Orang-Orang yang Kembali
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Memasuki resto kecil yang Radit sewa untuk reuni seperti melangkah ke dalam ruang yang penuh oleh masa lalu. Hayyan mengekor di belakang Zakky, menggandeng ujung jaket denim yang cowok itu pakai seperti seorang anak kecil yang hilang di tengah kerumunan. Lampu tempat yang lebih cocok disebut kafe itu berpendar jingga, membawa kembali Hayyan ke malam perpisahan dua tahun yang lalu. Sedikit jenaka rasanya. Waktu sudah cukup lama berlalu dan di sini lah ia, bersama lelaki yang sama yang menemaninya merasai patah hati dulu sekali.
“Gak mau gandeng tangan aja?” Lagi, Zakky bertanya iseng. Sudut bibirnya terangkat sedikit, kentara sekali empunya sedang menahan tawa. Hayyan mendengus, lantas mendorong lengan Zakky kepalang pelan sebagai bentuk protes.
Beberapa pasang mata memandang pada mereka, dan Hayyan langsung dihujani perasaan tidak nyaman. Matanya berpendar mencari wajah-wajah yang terasa akrab, menggali sosok Radit dan Yosef di antara sekian banyak wajah teman-teman yang sudah lama ia lupakan. Tanpa terasa, genggaman tangannya semakin erat di jaket Zakky; tanpa bahasa meminta cowok itu tidak meninggalkannya sendiri.
“Iya, iya. Saya gak akan kemana-mana, kok,” tukas Zakky sambil terkekeh.
“Zak, belah dieu!” Yudha berseru dari arah kanan, melambai-lambai ke arah Zakky bermaksud meminta yang dipanggil berjalan mendekat. Ada Alde, Naufal dan Yosef berdiri di sisinya.
Zakky menggenggam pergelangan tangan Hayyan, menarik pemiliknya mendekat. “Ke sana, yuk? Ada si Yosef juga, tuh.”
Hayyan mengangguk. Rasa tidak nyamannya mendadak menguap entah kemana sewaktu kulit mereka bersentuhan. Seperti segala hal magis yang dipertontonkan Zakky kepadanya selama beberapa bulan kedekatan mereka, Hayyan merasa kenyamanan datang padanya secara instan. Ia melukis senyum, membiarkan Zakky menuntunnya melipir. Ia tidak lagi memedulikan tatapan-tatapan penasaran para alumni lain. Bagi Hayyan, saat ini, segala sesuatu tidak terasa berarti lagi.
“Lama banget lo datengnya. Udah mau jam tujuh ini,” Alde adalah yang paling pertama bicara. Sambil berpura cemberut, ia menyerahkan dua gelas kertas berisi sirup koko pandan. “Ngapain dulu lo berdua?”
Hayyan mengambil gelas itu sambil mencibir. “Sholat dulu, lah. Mohon maaf kayaknya gue masuk surga duluan.”
Tawa Alde berderai. “Sombong, banget. Harusnya lo nyicip surga duluan, tapi karena udah riya, Tuhan bilang batal.”
Yudha menarik bahu Zakky, membuat genggaman tangannya lepas dari pergelangan tangan Hayyan. Yang disebut belakangan berjalan mendekati Yosef, mengajaknya mengambil beberapa makanan ringan yang terpajang dua meja dari tempat mereka berdiri.
“Aya naon? (Ada apa?)” Zakky bertanya.
“Si Ati tadi nyariin lo,” kata Yudha, mengusak poninya dengan gusar. “Tadi dia curhat dikit, katanya lo dihubungin dari siang nggak bisa. Padahal dia mau ngajak bareng.”
Zakky mengangkat bahu. “Gue mute anaknya. Lagian udah ngajak Hayyan bareng juga.”
Yudha melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya sedikit memicing, berusaha mencari sedikit saja kebohongan di mata Zakky. Tapi tidak ada apapun di sana.
“Gue sih nggak masalah lo mau kayak gimana. Asal jangan plin-plan aja. Kasian sama Hayyan. Kasian sama Ati. Kasian juga sama diri lo sendiri kalo kesempatannya tiba-tiba udah lewat dan lo gak bisa apa-apa.”
Zakky menepuk bahu Yudha, berbisik 'makasih' diikuti, “Gue juga nggak mau sampai begitu. Tenang aja.”
***
Semesta punya cara sendiri menabur garam di atas luka yang belum kering sempurna. Barangkali dunia memang senang bersenda-gurau dengan Hayyan yang kepayahan bangkit. Mungkin menurutnya, Hayyan belum cukup remuk; belum cukup pecah. Mungkin menurutnya, masih ada banyak langkah menuju merdeka. Merdeka dari rasa sakitnya, merdeka dari ingatan menyakitkan di kepalanya.
Jemari Yosef menjadi satu-satunya hal yang membawa Hayyan kembali merasakan kedua kakinya. Ia bisa merasakan jantungnya berdenyut nyeri, ia bisa mendengar bisikan hatinya menyuruh Hayyan lari. Tapi ia tetap diam, memandang pada lelaki itu seolah tidak ada lagi hal yang menarik di dunia ini selain ia dan langkah yang lelaki itu bawa mendekatinya.
“Hai, Yan. Lama nggak ketemu.”
Suara Guntur Gumilang masih sedalam yang terakhir Hayyan ingat. Matanya menjelajahi Guntur dengan khidmat, mengais perubahan-perubahan kecil yang kedatangannya tidak ia bersamai. Tidak ada yang berubah dari Guntur, tapi entah bagaimana auranya menjadi semakin dewasa. Ada nyeri dalam hatinya kala Hayyan sadar bahwa lelaki itu baik-baik saja tanpa kehadirannya.
“Hai,” Hayyan membalas. Suaranya sedikit tercekat. “Iya. Udah lama banget nggak ketemu ya, Tur? Sehat kamu?”
Guntur mengulas senyum. “Alhamdulillah, sehat.”
Hayyan bisa mendengar desisan Yosef berbisik, 'gue doain cepet mati', yang ditimpali Hayyan dengan sikutan di lengan kanan. “Findi mana?” Hayyan bertanya, memperhatikan air muka Guntur yang sedikit berubah menggelap.
“Lagi sama temen segengnya. Gue mau ngobrol sama lo. Ada waktu?”
Belum sempat Hayyan menjawab, Yosef melingkarkan lengah di bahu sahabatnya dengan gestur protektif. Mata kucingnya memandang garang ke arah Guntur, sedang yang dipandang hanya menggigit bibir lantaran seratus persen mengerti kenapa wajah galak itu Yosef pasang terang-terangan.
Hayyan mengangguk. Pelan-pelan ia melepaskan lingkaran tangan Yosef di bahunya sambil menjawab, “Boleh. Tunggu di luar aja, gue mau ngomong sama Yosef dulu.”
Guntur tidak membantah. Mungkin karena ia mengerti bahwa dirinya tidak berada dalam posisi yang berhak memaksa. Cowok bertubuh bidang itu pamit lebih dulu, meninggalkan Hayyan yang dihujani tatapan penuh tanya Yosef dan ketidaksetujuannya yang tampak terlalu kentara.
“Mau ngapain, sih?” ketus Yosef. “Nanti lo balik-balik ke sini, nangis. Gue gak mau ya liat lo nangis-nangis lagi kayak waktu itu karena alasan yang sama.”
Kedua sudut bibir Hayyan terangkat membentuk senyuman. “Udah kayak Bunda aja, lo.”
“Jiwa protektif gue mendadak menggelora kalau udah bawa-bawa lo sama dia,” kilah Yosef. “Mau apaan lagi sih yang diomongin? Udahlah, Yan, biarin aja semuanya kelar.”
“Justru karena gue mau semuanya kelar, Sef. Gue harus ngomong sama dia. Percaya aja sama gue, OK? Gue bakal baik-baik aja. We need this. I need this.”
Yosef membuka mulut, bersiap membantah sebelum sorot mata Hayyan memaksanya menelan semua bantahan mentah-mentah. Cowok yang lebih kecil itu membuang napas, memilih mengalah pada kekeraskepalaan sahabatnya. Mungkin Hayyan memang membutuhkan ini; mungkin ia membutuhkan alasan untuk menyerah meski hanya satu. Mungkin ia memang butuh penjelasan, sebuah arah agar ia bisa benar-benar pindah dari titik tempatnya berdiam sejak dua tahun lalu.
“OK. Tapi kalau dia bikin lo jauh lebih parah dari yang udah-udah, I swear to God I'll kick his balls with my own foot.“
Hayyan hanya tertawa.
***
Kalau pandang bisa meninggalkan jejak, Yudha pikir mungkin kepala Guntur sudah penuh lubang sejak cowok itu mengambil langkah pertama mendekati Hayyan. Bulu-bulu halus di pundak Yudha meremang kala ia melihat bagaimana Zakky menatap Guntur; intens dan penuh kewaspadaan. Ia melihat bagaimana rahang cowok itu mengeras. Yudha pikir, satu saja gerakan mencurigakan dari Guntur, dan sabuk hitam taekwondo Zakky tidak lagi hanya tinggal cerita.
“Kalemin atuh, Lur. Udah kayak mau nelen orang aja, lo.” Alde berkomentar sambil menahan tawa. Dalam kepala, cowok itu sibuk menghitung waktu; kapan kira-kira terakhir ia lihat Zakky sebegini cemburu?
“Makanya buruan dikasih tanda. Biar predatornya pada tau diri,” Alde menambahkan lagi. “Lo, sih, kelamaan maju mundurnya. Nggak semua hal punya kesempatan kedua, nyaho, teu?“
“Maneh ngomong wae, lila-lila nu diteureuy ku si Zakky lainna si Guntur tapi maneh, De. Cik atuh, jempe. (Lo ngomong mulu, lama-lama yang ditelen si Zakky bukannya si Guntur tapi lo, De. Diem, dong).” Naufal membalas.
“Tegang amat, Zak?” Yudha menyentuh bahu Zakky, berniat memberi stimulus ketenangan sebab aura yang sahabatnya keluarkan sedikit membuatnya ketakutan. “Inget, bukan siapa-siapa lo, tuh.”
Zakky menarik napas. Ia tahu betul arti kalimat itu, bukan siapa-siapa. Zakky sadar posisi, ia tahu diri. Tapi ada getar tidak nyaman di bawah sendi-sendinya melihat Hayyan dihadapkan pada masa lalu yang tidak dapat ia lepaskan. Zakky ingin memonopoli Hayyan untuk dirinya sendiri. Ia tidak sudi, tidak mau berbagi. Tapi barangkali Hayyan bahkan tidak punya tempat bagi Zakky di hatinya yang sudah patah. Kalimat Yudha hanya satu dari banyak hal yang menamparnya pada kenyataan itu.
“Daripada lo sibuk ngebolongin kepala si Guntur,” Naufal menepuk bahu Zakky dua kali. “Mending urusin yang itu, tuh.”
Perlu tiga detik bagi Zakky untuk mengalihkan pandang. Meninggalkan Hayyan dan Guntur menyelesaikan urusan apapun yang menggantung di antara mereka berdua. Ogah-ogahan, ia menoleh, mengikuti arah yang Naufal tunjukkan. Hanya untuk menemukan Melati berjalan padanya dengan senyum secerah matahari.
“Good luck aja deh, Bro.” Alde berbisik, sebelum meninggalkan Zakky sendirian bersama Naufal dan Yudha.
“Zakky!” suara riang Melati menyapa telinganya, meredakan sedikit amarah yang menggelora di hatinya hanya beberapa detik yang lalu.
Zakky mengulas senyuman tipis. “Hai, Ti. Udah lama di sini?”
Melati berhenti tepat dua langkah di hadapan Zakky, masih dengan senyuman manis yang dulu sekali pernah ia puja setengah mati. Poninya menggantung di dahi, dan Zakky tidak mau berdusta, Melati cantik sekali malam ini.
Tapi ada yang berbeda dari mereka. Ada yang berubah dari cara jantungnya berdebar di dekat cewek itu. Ada yang janggal dari udara di sekeliling mereka berdua. Tidak ada antusiasme, tidak ada jantung yang berpacu gila-gilaan, tidak ada rasa gugup. Yang tersisa hanya sebuah perasaan gamang.
“Aku hubungin kamu dari siang, lho. Tapi kamunya nggak bales terus,” nada suara Ati sedikit merajuk, “tadi ke sini sama siapa?”
Zakky melirik ke arah Hayyan lagi, hanya untuk menemukan bahwa orang yang ia cari sudah tidak ada di tempat yang sama. Kekhawatiran menyebar di hati Zakky, menjalar sampai ke setiap inci tubuhnya. Kemana Hayyan? Mungkinkah ia bicara pada Guntur lagi? Apa yang mereka berdua lakukan di tempat yang tidak bisa ia amati?
Dan lagi, kenapa Zakky tidak bisa berhenti mencemaskan hal ini?
Melati pernah jadi tempatnya untuk pulang. Muara dari segala rasa cemas dan khawatirnya. Orang yang pertama kali ia ingat sewaktu membuka dan sebelum menutup mata. Melati pernah menjadi entitas paling berharga di hidupnya, yang Zakky pikir akan tetap menduduki singgasana itu sampai selamanya. Selamanya yang tak bisa ia takar berapa lama.
Tapi bulan-bulan yang ia habiskan bersama Hayyan merubah segalanya.
“Hayyan.” Zakky mengucapkan nama itu dengan syahdu, menyelipkan sepenggal perasaan abstrak yang berkecamuk di dalam dadanya setiap kali ia mengingat si pemilik nama.
Melati mengerutkan dahi. “Hayyan yang mana? Aku kenal orangnya?”
“Hayyan Nandhana. Temennya Yosef, yang senyumnya manis.”
Yang senyumnya manis adalah sinyal bagi Melati bahwa orang yang Zakky sebut namanya ini sedikit istimewa. Razakky Bhadrika yang ia kenal tidak akan pernah terang-terangan memuji orang lain; tidak bahkan teman-teman terdekatnya sendiri. Sinyal di kepala Melati memintanya untuk berhati-hati pada pemilik nama Hayyan ini. Dua tahun adalah waktu yang lama, pikir Melati. Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk berubah.
“Senyumnya manis?”
Zakky mengangguk, mendadak antusias. “Iya. Anak yang sering nulis di mading itu, yang dulu aku bilang tulisannya bagus.”
Kerutan di dahi Melati semakin dalam. “Kamu bukannya dulu gak pernah ngomong sama dia?”
“Pernah, kok. Beberapa kali pas rapat OSIS. Terus ngobrol panjang di pesta kelulusan—”
“Kelulusan?” potong Melati.
Zakky mengangguk. “Cuma ngobrol ini dan itu, terus pulang bareng. Habis itu ketemu—”
Melati memotong lagi, “Pulang bareng?”
Zakky menghela napas. “Iya.”
“Kalian deket baru-baru ini aja, kan?”
Zakky mengangguk lagi. “Baru deket belakangan ini tapi aku berasa udah kenal dia lama banget. Seenak itu anaknya, dan senyaman itu aku sama dia—”
“Aku suka kamu.”
Hening. Kata-kata yang hendak Zakky suarakan mendadak jatuh berserak di tengah keheningan yang merebak. Ia memandang Melati dengan alis yang tanpa sadar berkerut dalam. “Sori. Apa?”
Melati mengulas senyum. Senyum yang cewek itu harap bisa mengembalikan dua tahun yang ia sia-siakan. Senyum yang ia pikir punya kekuatan magis yang sama di hadapan Razakky Bhadrika. Senyum yang tidak lagi berdampak apa-apa pada Zakky dan hatinya yang punya pemilik baru.
“Aku suka kamu, Zak.”
Oh, betapa kalimat itu datang saat segalanya sudah sangat terlambat.