Pecahan Kaca

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Maneh beneran geus janjian jam hiji, Win?” (Lo beneran udah janjian jam satu, Win?)

Adalah pertanyaan ketiga yang Hayyan lontarkan di siang yang amat terik itu. Berulang kali Hayyan mengecek panah pada jam di pergelangan tangan kirinya, memastikan bahwa baik ia maupun Winda tidak datang di waktu yang salah. Sekarang sudah hampir jam dua siang dan orang yang mereka berdua cari masih belum menampakkan batang hidungnya di ruang dosen.

Winda mengangguk, tampak sama dongkolnya. “Gue udah konfirm dua kali, Yan. Si Bapak bilang dia cuma bisa jam satu sampai setengah dua siang.”

Hayyan berdecak. “Udah coba dikontak lagi belom, Bapaknya?”

Winda mengangguk, enggan menjawab. Perempuan yang sedang berada di semester keenam Ilmu Komunikasi Jurnalistik itu memperlihatkan layar ponselnya ke arah Hayyan; menunjukkan sederet chat berisi pertanyaan yang belum dibaca.

Hayyan menghela napas, topik yang mereka angkat kali ini memang bukan hal yang terlalu sensitif. Tidak akan diletakkan sebagai laporan utama di tabloid, pula. Tapi Adam, seniornya yang kali ini jadi penanggung jawab tabloid bulanan, bukan orang yang mudah diatasi. Hayyan merenggangkan punggungnya yang sedikit kaku, tanpa malu berbaring di atas lantai tepat di depan ruang dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian.

“Yan, Bapaknya bales, nih.” Winda menarik-narik ujung kaos panjang yang Hayyan pakai, memaksa si empunya bangkit dari kegiatan berbaringnya yang singkat. “Katanya minta direschedule ke hari Kamis aja. Jam empat sore.”

“Bangsat emang,” Hayyan tanpa sadar memaki. “Astagfirullah, boga dosen kawas kitu pidorakaeun pisan.” (Punya dosen kayak gitu bikin durhaka banget)

[Maksud dari bikin durhakan di sini maksudnya karena Hayyan jadi banyak maki-maki orang yang lebih tua.]

Winda tertawa. Ia mengetik persetujuan singkat di room chat sebelum memasukkan ponsel ke dalam totebag hitam bergaris yang dipakainya. “Yaudah, kalo gitu. Gue ada kelas jam tiga, abis ini mau ke perpus dulu. Lo mau ikut?”

Hayyan menggeleng. “Laper banget gue. Abis bubar kelas 'kan tadi langsung ke sini. Mau makan dulu aja di kantin FTIP.”

Winda mengangguk mengerti, lantas segera berpamitan pada Hayyan dan berjalan menjauh. Kantin FTIP tidak terlalu terkenal di kampus ini, kalah pamor dengan Fapsi. Tapi berjalan ke Fapsi dalam keadaan perut kosong jelas bukan solusi yang menyenangkan. Jadi Hayyan putuskan untuk mengisi perut di tempat terdekat saja.

Pukul dua siang mayoritas mahasiswa masih berada di kelas. Hanya satu-dua yang terlihat di lorong maupun lobi depan. Hayyan terus melangkah, tidak repot melihat kanan dan kiri sebab selain Zakky dan Alde, tidak ada satupun yang ia kenal di fakultas ini.

“Lah, Hayyan?”

Panjang umur memang, manusia bernama Aldebaran Rahardi ini. Baru sedetik lalu Hayyan memikirkan dirinya, mereka sudah bertemu di depan kantin saja.

“Lah, Alde?” Hayyan terkekeh, menganggap pertemuan mereka hari ini terkesan lucu. “Kebetulan banget ketemu. Sendirian aja, De?”

Alde balas tertawa. “Iya, lah ini 'kan fakultas gue,” jawabnya lugas. “Maunya gue sama siapa emang, Yan?”

Harus Hayyan akui, ia menunggu suara Zakky muncul menyusul sapaan Alde. Jantungnya berdebar tidak sabar, tapi kepalanya berteriak bahwa ia belum siap mental. Akal dan perasaan yang tidak selaras belakangan ini memang jadi masalah bagi Hayyan dan pendiriannya. Ia ingin melihat Zakky, sekaligus tidak tahu hendak apa kalau itu sungguh terjadi. Menghadapi Zakky berarti menghadapi permasalahan mereka yang masih menggantung (meski entah bagaimana seolah dianggap usai), sekaligus menuntaskan rasa rindunya yang belakangan mulai terasa amat mengganggu.

Benar-benar kontradiksi yang merepotkan.

“Mau kemana, lo?” Alde memutuskan bertanya lagi setelah tahu bahwa pertanyaannya tidak akan mendapat jawaban.

“Makan. Laper banget, gue, dari tadi nungguin dosen lo nggak balik-balik. Taunya malah minta reschedule ke Kamis. Asem banget, gak?”

“Pak Pri, bukan?” Alde menebak. “Kalo iya, jangan heran. Dia mah emang gitu orangnya, sok sibuk.”

Hayyan menjentikkan jari. “Betul. Sia-sia gue lari-lari dari kelas ke Masjid, terus ke sini karena takut telat. Taunya orangnya malah nggak nongol-nongol.”

Alde tertawa. “Lo mau makan siang, 'kan? Bareng aja sama gue, yuk? Mi ayam di sini lumayan, lho.”

Penawaran Alde tentu bukan hal yang buruk. Hayyan bukannya keberatan makan sendirian, tapi ditemani sambil bicara terdengar seperti ide yang lebih baik. Akan tetapi Alde jelas bukan teman yang tepat, melihat bagaimana selama ini ia mati-matian menghindari Zakky, namun sekarang justru dengan sukarela masuk ke teritori cowok itu.

Alde paham betul apa yang membuat Hayyan ragu. Baru beberapa hari lalu ia dan Zakky bicara soal ini; soal permasalahan mereka yang jalan di tempat. Barangkali kondisi ini tidak hanya sulit bagi sahabatnya, namun bagi Hayyan juga. Laki-laki yang lahir di akhir bulan Desember itu menghela napas.

“Tenang aja. Zakky lagi ada kelas sampai jam empat, kok. Dia ambil mata kuliah yang beda sama gue, jadi jadwal kita nggak semua sama.”

Hayyan menarik kedua sudut bibirnya dengan canggung. “Keliatan banget, ya?” tanyanya.

“Lo sama Zakky sama aja,” kata Alde dibubuhi tawa kecil. “Emosi kalian berdua tuh sama-sama keliatan banget di muka. Gue yang nggak peka gini aja bisa langsung tau.”

Hayyan menghela napas lagi, mengambil langkah pertama memasuki kantin disusul Alde di sebelahnya. “Iyakah?” tanyanya, tidak benar-benar ingin tahu jawaban Alde. Mereka berhenti di depan gerobak mi ayam bertuliskan 'Mang Titing', satu-satunya gerobak mi ayam dari tujuh gerobak yang ada.

“Lo beneran nggak mau ada hubungan apa-apa lagi ya, sama dia?” Alde bertanya setelah menyebutkan pesanan pada laki-laki paruh baya yang Hayyan tebak adalah Mang Titing itu.

Hayyan tidak menjawab. Di dalam kepala, ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri perihal haruskah bicara pada Alde atau berusaha menghindar saja. Keduanya tidak terdengar seperti keputusan yang benar, jadi Hayyan tidak berani mengambil sikap. Ia hanya berdiri di sana, menunggu pesanan jadi sambil berpura-pura tidak mengengar apa-apa.

“Lo nggak jawab pun nggak masalah sih, Yan. Toh, itu urusan lo dan apapun keputusan lo, itulah yang terbaik buat lo,” kata Alde, tidak tedengar keberatan pada kebisuan Hayyan.

“Masalahnya gue nggak tau keputusan gue ini bener apa nggak,” tukasnya. “Gue takut kalau gue ambil keputusan, gue bakal nyesel sama keputusan gue. Gue takut suatu saat nanti gue mikir; 'Ah, kenapa sih gue nggak kayak gini pas dulu'.”

Alde tidak menimpal untuk beberapa saat, membuat Hayyan berpikir bahwa mungkin lelaki itu memang tidak ingin menjawab. Atau ia tidak menemukan jawaban yang cukup layak. Apapun bentuknya, Hayyan memutuskan untuk membiarkan permasalahan itu berlalu. Toh, ia juga tidak sedang bertanya. Mang Titing memberikan mangkuk pada mereka dan berkata akan mengantar teh manis hangat ke meja. Alde dan Hayyan mengangguk nyaris berbarengan sebelum mencari tempat yang kosong.

“Menurut gue, jenis keputusan itu cuma ada dua. Yang diambil dan yang nggak diambil. Masalah bener atau nggak, menurut gue itu balik lagi gimana caranya lo mengeksekusi keputusan yang udah lo buat.” Alde berkata setelah mereka duduk di meja yang kosong, hanya beberapa langkah dari gerobak Mang Titing.

“Saran terbaik gue saat ini adalah, ikutin aja apa kata hati lo. Ketika lo ngikutin apa yang hati lo mau, seberat apapun pilihan itu nanti, lo bakal bisa ngejalanin dengan sepenuh hati. Lo bakal mikir; 'Ah, ini lho yang gue mau'.”

“Kalau nantinya gue nyesel?”

“Orang bisa nyesel karena mereka nggak ngasih seratus persen usaha mereka. Menurut pendapat gue, selama gue udah berusaha untuk itu, apapun hasilnya nanti itulah yang akan gue terima. Gue nggak nyesel karena hasilnya berbeda sama ekspektasi gue, Yan. Gue justru mikir kalau gue bakal nyesel kalau gue nggak pernah bener-bener usaha.”

Mang Titing datang setelah itu bersama dua gelas besar es teh manis di atas nampan kayu. Lelaki paruh baya yang masih memiliki jejak-jejak ketampanan masa muda itu tersenyum sewaktu meletakkan gelas Hayyan di atas meja.

“Masih muda mah jangan banyak takut, atuh, Jang. Banyak kesempatan yang nggak datang dua kali,” katanya, sebelum berlalu ke balik gerobaknya kembali.

Alde tertawa, berkata, “Mantap emang, Mang Titing!” dengan lantang sambil mengacungkan ibu jarinya ke udara. Mang Titing membalas dengan tawa.

“Di luar dugaan, lo pinter banget ya nasehatin orang,” puji Hayyan tulus, dibubuhi cengiran lebar. “Makasih sarannya, De.”

“Gak tau aja lo, gue titisannya Mario Teguh!”

Hayyan dan Alde tertawa. Makan siang itu mereka habiskan dengan sesi tukar pikiran yang lebih ringan. Tentang kabar-kabar teman masing-masing, soal perkuliahan, soal agenda praktik lapangan, jadwal kuliah kerja nyata; dan banyak hal-hal lain. Hayyan menyimpan dengan baik nasihat Alde di dalam kepala, bersiap merenungkannya sendiri nanti.

Alde memakan mi ayamnya dengan riang. Dalam hati tak lupa memuji dirinya sendiri. Tidak sia-sia dua malam ia habiskan memikirkan perkara Zakky dan Hayyan yang tidak kunjung usai ini. Pada akhirnya Alde berharap kedua temannya dapat bertemu solusi yang tepat. Sebab sebagaimana sahabat yang baik, bagi Zakky dan Hayyan untuk terus berenang dalam ketakutan dan ketidakpastian adalah hal terkahir yang ingin Alde lihat.