini.

“Lang,” Nale menunduk. Jari telunjuknya saling bertaut. “Boleh peluk lo, nggak?”

Jujur saja Erlang tidak bayangkan pertanyaan itu akan pernah terlontar dari mulut Nalesha. Jadi yang cowok itu lakukan hanya membuka dan menutup mulut tanpa berhasil temukan satupun kata untuk diucap bibirnya.

“Sepengen-pengennya gue ngehibur lo, gue tetep gak bisa lewatin garis, Ca. Bisa bonyok di tangan Olaf, gue, kalo pegang-pegang lo.”

Nale cemberut. “Kan gue yang pegang-pegang lo.”

“Tetep aja,” Erlang bersikeras. “Menjaga sikap itu bukan cuma peran gue, tapi peran lo juga. Lo bisa minta Juna atau Farraz peluk lo nanti.”

“Farraz temen gue. Juna juga temen gue. Lo juga temen gue, tapi kenapa gak boleh peluknya sama lo?”

“Banyak tanya ya ini bocil,” Erlang menggerutu. “Minum dulu itu susunya, terus gue anterin lo balik.”

“Nggak mau pulang....” Nale merengek.

“Baru aja tadi gue khotbah panjang lebar, ternyata lo gak dengerin sama sekali.”

Nale tertawa. /Nggak pengen pulang, pengen sama lo lebih lama/ adalah kalimat yang tak berani ia suarakan saat ini.

“Tunggu dulu, ya?” Nale berujar. “Pemandangannya bagus banget, gue masih pengen di sini.”

Erlang terkekeh. “Oke. Take as much time as you need,” katanya, kembali sibuk dengan americano dalam genggaman. Tidak sadar kalau sejak tadi mata Nale hanya bertumpu pada Erlang seorang.