Berjalan Pelan-Pelan

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Sewaktu Hayyan berjalan keluar dari rumah Aziz, Zakky sudah menunggu dengan sabar di depan gerbang rumah; bersandar pada motor kesayangannya. Senyum Hayyan tanpa sadar berkembang lebih lebar. Zakky tampak tampan hari ini (bukan berarti ia biasanya tidak tampan, ya!). Dan untuk beberapa detik yang singkat, Hayyan menemukan dirinya sedikit sulit percaya kalau cowok ini benar-benar menyukainya, benar-benar sedang menunggunya. Ia berlari-lari kecil ke arah Zakky yang masih lurus memandang pada langit malam yang menghampar hitam kebiruan, tidak menyadari kedatangan Hayyan.

“Hei!” Hayyan berujar tiba-tiba, dibarengi tangan yang ia gunakan menarik lengan jaket Zakky. Samar-samar bau sitrus tercium, bercampur dengan parfum beraroma coklat yang Hayyan bantu pilihkan sewaktu Zakky pergi ke Indomaret beberapa hari lalu. “Nunggunya udah lama?”

Lelaki yang lahir satu tahun satu bulan lebih dulu itu menoleh. Ada ekspresi keterkejutan di wajahnya, yang seketika luntur oleh afeksi. “Ngagetin aja, kamu,” keluhnya.

Jemari Zakky yang sedikit dingin meraup jari-jari Hayyan dengan kasual, seolah mereka sudah berjuta-juta kali melakukan ini (yang mana dibuat sedikit hiperbolis). Aneh sekali, ini bukan pertama kalinya mereka berpegangan tangan. Tapi percik-percik kembang api di perut Hayyan tidak pernah kenal kata berhenti. Seolah segala sesuatu yang mereka lakukan selalu punya rasa pertama; padahal faktanya bukan hal baru.

“Baru sampe lima menitan lalu, lah. Tadi lumayan macet ke arah sini. Karena mau libur kali ya, besok?”

Hayyan terkekeh, memperdalam genggaman tangan mereka. “Mungkin? Tapi da Bandung mah tiap hari macet terus.”

Zakky tidak menampik. “Belum makan, 'kan? Mau makan dulu? Sekalian ngomongin soal chat yang tadi kalau kamu mau.”

“Boleh. Kebetulan aku emang udah salatri, mana bahasan tadi lumayan banyak.”

Zakky hanya terkekeh, tidak menimpal. Ia mengambil helm yang ia gantung di spion motor, lantas menyerahkannya pada Hayyan. “Lepas dulu tangan saya-nya, ini pake dulu helmnya,” kata Zakky.

Tidak ada balasan dari Hayyan selain jemari yang terlepas dan rona-rona merah tipis di atas pipi. Hayyan memakai helm, kemudian menghabiskan sisa waktunya berdiri sambil menunduk, mendengarkan renyah tawa Zakky terlantun di udara.

“Cakep bener emang lo ya, Hayyan. Pacaran di depan pager rumah orang.”

Itu Aziz, dengan kaos putih polos dan kolor abu-abu tua, berdiri di gerbang sambil memandang Hayyan dan Zakky dengan tatapan menghakimi. Bercanda, tentu saja, tapi tetap sukses menambah warna di pipi Hayyan yang kian waktu kian bertambah matang.

Punten, A,” kata Zakky, masih dengan tawa yang gagal ia redam. “Numpang dulu, ya, biarin telat izinnya.”

Aziz gantian tergelak. “Santai aja, A. Maafin ya pulangnya rada lama.”

“Gapapa, A. Kalau gitu kita pamit dulu, ya?” Zakky beranjak menaiki motor, menyalakan mesin, lalu menunggu Hayyan naik.

“Makasih ya Ziz, udah mau direpotin,” kata Hayyan, masih dengan ekspresi malu.

Aziz melambaikan tangan. “Santai aja, Yan. Hati-hati di jalan, ya.”

Motor berbunyi halus, Hayyan melambai lagi, sebelum roda-roda kendaraan membawanya dan Zakky menjauhi pagar rumah Aziz yang perlahan tertutup.

***

Bebek Om Aris di Antapani menjadi pilihan bagi Hayyan dan Zakky menghabiskan makan malam. Tempat itu cukup ramai sewaktu Hayyan dan Zakky datang, beruntungnya menyisakan dua meja kosong. Kedai bebek ini jadi kedai ketiga yang Hayyan dan Zakky datangi bersama. Ketiga setelah kedai di Dipatiukur dan Bojongsoang. Sekarang kalau Hayyan pikir kembali, mereka sudah mengunjungi cukup banyak tempat.

“Kamu sama aku punya banyak banget kesamaan nggak sih, Zak, kalau dipikir lagi?” Hayyan membuka, menggeser gelas teh manis miliknya dan Zakky lebih dekat. “Coba pikir, deh. Kamu sama aku sama-sama suka buku, sama-sama suka ngopi, sama-sama suka jajan juga.”

“Tapi banyak nggak samanya juga,” timpal Zakky. “Mau tau nggak, itu tandanya apa?”

“Apa?”

Sudut-sudut bibir Zakky tertarik membentuk seringai. “Tandanya emang kamu tuh paling cocok sama saya.”

“Dih, gombal!” Hayyan tergelak.

Zakky ikut tertawa, “Omong-omong soal Ati, ini kamu baca sendiri aja chatnya, ya?”

Hayyan menyudahi tawa, gantian mengerutkan dahi kini. “Nggak apa-apa emangnya?”

“Nggak,” kata Zakky kalem, “kalau mau liat yang lain juga nggak masalah. Ngomong dulu, tapi.”

“Nggak, ah. Yang lain itu 'kan privasi kamu. Aku cuma kepo sama Melati doang.”

Zakky tidak menimpal lagi. Ia merogoh saku, menarik keluar ponsel, lantas menyerahkannya pada Hayyan. “Nggak ada yang penting banget, sih. Dia cuma tanya soal kamu aja.”

Mata Hayyan menelusuri room chat Melati, membaca dengan seksama kata demi kata, sembari berusaha untuk tidak berpikiran negatif. Apa pula yang layak ia khawatirkan sewaktu Zakky dengan sepenuh hati berterus-terang begini padanya?

“Dua tahun teh ternyata waktu yang panjang banget ya, Zak?” Kata Hayyan tiba-tiba. Ia geser ponsel Zakky mendekat pada si empunya sambil memandang netra jelaga itu dalam-dalam. “Aku tiba-tiba mikir, kalau sebenernya cobaan manusia itu nggak terletak di masalah melupakannya, tapi masalah ikhlas atau nggaknya. Pada akhirnya kalau hati udah bisa nerima, prosesnya tuh ternyata nggak seberat yang kita duga.”

“Dan terbiasa,” Zakky menambahkan. “Dua tahun itu waktu yang panjang buat jadi terbiasa sama keberadaan dan ketiadaan sih, Yan. Ketika kita udah di titik itu, segala hal yang kerasa ngeberatin bakal kereset.”

“Aku kadang masih sering nggak percaya kalau kamu beneran suka aku, Zak. Kayak... apa, ya? Guntur juga dulu bilang gitu. Tapi liat setelahnya gimana?” Hayyan menarik napas panjang. “Sejujurnya aku masih sering takut kalau kamu bakal berubah pikiran. Kalau yang kita lakuin sekarang nggak lebih dari karena kamu lagi ragu-ragu aja. Mungkin kamu salah ngartiin, atau gimana. Hal-hal negatif kayak gitu masih terus aja kebayang-bayang sama aku. Aku ini beneran nyusahin banget kalo dipikir-pikir.”

Hayyan mengakhiri pengakuan panjang itu dengan selantun tawa. Zakky membuka mulut, bersiap menampikㅡatau minimal memberi Hayyan sedikit pengertian. Tapi belum sempat sepenggal kata itu lolos dari mulutnya, pesanan mereka tiba. Hayyan tersenyum riang melihat bebek dan kol gorengnya datang, mengusir raut masam yang sempat terpasang di wajahnya sedetik lalu.

“Makasih, A,” kata Hayyan, yang dibalas anggukan si pelayan. Zakky selalu suka cara Hayyan berterima kasih pada setiap jiwa yang mereka jumpa. Pada tukang parkir Indomaret, pada pengamen di lampu merah, pada pelayan di tempat-tempat makan yang mereka sambangi, pada barista di kedai kopiㅡpada hampir semua orang, termasuk mereka yang kerap dilupakan jasa-jasa kecilnya.

“Yan,” Zakky memanggil. Hayyan, yang baru saja memasukkan sesuap penuh nasi ke dalam mulut, mengangkat kepala.

“Makasih, ya? Udah ngasih tau soal keraguan kamu sama saya,” ujar Zakky, dibumbui senyuman tipis. “Jangan ragu buat ngomong terus terang sama saya. Kita jalan pelan-pelan aja. Nggak masalah ragu sama saya, manusiawi. Justru jadi PR buat saya, kalau saya perlu bikin kamu yakin. Baby steps, OK?”

Iris jelaga milik Zakky berpendar di bawah cahaya jingga lampu ruangan. Lurus, tulus. Hayyan bisa merasakan hatinya menghangat perlahan-lahan. Hayyan selalu penasaran pada cara Zakky membacanya, pada cara cowok itu mengeja kata demi kata yang ia butuh dengarkan. Mungkin Zakky benar. Mungkin yang Hayyan butuhkan untuk jiwanya yang senantiasa ketakutan adalah sosok yang tidak pernah lelah menyakinkan. Sosok seperti Razakky Bhadrika.

“Aku udah selesai sama Guntur,” kata Hayyan, “dan kamu bukan Guntur. Aku mau mulai sama kamu.”

“Dengan senang hati saya terima.” Zakku tertawa. Tawa lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya. Tawa lebar yang belakangan ini selalu menemani Hayyan menghadapi hari-hari melelahkan. Tawa lebar yang Hayyan harap akan selalu ia lihat. Besok, lusa, dan berhari-hari setelahnya.