Untuk Joshua: Sepintal Rindu
ada kalanya cuma dan cukup adalah dua kata yang sama dan apabila di sana kautemukan cinta, di antara seluruh penderitaan yang menimpa hidupmu, berbahagialah akhirnya ada satu penderitaan yang bisa kaupilih sendiri
m. aan mansyur dalam “mengapa luka tidak memaafkan pisau”
________________
Joshua S. Jihan?
________________
“Udahlah, cuekin aja, sih.”
Haris mengaduk americano dingin miliknya sambil menatapku tepat di mata. Alisnya menukik sedikit. Bukan tanpa sebab cowok itu terlihat terganggu. Aku mengerti kenapa Haris kesal. Aku hanya enggan mengakui bahwa ada sebagian kecil dari diriku yang merasa bahwa ini semua normal. Bahwa semesta mungkin sedang tergerak oleh salah satu doa yang aku bisikkan padanya dulu, sewaktu tidur tersasa sulit sebab malamku selalu penuh oleh wajah orang itu. Sedikit banyak, aku benci pada diriku sendiri. Bahwa tidak peduli berapa banyak Arsa dan Haris ingatkan padaku untuk bangkit dan berjalan maju tanpa perlu menoleh lagi, akan ada satu waktu dimana aku buka lagi memori-memori-memori itu, yang harusnya aku kubur dalam-dalam sejak dulu.
“What's wrong with having a good relationship with your ex?,” aku bertanya. Kubuang pandangan pada lalu lintas di balik kaca kafe. Jakarta selalu terlihat hidup, selalu tampak ramai seolah kota ini tidak pernah mengenal tidur. “Gue sama dia bisa jadi temen, Har. Nggak ada balikan, tapi menurut gue nggak baik juga mutus silaturahmi.”
Kini giliran Emir yang mendengus. Dari raut wajahnya, aku bisa menerka bahwa cowok itu baru saja mengataiku pendusta dalam kepala. “Lo sama Joshua Sanjaya itu nggak akan pernah bisa jadi temen, Ji.”
Satu lagi yang kadang aku benci, adalah tentang bagaimana Haris dan Emir mengenalku lebih baik dari aku mengenal diriku sendiri. Seolah mata mereka bisa menembus lapisan kebohongan yang berulang kali aku muntahkan dengan rapi dan tanpa cela. Barangkali aku hanya enggak mengakui bahwa efek orang itu masih sama hebatnya. Masih selalu berhasil meruntuhkan pertahananku meski hanya lewat sebuah 'halo' yang tidak bermakna. Aku enggan mengaku bahwa sudah kubuang waktuku berlari selama empat tahun hanya untuk kembali pada titik semula.
“Lo berdua percaya aja sama gue,” kubalas dengan gusar. Entah apakah sedang kucoba yakinkan Emir dan Haris atau diriku sendiri.
“Tapi—” Haris menimpal, yang berakhir disudahi Emir lewat gestur tangan.
“Gue anggap lo udah gede, Ji. Lo adalah yang paling tau perasaan lo sendiri, dan gimana lo harus menyikapi itu. Joshua pernah nyakitin lo, tapi bukan berarti dia nggak pernah bikin lo jadi orang paling bahagia juga,” Emir menarik napas, “tapi gue masih tetep pegang prinsip kalau buku yang udah tamat, mau lo baca berapa kali pun endingnya bakal tetep sama.”
Aku menyedot latte yang rasanya hambar itu, berupaya mengguyur tenggorokan yang mendadak terasa kering. “Gue cuma mau baca, Mir,” kataku dengan nada suara naik sedikit. “Bukan mau nulis ulang endingnya.”
________________
Aku sampai di kamar kosan saat jam sudah menunjuk pukul delapan lewat lima belas malam. Lepas melempar waist bag ke sembarang arah, kulemparkan tubuh ke atas ranjang. Langit-langit kamar yang berwarna putih pucat menyapaku sedetik sebelum aku menutup mata. Gelap. Hari ini terasa berat sekali. Kemacetan Jakarta tidak biasanya terasa begitu menguras energi. Mungkin itu karena aku kesiangan tadi pagi, atau karena aku tidak begitu menikmati latte kafe baru yang kami datangi (rasanya buruk, omong-omong), atau karena obrolan dengan Haris dan Emir dipenuhi seputar Joshua Sanjaya; nama yang sudah empat tahun ini dinyatakan tabu untuk kami bahas bersama.
Dusta macam apa yang aku katakan pada Emir dan Haris siang tadi?
Entah sudah berapa kali aku ulangi pengandaian itu, soal bagaimana jadinya aku dan Joshua andai saja ego kami dapat ditekan sedikit kala itu. Bagaimana kalau aku memutuskan mengalah, atau bagaimana jadinya kalau aku sabar menunggu Joshua selesai dengan dirinya sendiri seperti cowok itu menungguku selesai dengan diriku di masa lalu? Puluhan pengandaian itu datang silih berganti di waktu-waktu yang tak menentu. Seolah dunia sedang coba ingatkan padaku bahwa Joshua akan selalu ada di berbagai titik hidup Jihan Mahesa.
Entah apa ini cinta atau dunia sedang mengutukku.
Empat tahun tidak pernah terasa lebih baik dari neraka bagiku dan kenangan-kenangan sialan ini. Jauh dari Karawang tidak lantas membuat segala ingatan itu mati. Aku masih melihat Joshua di dalam mimpi. Aku masih melihatnya berseliweran di pedestrian jalan dengan kamera dalam genggaman. Aku masih mengingat Joshua sewaktu ziarah ke makam Mama. Aku melihat Joshua di mana-mana.
Papa adalah orang yang paling terkejut sewaktu kubawa kabar berpisahnya aku dan Joshua padanya. Ia selalu menyukai Joshua. Mereka berdua bisa duduk berjam-jam di ruang tengah, bicara tentang segala hal di dunia yang bisa dibicarakan. Mulai dari bisnis sampai klub bola, ekonomi dunia sampai biji kopi. Aku tahu berat bagi Papa untuk menerima bahwa ia tak bisa lagi mengajak Joshua bicara. Barangkali lebih berat lagi baginya melihat aku tidak lagi tersenyum selama berbulan-bulan selepas perpisahan itu.
Satu tetes air mata jatuh. Diikuti tetes-tetes lainnya yang kemudian menganak sungai di pipi dan pelipisku tanpa permisi. Bohong kalau kubilang aku tak lagi terluka. Rindu yang menggumpal dalam dadaku rasanya hampir buncah keluar lewat ujung kepala. Tapi gagal kutemukan pelampiasan yang sepadan dengan kerinduan yang bertumpuk-tumpuk itu; tidak jua tangis yang bertambah hebat. Dadaku sesak, mataku panas, tapi rinduku tak juga kandas.
________________