Bukan Aku
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
“Bade kamana, A?” Adalah suara Bunda yang mengiringi langkah Hayyan yang tergopoh-gopoh pagi itu. A Kelana, kakak sepupunya, menyahuti dari ruang tamu, tapi Hayyan tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan Bunda, ataupun mendengar apa yang A Kelana katakan. Kepalanya sudah terlanjur panik, sebab siapa yang menduga Razakky Bhadrika sudi menempuh puluhan kilometer ke sini, ke pinggiran Garut yang dingin dan sepi.
Desa Sarjambé, tempat rumahnya berada, adalah sebuah desa kecil yang cukup asri. Keluar dari gang sempit yang jadi tempat keluar-masuk, adalah jalan kecil diikuti hamparan sawah dan bukit. Bagi Hayyan, rumah adalah tempatnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan yang kadang sedikit kejam. Tempat yang tepat untuk berpikir dan beristirahat. Ketika memutuskan pulang lebih cepat, Hayyan bermaksud mengenyahkan segala rasa tidak menyenangkan yang bercokol di hatinya sewaktu memikirkan Zakky; atau Guntur, atau segala hal rumit yang berjejal di kepalanya yang sempit.
Siapa yang menduga, bahwa sumber dari segala kerumitan pikiran itu justru menyusulnya ke sini?
Razakky masih seperti terakhir kali Hayyan bisa mengingat. Rambut hitam cowok itu sudah tumbuh agak panjang sejak terakhir mereka bertemu. Ia memakai jaket hitam, dengan celana dan kaos senada. Cowok itu duduk di atas motornya, memandang pada langit pagi yang berpendar biru dan kuning dengan sedikit rona jingga. Hayyan perlu menarik napas berkali-kali, perlu memastikan bahwa ia siap bertemu Zakky setelah puluhan sesi menghindar yang sekarang terdengar jenaka di telinga.
Setiap langkah yang Hayyan bawa mendekati Zakky menusuknya dengan fakta betapa besar rindu yang ia pupuk sejak mereka terakhir bersua. Ia rindu melihat Zakky tertawa, rindu mencicipi kembali obrolan sore mereka, rindu mencium aroma buku, bicara soal musik dan film, atau apapun yang sudah mereka lalui bersama. Perlahan tapi pasti, Hayyan sadar bahwa tidak ada gunanya menghindari Zakky. Perasaannya tetap tumbuh dengan atau tanpa ia berusaha lupa.
“Zak?” Hayyan memanggil, sedikit malu mendengar suaranya tercekat.
Zakky menoleh, dan ada sekelumit perasaan menyebar di dada Hayyan yang ia sendiri tak bisa definisikan. “Hei,” Zakky membalas, mengulas senyuman tipis. Cowok itu turun dari motor dan berdiri menunggu Hayyan menghampiri.
“Udah lama nunggunya?” Hayyan bertanya, susah payah menyembunyikan rasa gugup yang datang tiba-tiba.
Zakky menggeleng. “Nggak lama. Pas saya telpon, saya baru sampe.”
“Kamu ada apa ke sini? Pagi-pagi banget, lagi. Baru jam delapan, lho? Jalan jam berapa dari Bandung?”
Zakky tertawa lepas diberondong pertanyaan tanpa jeda. “Mau ketemu kamu. Berangkat jam setengah tujuh, kok. Jalannya lumayan lancar, meski agak macet tadi di Rancaekek.”
Hayyan berdecak gemas. “Udah sarapan, belum?” tanyanya, yang dibalas Zakky dengan gelengan kepala.
“Duh,” Hayyan jadi kesal sendiri. “Ayo ke rumah. Beruntung ya, kamu, kita juga belum sarapan. Nimbrung aja, yuk?”
“Nggak ganggu, emangnya?”
Hayyan mendengus. “Nggak. Ayo, cepet, sebelum kamu pingsan!”
***
Melangkahkan kaki di rumah sederhana yang entah bagaimana terasa hangat itu, Zakky disambut dengan senyum hangat Bunda dan tawa bersahabat Ayah. A Kelana, kakak sepupu Hayyan, dengan sigap membuatkannya segelas teh manis hangat setelah tahu Zakky sudah berkendara sepanjang pagi. Keluarga mereka sempurna dan bahagia. Keluarga yang hanya tinggal di mimpi Zakky.
Nampaknya semua keluarga memang diciptakan untuk jadi hangat dan bahagia. Nampaknya hanya keluarga Zakky yang menjadi pengecualian.
“Maafin A Kelana, ya. Dia emang suka agak kaku sama orang baru.”
Zakky melirik, menangkap rasa bersalah di wajah Hayyan yang sedikit pucat. “Nggak masalah. A Kelana udah baik banget nyeduhin saya teh manis, tadi.”
Hayyan menimpali dengan kekehan singkat. “Kamu ada apa, Zak?”
Zakky menelan ludah, kembali membuang pandang pada hamparan tanaman herbal Bunda di taman belakang. Di kepalanya, cowok itu sibuk memilah kata; memilih satu dari berbagai penjelasan yang bersilang-sengkarut di dalam kepala.
“Mama saya selingkuh,” katanya, tanpa sadar mengeratkan genggaman pada gagang gelas yang ia pegang. “Udah lama, mungkin sejak saya masih dalam kandungan. Sejak kecil, Mama nggak pernah nerima keberadaan saya. Atau Rayyan. Kami cuma batu sandungan buat Mama dan pacarnya; dan mimpi-mimpi mereka berdua. Sejak kecil saya selalu berdoa semoga Mama menderita, semoga Mama tau rasanya jadi saya; ditinggalkan dan nggak pernah dianggap ada.
“Tapi saya nggak pernah bener-bener berharap gitu. Dua malam lalu, Mama pulang sambil nangis-nangis karena hubungannya sama laki-laki itu berakhir. Dua puluh tahun saya menderita, dan Mama akhirnya benar-benar tau rasanya jadi saya. Tapi sewaktu saya liat Mama nangis, saya liat Mama hancur, saya jadi marah sama diri saya sendiri. Bisa-bisanya saya, yang paling tau betapa sakit dianggap nggak ada, berharap Mama saya sendiri ngerasain itu?”
Jemari kecil Hayyan terulur, memberi usapan pada punggung Zakky yang bidang. Berharap lewat sentuhan kecil itu, cowok itu bisa sedikit tenang. Berharap Zakky tahu bahwa Hayyan ada di sini, dan Zakky tidak sendiri.
“Saya nggak tau kenapa saya milih cerita ini ke kamu sekarang. Jujur aja, saya nggak ngerti kenapa Mama tetap minta pisah sama Papa setelah laki-laki itu jelas-jelas sudah buang dia.”
“Mungkin...” Hayyan menelan ludah, “mungkin karena Mama kamu ngerasa ini semua nggak adil buat dia dan buat Papa kamu. Aku nggak tau apa yang ada di kepala dia, Zak. Kamu juga nggak bisa nebak-nebak. Kenapa nggak kamu ajak ngomong aja Mama kamu, dengan kepala dingin?”
“Mama benci sama saya, Yan,” Zakky terkekeh miris. “Lihat saya aja, dia kayaknya nggak sudi.”
“Nggak ada Ibu yang benci sama anaknya sendiri, Zak,” potong Hayyan, kini ganti mengusap kepala Zakky penuh afeksi. “Tapi kalau kamu masih ada di fase ini, ada baiknya kamu tenangin diri dulu sebelum jalan lagi. Pelan-pelan aja.”
Zakky mengangguk, memejamkan mata menikmati belaian tangan Hayyan di kepalanya. Masih sampai kini, Hayyan Nandhana entah bagaimana selalu punya cara untuk mengerti Zakky; meski kadang lelaki itu tidak dapat mengerti dirinya sendiri. Betapa senang, betapa bahagianya kalau Hayyan sudi membersamai Zakky menghadapi segala mimpi buruknya di depan mata.
“Saya nggak ada apa-apa sama Melati, Yan.”
Hayyan menggumam. Gumaman singkat yang kemudian berhenti menyisakan jeda panjang di antara mereka berdua. Gumam yang tidak pernah Zakky duga akan jadi satu-satunya respon atas penjelasannya yang teramat singkat. Usapan tangannya di kepala Zakky berhenti, membuat cowok itu kembali merasa hampa.
“Hari itu sewaktu saya minta pulang duluan, Melati bilang dia suka sama saya. Sedikit telat, sebenarnya, karena udah dua tahun lebih kelewat dan dia sebenarnya punya banyak waktu untuk jelasin ke saya. Tapi dia milih hari itu, sewaktu reuni, sewaktu perasaan saya ke dia udah sepenuhnya tuntas. Saya harusnya—”
“Nggak perlu dijelasin ke aku, Zak,” Hayyan berujar, memberi senyuman manisnya. “Aku bukan siapa-siapa kamu.”
Zakky tertegun. Kalimat-kalimat penjelasan yang siap ia lontarkan tertahan di tenggorokan. Kabut di mata Hayyan menjadi penanda bahwa lelaki itu tidak mengharapkan apapun dari Zakky. Tidak penjelasan, tidak kehadiran. Bahwa Hayyan tentu saja punya lukanya sendiri, yang sedang berusaha ia tanggalkan.
Hayyan menahan napas, mencoba menetralkan kembali degup jantungnya yang mulai bertalu. Kepalanya berteriak meminta akal sehatnya bekerja.
“Kamu udah lewatin garis itu lama banget, Yan. Kamu ada buat saya, kamu lebih dari sekedar 'bukan siapa-siapa'.” Hati-hati, Zakky memilih kata. Tidak ingin memperpanjang kesalahpahaman, sekaligus tidak tahu mana yang paling cocok dijadikan penjelasan. Bagaimana caranya menyampaikan pada Hayyan bahwa cowok itu punya andil yang amat besar di hidup Zakky?
Hayyan terkekeh, jelas tidak percaya. Akal sehatnya berteriak lagi, lebih kencang kali ini.
Tidak, Hayyan Nandhana. Ini bukan pertanda apa-apa. Barangkali Razakky Bhadrika hanya sedang bingung, seperti bagaimana Guntur pernah salah mengartikan perhatiannya padamu sebagai cinta dulu sekali. Kamu pikir, orang-orang dengan cinta pertama sehebat itu bisa sembuh hanya lewat menghabiskan beberapa bulan bersama? Kamu terlalu banyak bermimpi.
Hayyan bangkit, memberi Zakky senyuman yang ia sendiri tak peduli meski terlihat palsu. “Kamu nggak bisa bergantung sama aku, Zak. Kamu inget, kan, aku dulu bilang apa? Aku bukan Melati.”
“Saya tau,” Zakky memotong, terdengar tidak berdaya. “Saya tau, dan saya masih tetap liat kamu sebagai Hayyan Nandhana.”
“Udah ya, Zak? Kamu sekarang cuma bingung. Liat aja nanti, kamu bakal sadar kalau ternyata kamu tuh cuma salah mengartikan aja.”
Zakky ingin membantah, tapi Hayyan tidak memberinya kesempatan bicara sebelum menambahkan:
“Semuanya bakal baik-baik aja, Zak. Kamu, aku. Kita baik-baik aja sebelum kita ketemu, dan kita bakal baik-baik aja setelah ini. Beberapa waktu dari sekarang, kamu bakal sadar kalau memang selama ini, aku gak pernah jadi rumah buat kamu.”
Kalimat Hayyan menutup percakapan pagi mereka hari itu. Cowok yang masih berstelan piyama itu bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Zakky yang masih berusaha memproses keadaan. Ketika ia berhasil mencerna ucapan Hayyan, Zakky dihadapkan pada kalimat-kalimat perpisahan dari Bunda, Ayah dan A Kelana, semata lantaran Hayyan sudah lebih dulu berkata bahwa ia akan pamit karena tidak bisa berlama-lama.
“Nanti main lagi ya, Kasep?” bujuk Bunda, diikuti anggukan Ayah dan ucapan hati-hati di jalan dari A Kelana.
“Ke depan sendiri ya, Zak? Aku mau mandi dulu, udah arateul (gatel-gatel) badannya. Nanti dianterin sama A Kelana.”
Zakky tidak bisa membantah. Cowok itu mengangguk, menangkap sinyal dari Hayyan bahwa percakapan mereka cukup dihentikan sampai sini saja. Cowok itu memakai jaketnya, menyalami Ayah dan Bunda, dan melangkah dengan berat meninggalkan rumah Hayyan yang hangat.
Masih ada nanti, Zakky pikir.
Benarkah nanti masih akan ada?