Inside The Darkness
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Ketika Zakky memandang ke langit, ada semburat merah muda dan ungu di tengah lautan biru dan jingga. Gradasi yang terlihat sempurna itu mengirimkan rasa nyaman yang aneh ke dalam hatinya yang berhari-hari ini berkubang dalam resah. Zakky meletakkan helm di kaca spion kanan motornya, lantas kembali memandang pada langit sore yang hari itu terlihat luar biasa cantik. Rasanya sudah lama sejak ia punya waktu memikirkan hal-hal kecil yang biasanya ia abaikan. Seperti kenapa orang-orang kerap memandang jingga sebagai representasi senja, padahal Zakky pikir warna violet di langit jauh lebih cantik.
Sejak pagi, Zakky tidak melakukan apapun selain tidur-tidur di kamarnya sembari membaca kembali komik-komik online yang sebelumnya ia lupakan. Rayyan memanggilnya untuk makan siang bersama, dan Zakky bertanya kemana Papa pergi sebab sejak pagi mereka tidak bertemu.
“Pergi mancing hari ini,” kata Rayyan, menggigit paha ayam setelahnya dengan penuh khidmat. “Abang nggak kemana-mana hari ini?”
“Rencananya mau main basket sama anak-anak,” jawab Zakky, ikut larut dalam makan siangnya.
Tidak ada yang bicara lagi setelah itu. Rayyan pamit pukul dua siang untuk pergi bersama teman-temannya, dan tinggallah Zakky sendiri di rumah yang terasa sunyi itu. Aneh, pikir Zakky. Biasanya keheningan di rumah terasa amat mencekik lehernya. Tapi hari ini, segala sesuatu terasa benar. Rasa malasnya, makan siang mereka yang singkat, percakapan-percakapan kecil, bahkan hening yang sedang berlangsung tak berujung.
Aneh. Zakky merasa begitu tenang hari ini.
Sejak hari itu, Mama sesekali menelepon. Bertanya soal kabarnya, soal kabar Papa, kabar Rayyan, dan apakah Zakky butuh tambahan uang jajan. Interaksi mereka terasa amat canggung. Barangkali karena Mama tidak pernah peduli padanya selama hampir dua puluh tiga tahun Zakky hidup di dunia. Zakky tahu Mama berusaha mengisi rongga kosong yang sudah hampa selama bertahun-tahun itu, dan Zakky dengan senang hati memberinya kesempatan.
Mama memintanya untuk datang berkunjung kalau Zakky tidak keberatan, dan ia mengabulkan permintaan itu. Mereka makan malam di rumah, bersama masakan Mama yang nyaris tidak pernah Zakky cicipi bagaimana rasanya. Zakky bertanya bagaimana kabar Mama, bagaimana pekerjaannya, dan apakah ia kembali mengalami episode selama beberapa hari ke belakang.
Semuanya terasa benar, tapi Zakky merasa bahwa ada yang janggal.
***
“Udah lama banget gue nggak liat muka lo, rasanya,” seorang laki-laki berpakaian basket di samping Egi menyapa. Zakky lupa namanya. Barangkali itu Aldi? Atau Andi? Lama tidak bertemu membuat memorinya sedikit kabur.
Zakky tertawa. “Asli,” katanya setengah hati. “Aldi, ya? Apa Andi?”
Lelaki itu tertawa, membenarkan kacamatanya yang sedikit melorot. “Aldi, bener. Gue baru ikutan lagi kumpul, sih. Jadi nggak aneh kalau lo nggak inget.”
Zakky menggaruk tengkuknya salah tingkah. Beberapa orang gantian menyapa. Ada total dua belas orang angkatannya yang datang sore itu. Lima orang perempuan dan tujuh orang laki-laki termasuk Zakky. Ia tidak begitu ingat nama mereka semua. Dua setengah tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan banyak hal.
Permianan berlangsung sebanyak tujuh quarter. Jantung Zakky berdebar cepat sepanjang ia berlari dan melompat. Telapak tangannya yang bersentuhan dengan permukaan bola yang kasar terasa panas. Tapi benda bundar berbahan kulit itu terasa amat pas di permukaan kulitnya, seperti bertemu kawan lama. Sepanjang sore, kepala Zakky hanya berpusat pada bola, pada ring, dan pada bagaimana ia bisa membuat poin dan tertawa bersama rekan satu timnya yang lain.
Sore itu, sekali lagi, segalanya terasa amat benar. Seperti potongan-potongan puzzle yang hampir utuh. Tepat, tapi belum lengkap.
Zakky membaringkan tubuh di atas aspal lapangan basket, membiarkan peluhnya mengalir turun. Dadanya naik turun, berusaha meraup udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya yang terasa menyempit. Alde mengambil posisi duduk tepat di sebelah Zakky sembari menempelkan sebotol air mineral dingin di pelipisnya yang dibanjiri peluh. Langit malam yang berpendar biru tua hari itu juga masih tampak cantik, meski gelap mendominasi ronanya. Zakky terkekeh pelan, menertawakan keromantiasannya malam ini yang mendadak datang.
“Udah gila apa lo, ketawa-ketawa sendiri?” Alde bertanya, lebih terdengar seperti menghakimi, sebenarnya.
Zakky tertawa lagi. “Nggak. Gue lagi pujangga banget aja rasanya, hari ini.”
“Daryan nggak dateng hari ini. Gue chat juga dia nggak bales,” Alde memberi jeda untuknya meneguk air mineral. “Itu anak kemana, deh?”
“Lagi sibuk PDKT, dia. Ada anak magang baru di kantornya, katanya. Junior Staff Engineering, lagi PPL.”
“Itu udah yang ke berapa kalinya sejak kita masuk kuliah?” Alde bertanya lagi.
Zakky tertawa, “Baru ketiga kali. Positif kali ini bakal super susah.”
Alde ikut tertawa, sebelum kemudian meminum lagi air mineralnya sampai tinggal tersisa setengah botol. Zakky kembali memandang langit, membiarkan semilir angin malam menjalankan tugas mengeringkan peluhnya. Suara tawa dari anggota lain menjadi latar dari keheningan di antara mereka berdua, sebelum Alde memecah sunyi itu dengan sebuah tanya.
Tanya yang entah bagaimana terasa sedang Zakky tunggu.
“Lo gimana sama si Hayyan? Udah berapa bulan deh, ini, lo berdua diem-dieman kayak orang nggak kenal?”
Hayyan, ya. Nama itu secara ajaib terasa memenuhi rongga yang Zakky risaukan. Bagian puzzle yang kosong. Hal janggal yang Zakky mengerti, tapi enggan ia ungkit kembali. Hayyan Nandhana adalah kekosongan yang membuat rasa lega dalam hati Zakky tidak terasa sempurna. Bahwa masih ada yang hilang, masih ada yang belum kembali. Masih ada sesuatu yang Zakky tunggu dan ingin perbaiki.
“Dari Desember. Udah empat bulanan lebih, kayaknya,” jawab Zakky sebelum membuang napas yang terasa berat. “Mau gue omongin, tapi entah kenapa nggak pernah ngerasa dapet timing yang tepat. Kayak, belum waktunya aja.”
“Yakin, tuh, bukan lo-nya aja yang lagi cemen?”
Zakky mengangkat bahu. “Nggak tau. Bisa jadi?” suaranya terdengar tidak yakin. “Gue takut malah ngerusak alirannya, De. Rasanya belum pas aja, ngomong sekarang. Gue nggak mau ngeganggu dia saat dia butuh waktu jauh dari gue. Gimana kalau selama empat bulan gue mati-matian mertahanin flownya, dan semuanya jadi ancur karena gue nggak sabaran?”
Alde mengacak rambutnya frustrasi. Sejujurnya ia sendiri tidak tahu saran apa yang paling tepat bagi sahabatnya kini. Seperti yang Zakky bilang, segala keputusan terasa amat riskan sekarang. Sebagai orang yang didorong menjauh, memaksa mendekat justru bukan pilihan yang tepat.
“Mungkin lo cuma harus nunggu?” Alde terdengar ragu. “Ah, gak tau deh gue, Zak. Di satu sisi, seperti yang lo bilang, bisa jadi dia emang lagi nggak mau ada hubungan dulu sama lo. Tapi di sisi lain, gimana kalau dia tuh ternyata mau lo maju duluan. Dan selama lo nunggu timing gini, gimana kalau ternyata timingnya udah lama kelewat?”
Satu menit, dua menit, lima menit berlalu tanpa jawaban. Alde menghela napas, berpikir bahwa mungkin Zakky memang tidak berniat menjawab. Ia toh tidak akan memaksa. Alde meneguk air mineralnya lagi. Percakapan mereka yang amat singkat itu terasa cukup membuat tenggorokannya kering.
“Kalau gitu,” Zakky bergumam tepat ketika Alde selesai menelan. “Kalau emang udah lewat, ya gue mau gimana lagi? Mungkin emang bukan waktunya. Atau justru lebih ekstrim lagi,” Zakky menoleh, memberi Alde senyum tipis, “mungkin emang dia bukan buat gue.”
***
Tentu saja itu bohong. Senyum itu, ucapan itu. Zakky bukan orang yang pandai berdusta. Sekalipun iya, Alde sudah berteman dengannya cukup lama untuk tahu kalau Zakky sesungguhnya tidak sedang baik-baik saja. Zakky tahu ia pembohong yang payah, dan Alde tahu sahabatnya sedang mencoba untuk tidak memperlihatkan kepahitannya terang-terangan.
Tapi lelaki bernama lengkap Aldebaran Rahardi itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, membiarkan percakapan itu mati di ujung jawaban Zakky.