ghouldens

I write so I won't die without leaving a trace.

Di sini, Nara chat pakai akun Rama, tapi aku bakal tulis Nara aja, ya.

Rama: Kata gue sih ini bantuin temen lu pada, takut keburu gila. Rama: Dari tadi cuma gulang-guling doang gak bisa tidur soalnya besok mau membonceng si doi. Rama: (sent picture). Ira: Anjir, bukan temen gue. Dana: Berangkat jam berapa, Mang? Rama: Jam 7 katanya, ngejemput bebi dulu ke kosan. Rama: Anaknya lagi gak pegang HP. Ajun: Semangat. Inget, pinjem AXE cokelat punya si Dana biar lu wangian dikit. Nara: Biasanya gue wangi, goblog. Ini Nara. Ajun: Santai aja, Bro. Ira: Helm gimana, aman? Ira: Jas hujan? Ira: Apa lagi, sih? Adit: Mental, wkwkwk. Nara: Semua aman kecuali mental. Dana: Hati-hati, Mang. Biasanya jalan ke Sumedang Selatan suka licin kalau banyak hujan gini. Dana: Pelan-pelan aja jangan ngebut-ngebut. Dana: Si Kang El bisa bawa motor gak, sih? Ira: Gak tau. Ira: Tapi masa iya mau gantian. Ira: Tunjukkan kejantananmu, Sobat. @Nara Nara: Muka lu jantan. Ajun: Santai broooo.

Ajun: H-1 pendekatan Nara. Minta tolong doanya bro biar lancar jaya dan senantiasa berakhir di pelaminan. Nara: Ngomong jangan sembarangan anying lu. Pelaminan bapak lu. Ajun: Udah pernah ke pelaminan bapak gue mah. Silakan yang belum aja. Rama: Apa-apaan pendekatan, coba bisikin gue. Si Nara ini kalo balik ke kosan gak pernah cerita sama sekali. Kukira aku istimewa. Ira: Anjir, lu tuh harus cerita, bro. Biar banyak yang doain. Nara: Apaan lah. Lu pada jangan berisik lah anying, gue jadi berharap. Kayak yang mau tanggung jawab aja kalau gue patah hati. Ajun: Namanya hidup mah harus banyak positive thinking. Ira: Jadi hari sabtu nanti si Nara sama gebetannya mau survei ke Sumedang selatan berdua doang. Doain supaya ada sesuatu di jalan. Nara: Goblok lu, ngedoain gue celaka. Ira: Bukan gitu, bro. Maksud gue tuh ada obrolan atau apa gitu biar lu makin deket. Suuzon aja lu sama gue. Adit: Gaskeun aja, masa iya mau diem terus. Kapan jadiannya kalo gitu mah. Nara: Kalo dianya mau mah malem nanti jadian juga gue mau. Ajun: Makanya bautlah dia suka padamu, anying. Motor lu udah dicuci belum? Jas hujan cadangan dibawa. Ira: Jaket yang seminggu kemarin dipake dicuci aja, pake yang baru. Harus wangi lu tuh, sekalipun gue paham lu suka males mandi. Eta AXE cokelat punya si Dana dipake aja. Rama: Anjir apa-apaan nyuruh pake punya orang, wkwkwk. Gaskeun aja lah, Nar. Gue doain biar jadi. Nanti kalau udah jadian bantuin gue, ya. Adit: Sepupu gue gak akan suka sama lu. Rama: Anjir, lu sebagai calon sepupu ipar bukannya ngedukung. Gak supportif banget. Nara: Gue agak panas dingin, anjir. Takut dianya ilfeel ke gue, gimana ya? Ajun: Gak akan. Percayalah pada popularitasmu sebagai vokalis Langit Biru. Rama: Band flop. Ira: Anying. Adit: Band flop gak pernah manggung. Ajun: Gimana dong praktikum terus, bray. Lu semua harus ngerasain bikin jurnal dan laporan praktikum, lah. Rama: Suruh siapa masuk agro, dah, lu. Harusnya masuk psikologi aja. Ganteng dan cantik-cantik jurusan gue mah soalnya gak pernah ke sawah. Ajun: Ah, percuma ganteng sama cantik kalau yang lu suka gak suka balik sama lu mah, Ram. Nara: Anjir, playboy Faperta sudah bersabda. Rama: send picture. Ajun: send picture.

Author Notes:

  1. Erlang dan Nale sudah bekerja.
  2. This happen far far away in the future when the pandemic is over.
  3. Please note that it have been so long since I visited Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda. Mohon maaf kalau ada kesalahan deskripsi.
  4. Maaf atas segala typo di antara kita.

hatiku yang kau genggam sekarang, semula adalah ruang berantakan berisi ribuan ragu dan rasa takut. kau perlu menggunakan sepatu untuk mengitari isinya. aku menyisakan pecahan-pecahan kaca di permukaan lantai. sisa-sisa harap yang semula kupelihara, sebelum diluluh-lantakkan oleh semesta.

di samping lemari kelak akan kau temukan potret berlumut yang tidak lagi bisa kuingat apa gambarnya. mungkin itu senyuman ibuku. mungkin itu tawa kakakku. mungkin itu aku sebelum ayah menghadiahi makian dan luka-luka berwarna biru. mungkin itu kau. mungkin itu kita.

sewaktu aku kebingungan menjawab apa isinya, kau bilang: “anggap dia apa pun yang kau mau, maka dia adalah apa pun yang ada di kepalamu.”

kubilang, ruang itu adalah mimpi burukku. ruang itu berisi jejak-jejak yang tidak mau aku tapaki ulang. berisi rekam memori yang tidak sudi aku kenang kembali. sebelum kemudian kau bersikeras berkata bahwa perbedaan mimpi buruk dan mimpi indah terletak pada bagaimana perasaanku sewaktu bangun.

Grow As We Go

Read this while listening to: Grow As We Go by Ben Platt

Ooh, who said it's true That the growing only happens on your own? They don't know me and you

“Mobil kamu tumben banget wangi?” Tidak ada jejak rasa bersalah di wajah Nale selepas berkata begitu. Ia menutup pelan pintu Honda Brio keluaran tahun 2018 berwarna putih milik Erlang. “Eh, maaf. Maksudnya bukan berarti biasanya bau, Sayang. Tapi hari ini especially wangi, gitu.”

Erlang berdecak. “Alesan aja,” dengusnya sebelum menekan pedal gas, membawa mobilnya keluar dari komplek perumahan Nale.

Nale tertawa. Lantas ia maju mendekati lengan Erlang, mengecup bagian yang tidak tertutup kaos pendek warna abu-abu yang lelaki itu pakai; berupaya mengurangi rasa sebal pacarnya. “Kerjaanmu gimana, Sayang?”

“Masih gitu-gitu aja, nggak ada yang istimewa. Cuma perusahaan emang lagi goyang dikit karena kecelakaan kemarin.”

Nale mengecup lengan Erlang satu kali lagi sebelum duduk dengan benar pada joknya. “Yang ledakan kilang minyak itu?”

Erlang mengangguk.

It's okay. Kan udah ada yang urus. Hari ini kita pikirin soal kita aja, ya?”

Erlang tersenyum. Jalanan Bandung ramai sekali sore itu. Tampaknya semua orang sedang memilih untuk menghabiskan Sabtu malam di luar rumah. Tapi Erlang tidak terlalu peduli. Reservasi yang dibuatnya masih dua setengah jam lagi, dan sekalipun semesta tidak memberi kesempatan baginya membawa Nale makan malam, menghabiskan waktu bersama sudah jauh lebih berharga.

Erlang mengambil tangan kanan Nale, lantas ia bawa pada genggaman sambil sesekali mengecupi jari-jarinya, dan membiarkan rindunya buncah menghujani laki-laki yang dua bulan tidak bisa ia temui. Rasanya hari-hari Erlang berjalan luar biasa lambat berada jauh dari Nalesha. Padahal mereka sudah memasuki tahun keempat hubungan jarak jauh, memijak tahun kesepuluh keduanya bersama.

'Pacaran kok lama bener. Kalau KPR rumah, dikit lagi udah lunas, tuh,' adalah kalimat yang pernah Erlang dengar dari Sagara; sahabatnya yang setahun lalu melepas masa lajang bersama seorang laki-laki bernama Artias yang dikenalnya di tempat kerja. Erlang hanya bisa mencibir saja, sebab bukankah Yasa dan Krisna berkencan lebih lama dibanding Nale dan dirinya?

“Kangen,” kata Erlang, yang dibalas Nale dengan tawa kecil. “Kangen banget, asli. Kayak udah lama banget nggak ketemu kamu, Ca. I think I'm slowly losing my mind because I miss you too much.”

“Dih? Belajar dari mana, kamu, gombal begini?” Nale mencibir. Meski tak ayal ia pun menikmati afeksi Erlang yang jarang-jarang muncul ke permukaan.

Gantian Erlang yang tertawa. “Diajarin Gusti.”

“Gusti temen kamu yang suka kamu ceritain itu?” Nale bertanya sembari meremat jemari Erlang. “Yang kamu bilang tiap minggu ngajak nginep cewek beda-beda di Swiss-Belhotel Cirebon?”

Erlang mengangguk. “Kamu suka, nggak?”

Nale melepas genggaman, membiarkan Erlang kembali fokus mengatasi kemacetan yang mereka temukan di Jalan Jakarta. “Sekali-sekali aja, tapi. Jangan keseringan.”

Erlang tertawa lagi.

You won't be the only one I am unfinished, I've got so much left to learn

Sandyakala sudah tidak berbekas sewaktu mobil yang Erlang dan Nale kendarai memasuki pekarangan berbatu di Taman Hutan Raya Juanda. Ini belum memasuki musim hujan, masih pertengahan Agustus, tapi suhu dingin dari kawasan konservasi di bagian utara Kota Bandung menyambut Nale sewaktu ia melangkah keluar. Erlang mengulurkan tangan, menunggu jemari Nale menggapai dan masuk pada celah di antara jari-jarinya. Sebuah refleks yang selama sepuluh tahun mereka pelihara.

“Di ajak ke sini lagi dalam rangka apa, nih, Pak?” Nale menggoda. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang entah oleh suhu yang dingin atau oleh jelaga Erlang yang menatap padanya seolah ia adalah manusia paling penting di muka bumi.

“Napak tilas, ceritanya,” kata Erlang setengah bergurau. “Sebentar lagi udah mulai masuk, nih, Sayang. Yuk?”

“Jangan bilang kamu mau ngajakin aku makan di restoran lampu-lampu itu?” alis Nale menyipit sedikit; curiga.

“Ketebak banget, ya?” Erlang terkekeh.

I don't know how this river runs But I'd like the company through every twist and turn

Tempat makan kawasan VIP yang jadi lokasi Erlang dan Nale duduk menghabiskan malam merupakan sebuah area dengan kilau lampu warna-warni di bagian atas. Lantainya terbuat dari kayu; begitu pula meja dan kursinya. Ada sebuah lampu berbentuk bintang yang berpendar jingga di atas setiap meja, dan hampir semua meja terisi penuh sewaktu Erlang dan Nale duduk.

Tidak banyak menu yang bisa dipilih. Erlang memilih ayam penyet, dan Nale memilih bakso aci sebagai hidangan makan malam mereka hari ini. Tidak cukup fancy, tapi berada di Tahura sendiri setelah dari sini lah cerita mereka pernah bermula memberi sengatan-sengatan menyenangkan pada hati Nale. Segala sesuatu yang Erlang lakukan terasa sederhana, tapi meninggalkan bekas yang luar biasa.

Serius, deh. Pacarnya itu mungkin pakai guna-guna. Bisa-bisanya sepuluh tahun sudah berlalu dan Nale tidak pernah berhenti jatuh cinta padanya?

“Terakhir kita ke sini tuh kapan sih, Lang? Kuliah deh kayaknya? Semester berapa, sih?” Dengan mulut penuh, Nale melontarkan satu demi satu pertanyaan. Tidak terlihat malu sekalipun Erlang harus menyaksikan pipinya menggambung dan bibirnya merah oleh kuah bakso aci.

Mengambil selembar tisu dari dalam tas bahu yang dipakainya, Erlang mengelap sisa-sisa kuah di pinggiran bibir Nale. “Semester lima, pas nyempetin pulang sebelum magang.”

“Oh iya, bener. Ih, waktu itu juga udah ada ginian, kan? Tapi kita nggak kebagian tiket, terus jadinya ke sini pas siang-siang aja. Mana keujanan pas di Goa Jepang. Iya nggak, sih?”

Erlang terkekeh. “Iya. Apes mulu perasaan kalau ke sini, nggak tau kenapa.” Erlang mendorong piringnya yang sudah kosong, sebelum beranjak untuk mencuci tangannya di westafel terdekat.

I don't know who we'll become I can't promise it's not written in the stars But I believe that when it's done We're gonna see that it was better That we grew up together

Jam di pergelangan tangan Nale menunjuk angka delapan lewat tiga puluh sewaktu mereka berjalan ke pintu keluar. Nale bisa merasakan segalanya malam itu; suara tonggeret, sinar lampu yang sekilas mirip kunang-kunang, licin bebatuan pada jalan setapak, degup jantungnya, juga basah keringat pada telapak tangan Erlang. Malam ini ia merasa hidup. Bukan berarti Nale yang kemarin mati. Hanya saja ada yang berbeda dari cara Erlang memberi warna pada hari-harinya.

Erlang bilang, kesehariannya membosankan tanpa Nalesha. Sedang Nale pikir, ia butuh Erlang sama besarnya. Apa jadinya hidup Nale yang membosankan andai saja Erlang tidak pernah datang?

Mereka berhenti di belakang mobil. Lebih tepatnya, Erlang yang menghentikan langkah. Sedang Nale kebingungan sendiri berpikir soal kenapa Erlang tidak mengantarkan ke pintu mobil seperti bagaimana lelaki itu selalu lakukan. Kekasihnya terlihat gugup, dan Nale tidak bisa memikirkan kemungkinan apa pun.

“Ca?” Erlang memanggil, mengundang mata mereka untuk bertemu di bawah keremangan lampu. “Kamu pernah mikir nggak, gimana jadinya hidupmu tanpa aku?”

Ujung-ujung alis Nale nyaris bertemu. “Kok kamu nanya gitu sih, Sayang?”

“Soalnya aku nggak pernah,” ucap Erlang lagi. Mata hitamnya menatap Nale serius, membuatnya ikut gugup. “Aku nggak pernah, dan nggak mau mikirin hidup tanpa kamu. Aku nggak bisa lagi inget hidupku gimana pas kamu nggak ada, dan nggak bisa bayangin kalau bisa jadi ada saat-saat di masa depan pas kamu nggak lagi sama aku.”

Belum sempat Nale menyela, Erlang membuka kap belakang mobil; memberi akses bagi Nale melihat apa yang lelaki itu sembunyikan di bagasi. Sebuket bunga, yang masih terlihat baik-baik saja meski terbalik dan agak layu. Buket itu besar sekali sampai Nale harus memeluknya dengan kedua tangan.

“Aku nggak tahu gimana caranya aku deskripsikan perasaanku ke kamu. Butuh dan sayang aja rasanya nggak cukup. Aku nggak sempurna, Ca. Aku nggak bisa janji ke kamu kalau aku nggak akan pernah bikin salah. Tapi aku bisa janji untuk selalu nyoba lebih baik lagi, untuk nggak pernah nyakitin kamu. Aku mau belajar sama kamu, mau bikin salah bareng sama kamu, mau memperbaiki diri sama kamu... intinya aku mau hidupku keiket sama hidupmu.

Kita nggak bakal selamanya sama. Kita bakal bosan, bakal capek, bakal jenuh. Tapi aku mau nyoba semuanya sama kamu. Apa pun itu, asal sama kamu, aku mau.” Erlang merogoh saku, mengeluarkan kotak beludru warna biru tua. “Aku sayang sama kamu, Nalesha. Kamu mau nggak, nikah sama aku?”

Lalu dunia Nale rasanya berhenti bergerak. Erlangga tidak berlutut. Ia tidak menggenggam tangan Nale yang sedang sibuk mempertahankan buket bunga raksasa dalam pelukan. Nale bahkan yakin baik ia maupun Erlang sama-sama tuli pada sorak-sorai di sekeliling mereka. Tempat ini tidak romantis. Makan malam mereka tidak diisi oleh kelopak mawar dan lilin-lilin yang manis. Demi Tuhan, mereka hanya makan ayam penyet dan bakso aci!

Tapi Nale menyebutnya Erlang's magic. Sebab hanya Erlang satu-satunya manusia yang bisa membuat Nale merasa begini. Merasa istimewa lewat hal-hal sederhana. Bintang-bintang di kedua mata yang akan selalu jadi favorit Nale itu menyimpan harap dan rasa cinta; lebih besar dari yang pernah Nale temukan bersemayam pada netra semua orang yang dikenalnya.

Nale tidak percaya pada selamanya. Orang-orang di sekitarnya selalu bersikap skeptis pada cinta dan janji-janji yang mengekor di belakangnya. Tapi bersama Erlang, Nale ingin percaya. Nale ingin mencoba. Nale ingin ikut membangun selamanya bagi mereka berdua.

Maka bersama tangis yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya, Nale mengangguk. Ia letakkan buket bunga kembali ke bagasi mobil, sambil merentangkan satu tangan guna mengundang Erlang dalam dekapan. Tepuk tangan dan siul iseng dari orang-orang asing di sekitar mereka terdengar jauh di telinga Nale sewaktu ia hidup wangi tubuh Erlang yang tidak pernah berubah. Berkali-kali ia ucap syukur sewaktu Erlang hujani lehernya, pipinya, dan bahu Nale yang terbungkus kemeja biru muda dengan kecupan kupu-kupu.

Ah, rasanya tidak sabar menjalani selamanya bersama Erlang sampai waktu berhenti.

FIN

⠀ ⠀⠀ ⠀

Header

⠀ ⠀⠀ ⠀

Based on 'champagne problems' by Taylor Swift

⠀ ⠀⠀ ⠀

A Kookmin Story for #Kookminday21

⠀ ⠀⠀ ⠀

Tags: Heavy Angst, Post-Break Up, Letter, Alternate Universe, Happy Ending, Hurt/Comfort, Mention of Cheating, Depression, Trauma, Minor Character Death.

⠀ ⠀⠀ ⠀

Introducing: Park Jimin as Janari Basukiharja; Jeon Jeongguk as Gading Cakra Wiryamanta; Kim Namjoon as Jauhari Lukman; Kim Seokjin as Naren Baruna Ghafary; Min Yoongi as Manggala Pranadipa; Jung Hoseok as Raden Apta Gumilar; Kim Taehyung as Laksmana Bhanu.

⠀ ⠀⠀ ⠀

Pada dinding yang lapuk, susah payah kupahat ingatan-ingatan buram mengenai kita dan selamanya yang lagi-lagi rontok pada ujung jarum jam; terkatung-katung dicemooh kejadian Agaknya harapan adalah anak kecil yang banyak meminta; sedang kesempatan adalah penjual permen yang iseng senang mengerjai mereka Pada akhirnya, tidak lagi kutemukan kita Sampai pada suatu titik, kusadari, mungkin kita tidak lagi punya arti.

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

Kepada, Gading Cakra W.

Andai saja bisa, aku ingin kamu mendengar ini bersamaku, Cakra. Bunyi roda kereta menggilas rel sepanjang Jakarta sampai ke Bandung. Aku berharap kamu ada di sini sekarang. Duduk di sampingku, barangkali sibuk menonton anime dengan kaleng bir kedua dalam genggaman. Aku ingin berceloteh padamu tentang pohon-pohon yang kabur. Soal apakah mereka yang kita tinggalkan atau kita yang meninggalkan mereka? Kamu mungkin akan menjawab bahwa perkara tinggal dan meninggalkan adalah persoalan yang subjektif. Aku nyaris saja bisa membayangkan suaramu sewaktu kamu berkata: “Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu karena aku bukan pohon di sisi rel kereta, Jana.”

Ah, andai akan tetap menjadi andai yang melankolis. Pada akhirnya, alih-alih mengeluh padamu dan bertanya ini dan itu, aku hanya duduk memangku dagu memandangi segala sesuatu yang memburam di luar jendela. Undakan sawah, barisan pohon, deretan rumah-rumah kumuh, antrean kendaraan; segala sesuatu yang tidak kau saksikan. Seorang perempuan muda membantu seorang nenek menaiki kereta sewaktu kami tiba di stasiun Purwakarta. Kursi di sampingku pada akhirnya terisi oleh nenek tua itu, yang berkali-kali menawariku camilan ringan dan jamu buatan sendiri. Tapi masih saja bisa kulihat kamu pindah ke kursi lainnya, masih sibuk dengan anime dan dua kaleng minuman. Agaknya kenangan memang betul adalah masa lalu yang jatuh cinta pada nostalgia.

Aku tidak tahu kenapa aku menulis ini untukmu, Cakra. Barangkali karena kamu jadi alasan kepulanganku kini, setelah aku melarikan diri empat tahun yang lalu. Barangkali karena aku berutang penjelasan-penjelasan untukmu yang tidak lagi menunggu jawaban. Barangkali surat ini adalah tebusan bagi segala rasa bersalah yang coba aku tekan. Aku tidak begitu mengerti, dan tidak benar-benar mencoba. Terkadang segala sesuatu mungkin lebih baik tidak terjawab. Seperti pertanyaanmu soal kenapa, dan bagaimana, yang selalu gagal aku dengarkan.

Lewat surat ini, aku ingin berkata bahwa kau, Gading Cakra Wiryamanta, adalah entitas paling berharga yang mungkin saja hanya bisa aku temukan satu kali sepanjang hidup. Mungkin juga sepanjang waktu (kalau saja kita benar-benar punya kehidupan-kehidupan selanjutnya). Bertemu denganmu di hari hujan, di bawah atap tipis penjual jamu di dekat tempat kursus adalah kesempatan emas yang aku masih tidak percaya sudah aku sia-siakan begitu saja.

Tapi apalah arti sesal yang datang terlambat, bukan begitu, Cakra?

Tidak pernah satu kali pun aku lupa pada sosokmu di Jumat malam yang basah oleh hujan itu. Tentang bagaimana kamu mengikat rambutmu yang sedikit ikal ke belakang dengan sebuah karet gelang warna kuning. Bagaimana kacamata yang kamu gunakan melorot sampai ke ujung hidung. Basah dan berembun. Aku ingat postur kamu sewaktu sedang berdiri, pakaian yang kau gunakan, sampai wangi yang samar-samar keluar dari perpotongan pakaianmu yang nyaris kuyup. Lucu sekali, sebab setelah kutinggalkan kamu lewat cara paling bajingan, aku justru jadi orang yang paling kehilangan.

“Ibu tanya, kita kapan menikah?”

Sekarang, sewaktu aku memutuskan untuk berkata jujur padamu, aku akan mengatakan semuanya. Ada banyak sekali hal yang kusimpan untuk diriku sendiri selama kita bersama, Cakra. Satu lagi alasan kenapa penyesalan sialan ini tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Lewat satu surat ini, aku ingin membuka semuanya. Aku ingin, untuk satu kali saja, datang padamu dengan telanjang dan apa adanya.

Sejujurnya, aku takut, Cakra. Takut sekali. Aku tidak pernah benar-benar berhenti bermimpi buruk seperti yang pernah kukatakan padamu. Ingatan-ingatan itu tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Tapi bagaimana caranya aku jelaskan padamu soal ketakutan ini? Soal gemetar di sekujur tubuhku setiap kali kamu bicara soal selamanya dan selalu yang tidak pernah benar-benar aku percaya?

“Aku pikir, mungkin memang ini saatnya. Mimpi burukmu sudah mulai berkurang, dan aku lebih dari bersedia menunggu sampai kamu benar-benar siap. Tapi sampai saat itu tiba,” kamu berlutut di depanku, dengan kotak beludru di kedua tangan dan mata penuh harap bersinar terang. Perlu aku katakan padamu bahwa napasku sempat berhenti saat itu, sewaktu aku lihat binar harap di matamu yang selalu penuh oleh bintang-bintang. “Aku mau memastikan kalau kamu benar-benar bersedia untuk hidup selamanya sama aku, Jana. Kamu mau, kan, menikah sama aku?”

Percayalah bahwa aku mencintaimu, Cakra. Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu. Terkadang kupikir, aku mencintaimu lebih besar dari aku mencintai diriku sendiri. Tapi cinta rupanya tidak cukup menghapus ingatan. Ayah dan Ibuku pernah saling mencintai, tapi cinta rupanya tidak cukup membuat mereka berhenti menyakiti satu sama lain. Cinta tidak cukup membuat Ibu tinggal. Cinta tidak cukup menahan Ayah untuk tidak merangkak ke ranjang perempuan-perempuan yang sampai saat ini masih kerap muncul di mimpi-mimpi burukku.

Seandainya malam itu aku cukup berani untuk memintamu menunggu, barangkali kamu akan benar-benar melakukan itu. Mungkin saja kamu akan bangkit, melupakan sejenak cincin yang kamu pesan sejak dua bulan sebelumnya, dan memelukku sambil berkata bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Sekalipun tentu saja, keadaan tidak pernah benar-benar baik-baik saja untukku. Seandainya malam itu aku cukup berani, dan cukup egois, untuk memintamu bertahan bersama diriku yang berantakan. Barangkali kamu akan ada di sini. Duduk menonton anime dengan dua kaleng bir sebagai minuman. Kamu akan mendengarkan pertanyaan-pertanyaanku tentang pohon-pohon yang kabur. Tentang suara masinis, makanan yang disediakan di dalam kereta, soal lagu-lagu Taylor Swift, tentang seisi langit dan segala hal yang berpijak di atas bumi.

Sebab seperti itulah kamu, Cakra. Dan karena itulah aku jatuh cinta padamu dan tidak pernah benar-benar meninggalkan perasaanku.

Tapi aku pergi. Dan sekalipun aku tahu bahwa ditinggalkan adalah perasaan yang buruk setelah Ibu pergi meninggalkan aku sendirian menghadapi Ayah, aku tetap meninggalkanmu. Aku tetap bangkit dari kursi, dan berlari keluar dari The Parlor bersama pertanyaan yang tidak pernah bisa aku jawab. Sekarang, andai saja kamu bertanya padaku apa aku menyesali malam itu, aku akan dengan jujur berkata ‘iya’. Mimpi-mimpi burukku datang berulang-ulang, dan tidak ada lagi kamu di seberang telepon; bernyanyi untukku agar mereka pergi. Aku adalah pengecut, Cakra. Andai saja aku punya nyali untuk berlutut di hadapanmu dan memohon maaf, mungkin saja mimpi-mimpi buruk itu akan mengampuniku. Sebab, kalau kupikirkan ulang, siapa aku? Atas dasar apa aku berpikir bahwa aku punya hak untuk menyakitimu? Bahkan jikalau kamu hendak mengusirku dan membenciku selama-lamanya, setidaknya maaf itu pernah ada di antara kita berdua.

Ah, pada akhirnya egoisme adalah bagian dari diriku. Dan berkata bahwa aku memilih untuk tidak egois dan memintamu menunggu adalah pembenaran yang aku buat untuk menutupi ketakutanku. Pada akhirnya kamu tetap hidup dengan baik tanpa aku, Cakra. Dan bukan berarti aku tidak bahagia atas itu. Dibanding semua orang di dunia ini, kamu adalah orang yang namanya paling sering kusebut dalam doa.

Semoga kamu bahagia. Semoga kamu bahagia. Semoga kamu bahagia, sekalipun aku tidak membersamaimu dalam pencapaiannya.

Penuh cinta, Janari Basukiharja

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

KEDIAMAN WIRYAMANTA

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali. Pada kediaman Wiryamanta yang pernah kusebut sebagai rumah kedua. Orang-orang duduk pada kursi-kursi plastik berwarna hijau, berpakaian gelap seolah berusaha melibatkan diri dengan duka yang mengental di udara. Gerbang depan yang pendek dan berbau cat baru terasa akrab sekaligus asing di waktu yang sama. Aku sedikit ragu untuk masuk dan berbaur dengan kesedihan di halaman rumah. Benarkah masih ada tempat untukku berduka di sana?

“Nggak masuk, Jan?”

Suara berat yang datang dari balik bahuku membuatku sedikit berjengit. Buru-buru aku menoleh lantas menemukan Bhanu berdiri di sana, bersisian dengan Apta, dibalut pakaian hitam. Ada bekas tangis membasahi bulu matanya yang panjang, berdampingan dengan iris matanya yang memerah. Tanpa sadar, menunggu kebencian itu datang. Bhanu adalah sahabat Cakra. Sahabat sejak kecil, kalau aku boleh menambahkan detail. Aku bahkan tak bisa bayangkan betapa marah dan kecewanya dia mendapati aku di sini, bermuka tebal hendak melayat Ibu, setelah kubuang Cakra tanpa ucapan selamat tinggal empat tahun yang lalu.

“Gue....”

“Cakra ada di dalem. Kemungkinan lagi istirahat habis makamin Ibu di kamarnya. Lo masuk aja ke sana.”

Entah harus bagaimana aku mengartikan kalimat Bhanu. Atau nada suaranya. Atau ekspresi lelah yang mengeruh di wajahnya. Belum sempat aku bertanya lebih jauh, Bhanu pergi. Sedang Apta menepuk bahuku, seolah sedang memintaku memahami Bhanu dan apapun yang sedang lelaki itu hadapi. Bhanu dekat sekali dengan Ibu. Dan kepergian Ibu adalah (mungkin saja) sesuatu yang tidak akan pernah siap dihadapi siapa pun. Tidak aku, tidak Cakra, Bhanu, maupun Apta.

Mengekori Bhanu, Apta menghampiri Naren dan Lukman yang berperan sebagai penerima tamu. Menggantikan posisi Cakra, maupun Afif, yang kutebak belum bisa bangkit dari kehilangan. Ah, faktanya, siapa yang bisa bebas dari kehilangan? Pada suatu titik mungkin saja kami bisa memulai lagi hidup kami dan bersikap biasa. Tapi ruang yang ditinggalkan Ibu selamanya tidak akan pernah mengisi. Selalu, dan akan selalu menjadi rongga yang siap menelan kami kapan saja.

Mau tidak mau aku mulai berpikir, apakah kepergianku memberi mimpi buruk yang sama untuk Cakra, sebagaimana ketiadaannya menyiksaku setiap waktu?

“Gue seneng ketemu lo, Jan.” Lukman, Naren, dan Dipa gantian memelukku sewaktu aku berhasil mengumpulkan nyali untuk melangkah masuk. Pelukan mereka terasa hangat. Mengingatkanku pada pelukan Bibi, dan mendadak membuatku rindu pada perempuan yang kemarin pagi memberiku sekotak sarapan untuk aku makan di dalam kereta.

Aku menggigit bibir. “Seneng ketemu kalian juga.”

“Cakra ada di dalem,” Dipa berucap, mengulang kembali pernyataan yang kudengar dari Bhanu belum genap lima menit lalu.

Mendadak pertanyaan-pertanyaan itu datang lagi. Pantaskah aku? Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk beradaptasi pada ketidak hadiran.

Ah, aku hanya enggan mengakui ketakutanku. Aku hanya tidak siap menghadapi Cakra yang mungkin saja sudah bangkit dan berjalan pergi setelah aku terus-menerus mundur darinya. Aku hanya tidak punya cukup nyali menghadapi penolakan Cakra, yang kalau kupikirkan lagi adalah hal yang pantas aku terima. Lagi pula, apa yang aku harapkan setelah kutinggalkan dia malam itu dan hilang seperti ditelan bumi?

“Jangan takut,” Lukman berkata. Sorot teduh di matanya tidak pernah berubah. “Napas pelan-pelan, jangan panik. Nggak semenakutkan yang lo bayangkan kok, Jana. Gue yakin dibanding kita semua, Cakra sekarang paling butuh lo.”

“Tapi gue pergi,” aku memotong dengan suara lirih. Ah, Jana Basukiharja. Mengapa memilih kalau pada akhirnya menyesal sendiri?

“Tapi lo sekarang di sini,” Dipa membalas. “Dan kita semua lebih dari tahu kalau Cakra bukan pendendam.”

“Seenggaknya,” Bhanu bersuara. Aku bisa mendengar kemarahan tertahan pada suaranya yang lagi-lagi sarat oleh kepedihan itu. “Seenggaknya lo bisa ngomong maaf ke dia, Jan. Cakra berhak dapat permohonan maaf lo.”

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

Aku selalu kagum pada bagaimana waktu memelihara cinta. Khususnya perasaanku, yang hampir saja buncah sewaktu kulihat Cakra duduk dengan tatapan kosong di atas ranjang. Pintu kamarnya tidak terkunci, barangkali upaya Cakra agar orang-orang tidak khawatir padanya. Kamar Cakra masih sama; masih berwarna biru laut lembut dengan perabotan abu-abu. Masih dihiasi lukisan-lukisannya yang selalu bagus sekalipun Cakra membuatnya dengan tidak serius. Ada jejak tangis pada pipinya yang pucat, yang sedikit bernoda oleh tanah merah yang kutebak adalah tanah kuburan Ibu.

“Cakra....”

Aku terkejut pada betapa cepat Cakra menoleh sewaktu kupanggil namanya. Matanya membola, terkejut. Aku tidak menyalahkan respon itu, sebab siapa pula yang tidak kaget mendapati orang yang mati-matian lari darimu kini tiba-tiba berdiri dengan tangis menggantung di kedua mata; tepat di depan kamarmu?

“Jana?”

“Cakra, maafin aku.... Maafin aku....”

Andai saja perasaan bisa digambarkan dengan jelas lewat kata-kata, aku ingin Cakra tahu seberapa besar rasa bersalahku. Aku ingin Cakra mengerti rasa kehilangan yang membuat dadaku sesak. Aku ingin Cakra merasakan seberapa besar keinginanku memeluk dan mengusap punggungnya. Tapi lagi-lagi, bahasa kata-kata adalah bahasa yang terbatas. Dan yang bisa aku lakukan adalah berharap bahwa Cakra bisa mengerti.

Cakra bangkit dari duduknya, lantas berjalan ke arahku dengan langkah terburu-buru seolah aku bisa saja lenyap seperti asap andai ia tidak segera menyentuhku. Tangis yang mungkin sejak tadi berusaha ia tekan sekuat tenaga kembali menganak-sungai setelah kedua tangannya memelukku. Cakra adalah laki-laki yang kuat. Paling kuat yang aku kenal. Tapi laki-laki kuat itu menangis di pelukanku. Dan tangis yang terus terdengar itu membuatku sedih, membuatku hancur, membuatku ingin memutar kembali empat tahun yang terpaksa Cakra lalui tanpa aku.

Lalu pertanyaan itu datang lagi. Bagaimana kalau aku rupanya menjadi mimpi buruk bagi Cakra setelah aku pergi, alih-alih sewaktu aku tinggal? Bagaimana kalau ketakutanku justru menjadi sesuatu yang aku ciptakan sendiri?

“Ibu, Jan....” Cakra terbata-bata berkata di tengah tangisnya yang membasahi bahuku. “Maafin Ibu kalau banyak salah sama kamu.”

“Ibu orang baik, Cakra,” kataku, disertai tangisan yang tanpa kusadari sudah mulai ikut meluncur deras di atas pipi. “Ibu orang baik, dan selalu baik. Orang-orang baik akan pergi ke tempat paling baik. Kita doakan bareng-bareng supaya istirahat Ibu terasa singkat dan tidurnya tenang, ya?”

Cakra tidak menjawab. Ia sibuk menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku. Belum pernah aku melihat Cakra serapuh dan sejatuh ini sejak pertama kali kami saling mengenal, belasan tahun yang lalu. Cakra adalah laki-laki yang kuat dan selalu kuat. Atau begitulah pikirku, sampai aku kemudian mengerti bahwa sekuat apapun bahu, akan ada batas sampai dimana ia kuat memikul beban. Sampai tadi pagi, sampai aku berdiri di depan gerbang, aku masih mempertanyakan kenapa aku datang ke sini. Tapi aku bersyukur aku datang. Aku bersyukur aku ada untuk Cakra sekarang.

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

STASIUN BANDUNG

Sekali lagi aku memandang pada punggung orang-orang yang hendak pergi. Pada tatapan khawatir mereka yang hendak ditinggalkan, dan rasa rindu yang kadung hinggap meski raga belum bergerak. Mataku bergerak, menatap pada dinding yang pucat dan langit-langit yang tinggi. Bandung masih jauh lebih dingin dibanding Jakarta, dan Kota ini menyimpan untukku lebih dari sekadar cerita.

Hatiku terasa berat. Barangkali karena aku tak punya cukup waktu untuk mengenang apa yang Kota ini berikan untukku. Atau mungkin karena aku tidak punya banyak waktu untuk bicara pada Cakra soal segala hal. Aku berharap surat itu dapat memberi Cakra jawaban dari sebagian kecil pertanyaan yang ia simpan selama empat tahun. Aku harap Cakra masih sudi memberiku maaf. Meski tidak sekarang. Aku tidak ingin menjadi egois.

“Ketemu.”

Stasiun cukup bising sore itu, pukul enam sore lewat tiga puluh menit. Ada dua anak kecil berlarian di depanku, diikuti ibunya yang terlihat lelah menghadapi energi mereka yang tampak tidak akan pernah habis. Suara-suara percakapan yang penuh oleh ucapan 'sampai jumpa' terdengar di mana-mana, juga beberapa 'selamat datang'. Tapi tidak peduli bising macam apa, aku tetap bisa mendengar suara itu dengan jelas seolah ia ada tepat di sisi telinga.

Suara Cakra.

Dan kulihat dia, berdiri dua meter di kiri, dengan sandal selop dan hoodie abu-abu. Peluh membuat dahi dan lehernya sedikit berkilat di bawah cahaya lampu. Rambutnya menempel di pelipis, dan matanya yang sejak dulu tidak pernah redup dari harap dan bintang-bintang melihatku dengan takut.

“Kamu langsung pergi gitu aja setelah pengajian. Kamu pikir surat aja cukup?” Cakra berkata lagi. Suaranya naik dua oktaf. Aku bisa merasakan tatapan penuh tanya dari orang-orang di ruangan besar itu, tapi aku tidak peduli.

“Kamu pikir empat tahun bukan waktu yang cukup buat nunggu, Jan?”

Aku tidak pernah berpikir begitu. Empat tahun adalah waktu yang lama untuk memunculkan kerut di ujung mata Cakra . Empat tahun adalah waktu yang lama bagi penyakit Ibu. Empat tahun adalah waktu yang lama, dan aku tidak berani membayangkan bagaimana Cakra mengisi empat tahun itu tanpa ada kami di dalamnya.

“Aku nggak tau apakah aku masih layak kamu tunggu.”

Cakra melangkah mendekat. Setiap inci yang dibawanya mendekatiku terasa menyesakkan sekaligus menyenangkan di waktu yang sama. Harum tubuh Cakra masih sama. Masih wangi nilam bercampur vetiver, yang bagiku sedikit berat tapi entah kenapa cocok sekali dengan Cakra. “Aku yang bisa nilai itu. Bukan kamu.”

Setelah jarak di antara kami terpangkas, aku baru bisa mengenali raut putus asa di wajah Cakra. Ia terlihat sedih, dan takut. Dan berpikir bahwa aku adalah alasan dari perasaan-perasaan kehilangan itu membuatku ingin menangis. Sewaktu aku pergi, berulang kali aku katakan pada diriku sendiri bahwa meninggalkan Cakra adalah salah satu upaya membuatnya bahagia. Ia tidak bisa hidup bersama manusia yang belum utuh seperti aku. Tapi barangkali aku memang hanya seorang pengecut yang mengalah pada rasa takut. Aku hanya sedang berusaha mencari pembenaran-pembenaran atas sikap kurang ajarku.

Pada akhirnya kepergianku membuat kami berdua hancur. Dan Cakra, seperti bagaimana ia selalu, adalah laki-laki yang kuat untuk mengejarku ke sini dan memberiku kesempatan untuk memohon maaf dengan sebaik-baiknya cara.

“Aku marah banget sama kamu, Jana. Berkali-kali aku tanyain ke diri aku sendiri, bagian mana dari diriku yang kamu nggak suka. Yang bikin kamu pergi. Bagian mana dari aku yang masih kurang, sampai kamu nggak mau tinggal sama aku.”

“Maafin aku, Cakra. Aku pikir, itu keputusan terbaik. Aku pikir kamu bakal hidup lebih baik tanpa aku. Aku pikir....”

“Tapi kamu tau, nggak, apa yang Ibu bilang ke aku di hari-hari terakhirnya?” Cakra menarikku dalam pelukan. Pelukannya yang hangat, yang getir, yang masih penuh oleh duka tapi berusaha kuat sebab ia punya Afif dan Ayah untuk berbagi rasa. Ia punya Bhanu, Dipa, Apta, Lukman, dan Naren untuk menghiburnya. Ia punya hal-hal untuk dikejar dan dipertahankan; hal-hal yang juga Ibu cintai.

Aku tidak menjawab. Kubiarkan hidungku menghirup sepuas-puasnya bau tubuh Cakra yang aku rindukan sampai rasanya hampir gila.

“Ibu minta aku maafin kamu, Jana,” Suara Cakra terdengar lirih. “Sampai di saat terakhirnya, Ibu masih ingin ketemu kamu. Ibu mau mastiin kalau kamu hidup dengan baik sekalipun kita nggak bareng-bareng lagi. Sejak dulu selalu gitu, Ibu selalu sayang kamu tanpa syarat.”

Lalu gambaran wajah Ibu muncul di depan mataku. Aku hampir bisa melihat Ibu tersenyum padaku, melambaikan tangannya dengan riang, dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Seperti bagaimana Ibu selalu berhasil menenangkanku. Meninggalkan Ibu, dan tidak berada di sisinya sewaktu ia menantang maut adalah hal yang selamanya akan aku sesali. Tapi lagi-lagi suara Ibu bergema di telingaku; mengalahkan bising stasiun dan suara-suara yang ada di dalamnya.

“Tidak apa-apa menyesal, Jana. Orang perlu menyesal dulu untuk tahu bahwa dia harus berhati-hati mengambil keputusan.”

“Segala proses yang terjadi dalam hidup adalah hidup itu sendiri.”

“Cakra.”

“Ya, Jana?”

Aku membalas pelukan Cakra. Membiarkan diriku kembali pada rengkuhan yang dulu sekali pernah kusebut rumah.

“Aku mau ke makam Ibu, besok. Kamu mau temenin?”

Bisa kurasakan Cakra mengulum senyum sewaktu ia berkali-kali mencium leherku di tengah pelukan kami. “Mau. Ibu pasti senang ketemu kamu.”

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

F I N

Warning:

Meminjam latar Peristiwa Mandor 1944 dan Kemerdekaan Indonesia 1945.

Tokoh-tokoh yang disebut dalam karya fiksi ini merupakan karangan dan tidak berhubungan dengan tokoh-tokoh di dunia nyata.

Penulis dengan ini mengucapkan belasungkawa yang teramat mendalam bagi keluarga korban pembantaian pada Peristiwa Mandor 1944. Tidak ada maksud dari Penulis untuk menghina atau tidak menghormati duka keluarga yang ditinggalkan.

ㅡㅡㅡㅡㅡ

Tokoh:

Park Jimin sebagai Darmadjati Jeon Jeongguk sebagai Awang Kim Namjoon sebagai Tjahyo Kim Taehyung sebagai Danur

ㅡㅡㅡㅡㅡ

‘Dosa apa yang bisa dimiliki oleh orang-orang miskin yang cuma ingin hidup, Djati?’

1944

Mestinya tidak ia biarkan laki-laki itu pergi. Mestinya ia minta laki-laki itu untuk kembali tidur, atau bersetubuh dengannya sampai mereka berdua lupa waktu. Mestinya ia marahi Tjahyo sewaktu laki-laki itu datang dan meminta Awang pergi dari pelukannya menuju tanah Kalimantan Barat. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Jauh di dalam hatinya, Darmadjati tahu bahwa tidak peduli ia hidup dalam pengandaian yang mana, Awang tidak akan hidup kembali. Realitanya begitu, dan ia harus menerima meski tak mau.

“Awang meminta kau datang, Djati.”

“Satu menit lalu kau bilang Awang sudah mati.”

“Awang sempat menitip pesan kepada Soedarmono, laki-laki yang menampungnya selama tinggal di Landak.”

Djati tidak membalas. Ia masih kesulitan mencerna informasi ini. Awang sudah mati, kata Danur.

Mati berarti tidak lagi bernyawa. Mati berarti tidak lagi hidup. Mati, berarti tidak lagi Awang bisa mendebat Djati dalam kajian-kajian mereka soal feodalisme, soal neoplatonisme, demokrasi, komunisme, dan berbagai hal yang kerap mampir ke dalam kepala di waktu-waktu yang tidak menentu. Mati berarti ia tidak lagi bisa memandang wajah Awang sebelum tidur, tidak bisa memakan nasi goreng hangus buatan Awang yang tidak kunjung ahli memasak, tidak bisa mengeluh pada Awang, tidak lagi bisa bercinta selepas hari yang melelahkan dan ancaman yang terus datang.

Mendadak kalimat-kalimat Awang datang pada Djati seperti sebuah gelombang pasang.

‘Kita ini bangsa berani, Djati. Bedil dan pedang tidak akan punya guna kalau tak punya nyali.’

‘Aku dikejar seorang Keibodan sampai ke Banjaran, tadi. Beruntung berhasil lolos.’

‘Mati tidak membuatku takut, Djati. Daripada mati, aku lebih takut jadi tidak berguna.’

“Awang minta kau mengurusi proses kremasinya, Djati. Mungkin jauh di dalam hatinya dia tahu bahwa dia takkan bisa pulang padamu dalam keadaan hidup.”

ㅡㅡㅡㅡㅡ

1945

Indonesia Pasti Merdeka, Sebeloem Djagoeng Berboenga

Masih segar di ingatan Djati, berita provokasi yang ditulis rekannya itu yang terbit lima belas Agustus lalu. Dan disinilah ia, tanggal tujuh belas agustus, pukul sebelas malam, mengetik kata demi kata proklamasi yang digaungkan Soekarno pagi tadi. Bunyi mesin tik miliknya nyaring membelah malam, menemani bunyi tonggeret yang saling sahut-menyahut di luar pondokan kecilnya di Bandung Selatan.

Indonesia seolah bergerak dalam tempo yang amat cepat selama satu minggu terakhir. Kekalahan Jepang, pergerakan para pemuda, hilangnya Soekarno-Hatta, perumusan proklamasi, lalu upacara singkat yang terkesan diburu waktu.

Repoeblik Indonesia: Soekarno-Hatta Menerima Makloemat Rakjat

Menekan tuts titik, Djati berhenti menulis. Lalu hening. Para tonggeret sudah kembali lelap dalam tidur atau istirahat mereka yang singkat, meninggalkan Djati tenggelam dalam sunyi.

Ah, andai Awang ada di sini.

Di antara mereka berdua, Awang adalah yang paling berani. Ia selalu menjadi orang yang paling depan berdiri mengawal perjuangan. Awang adalah orang yang mengajari Djati arti dari menulis dan bersikap jujur. Djati hampir bisa membayangkan laki-laki itu menari-nari kegirangan menerima kabar kemerdekaan yang kadung lama mereka dambakan.

“Kita sudah tidak lagi terjajah, Wang. Kita ini bangsa merdeka,” lirih Djati di sela air mata yang menganak sungai di atas pipi.

Kepergian Awang adalah badai terbesar dalam hidup Djati. Meninggalkan rongga yang selamanya takkan pernah berhasil ia isi. Tidak lagi ada Awang yang muncul pukul dua malam di depan kamar kontrakannya sambil membawa seplastik nasi goreng hangat. Tidak akan lagi ada Awang yang mengusap rambutnya, atau mencium bibirnya sewaktu Djati luruh ditelan kecemasan. Tidak ada lagi Awang dan candaannya yang menghibur, Awang dan tawanya yang merdu, Awang dan isi kepalanya yang selalu Djati kagumi.

Awang sudah menjadi abu di dalam kendi.

“Besok, kita pulang, Awang. Kepada Samudera yang kau kehendaki sebagai tempat peristirahatan abadimu,” Djati berujar lirih. Ia sandarkan punggung pada kursi, menatap langit-langit kamarnya yang sudah lapuk dan samar-samar disinari redup lampu.

“Mimpimu sudah jadi nyata, Awang, Kekasihku. Bangsa kita sudah jadi bangsa merdeka.”

Bangsa ini sudah bebas dari penjajahan, Awang. Tinggal aku yang belum merdeka dari rasa kehilangan.

Masih hangat di kepalaku, dongeng dan bisik harap yang kau eja lagi dan lagi. Belum sempat kita pintal rupa masa depan sewaktu ia busuk dibalik kepasrahan. Menjelma pengandaian yang menjadi borok bagi kenangan kita yang tak begitu rupawan. 

Seandainya kugenggam tanganmu lebih lama, barangkali mengecap nirwana tak lagi tinggal dalam kepala. Terlupa di bilik ingatan yang enggan kau tengok nemun terus kukenang berulang-ulang. Ah, naif betul kita kala itu. Sesumbar perihal selamanya dan selalu sebelum hancur di atas janji-janji prematur. 

Ah, andai tetap akan menjadi andai yang malang dan melankolis.

Karawang, 16.7.


Ponsel milik Joshua Sanjaya tergeletak tak berdaya di atas meja. Berkali-kali Joshua buka ponsel itu, mengecek kembali layarnya yang tak menunjukkan perubahan berarti. Hanya beberapa notifikasi tidak penting dari e-commerce, e-mail pekerjaan, pesan-pesan dari teman kerjanya yang langsung Joshua tandai sudah dibaca tanpa ia repot membalas, juga pemberitahuan-pemberitahuan dari media sosial. Tidak ada nama yang Joshua tunggu di antara rentetan notifikasi itu; tidak ada Jihan Mahesa.

“Katanya lo cuti?” Alif, teman kerja Joshua, meletakkan secangkir es kopi di atas meja. “Ngapain segala nongol di kantor?”

“Nggak jadi gue ambil. Ada urusan di Jakarta.”

Alif mengerutkan kening. “Sayang banget, anjing. Gue kalau punya cuti sebanyak lo, mending leha-leha di Bandung daripada balik ke sini.”

Joshua menimpal dengan kekehan. Sekali lagi ia lirik layar ponselnya yang sejak tadi mati. Kalau boleh jujur, suasana hatinya tak baik sejak pagi. Ia merasa risau, dan gugup, dan takut. Ada berbagai emosi yang enggan Joshua kategorikan bergumpal di dadanya. Semuanya datang dari orang itu, Jihan Mahesa, yang lewat namanya saja berhasil mengirim sengatan-sengatan sesal pada setiap sendi tubuhnya.

“Sore ini mau ikut gue Kokas, gak? Daripada lo suntuk sendirian di kosan, kan?” Alif menawarkan.

Joshua menimbang sebentar. Mungkin tawaran Alif adalah pengalih perhatian yang ia butuhkan. Joshua berulang kali katakan pada dirinya sendiri untuk tidak terbawa suasana. Untuk tidak berharap. Untuk tidak menunggu. Dan meski ia sudah mengucap larangan-larangan itu dalam kepalanya seperti sedang mengucap mantra, pada akhirnya ia tetap menyerah pada sepercik harap yang tidak pasti.

“Boleh, deh,” jawabnya. “Gue suntuk juga,” Joshua menambahkan.


Rasa-rasanya sudah berulang kali Papa bilang bahwa hidup adalah repetisi dari kebetulan-kebetulan yang mengejutkan. Seperti Jimmy, atasannya yang mendadak memberi Joshua tugas yang harus selesai sebelum jam pulang. Siangnya habis bersama revisi-revisi dari Jimmy tanpa Joshua punya waktu untuk melirik ponsel sama sekali.

Kebetulan datang sewaktu Joshua rasakan tubuhnya lesu dan kepalanya melambat mencerna situasi. Barangkali pengaruh lelah, pikirnya. Alif, Rama, Budi dan Yustaf sudah menunggu Joshua di pintu lift sewaktu ia pada akhirnya membuka kunci layar pada ponsel yang sejak tadi terabaikan.

Jihan Mahesa Apa kabar, Josh?

“Lif,” Joshua memanggil. Suaranya sedikit bergetar. “Gue nggak jadi ikut, ya?”

“Lho? Kenapa?” Alis Alif sedikit menukik, bingung.

Joshua tersenyum. Senyuman yang kali ini datang dari hatinya. Pipinya sedikit berkerut dan matanya melengkung membentuk bulan sabit.

“Ada urusan, gue.”

ada kalanya cuma dan cukup adalah dua kata yang sama dan apabila di sana kautemukan cinta, di antara seluruh penderitaan yang menimpa hidupmu, berbahagialah akhirnya ada satu penderitaan yang bisa kaupilih sendiri

m. aan mansyur dalam “mengapa luka tidak memaafkan pisau”

________________

Joshua S. Jihan?

________________

“Udahlah, cuekin aja, sih.”

Haris mengaduk americano dingin miliknya sambil menatapku tepat di mata. Alisnya menukik sedikit. Bukan tanpa sebab cowok itu terlihat terganggu. Aku mengerti kenapa Haris kesal. Aku hanya enggan mengakui bahwa ada sebagian kecil dari diriku yang merasa bahwa ini semua normal. Bahwa semesta mungkin sedang tergerak oleh salah satu doa yang aku bisikkan padanya dulu, sewaktu tidur tersasa sulit sebab malamku selalu penuh oleh wajah orang itu. Sedikit banyak, aku benci pada diriku sendiri. Bahwa tidak peduli berapa banyak Arsa dan Haris ingatkan padaku untuk bangkit dan berjalan maju tanpa perlu menoleh lagi, akan ada satu waktu dimana aku buka lagi memori-memori-memori itu, yang harusnya aku kubur dalam-dalam sejak dulu.

What's wrong with having a good relationship with your ex?,” aku bertanya. Kubuang pandangan pada lalu lintas di balik kaca kafe. Jakarta selalu terlihat hidup, selalu tampak ramai seolah kota ini tidak pernah mengenal tidur. “Gue sama dia bisa jadi temen, Har. Nggak ada balikan, tapi menurut gue nggak baik juga mutus silaturahmi.”

Kini giliran Emir yang mendengus. Dari raut wajahnya, aku bisa menerka bahwa cowok itu baru saja mengataiku pendusta dalam kepala. “Lo sama Joshua Sanjaya itu nggak akan pernah bisa jadi temen, Ji.”

Satu lagi yang kadang aku benci, adalah tentang bagaimana Haris dan Emir mengenalku lebih baik dari aku mengenal diriku sendiri. Seolah mata mereka bisa menembus lapisan kebohongan yang berulang kali aku muntahkan dengan rapi dan tanpa cela. Barangkali aku hanya enggak mengakui bahwa efek orang itu masih sama hebatnya. Masih selalu berhasil meruntuhkan pertahananku meski hanya lewat sebuah 'halo' yang tidak bermakna. Aku enggan mengaku bahwa sudah kubuang waktuku berlari selama empat tahun hanya untuk kembali pada titik semula.

“Lo berdua percaya aja sama gue,” kubalas dengan gusar. Entah apakah sedang kucoba yakinkan Emir dan Haris atau diriku sendiri.

“Tapi—” Haris menimpal, yang berakhir disudahi Emir lewat gestur tangan.

“Gue anggap lo udah gede, Ji. Lo adalah yang paling tau perasaan lo sendiri, dan gimana lo harus menyikapi itu. Joshua pernah nyakitin lo, tapi bukan berarti dia nggak pernah bikin lo jadi orang paling bahagia juga,” Emir menarik napas, “tapi gue masih tetep pegang prinsip kalau buku yang udah tamat, mau lo baca berapa kali pun endingnya bakal tetep sama.”

Aku menyedot latte yang rasanya hambar itu, berupaya mengguyur tenggorokan yang mendadak terasa kering. “Gue cuma mau baca, Mir,” kataku dengan nada suara naik sedikit. “Bukan mau nulis ulang endingnya.”

________________

Aku sampai di kamar kosan saat jam sudah menunjuk pukul delapan lewat lima belas malam. Lepas melempar waist bag ke sembarang arah, kulemparkan tubuh ke atas ranjang. Langit-langit kamar yang berwarna putih pucat menyapaku sedetik sebelum aku menutup mata. Gelap. Hari ini terasa berat sekali. Kemacetan Jakarta tidak biasanya terasa begitu menguras energi. Mungkin itu karena aku kesiangan tadi pagi, atau karena aku tidak begitu menikmati latte kafe baru yang kami datangi (rasanya buruk, omong-omong), atau karena obrolan dengan Haris dan Emir dipenuhi seputar Joshua Sanjaya; nama yang sudah empat tahun ini dinyatakan tabu untuk kami bahas bersama.

Dusta macam apa yang aku katakan pada Emir dan Haris siang tadi?

Entah sudah berapa kali aku ulangi pengandaian itu, soal bagaimana jadinya aku dan Joshua andai saja ego kami dapat ditekan sedikit kala itu. Bagaimana kalau aku memutuskan mengalah, atau bagaimana jadinya kalau aku sabar menunggu Joshua selesai dengan dirinya sendiri seperti cowok itu menungguku selesai dengan diriku di masa lalu? Puluhan pengandaian itu datang silih berganti di waktu-waktu yang tak menentu. Seolah dunia sedang coba ingatkan padaku bahwa Joshua akan selalu ada di berbagai titik hidup Jihan Mahesa.

Entah apa ini cinta atau dunia sedang mengutukku.

Empat tahun tidak pernah terasa lebih baik dari neraka bagiku dan kenangan-kenangan sialan ini. Jauh dari Karawang tidak lantas membuat segala ingatan itu mati. Aku masih melihat Joshua di dalam mimpi. Aku masih melihatnya berseliweran di pedestrian jalan dengan kamera dalam genggaman. Aku masih mengingat Joshua sewaktu ziarah ke makam Mama. Aku melihat Joshua di mana-mana.

Papa adalah orang yang paling terkejut sewaktu kubawa kabar berpisahnya aku dan Joshua padanya. Ia selalu menyukai Joshua. Mereka berdua bisa duduk berjam-jam di ruang tengah, bicara tentang segala hal di dunia yang bisa dibicarakan. Mulai dari bisnis sampai klub bola, ekonomi dunia sampai biji kopi. Aku tahu berat bagi Papa untuk menerima bahwa ia tak bisa lagi mengajak Joshua bicara. Barangkali lebih berat lagi baginya melihat aku tidak lagi tersenyum selama berbulan-bulan selepas perpisahan itu.

Satu tetes air mata jatuh. Diikuti tetes-tetes lainnya yang kemudian menganak sungai di pipi dan pelipisku tanpa permisi. Bohong kalau kubilang aku tak lagi terluka. Rindu yang menggumpal dalam dadaku rasanya hampir buncah keluar lewat ujung kepala. Tapi gagal kutemukan pelampiasan yang sepadan dengan kerinduan yang bertumpuk-tumpuk itu; tidak jua tangis yang bertambah hebat. Dadaku sesak, mataku panas, tapi rinduku tak juga kandas.

________________

Pagi-pagi sekali di hari Sabtu, Bima sudah menyapa Engkong. Engkong adalah sapaan dari Pak Dadang, satpam SMA 2 yang entah sejak kapan sudah bekerja di sini. Sewaktu Bima sampai di sekolah, Engkong sedang menyapu bagian depan posnya, ditemani secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap putih tipis-tipis ke udara.

Laki-laki yang berada di usia tujuh puluhan itu melambai pada Bima. Cengirannya untuk sesaat membuat Bima lupa rasa jengkel yang muncul sewaktu ia terus gagal mendapat angkot saat hendak berangkat tadi. Maklum saja, angkot yang melintasi gang rumah Bima biasanya dipenuhi ibu-ibu yang hendak belanja kalau pagi. Skenario terburuk, kadang ada peternak bebek yang menggunakan angkot untuk berangkat ke pasar. Bima jadi harus berbagi kursi dengan belasan bebek yang bau dan tidak berhenti bersuara.

“Pagi bener lu datengnye,” kata Engkong sewaktu Bima melintasi pagar. “Noh, bocah-bocah temen lu udah pade di dalem. Acaranye besok pan? Rajin bener dah lu pade, jam segini udah pade rapi-rapi.”

Bima sudah bilang belum, kalau ia suka logat betawi Engkong setiap kali lelaki itu bicara?

“Iya, Kong. Makasih ya udah dibukain gerbang.”

Engkong tertawa. “Ya elah, kaga ngape-ngape. Emang udah tugas gue,” sahutnya. “Udeh gih, lu ke sono aje.”

Bima balas tertawa sebelum ia tinggalkan Engkong kembali pada rutinitas paginya. Perasaannya membaik dengan cepat, jadi ia langkahkan kaki dengan riang menuju ruang kelas Bilingual yang esok akan dipakai sebagai ruang panitia.

Sewaktu Bima membuka pintu, ada Rafa, Maria, Keara dan Maudy di dalam ruangan. Rapi dalam balutan PDL (Pakaian Dinas Latihan) hijau tua mereka. Omong-omong, perlu digaris bawahi kalau Bima menyukai seragam ini. Sekalipun sempat mengeluh soal warnanya yang aneh, motif batik biru yang dijahit diagonal dari pinggang kanan ke bahu kiri entah kenapa terlihat cantik dan unik. Dibanding seragam latihan angkatan lain, Pasgar-11 sepakat bahwa PDL milik mereka adalah yang paling bagus.

(Padahal mungkin itu cuma karena perasaan memiliki saja, ya?)

“Yang lain masih pada OTW, ya?” Bima bertanya. Ia letakkan tas punggungnya di sudut ruangan setelah sempat mengeluarkan laptop. “By the way nanti tenda dateng jam 4 ya, guys. Bantu ingetin takutnya gue lupa.”

“Oke,” Maria menyahut. “Lakban item kemarin ditaro di mana, sih? Gue cari di lemari masa nggak ada.”

“Oh, dibawa Ogi kayaknya. Sekalian sama meteran,” Bima membalas. “Chat si Ogi dong, takutnya tuh anak lupa bawa. HP gue ada di tas, males lagi buka-bukanya.”

“Eh, Bim, jadwal kegiatan udah lo print semua kan? Buat ditempel di jendela?” Itu Keara yang bertanya.

Bima mengangguk. “Tinggal ditempel doang ini.”

Pukul setengah tujuh pagi, para siswa datang dan riuh berangsur-angsur memenuhi sekolah. Bima bersyukur gedung kelas Bilingual terpisah sendirian, menyatu dengan ruang guru dan tata usaha. Setidaknya di sini, suara obrolan dan keramaian kelas tidak terlalu terdengar mengganggu. Ogi datang dengan peluh membanjir, berkata kalau setelah hampir setengah jalan ia lupa membawa lakban dan meteran. Rafa memakinya beberapa kali, sekalipun sepenuhnya sadar bahwa mengomel sekarang pun tidak akan ada manfaatnya. Semua orang di angkatan mereka sudah mengerti tabiat Ketua Pelaksana itu, jadi baik Ogi maupun yang lain memilih untuk berpura-pura tuli.

Pagi berlalu dengan sibuk sekali.

...

Hari Sabtu berlalu dengan cepat. Pukul lima sore, sehabis memasang tenda yang baru datang, Maria membantu mengecek persiapan. Cewek yang bertugas sebagai Sekretaris itu memastikan bahwa tidak satu pun hal terlewati hari ini. Mulai dari menempel jadwal di jendela-jendela kelas, merapikan kursi dan meja, memasang banner di DP 2 (Daerah Persiapan), memasang garis pembatas di lapangan, menyiapkan meja dan payung bagi para juri, mengecek kembali sound system di pendopo, dan segala tetek-bengek lain yang harus selesai hari ini.

“Kang Surya baru datang, tuh. Barengan sama Kang Iwan.” Ogi, yang baru saja datang ke ruangan, bicara. Rafa mendengus, respon yang spontan ia tunjukkan kapanpun mendengar nama Surya dieja.

“Udah lo suruh ke ruang alumni?” Rafa bertanya.

Ogi mengangguk. “Lagi ngobrol sama Angkatan 7, Kang Helmi.”

“Eh, ngomong-ngomong Kang Helmi. Tadi dia nanya itu beneran tenda yang gede mau ditaro di depan lobi?” Daniel menyela. “Soalnya aneh nggak sih kalau yang gede ditaro di depan lobi, sementara bagian yang kecil di depan sepuluh lima?”

“Eh iya gue juga mau nanya ini,” Bima menimpal. “Soalnya kan yang gede tuh buat tamu undangan, terus yang kecil buat stand makanan. Kalau ditaro di depan lobi mah nggak keliatan nanti lapangannya.”

“Aduh iya, itu gue mau minta maaf banget,” Ogi berujar. Suaranya terdengar gugup. “Mas-Mas yang masangin tenda tuh kayaknya salah denger instruksi gue. Jadinya posisinya ketuker gitu. Gue lagi coba hubungin tempat tendanya tapi belum dibales, nih.”

Rafa menghela napas kasar. “Udah balik emang mereka?”

Ogi mengangguk. Bima dan Maria bertukar pandang, mengantisipasi ledakan amarah Rafa yang sudah bisa diprediksi. Tapi cowok yang ditunggu-tunggu kemarahannya itu kemudian hanya mengusap wajah kasar; kentara sekali frustrasi.

“Kita ke ruang alumni, deh. Siapa tau mereka bisa bantu. Kalau pait-paitnya tukang tenda nggak bales, ya mau nggak mau kita bongkar sendiri.”

Bima menghela napas, diikuti teman-temannya yang lain. Belum reda letih mereka, masih kering tenggorokan mereka sehabis bekerja ke sana kemari, masih pula harus jadi tukang hari ini.

“Yok bisa, yok,” kata Yasmine, berusaha menaikkan spirit teman-temannya yang mulai lesu. Meski tentu saja tak berpengaruh banyak mengingat ia sendiri sama lelahnya.

...

Berdasarkan hasil diskusi bersama Akang-Akang dan Teteh-Teteh alumni, juga setelah kuping Bima rasanya mau lepas lantaran dimarahi habis-habisan oleh Surya, mereka akhirnya sampai pada sebuah ide gila.

“Ayo kita gotong tendanya bareng-bareng.”

Tangan Bima mencengkeram besi berkarat penyangga tenda di sudut kiri. Ada enam kaki yang menyangga tenda besar ini, dan satu kaki dipegang oleh tiga sampai empat orang. Sewaktu ia bertukar pandang dengan Keara, Bima meledak dalam tawa. Entah mengapa keadaan ini terasa lucu. Dan di luar dugaan, Bima menikmatinya.

“Pakai aba-aba Helmi aja, Hel,” Surya berujar setelah semua orang siap di posisi mereka masing-masing. “Lo kan mantan Danton Terbaik.”

Helmi, yang kebetulan berada dekat dengan Bima, berdecak. “Ayo dah diungkit melulu,” gerutunya pelan.

“Ayo buru, Hel. Keburu magrib nih!” Rekan satu angkatan Helmi, Ina, menimpali.

“Iye, bawel bener lo,” balas Helmi. “Dengerin aba-aba saya, ya. Satu, dua, tiga... angkat!”

Bersama aba-aba itu, Bima mulai mengangkat. Langkah kaki mereka terdengar berantakan, dan Helmi sudah memberi instruksi baru untuk berhenti selang beberapa detik setelah mulai. Tenda baru bergerak beberapa senti, dan Bima mendadak mendapat semacam praduga kalau malam ini akan jadi panjang dan seru.

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

Sebenarnya kebahagiaan itu apa, sih? Sebab rasa-rasanya Juang sudah lupa bagaimana bentuknya atau seperti apa aromanya. Sudah lama sekali sejak Juang betul-betul merasa bahagia, sampai ia sendiri tidak bisa lagi merasa rindu pada perasaan yang sekarang terasa jauh itu. Pukul lima sore, Juang sampai di depan kosan Adi, panggilan khusus yang ia buat untuk Yudis. Dinding kosan yang berwarna abu-abu terlihat pucat, namun entah kenapa cocok dengan sosok Adi yang ia kenal selama ini.

Sewaktu Adi keluar dari pintu depan, Juang memperhatikan bagaimana helai-helai rambutnya bergoyang dan jatuh seirama langkah. Bagaimana kulitnya yang pucat terlihat bersinar di bawah siraman cahaya matahari sore. Bagaimana matanya yang runcing menatap pada obsidian milik Juang seolah ia bisa menembus langsung pada jiwanya yang gundah. Juang menyukai sensasi ini, sensasi familiar seolah ia dan Adi adalah dua manusia yang terbelit benang takdir. Ia tidak biasanya jadi seorang hopeless romantic, tapi begitulah Adi menyihir Juang dan begitulah ia biarkan dirinya tenggelam.

“Doyan banget lo sama Es Teh?” Juang bertanya sewaktu Adi mengunci kembali gerbang di belakang mereka.

Adi mengangguk. “Sebenernya gue suka varian green teanya, sih. Tapi kayaknya di situ nggak ada. Berpuas diri aja gue sama thai teanya.”

“Lo yang nyetir ya, Di?” Juang melempar kunci, yang dengan tangkas ditangkap Adi tanpa kesulitan berarti. “Gue ngantuk banget, pengen tidur.”

“Udah jam segini mau tidur? Jangan gila lo ya.”

Juang terkekeh. “Serius, gue. Nanti kalau lo udah beli esnya, kita melipir kemana dulu, kek. Terserah lo.”

“Terus gue nemenin lo tidur dan diem sendirian, gitu? No, thanks.”

“Lo nggak mau?” alis Juang sedikit berkerut.

Adi membuka mulut, siap melontarkan bantahan, sebelum kemudian dihentikan oleh tampang memelas Juang. Wajah yang selalu berhasil menarik keluar rasa iba dalam dirinya. “Anjing lo, ya.”

Juang nyengir lebar.

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

***

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

Cerita Juang jauh dari embel-embel bahagia. Sewaktu ia duduk di kelas dua SMP, Ibu dan Bapak memutuskan untuk bercerai. Bukan sekali dua kali Juang memergoki kedua orang itu berdebat di ruang tengah kediaman mereka, berpikir kalau Juang sudah jauh hanyut dalam lelap. Sebelum segala perpecahan itu datang, Ibu dan Bapak adalah dua orang yang saling mencintai, atau begitulah yang ingin Juang percayai. Bahwa pernah ada ruang bagi mereka untuk merasa bahagia atas keberadaan satu sama lain. Juang adalah buah dari kebahagiaan itu.

Tapi semua orang berubah. Ibu tidak lagi bersandar pada Bapak, dan Bapak tidak lagi memandang Ibu sebagai rumah bagi segala jenuh dan lelahnya. Juang hanyalah anak kecil yang terjebak di tengah-tengah, tali terakhir yang menjadi penghubung dari dua hati orang tuanya yang terpisah jauh.

“Juang, dengerin Bapak, ya. Mulai besok, Bapak sudah nggak lagi bisa ada di sini buat lindungin Ibu. Mulai besok, tugas itu Bapak serahkan sama Juang.”

“Bapak mau ke mana? Juang boleh ikut?”

“Bapak nggak pergi jauh, tapi juga nggak bisa selalu dekat Juang. Bapak akan ada di sana nanti kalau Juang butuh Bapak, tapi nggak akan terus-terusan begitu,” Bapak mengusap kepala Juang penuh afeksi. “Juang jagain Ibu, ya? Bapak akan jaga kalian berdua dari jauh.”

Begitulah kemudian Bapak keluar dari rumah, tinggal di kediaman barunya di bagian kota yang lain. Bapak pergi meninggalkan rumah yang tanpa Juang sadari berubah menjadi dingin.

Bapak bilang bahwa tugas menjaga Ibu adalah milik Juang. Bapak juga bilang bahwa ia akan terus menjaga Juang dan Ibu sekalipun tidak berada di radius pandang mereka setiap waktu. Tapi tidak perlu menunggu waktu sampai Bapak menemukan orang lain untuk ia lindungi, dan Ibu menemukan sosok lain yang bisa menjaganya selain Juang yang masih belia. Pada akhirnya Bapak dan Ibu kembali menjalani hidup mereka masing-masing, meninggalkan Juang yang masih terus menjadi sosok di tengah mereka; terjebak dengan situasinya sendiri.

“Juang,” Ibu memanggil. Juang kelas tiga SMA saat itu. Lelaki yang Juang kenali sebagai Om Damar, kekasih Ibu, berdiri di sampingnya dengan sorot penolakan yang nyata ia arahkan pada Juang. “Juang, dua bulan lagi, Om Damar akan jadi Ayah kamu.”

Juang tidak lagi bocah naif yang ditinggal Bapak empat tahun lalu. Ia sedang beranjak dewasa, dan bisa dengan baik mencerna maksud dari kalimat Ibu yang tidak terlalu rumit itu. Juang melirik Om Damar, memastikan bahwa api penolakan itu masih berkobar di matanya, lalu memutuskan untuk tahu diri. Jawaban Juang hanyalah sepenggal anggukan. Ia putuskan untuk menerima. Pada akhirnya Ibu berhak bahagia, dan Juang tahu bahwa bahagia Ibu tidak lagi terletak padanya seorang diri.

Di sore Jakarta yang dihiasi langit merah muda, Juang memacu motornya membelah rush hour jalanan ibukota. Kepalanya terasa sesak, dan dadanya kesulitan menemukan udara. Ia butuh bertemu Bapak. Ia butuh memastikan bahwa Bapak ada untuknya. Sebab Juang rasa, perlahan tapi pasti, dunia tidak lagi bersedia memberi tempat baginya.

“Mau apa kamu di sini?” Alih-alih Bapak, Mama Risa adalah orang yang menyambutnya di pintu depan. Perempuan kepala tiga yang dinikahi Bapak setahun yang lalu itu melipat kedua lengannya di depan dada. Juang sore itu dihadapkan pada satu lagi sorot kebencian yang terlalu besar untuk ia tanggung sendirian.

“Bapak ada, Ma? Saya mau ketemu Bapak.”

Mama Risa mengerutkan dahi. “Siapa yang nyuruh kamu manggil saya Mama?” tukasnya tak ramah. “Bapakmu lagi istirahat. Capek habis pulang dinas luar. Mending kamu pulang sekarang.”

“Saya tunggu sampai Bapak bangun boleh, Tante? Saya perlu ngomong sama Bapak.”

“Duh, kamu susah bener dibilangin! Bapakmu capek, Juang. Ngerti nggak, kamu? Mending kamu pulang aja. Lagian apapun itu yang mau kamu omongin, memangnya nggak bisa diomongin ke ibumu aja?”

Belum sempat Juang membantah, Mama Risa membanting pintu di depan wajahnya. Samar-samar Juang mendengar gerutuan wanita itu dari balik pintu bicara tentangnya, menyebut Juang sebagai 'beban' yang tidak pernah ia inginkan. Juang sadar diri, ia memang tidak diinginkan di sini.

Melangkah gontai, Juang berjalan ke gerbang. Sekali lagi ia tolehkan kepala, berharap Bapak akan membuka pintu dan menahannya pergi, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Ia hanya sendiri. Sore itu Juang terus-terusan bertanya pada dunia, atas dasar apa ia hidup? Sewaktu kecil Bapak dan Ibu berkata bahwa Juang ada sebagai sumber kebahagiaan mereka. Bahwa Juang adalah hadiah dari Tuhan bagi Bapak dan Ibu. Tapi di usia tujuh belas, Juang tahu bahwa itu tidaklah benar.

Untuk pertama kalinya Juang betul-betul merasa sendiri. Ia menyalakan motor, kembali pada hiruk-pikuk Jakarta yang semakin membuatnya merasa sepi. Dalam benak, Juang bertanya; kepada siapa harus ia tuntut rasa kesepian ini?

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

***

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

“Udah bangun?” Suara serak milik Adi menyambut Juang sewaktu ia membuka mata. Jam digital pada dasbor mobil menampilkan angka 19:12, sudah lewat waktu Isya. Pantas saja tenggorokannya kering kerontang. Ia belum makan apapun sejak pagi.

“Nih, minum dulu.” Adi menyerahkan segelas penuh es teh ke arah Juang. Es batunya sudah meleleh sempurna.

Suara debur ombak memberi tanda pada Juang di mana mereka berada kini. Bau asin laut tercium di udara sewaktu Adi mematikan pendingin dan membuka kaca mobil. Perlu beberapa detik bagi Juang untuk menyadari bahwa keningnya bermandi peluh dan jantungnya berdebar keras sejak tadi.

“Di, kalau lagi kesepian, lo biasanya nyalahin siapa?”

“Tiba-tiba banget dah, pertanyaan lo,” Adi mengangkat sebelah alisnya. “What happened?

“Jawab aja, Di.”

Menarik napas, Adi membuang pandangnya pada hamparan gelap di depan mata. Pada hamparan laut yang tampak tidak berujung. “Nggak nyalahin siapa-siapa. Nyalah-nyalahin orang tuh bukan jawaban masalah. Lo sendiri yang dulu bilang gitu ke gue.”

“Iya, kah?” Juang menyedot es miliknya lagi. “Kapan?”

“Dulu. Gue ngomong juga lo gak bakal inget, deh,” Adi membalas. “Menurut gue, a place where I belong itu bukan ditemukan, Ju. Tapi dibuat. Kalau lo kesulitan buat nyiptain tempat itu sendiri, gue bisa bantuin.”

Juang menoleh, menatap Adi tepat di mata. Ia coba menggali dusta dari kedua mata yang memandangnya penuh keyakinan itu, hanya untuk menemukan kesungguhan di sana. Lamat-lamat Juang menghela napas. “Thanks, Di,” katanya.

Adi tersenyum. “Anytime.”

Juang kembali memandang pada laut yang gelap. Jantungnya tidak lagi berdebar takut, berganti oleh debaran lain yang datang dari senyuman Adi. Kepalanya tidak lagi penuh oleh rasa cemas. Berganti oleh sebaris tanya; bolehkah ia bergantung pada Adi lebih dari ini?

“Oper, oper!” Aris, teman satu kantor Juang, berseru dari sisi lapangan.

Bunyi tendangan terdengar nyaring sewaktu sepatu futsal Juang beradu dengan bola kulit yang menggelinding di atas rumput sintetis lapangan. Udara terasa lembab dan sedikit sesak sewaktu seruan memenuhi atmosfer, menarik Juang ikut serta dalam euforia singkat yang datang dari gol barusan. Aris mengulurkan tangan, mengundang Juang untuk bertukar tos singkat dibumbui sebaris tawa.

“Emang nggak salah gue ngajak lo futsal, Wang,” kata Aris, sebelum melempar pandangan penuh kesombongan ke arah barisan anak-anak Planning, Production & Internal Control. “Biar mampus tuh orang-orang PPIC. Siapa suruh pada banyak gaya.”

Juang hanya tergelak menanggapi. “Kocak dah, lu. Berantemnya.”

Futsal hari ini dipelopori oleh ketegangan yang timbul antara Aris dan seorang anak baru di departemen PPIC. Yang dimulai dari perselisihan kekanakan perihal mengajak kencan seorang pegawai divisi Marketing. Juang, sih, malas betul kalau harus terlibat. Kedatangannya hari ini tidak lain dan tidak bukan datang dari upayanya untuk menggilas bosan. Alasan lainnya, adalah karena Surya belakangan ini datang ke rumah kos miliknya tanpa diundang dan Juang malas meladeni lelaki sinting itu lebih lama.

“Dapet berapa, Ris?” itu adalah Fajar, salah satu pegawai divisi Engineering.

“Lumayan lah, dua juta,” Aris menjawab sambil terkekeh. “Mau foya-foya dimana kita malem ini?”

“Skip, gue. Mau balik aja langsung ke kosan,” Juang menggeleng. Ia tidak sedang dalam suasana hati yang cukup menyenangkan untuk menghabiskan malam di luar. “Yudis mau datang ke kosan sekitaran jam sebelas nanti.”

“Jujur sama gue, deh. Yudis-Yudis ini tuh pacar lu, kan?” Aris memicingkan mata, berupaya menyudutkan Juang dan menuntaskan rasa penasarannya. “Lu sering banget mangkir kumpul karena dia minta dijemput, atau karena dia mau dateng ke kosan. Lu juga bisa langsung tiba-tiba cabut kalau si Yudis minta jalan. Jujur sama gue, deh. Lu tuh sebenernya pacaran sama dia, kan?”

“Ngaco, lu,” Juang mendengus. “Sahabatan doang gue sama dia.”

Bullshit. Sahabat apaan nginep-nginepan mulu. Dia mau beli celana kerja doang mesti banget minta tolong ke lu?”

Juang menghela napas. Alisnya sedikit berkedut, dan ekspresinya tidak lagi bersahabat. “Sahabatan doang,” jawabnya singkat dengan nada tajam.

Aris mengulum bibir, menahan diri untuk memuntahkan satu lagi kata yang bisa saja memutus benang kesabaran Juang. Lelaki yang dua tahun lebih tua itu memilih untuk mengangkat bahu dan menyerah pada pertanyaan-pertanyaannya. “Duitnya jadi gue kirim ke lu aja, nih?”

Juang menggeleng. “Gak usah. I had fun. Nikmatin aja duitnya sama lu-lu pada.”

“Oh, how generous of you, Mr. Juang Bagaspati,” Fajar berkata main-main. “Gue bekelin martabak nanti pas balik.”

“Gak usah, Anjing,” Juang mengumpat. “Gue balik duluan kalo—“

“Wang! Ada yang nyariin lu, nih!” Belum sempat menyelesaikan ucap pamitnya, Juang mendengar namanya dipanggil Radika, satu lagi temannya di divisi Engineering.

Juang menoleh, mencari sumber suara dan menemukan Radika berdiri dekat pintu masuk bersisian dengan sosok mungil yang Juang kenali sebagai Jana Wijaya.

Shit.”

“Hai, Kak.” Adalah sapa yang Jana lempar pada Juang sewaktu jarak mereka menipis menyisakan dua langkah. Anak lelaki yang sedang berada di bangku semester dua kuliah itu terlihat manis dengan sebuah hoodie abu-abu dan celana panjang senada. “Kebetulan banget ketemu di sini.”

Kebetulan my ass.

“Ngapain lu di sini?” Juang memangkas basa-basi. Tatapannya terlihat jelas curiga, tapi Jana tampak tidak peduli.

Jana mengedikkan bahu, menunjuk ke arah lapangan dua dimana sekumpulan anak laki-laki sedang membereskan tas mereka selepas bermain futsal. “Ikut acara anak-anak SMA aja,” sahutnya santai. “Aku tadi mau samperin Kakak, tapi Kak Juang lagi sibuk main futsal.”

Juang mendengus. “Sip kalo gitu. Gak ada keperluan sama gue, kan? Gue mau balik.”

Buru-buru Jana menahan tangan Juang sewaktu lelaki itu hendak melangkah pergi. “ADA!” serunya nyaring, memancing tatap penasaran beberapa orang di dalam gedung. “Ada, Kak. Ih, jangan main pergi-pergi aja, dong.”

“Nyebut, Wang. Belom apa-apa udah pegang-pegangan aja, lo.” Suara Fajar terdengar di belakang punggung Juang. Nadanya penuh goda.

“Aku boleh nebeng Kak Juang pulang, nggak?” Jana berujar, menatap Juang dengan raut penuh permohonan.

“Gak bisa. Gue tadi ke sini bareng Fajar,” Juang menolak tegas.

Fajar menggeleng, membalas. “Eh, santai aja, Wang. Gue bisa numpang sama Dika atau yang lain, kok. Lu anterin aja tuh anak, kasian.”

Juang tidak bodoh, kok. Dia tahu betul Jana sedang modus, dan Juang tidak ada maksud menerima apapun yang anak lelaki itu sedang upayakan. “Nggak bisa. Gue order gojek aja buat lu,” kata lelaki bernama lengkap Juang Bagaspati itu sembari dengan sigap memesan satu ojek lewat gawai pintarnya.

“Daripada sama gojek, mending aku sama Kak Juang aja. Ya? Ya?” Juang masih menggeleng. “Motor gue gak enak dipake bonceng orang.”

Dusta. Motor Juang masih baik-baik saja setelah dipakai membonceng Fajar tadi, kok.

“Tapi tadi sama Kakak yang itu bisa,” Jana merajuk, menunjuk pada Fajar yang sudah berlalu lebih dulu.

Juang masih keras kepala. “Gue orderin gojek buat lu, udah di jalan motornya.”

Jana merengut sebal, merasa gagal menjebak Juang malam ini. Teman-temannya terlihat bingung sewaktu mereka berjalan melewati Jana, tapi memilih untuk tidak bertanya lantaran yang disebut belakangan sudah melotot galak ke arah mereka.

“Kakak kenapa sih nggak mau nganterin aku. Ini udah malem lho, Kak? Emangnya Kakak nggak takut anak cakep kayak aku diapa-apain di jalan?”

Juang mengerutkan dahi. “Nggak,” balasnya singkat. “Lagian kalau lu takut malem-malem naik ojek, ya nggak usah keluar malem.”

Jana menghela napas keras-keras. Di dalam hatinya ia tahu bahwa segala jenis bujuk rayu tidak akan mempan menembus kekeras kepalaan Juang malam ini. Duh, Kak Candra, bisa-bisanya punya teman ganteng tapi sedingin ini. Sedikit banyak, Juang sudah menoreh luka pada harga diri Jana yang nyaris tidak pernah tergores.

“Ojeknya udah di depan. Gue duluan, ya,” kata Juang, lantas melesat keluar tanpa Jana sempat mencegahnya.

Ugh! Susah betul mau PDKT doang!