Bawa Aku Pulang
π±π±π±π±π±π±
Suara musik dari Silampukau memantul di dinding ruang tengah sewaktu pintu depan mengayun terbuka. Zakky sedang duduk di depan televisi, dengan laptop di atas meja dan ponsel di genggaman tangan. Rayyan sedang belajar mati-matian di dalam kamar, meski Zakky yakin hanya menyoal waktu sampai anak itu terlelap di atas meja belajarnya sendiri. Papa bilang akan pulang besok siang, jadi Zakky tidak perlu menoleh untuk tahu kalau yang pulang barusan adalah Mama.
Susah payah menyuruh tubuhnya untuk tidak memberi perhatian pada wanita itu, Zakky akhirnya menyerah. Ia menoleh, membuang pandang sejenak dari layar ponselnya dan menatap Mama. Perempuan itu terlihat kacau, paling kacau dari semua versi Mama yang selama ini Zakky perhatikan. Jejak-jejak air mata di pipinya nampak segar, dan Mama tampak terlalu abai untuk sekadar menyamarkan keberadaannya.
βMana Papa kamu?β Mama bertanya, suaranya tanpa intonasi. Perempuan itu melempar tas kerjanya ke atas sofa, lantas mendudukkan diri satu meter dari anak sulungnya yang tampak tidak peduli.
βKerja,β Zakky menjawab singkat, kembali pada layar ponselnya meski kepalanya memusatkan perhatian pada Mama dan segala gestur yang ia buat.
Maya, perempuan berusia empat puluh tujuh tahun itu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Zakky melirik lagi, menyusuri jejak-jejak kelelahan di wajah wanita itu. Jantungnya berdebar kencang tanpa alasan. Mama menarik keluar ponselnya, ada retakan di permukaan layarnya. Perempuan itu melakukan sesuatu, sebelum menempelkan ponsel di telinga; barangkali berniat menelepon Papa.
βHalo?β suara Papa di seberang sambungan terdengar riang. Zakky berusaha terlihat tidak peduli, meski ia mati-matian mempertajam pendengaran. βTumben kamu telepon aku, May? Ada apa, Sayang?β
Lelehan air mata jatuh lagi di pipi Mama, mengejutkan Zakky. Mama menarik napas panjang, lantas berkata sambil tersedu, βAku mohon, Rud. Cerai sama aku, ya?β
***
Sejujurnya, Zakky benci Mama. Kalau ada orang di dunia ini yang Zakky paling benci, Mama orangnya. Perempuan itu tidak pernah memperkenalkan Zakky pada kehangatan seorang ibu. Sejak kecil, Zakky tumbuh besar di bawah asuhan Papa. Anak-anak sebayanya sewaktu Sekolah Dasar senang membawa bekal buatan ibu, tapi Zakky tidak pernah tahu apakah Mama bisa memasak ayam kecap, pernahkah Mama tidak sengaja menumpahkan banyak air sewaktu memasak nasi, atau apa rasa puding kesukaan Mama. Mereka tidak pernah punya obrolan semacam itu bersama satu sama lain.
Mama tidak pernah peduli apakah Zakky juara kelas, atau apakah dia menang di turnamen basket. Mama tidak ada menggoda Zakky sewaktu ada anak perempuan menyatakan cinta padanya. Mama tidak mengusap bahu dan memeluk Zakky sewaktu ia jatuh dari sepeda. Mama ada, tapi terasa tidak pernah ada. Zakky benci Mama karena Mama mengabaikannya. Di kelas lima, Zakky pernah berdoa agar Mama menderita. Agar Mama tahu rasanya ditinggalkan seperti bagaimana wanita itu meninggalkan Zakky. Agar Mama mengerti bahwa kasih sayang adalah elemen yang amat berharga, dan bahwa Zakky membutuhkannya.
Tapi Zakky tidak pernah sungguh-sungguh pada doanya. Ia tidak pernah benar-benar ingin melihat Mama menderita. Ia tidak sanggup melihat air mata Mama terus-menerus jatuh. Ia tidak bisa melihat isakan Mama yang terdengar menyayat hati. Jauh di dalam hatinya, Zakky ingin Mama bahagia.
βMa, udah,β Zakky membawa perempuan itu ke dalam pelukan. Membiarkan Mama meringis dan tersedu di dadanya. Jantungnya terasa diremas, dan dadanya sesak melihat Mama demikian hancur.
Mungkin jauh di dalam hatinya, Zakky hanya ingin Mama melihat ke arahnya. Zakky ingin Mama membagi bahagianya, sebagaimana Zakky bersedia membagi kebahagiaannya bersama wanita itu. Zakky ingin Mama menerima kehadirannya, ingin Mama berhenti memandangnya seperti menatap seorang pengganggu.
Rayyan berlari keluar dari kamar sewaktu Mama mengerang semakin kencang. Bahu wanita itu berguncang-guncang di dalam pelukan Zakky yang semakin erat. βMama kenapa?β Rayyan bertanya, tampak panik menghadapi histeria Mama yang tiba-tiba.
Zakky menggeleng, mengeratkan pelukan. βNggak papa, Ma. Keluarin aja semua. Ada Zakky di sini, ada Rayyan, ada Papa. Mama bisa nangis sepuas Mama.β
Jauh di dalam hatinya, Zakky ingin mampu menyangga kesedihan Mama. Malam itu, Mama terus menangis sampai napasnya tersengal dan tubuhnya lemas terkulai. Zakky dan Rayyan duduk di kedua sisi wanita itu, menunggunya dengan sabar.