Broken

////////////

Nale bohong kalau bilang ia tak gugup. Ia sangat sangat khawatir, dan sangat sangat merasa bersalah. Keputusannya untuk terima Olaf berminggu-minggu lalu adalah tindakan impulsif yang tidak pernah Nale kira bisa berujung pada masalah seperti ini.

Sekadar informasi, Nale adalah orang yang keras kepala. Tentu, dirinya yang sebelumnya akan terus memaksa bersama Olaf, menjalani hubungan yang tidak ia suka, dan menelan bulat-bulat rasa bersalahnya. Tapi seperti yang Erlang bilang; hidup seperti itu tidak membawa apapun untuknya selain nestapa.

Olaf bilang, dia akan datang ke rumah sekitar pukul empat. Tapi sekarang sudah hampir empat lima belas dan Olaf belum menampakkan diri. Nale merasa makin cemas setiap detiknya, tapi ia hanya bisa menelan setiap kecemasan itu bulat-bulat.

Olaf datang sekitar setengah lima, meminta maaf karena terlambat (alasannya terjebak macet) dan berusaha tampil ceria meski matanya merah dan berair. Hati Nale rasanya teremas melihat pemandangan itu, tapi lagi-lagi Erlangga masuk membuyarkan konsentrasinya. Ia akan melakukan ini hari ini, dan tidak ada satupun yang bisa menggagalkan niatnya.

Bukit Moko sore itu agak mendung. Mungkin tahu kalau Nale hendak mematahkan satu hati hari ini. Nale duduk di salah satu kursi kosong yang sepi peminat, berhadapan dengan Olaf dan hamparan Bandung di hadapan mata.

“Kemarin gimana, Nal? Aku belum sempet tanya,” kata Olaf, dibarengi kekehan kecil. Nale tersenyum sekadarnya.

“Lancar kok, Kak. Tapi aku nggak menang.”

Olaf mengangguk. “Nggak apa-apa. There's always a next time.”

Nale tidak menimpal.

“Aku tau, hari ini kamu mau ngomong apa.”

Tentu saja Olaf tahu, pikir Nale. Tentu saja cowok itu berhasil mengumpulkan kesimpulan dari sikap Nale belakangan ini. Biasanya Nale pandai berpura-pura, tapi kemahirannya nampak pudar berhari-hari ke belakang; entah kenapa.

“Maaf, Kak,” kata Nale, tanpa intonasi berarti selain rasa bersalah yang mengental dalam suaranya. “Aku tahu aku jahat banget sama Kakak, tapi aku beneran gak bisa... lanjut...”

Olaf menarik napas. Ia membuang pandang ke hamparan bukit hijau Bandung sore itu. Ada air mata menggenang di pelupuknya, titik air yang sukses mengguyur hati Nale dengan rasa bersalah yang lebih hebat.

“Aku sayaaaaang banget Nal, sama kamu,” kata Olaf, dan Nale merapatkan mulut sebab tak temukan satu katapun yang pantas dijadikan jawaban. “Tapi kalau ini mau kamu, aku bisa apa? Aku paksa pun, kamu nggak bisa bahagia sama aku.”

Nale menunduk, menyembunyikan air matanya. Andai ia bisa bagi sedikit rasa sakit hati yang Olaf rasakan kini, Nale sudi. “Maaf, Kak. Maafin aku.”

“Nggak apa-apa,” kata Olaf sambil terkekeh paksa. “Yuk, aku anter pulang?”

Di perjalanan pulang, Nale berpegang erat pada pinggiran besi motor Olaf. Ia sudah berhenti menangis, tapi Nale tahu hati Olaf masih terluka. Luka yang dalam dan tidak akan bisa ia bantu sembuhkan. Sore itu, Bandung memburam bersama dengan hubungan mereka yang kadung karam.