Waktu yang Tepat Untuk Berhenti

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Lampu taman yang temaram melatarbelakangi keheningan di antara Hayyan dan Guntur. Meja-meja di bagian luar restoran tampak tidak terisi, dan di sana lah mereka berdua duduk bersama mulut yang terus terkatup. Hayyan memandang pada barisan rumput, sesekali melirik pada langit malam yang sudah sepenuhnya menggelap. Ia melirik kemana pun kecuali pada Guntur.

“Lo apa kabar, Yan?” Guntur bertanya, menjadi orang pertama yang menghancurkan kebekuan di antara mereka berdua.

Hayyan melirik sebentar, sebelum kembali memandang langit setelah memastikan bahwa Guntur tidak sedang memandang padanya. Ada rasa lega yang sulit dijelaskan setelah ia tahu bahwa lelaki itu tidak sedang menangkan raut menyedihkan di wajahnya. “Gue gini-gini aja, Tur. Nothing really changes during these two years.”

You look better, though. Dibanding waktu terakhir kali kita ketemu.”

Hayyan mengulas senyum, jenis senyum yang tidak mencapai matanya. “Nggak bisa dibandingin juga, lah, Tur. Terakhir kali kita ketemu, lo bikin segala hal terasa kayak becandaan buat gue.”

Guntur menarik napas, tahu betul apa yang Hayyan maksud. Sayup-sayup suara ragu Semesta dari Isyana Sarasvati terdengar di belakang punggung mereka, menemani Hayyan dan Guntur sekali lagi tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Gue mau jelasin semuanya sama lo sekarang, di sini.”

Hayyan tidak menjawab. Ia membiarkan kepalanya menggali kembali memori yang sudah lama ia tinggalkan. Ingatan-ingatan yang ia kubur jauh-jauh lantaran hanya menyisakan luka yang tidak kunjung kering dan tanggal.

After all this time?

Guntur menggigit bibir. “Maaf, Yan. Maaf untuk semua yang pernah gue lakukan ke lo.”

Hayyan tersenyum kecut. “Kalau maaf lo bisa bikin sakit hati gue hilang, gue terima dengan senang hati, Tur. Tapi maaf lo nggak berguna buat gue sekarang. Maaf lo udah kadaluwarsa, udah nggak berarti apa-apa. Maaf lo udah gak bisa nutup kekecewaan gue yang tumbuh subur selama dua tahun ini. Maaf lo itu cuma sekadar kata, Tur.”

***

Januari, 2014

“Tugas Pak Pri udah kelar belum, lo?” Radit menarik kursi di belakang Hayyan. Tas berisi buku-buku sekolahnya hampir ia banting ke atas meja. Tinggal beberapa menit lagi sebelum bel masuk berbunyi, dan Hayyan mengerti sumber tetes-tetes keringat yang menggantung di pelipisnya.

Hayyan menggeleng, memamerkan senyum tak bersalahnya. “Mau niron sama Roro nanti istirahat pertama.”

Radit mendengus, tapi tidak berkomentar. Barangkali mengerti bahwa tugas Fisika yang diberi Pak Pri memang sulit dan mereka berdua sama-sama bukan penggemar mata pelajaran yang satu itu. Ia melirik Roro, menangkap yang dimaksud sedang sibuk mengobrol bersama Siti. Radit mengangkat bahu, urung meminta buku tugas Roro dan memutuskan menunggu Hayyan di jam istirahat pertama.

Tiga menit lagi menuju bel masuk dan Hayyan sudah mengeluarkan buku Biologi; siap menghadapi Bu Dwi dan lanjutan mengenai replikasi DNA yang tidak kunjung ia pahami. Radit menyentuh bahunya, berniat mengajaknya bicara sembari membunuh waktu sewaktu teman sebangkunya Ervan angkat bicara.

“Eh, Yan, lo udah putus sama Guntur, ya?” celetuk cowok yang menghabiskan waktu dengan main flappy bird itu. “Kemaren gue ketemu dia lagi makan berdua sama Findi di IP.”

Alis Hayyan berkerut dalam. “Findi?”

Ervan mengangguk. “Iya, anak IPA 6 yang suka bareng pulang-pergi sekolah sama lo itu.”

“Lo liat mereka di mana?” Radit memotong.

“Di Hanamasa IP. Gue kira sama Hayyan juga, tapi kayaknya mereka cuma berdua aja. Jadi gue pikir lo sama Guntur putus.”

“Eh iya, Yan,” Alfina, cewek berkacamata yang duduk di baris kanan ikut masuk ke dalam percakapan mereka. “Aku juga ketemu sama si Guntur sama Findi waktu nyari buku ke Gramedia Merdeka. Mereka kayaknya sering jalan berdua gitu, ya?”

Hayyan tidak menjawab. Ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk digunakan menutupi ketidaktahuannya. Sejak kenal Guntur, menjadi dekat dan akhirnya memutuskan pacaran, Hayyan tahu cowok itu dekat dengan Findi. Mereka teman sejak kecil, dan ia tidak enggan mengakui kalau Findi mungkin kenal pacarnya lebih baik dari dirinya sendiri.

“Mereka 'kan emang udah deket dari dulu,” timpal Hayyan sambil terkekeh. “Gue sama Guntur nggak putus kok, Vin. Kita baik-baik aja.”

Ervin dan Alfina mengagguk mengerti, meski mungkin masih ada keragu-raguan di dalam hati mereka yang tidak mereka tunjukkan terang-terangan. Hayyan bisa merasakan tatapan tidak setuju Radit, tapi ia tidak berniat memperpanjang dialog soal Guntur dan Findi pagi ini. Hayyan pikir ia pandai berbohong. Perlu waktu dua bulan baginya untuk mengerti bahwa ia tidak bisa berdusta; terutama pada dirinya sendiri.

***

April 2014

Halaman depan rumah yang Hayyan tempati gelap sore itu. Tidak ada orang di rumah hari ini. Bibi, Mamang dan sepupunya pergi ke Garut menjenguk Mbah Putri yang darah tingginya kambuh lagi. Matahari yang semula menyiram tubuh Hayyan dengan sinar jingganya sudah lama kembali ke tempat peristirahatan. Hanya ada Hayyan, Guntur, gelap dan hening yang tak kunjung pecah.

Perlu waktu lama untuk Hayyan mengerti penjelasan pendek dan permintaan Guntur yang memporak-porandakan hatinya. Perlu waktu lama baginya untuk menahan tangis meluncur turun, meski pada akhirnya ia menyerah juga pada ketidakberdayaan.

“Kita putus aja, ya? Aku gak enak giniin kamu terus.”

Adalah kalimat yang Guntur pilih untuk mengakhiri hubungan mereka. Hubungan yang Hayyan jaga setengah mati. Lewat kalimat minim empati itu, Guntur memutuskan untuk menyudahi sandiwara yang ia mainkan cukup lama. Ia memutus benang di antara mereka, benang yang susah payah Hayyan pintal dan ikat sendiri di jari Guntur yang rupanya selalu dingin.

“Kamu beneran sama Findi—”

“Findi gak ada hubungannya sama kita,” potong Guntur. Tidak ada emosi berarti dalam suaranya yang datar. “Ini murni karena aku. Aku udah nggak bisa sama kamu lagi.”

“Aku yang terlalu nuntut kamu, kah? Aku minta maaf, Tur. We can make this work once again. Jangan tiba-tiba minta putus gini aja...”

Guntur mengusap wajahnya kasar, kentara sekali tidak berniat menerima penolakan Hayyan. Cowok itu nampak lelah, dan Hayyan tidak perlu berpikir dua kali untuk mengerti bahwa ia adalah sumber segala rasa lelah yang Guntur rasakan.

Di dalam kepala, Hayyan mulai bertanya-tanya. Sejak kapan semuanya menjadi terasa salah? Ia pikir ia cukup mengenal Guntur, tapi Hayyan benci menghadapi fakta bahwa ia terlalu mengenal Guntur untuk mengerti bahwa lelaki itu tidak lagi menghendaki keberadaannya. Rumah Guntur bukan lagi dirinya. Dan meski Guntur tidak berkata apa-apa, atau menyangkal soal 'rumah' barunya, Hayyan bisa melihat 'rumah' itu lewat matanya. Mata manusia tidak pernah berdusta.

“Oke,” Hayyan membalas, suaranya terdengar seperti sedang tercekat. “Oke kalau itu yang kamu mau.”

Guntur tidak membalas. Ia membuka mulut, tapi memutuskan untuk menelan kembali apapun yang hendak ia katakan. Cowok dengan rahang tegas itu bangkit, berbisik 'aku pulang kalau gitu, jaga diri kamu' dengan suara yang amat kecil dan langsung pergi. Hayyan menggigit bibir, menahan tangis sembari memandangi tubuh cowok itu menghilang di balik gelapnya malam.

***

Maaf dari Guntur bukanlah hal yang Hayyan inginkan sekarang. Kalau boleh jujur, ia tidak mengharapkan apapun dari cowok itu saat ini. Semua hal sudah berlalu, waktu sudah berjalan cukup lama, luka di hatinya masih dan akan selalu menganga. Guntur Gumilang hanyalah masa lalu yang selalu Hayyan tengok, semata untuk membuat dirinya sendiri mengerti bahwa mencintai orang kadang tidak meninggalkan jejak apa-apa selain rasa sakit yang tidak pernah usai.

Hayyan menoleh, memandangi Guntur yang sibuk menunduk. Perasaan bersalah berkabut di wajahnya, tapi tidak ada yang mengetuk hati Hayyan selain rasa hampa. Segala sesuatu tentang mereka sudah mati lama sekali. Entah itu rasa cinta, rasa sakit, kerinduan, dan yang tersisa di antara mereka hanya rongga yang tidak akan pernah terisi sendiri. Sebuah jarak.

“Gue cuma mau tau satu hal, Tur,” tutur Hayyan, memandang kembali apda hampar rumput yang jauh lebih menarik ketimbang mantan pacarnya. “Pernah nggak, sekali aja lo beneran tulus sayang sama gue?”

Hayyan pikir ia akan menangis mengingat masa-masa itu. Ia pikir ia akan hancur di bawah kaki Guntur saat mereka kembali bertemu. Tapi rupanya tidak. Ia masih utuh dan baik-baik saja. Barangkali kehancurannya sudah terjadi dua tahun yang lalu. Barangkali hatinya adalah serpihan kaca yang sudah tidak bisa lebih hancur lagi. Ia hanya ingin tahu, dan Hayyan begitu yakin bahwa apapun yang Guntur katakan tidak bisa menyakitinya lebih dari bagaimana cowok itu menghancurkannya dua tahun yang lalu.

Tapi Guntur tidak menjawab. Tidak ada satu katapun lolos dari bibirnya. Hayyan sudah menunggu, tapi cowok itu nampaknya memilih bisu.

“Oke, gue ngerti,” kata Hayyan, membuang napas seolah kediaman Guntur juga adalah jawaban yang sudah ia perkirakan. “Semoga lo langgeng sama Findi, ya. I really mean it.”

Lepas bicara begitu, Hayyan bangkit. Meninggalkan rasa sakit dan masa lalunya menutup buku di meja restoran malam itu. Ia akan melangkah meninggalkan episode cinta masa remajanya tanpa penyesalan apapun. Ia akan bangkit dan menemukan kembali dirinya sendiri.

“Jaga diri lo, Tur.”

Sebab untuk apa terus berkubang dalam rasa sakit, saat tahu bahwa hanya kita yang hancur sendirian? Hayyan menolak menjadi tidak berdaya. Ia menolak untuk menempatkan Guntur dalam singgasana tertinggi di hidupnya saat ia hanyalah seserpih debu dalam lemari kenangan Guntur yang tidak berharga.