Orang yang Tidak Pernah Berhenti Berlari
🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Jam di pergelangan tangan gue menunjuk angka sembilan kurang lima belas sewaktu mesin motor berhenti di gerbang hitam tinggi kosan Hayyan. Selagi berkendara, gue merasa seperti mengapung. Seolah ban motor gue tidak sedang menggilas aspal, seolah segala hal di sekitar gue tidak lagi menjadi entitas yang nyata di ruang tempat gue berada. Segala hal terasa asing. Apakah itu udara yang menghantam permukaan kulit gue, suara lalu lintas yang selalu ramai, atau bau knalpot bis kota yang tidak bisa dikenali hidung gue dengan benar sekalipun gue tepat ada di belakangnya.
Segala sesuatu seperti tidak ada. Seperti realita gue sudah memutuskan untuk memisahkan diri dengan ruang dan waktu yang sebelumnya gue tempati.
Gue menekan tombol hijau, memanggil kontak Hayyan. Tangan gue yang gemetar tidak sanggup mengetik di ruang percakapan WhatsApp. Ketika gue turun dari motor tadi, rasanya payah sekali. Gue jatuh duduk di sisi motor, membiarkan celana hitam panjang yang gue pakai bergesekan dengan tanah yang kotor. Rasa-rasanya, setelah segala hal yang berdesakan di kepala gue minta diberi perhatian, pakaian yang tidak lagi bersih bukan persoalan penting lagi.
Gerbang berdecit terbuka, menampilkan Hayyan dengan sebuah baju panjang bergaris dan celana panjang abu-abu. Gue bisa mendengar deru napasnya sedikit tersengal di tengah minim penerangan jalan kecil ini. Gue bisa merasakan jantung gue perlahan-lahan menemukan ritmenya kembali. Lalu entah bagaimana gue bisa memproses kembali rasa menggelitik sewaktu angin malam membelai kulit gue, atau suara tonggeret yang samar-samar datang dari baris pepohonan di sepanjang jalan utama.
“Astagfirullah, Zak. Ngapain duduk di tanah gitu?” suara Hayyan terdengar terkejut. Dia berjalan mendekati gue dengan terburu-buru, sebelum tangannya kemudian menyusup di antara poni depan gue; mengecek suhu di kening gue.
“Capek berdiri,” kata gue sambil tertawa.
Hayyan berdecak. Setelah memastikan bahwa suhu tubuh gue normal, dia membantu gue berdiri. Gue sedikit terkejut ketika tahu bahwa keberadaan Hayyan punya efek magis sebesar itu; meski kami baru akrab mungkin hanya beberapa bulan ini. Gue tidak pernah dengan mudah membiarkan orang masuk ke hidup gue yang berantakan, tapi Hayyan punya caranya sendiri untuk membuat gue mabuk. Lalu tanpa ragu dan seratus persen sadar, gue dengan sukarela memberinya akses ke bagian paling rapuh yang selama ini gue simpan sendiri.
Sekarang saat gue memikirkan ini, kenapa gue ajak dia pergi waktu itu? Kabur menjauh dari segala realita yang sejujurnya tidak sanggup gue hadapi sendiri. Menghilang sejenak, menggunakan waktu gue yang terbatas untuk menangisi diri gue sendiri. Hayyan ada di sana bersama gue di titik terendah yang pernah gue perlihatkan pada manusia lain selain Melati. Hayyan juga orang yang gue cari saat gue butuh pegangan dan kehilangan sandaran.
Sejak kapan Hayyan Nandhana punya posisi sepenting ini di hidup gue?
“Maaf, ya? Saya ganggu waktu tidur kamu, jadinya.”
Hayyan mendengus. “Apaan, sih. Kayak sama siapa aja segala minta maaf. Masuk, yuk? Aku buatin mi rebus spesial deh, buat tamu dadakanku ini.”
***
Kamar Hayyan didominasi warna biru tua, dengan dinding dihias dua styrofoam warna putih yang ditempeli macam-macam kertas. Ranjangnya cukup lebar, dengan seprai bermotif polkadot warna hitam-putih. Ada rak buku kecil, meja belajar, meja pendek dengan dispenser dan rice cooker di atasnya, dan kaca pendek menggantung di dekat jendela. Kamar kosan standar yang benar-benar mencerminkan Hayyan Nandhana. Sederhana dan menyenangkan.
Hayyan pergi ke luar segera setelah gue meletakkan tas selempang kecil gue di atas meja belajarnya. Izin buat mi, katanya, meninggalkan gue asyik memperhatikan kertas-kertas yang ditempel Hayyan di styrofoam miliknya. Ada beberapa tiket nonton yang sudah pudar dan usang tapi masih bisa gue baca, struk Pizza Hut, sebuah kertas yang dilipat dan dimasukkan ke dalam wadah plastik kecil, tiket masuk Borobudur, tiket masuk festival Saka tahun dua ribu tiga belas, tanda tangan Ahmad Fuadi yang dilaminating dan dipajang seperti harta karun, dan beberapa struk belanja yang gue tidak tahu kenapa perlu ia pajang begitu.
Barisan buku Hayyan adalah hal kedua yang gue lihat. Ada beberapa buku dari penulis yang gue kenal; Sapardi, Eka, Pram, Jokpin, Dee, dan beberapa novel teenlit yang belum pernah gue baca. Ada buku-buku pendukung kuliah ditumpuk di sudut. Kebanyakan soal anatomi makhluk hidup, genetika, teori Kimia dan Fisika dasar, Statistika, Perancangan Percobaan, buku budidaya, dan beberapa buku latihan soal TOEFL yang semuanya tidak seukuran. Gue sedikit kagum pada bagaimana kamar ini (juga segala isinya) bisa menjadi representasi sempurna dari Hayyan Nandhana yang gue kenal selama ini.
“Punten, Kang. Ini mi rebusnya udah jadi. Sekalian saya kasih bonus teh manis anget, nih. Meski sebenarnya nggak perlu karena saya sendiri juga udah manis.”
Gue tertawa menanggapi candaan Hayyan. Tangan gue terulur membantu cowok itu meletakkan mangkuk dan gelas teh manis di atas lantai. “Jadi ngerepotin, nih, saya.”
Hayyan mendengus lagi. Dengusan kedua yang gue dengar malam ini. “Santai aja, ih! Kayak sama siapa aja.”
Benar. Kadang gue lupa kalau gue dan Hayyan sudah tidak lagi berada di fase 'orang asing' bagi satu sama lain. Entah bagaimana dimulainya, entah seperti apa prosesnya, gue dan Hayyan sudah menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Tapi sebagai apa gue dan Hayyan sekarang? Teman berbagi? Orang yang saling mengisi kekosongan? Gue tidak pernah merasa perlu mendefinisikan hubungan gue dengan seseorang, tapi tidakkah posisi gue dan Hayyan agak sedikit ambigu? Gue tidak menangis sesegukan di depan seorang teman. Seorang teman tidak bisa membuat gue tenang hanya lewat sebuah kehadiran.
Gue mungkin tahu kenapa. Hanya tidak punya nyali mengaku saja.
Mi yang gue masukkan ke dalam mulut terasa sedap dan hangat. Teh manis yang gue teguk membuat tenggorokan gue tidak lagi terasa seperti tercekat. Pelahan-lahan, tangan gue berhenti gemetar. Gue hanya terus makan dan tidak bicara, tapi beban yang menggelayuti bahu gue di jalan dari Sarijadi ke Jatinangor terasa menguap bersama asap putih tipis yang mengepul dari permukaan mangkuk dan gelas.
***
Hayyan berbaring di ranjangnya dengan tangan kanan menggenggam erat jemari gue. Mulutnya tidak berhenti bersenandung sejak tadi. Mulai dari Rindu-nya Banda Neira, Untuk Hati yang Terluka dari Isyana, sampai di Vertebrate Song-nya Tigapagi. Sesekali, ibu jari gue akan mengusap punggung tangan Hayyan, dan akan dibalasnya dengan cubitan pelan di buku tangan gue. Gue tidak lagi merasakan berapa lama waktu berjalan. Gue pikir waktu tidak lagi terikat pada kami malam itu, dan tidak ada yang terasa nyata selain kehadiran Hayyan dan ruangan yang kami tempati berdua.
“Saya nggak ngerti kenapa Papa saya terus memelihara cintanya untuk perempuan yang nggak pernah menganggap dia ada. Sejak kecil saya benci sama Papa yang tidak berdaya,” gue mulai buka suara setelah mungkin berjam-jam habis tanpa percakapan berarti. “Tapi mungkin seperti itulah Papa, dan sikap itulah yang tanpa sadar saya ikuti. Saya pikir, mungkin ini memang mengalir di darah saya, ketidakberdayaan ini.”
Genggaman Hayyan di tangan gue mengerat. Gue bisa merasakan bagaimana telapak tangannya basah oleh keringat. Tapi gue terlalu takut untuk melihat dia sekarang. Jadi yang gue lakukan hanya melepas kekehan kecil, sambil terus memandang pada entah apa.
“Saya nggak tahu gimana caranya orang-orang nunjukin kasih sayang mereka. Saya pikir Papa sayang sama saya. Saya pikir kalaupun Mama nggak sayang saya, Papa bisa mengisi kekosongan itu. Sebelum kemudian saya sadar kalau Papa nggak sayang saya, beliau merasa bersalah sama saya.”
Hayyan beranjak bangun, lantas duduk dekat pada gue. Hawa panas yang keluar dari setiap inci tubuhnya mengurangi rasa pahit yang menyebar di dada gue.
“Melati adalah orang yang ngisi kekosongan saya. Sebagai anak baru gede yang haus kehangatan, kedatangan Melati ke hidup saya sama aja kayak nyuntik harapan baru; harapan yang udah saya buang jauh-jauh awalnya. Melati mengerti saya saat saya bahkan nggak bisa ngerti diri saya sendiri. Melati ada buat saya saat saya percaya seluruh dunia udah ninggalin saya. Melati ada buat saya di waktu-waktu terburuk di hidup saya.
“Tapi manusia itu serakah, Yan. Saya mau lebih, saya mau Melati ada terus untuk saya. Saya mau menggantungkan semuanya ke dia saat dia mungkin nggak sekuat itu buat nopang semua kepahitan saya. Ada hal-hal yang harus dia kejar, ada masa depan yang harus dia rencanakan, dan ada beberapa hal di hidup dia yang nggak bisa dia satukan dengan saya. Saya tahu kenapa dia milih pergi; saya sepenuhnya sadar kenapa saya ditinggalkan.”
“Karena itu selama ini kamu nggak pernah nyariin dia? Karena kamu percaya kalau dia pergi dari kamu karena kamu emang layak ditinggalin, gitu?”
Gue mengangguk, mengulang kembali bagaimana malam itu Melati bilang pada gue kalau dia akan pergi jauh dari Bandung. Jauh dari gue. Jauh dari setiap kenangan yang kami buat berdua selama ini. Melati akan menempuh jalan yang berbeda dari gue, dan malam itu adalah persimpangan kami. Gue ingat bagaimana gue marah dan kecewa padanya, bagaimana gue marah dan kecewa pada dunia karena sekali lagi; satu lagi kebahagiaan gue dia rampas dan lucuti seenak hati.
Hal yang gue sadari selanjutnya adalah bagaimana tangan Hayyan melingkar di bahu gue. Embusan napasnya terdengar dengan jelas di telinga gue, sebab Hayyan menyembunyikan wajahnya di perpotongan antara bahu dan leher gue. Posisi ini tidak nyaman, tapi gue tidak bergerak. Diam-diam gue menikmati pelukan ini, menikmati kehangatan ini. Diam-diam asa yang sudah lama gue tinggalkan itu kembali lagi.
“Jangan gantungin kebahagiaan kamu ke orang lain, Zak. Manusia akan berubah, dan ketika semua perubahan itu terjadi; satu-satunya yang bisa kamu andalkan hanya diri kamu sendiri.”
Tangan gue terasa kebas, tapi gue susah payah angkat dia untuk menghadiahi usapan-usapan ringan di bahu Hayyan. Bahu gue terasa basah, dan tanpa bisa gue antisipasi, Hayyan sudah terisak di sana. Ada rasa getir bercampur lega di hati gue sewaktu gue dengar isakan Hayyan yang terus berlanjut. Gue merasa berada di antara tangis dan tawa saat sadar bahwa Hayyan sudah mewakili tangisan yang selalu gue simpan sendiri.
“Jangan nangis, dong,” kelakar gue, diikuti kekehan kecil yang terdengar seperti sedang menggoda.
Hayyan mendesis protes, barangkali malu sebab ketahuan menangisi masalah gue. Tapi tangisannya masih tidak berhenti untuk beberapa menit kemudian, dan gue (meski luar bisa sakit bahu) membiarkannya menumpahkan setiap tetes air matanya di pundak gue. Hayyan terus menangis, dan gue hanya diam merasakan kelegaan yang perlahan-lahan menyebar di dada.