Mari Bercerita
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Rasanya masih aneh menemukan Zakky duduk di lantai kosan, dengan buku Rahvayana di kedua tangan. Sesekali alisnya akan menukik, sesekali dia akan tertawa, dan lembar demi lembar buku karya Sujiwo Tejo itu ia lahap habis sampai lupa waktu. Rasanya aneh saat jemariku menyurusi helai-helai rambutnya, memberinya pijatan kecil sambil berpuas diri menghirup bau sitrus yang datang dari fabrik pakaiannya. Rasanya aneh, tapi aku tidak merasa ini aneh dalam arti yang buruk.
Kadang kalau dipikir lagi, benar kata Yosef. Tidakkah aku terlalu mudah memaafkan orang? Tentu, aku tidak bisa pungkiri kalau Zakky punya andil besar menambah nanah di dalam lukaku. Aku juga tidak bisa mengelak kalau barangkali aku melukai Zakky juga dengan satu dan lain cara. Tapi tidakkah menjadi pemaaf tidak harus punya syarat? Aku memaafkan Zakky. Kami berjanji akan berubah. Aku pikir, sampai situ segala hal terasa cukup.
“Kenapa penulis cuma pakai perumpamaan perempuan dan laki-laki, ya?” Zakky bicara, suaranya sedikit serak. Ia menoleh, menatap aku yang sedang duduk nyaman di atas ranjang tanpa kaki di kamar kosanku yang sedikit sempit.
Aku menggumam, tidak menghentikan usapanku di kepalanya. “Hmm, mungkin itu cara beliau menginterpretasi dua jenis manusia yang berbeda? Kayak, apa ya, dua sisi mata koin gitu, lho. Analogi yang dipakai ya itu, dengan lelaki dan perempuan,” jelasku.
“Itu interpretasi kamu, ya?” Zakky menebak, yang kubalas dengan anggukan.
“Menikmati seni itu nggak melulu harus baku, kan?”
Zakky tertawa. Kembali lagi ia pada kegiatan membacanya yang sempat terjeda, memberi ruang bagi aku untuk mencicipi hal-hal yang berubah dari cowok itu sejak kami tidak bertemu. Rambutnya makin panjang sekarang. Zakky harus mengikatnya ke belakang agar nampak sedikit rapi, mengingat cowok itu malas pakai gel rambut. Selain penampilan luar, ia masih Zakky yang aku ingat. Masih orang yang rela kutelepon larut malam menemaniku yang kadang mendadak gelisah. Masih sosok yang selalu setia mendengarku bicara soal apapun. Apapun di dunia.
“Zak? Menurut kamu, kira-kira ada nggak ya hal di dunia ini yang terjadi tapi nggak punya maksud? Kayak, ya udah, kejadian aja gitu?”
Zakky mengangkat kepala sebentar, menatap pada styrofoam dekat lemariku yang masih ditempeli kertas-kertas sampah bersejarah. “Nggak ada, kayaknya?” jawabnya. “Semua hal yang terjadi tuh pasti ada maksudnya, dong? Kita hidup di dunia yang kompleks, yang terjadi karena ada sebab-akibat. Kalau tiba-tiba ada sesuatu yang nggak terikat dengan apapun, muncul, goyah nggak jadinya fondasi dunia ini?”
“Iya, ya? Dasarnya tuh semua hal punya fondasi, kan?” aku membalas. “Bahkan fondasi itu juga dibangun di atas penyebab-penyebab tertentu.”
Zakky mengangguk, mengulas senyum yang hanya bisa aku lihat lewat sisi kanannya. Aku kembali fokus lagi pada layar ponsel, membaca catatan yang sudah hampir kurampungkan setengah jalan.
“Buku ini bikin pandangan saya ke Rahwana, ya.” Zakky bergumam. Aku mengamini dalam hati.
“Tapi caranya nulis rada kaditu-kadieu kitu, nya?” tukasnya lagi, yang lagi-lagi aku setujui. “Kayak nggak fokus, tapi fokus banget. Mau baca berkali-kali, tetep aja nggak bosen.”
“Makanya aku suka banget cara dia nulis,” kataku, mengulas senyum.
“Omong-omong, Yan,” buku ditutup, dan tubuh Zakky berputar, menghadapku sepenuhnya. Cowok itu menatapku tepat di mata. Sudah kubilang, belum, kalau cara Zakky menatap itu sedikit berbahaya? Berulang kali aku terperangkap di iris mata hitam itu, dan berulang kali pula aku kesulitan menemukan jalan keluar.
“Hmm?” aku menggumam, susah payah menemukan kembali suaraku yang sempat hilang.
“Saya laper. Beli makan, yuk?” katanya, diikuti cengiran lebar.
Aku terkekeh. “Yuk? Makan siang hari ini gantian siapa yang beli?”