Perihal Kita dan Selamanya

Author Notes:

  1. Erlang dan Nale sudah bekerja.
  2. This happen far far away in the future when the pandemic is over.
  3. Please note that it have been so long since I visited Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda. Mohon maaf kalau ada kesalahan deskripsi.
  4. Maaf atas segala typo di antara kita.

hatiku yang kau genggam sekarang, semula adalah ruang berantakan berisi ribuan ragu dan rasa takut. kau perlu menggunakan sepatu untuk mengitari isinya. aku menyisakan pecahan-pecahan kaca di permukaan lantai. sisa-sisa harap yang semula kupelihara, sebelum diluluh-lantakkan oleh semesta.

di samping lemari kelak akan kau temukan potret berlumut yang tidak lagi bisa kuingat apa gambarnya. mungkin itu senyuman ibuku. mungkin itu tawa kakakku. mungkin itu aku sebelum ayah menghadiahi makian dan luka-luka berwarna biru. mungkin itu kau. mungkin itu kita.

sewaktu aku kebingungan menjawab apa isinya, kau bilang: “anggap dia apa pun yang kau mau, maka dia adalah apa pun yang ada di kepalamu.”

kubilang, ruang itu adalah mimpi burukku. ruang itu berisi jejak-jejak yang tidak mau aku tapaki ulang. berisi rekam memori yang tidak sudi aku kenang kembali. sebelum kemudian kau bersikeras berkata bahwa perbedaan mimpi buruk dan mimpi indah terletak pada bagaimana perasaanku sewaktu bangun.

Grow As We Go

Read this while listening to: Grow As We Go by Ben Platt

Ooh, who said it's true That the growing only happens on your own? They don't know me and you

“Mobil kamu tumben banget wangi?” Tidak ada jejak rasa bersalah di wajah Nale selepas berkata begitu. Ia menutup pelan pintu Honda Brio keluaran tahun 2018 berwarna putih milik Erlang. “Eh, maaf. Maksudnya bukan berarti biasanya bau, Sayang. Tapi hari ini especially wangi, gitu.”

Erlang berdecak. “Alesan aja,” dengusnya sebelum menekan pedal gas, membawa mobilnya keluar dari komplek perumahan Nale.

Nale tertawa. Lantas ia maju mendekati lengan Erlang, mengecup bagian yang tidak tertutup kaos pendek warna abu-abu yang lelaki itu pakai; berupaya mengurangi rasa sebal pacarnya. “Kerjaanmu gimana, Sayang?”

“Masih gitu-gitu aja, nggak ada yang istimewa. Cuma perusahaan emang lagi goyang dikit karena kecelakaan kemarin.”

Nale mengecup lengan Erlang satu kali lagi sebelum duduk dengan benar pada joknya. “Yang ledakan kilang minyak itu?”

Erlang mengangguk.

It's okay. Kan udah ada yang urus. Hari ini kita pikirin soal kita aja, ya?”

Erlang tersenyum. Jalanan Bandung ramai sekali sore itu. Tampaknya semua orang sedang memilih untuk menghabiskan Sabtu malam di luar rumah. Tapi Erlang tidak terlalu peduli. Reservasi yang dibuatnya masih dua setengah jam lagi, dan sekalipun semesta tidak memberi kesempatan baginya membawa Nale makan malam, menghabiskan waktu bersama sudah jauh lebih berharga.

Erlang mengambil tangan kanan Nale, lantas ia bawa pada genggaman sambil sesekali mengecupi jari-jarinya, dan membiarkan rindunya buncah menghujani laki-laki yang dua bulan tidak bisa ia temui. Rasanya hari-hari Erlang berjalan luar biasa lambat berada jauh dari Nalesha. Padahal mereka sudah memasuki tahun keempat hubungan jarak jauh, memijak tahun kesepuluh keduanya bersama.

'Pacaran kok lama bener. Kalau KPR rumah, dikit lagi udah lunas, tuh,' adalah kalimat yang pernah Erlang dengar dari Sagara; sahabatnya yang setahun lalu melepas masa lajang bersama seorang laki-laki bernama Artias yang dikenalnya di tempat kerja. Erlang hanya bisa mencibir saja, sebab bukankah Yasa dan Krisna berkencan lebih lama dibanding Nale dan dirinya?

“Kangen,” kata Erlang, yang dibalas Nale dengan tawa kecil. “Kangen banget, asli. Kayak udah lama banget nggak ketemu kamu, Ca. I think I'm slowly losing my mind because I miss you too much.”

“Dih? Belajar dari mana, kamu, gombal begini?” Nale mencibir. Meski tak ayal ia pun menikmati afeksi Erlang yang jarang-jarang muncul ke permukaan.

Gantian Erlang yang tertawa. “Diajarin Gusti.”

“Gusti temen kamu yang suka kamu ceritain itu?” Nale bertanya sembari meremat jemari Erlang. “Yang kamu bilang tiap minggu ngajak nginep cewek beda-beda di Swiss-Belhotel Cirebon?”

Erlang mengangguk. “Kamu suka, nggak?”

Nale melepas genggaman, membiarkan Erlang kembali fokus mengatasi kemacetan yang mereka temukan di Jalan Jakarta. “Sekali-sekali aja, tapi. Jangan keseringan.”

Erlang tertawa lagi.

You won't be the only one I am unfinished, I've got so much left to learn

Sandyakala sudah tidak berbekas sewaktu mobil yang Erlang dan Nale kendarai memasuki pekarangan berbatu di Taman Hutan Raya Juanda. Ini belum memasuki musim hujan, masih pertengahan Agustus, tapi suhu dingin dari kawasan konservasi di bagian utara Kota Bandung menyambut Nale sewaktu ia melangkah keluar. Erlang mengulurkan tangan, menunggu jemari Nale menggapai dan masuk pada celah di antara jari-jarinya. Sebuah refleks yang selama sepuluh tahun mereka pelihara.

“Di ajak ke sini lagi dalam rangka apa, nih, Pak?” Nale menggoda. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang entah oleh suhu yang dingin atau oleh jelaga Erlang yang menatap padanya seolah ia adalah manusia paling penting di muka bumi.

“Napak tilas, ceritanya,” kata Erlang setengah bergurau. “Sebentar lagi udah mulai masuk, nih, Sayang. Yuk?”

“Jangan bilang kamu mau ngajakin aku makan di restoran lampu-lampu itu?” alis Nale menyipit sedikit; curiga.

“Ketebak banget, ya?” Erlang terkekeh.

I don't know how this river runs But I'd like the company through every twist and turn

Tempat makan kawasan VIP yang jadi lokasi Erlang dan Nale duduk menghabiskan malam merupakan sebuah area dengan kilau lampu warna-warni di bagian atas. Lantainya terbuat dari kayu; begitu pula meja dan kursinya. Ada sebuah lampu berbentuk bintang yang berpendar jingga di atas setiap meja, dan hampir semua meja terisi penuh sewaktu Erlang dan Nale duduk.

Tidak banyak menu yang bisa dipilih. Erlang memilih ayam penyet, dan Nale memilih bakso aci sebagai hidangan makan malam mereka hari ini. Tidak cukup fancy, tapi berada di Tahura sendiri setelah dari sini lah cerita mereka pernah bermula memberi sengatan-sengatan menyenangkan pada hati Nale. Segala sesuatu yang Erlang lakukan terasa sederhana, tapi meninggalkan bekas yang luar biasa.

Serius, deh. Pacarnya itu mungkin pakai guna-guna. Bisa-bisanya sepuluh tahun sudah berlalu dan Nale tidak pernah berhenti jatuh cinta padanya?

“Terakhir kita ke sini tuh kapan sih, Lang? Kuliah deh kayaknya? Semester berapa, sih?” Dengan mulut penuh, Nale melontarkan satu demi satu pertanyaan. Tidak terlihat malu sekalipun Erlang harus menyaksikan pipinya menggambung dan bibirnya merah oleh kuah bakso aci.

Mengambil selembar tisu dari dalam tas bahu yang dipakainya, Erlang mengelap sisa-sisa kuah di pinggiran bibir Nale. “Semester lima, pas nyempetin pulang sebelum magang.”

“Oh iya, bener. Ih, waktu itu juga udah ada ginian, kan? Tapi kita nggak kebagian tiket, terus jadinya ke sini pas siang-siang aja. Mana keujanan pas di Goa Jepang. Iya nggak, sih?”

Erlang terkekeh. “Iya. Apes mulu perasaan kalau ke sini, nggak tau kenapa.” Erlang mendorong piringnya yang sudah kosong, sebelum beranjak untuk mencuci tangannya di westafel terdekat.

I don't know who we'll become I can't promise it's not written in the stars But I believe that when it's done We're gonna see that it was better That we grew up together

Jam di pergelangan tangan Nale menunjuk angka delapan lewat tiga puluh sewaktu mereka berjalan ke pintu keluar. Nale bisa merasakan segalanya malam itu; suara tonggeret, sinar lampu yang sekilas mirip kunang-kunang, licin bebatuan pada jalan setapak, degup jantungnya, juga basah keringat pada telapak tangan Erlang. Malam ini ia merasa hidup. Bukan berarti Nale yang kemarin mati. Hanya saja ada yang berbeda dari cara Erlang memberi warna pada hari-harinya.

Erlang bilang, kesehariannya membosankan tanpa Nalesha. Sedang Nale pikir, ia butuh Erlang sama besarnya. Apa jadinya hidup Nale yang membosankan andai saja Erlang tidak pernah datang?

Mereka berhenti di belakang mobil. Lebih tepatnya, Erlang yang menghentikan langkah. Sedang Nale kebingungan sendiri berpikir soal kenapa Erlang tidak mengantarkan ke pintu mobil seperti bagaimana lelaki itu selalu lakukan. Kekasihnya terlihat gugup, dan Nale tidak bisa memikirkan kemungkinan apa pun.

“Ca?” Erlang memanggil, mengundang mata mereka untuk bertemu di bawah keremangan lampu. “Kamu pernah mikir nggak, gimana jadinya hidupmu tanpa aku?”

Ujung-ujung alis Nale nyaris bertemu. “Kok kamu nanya gitu sih, Sayang?”

“Soalnya aku nggak pernah,” ucap Erlang lagi. Mata hitamnya menatap Nale serius, membuatnya ikut gugup. “Aku nggak pernah, dan nggak mau mikirin hidup tanpa kamu. Aku nggak bisa lagi inget hidupku gimana pas kamu nggak ada, dan nggak bisa bayangin kalau bisa jadi ada saat-saat di masa depan pas kamu nggak lagi sama aku.”

Belum sempat Nale menyela, Erlang membuka kap belakang mobil; memberi akses bagi Nale melihat apa yang lelaki itu sembunyikan di bagasi. Sebuket bunga, yang masih terlihat baik-baik saja meski terbalik dan agak layu. Buket itu besar sekali sampai Nale harus memeluknya dengan kedua tangan.

“Aku nggak tahu gimana caranya aku deskripsikan perasaanku ke kamu. Butuh dan sayang aja rasanya nggak cukup. Aku nggak sempurna, Ca. Aku nggak bisa janji ke kamu kalau aku nggak akan pernah bikin salah. Tapi aku bisa janji untuk selalu nyoba lebih baik lagi, untuk nggak pernah nyakitin kamu. Aku mau belajar sama kamu, mau bikin salah bareng sama kamu, mau memperbaiki diri sama kamu... intinya aku mau hidupku keiket sama hidupmu.

Kita nggak bakal selamanya sama. Kita bakal bosan, bakal capek, bakal jenuh. Tapi aku mau nyoba semuanya sama kamu. Apa pun itu, asal sama kamu, aku mau.” Erlang merogoh saku, mengeluarkan kotak beludru warna biru tua. “Aku sayang sama kamu, Nalesha. Kamu mau nggak, nikah sama aku?”

Lalu dunia Nale rasanya berhenti bergerak. Erlangga tidak berlutut. Ia tidak menggenggam tangan Nale yang sedang sibuk mempertahankan buket bunga raksasa dalam pelukan. Nale bahkan yakin baik ia maupun Erlang sama-sama tuli pada sorak-sorai di sekeliling mereka. Tempat ini tidak romantis. Makan malam mereka tidak diisi oleh kelopak mawar dan lilin-lilin yang manis. Demi Tuhan, mereka hanya makan ayam penyet dan bakso aci!

Tapi Nale menyebutnya Erlang's magic. Sebab hanya Erlang satu-satunya manusia yang bisa membuat Nale merasa begini. Merasa istimewa lewat hal-hal sederhana. Bintang-bintang di kedua mata yang akan selalu jadi favorit Nale itu menyimpan harap dan rasa cinta; lebih besar dari yang pernah Nale temukan bersemayam pada netra semua orang yang dikenalnya.

Nale tidak percaya pada selamanya. Orang-orang di sekitarnya selalu bersikap skeptis pada cinta dan janji-janji yang mengekor di belakangnya. Tapi bersama Erlang, Nale ingin percaya. Nale ingin mencoba. Nale ingin ikut membangun selamanya bagi mereka berdua.

Maka bersama tangis yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya, Nale mengangguk. Ia letakkan buket bunga kembali ke bagasi mobil, sambil merentangkan satu tangan guna mengundang Erlang dalam dekapan. Tepuk tangan dan siul iseng dari orang-orang asing di sekitar mereka terdengar jauh di telinga Nale sewaktu ia hidup wangi tubuh Erlang yang tidak pernah berubah. Berkali-kali ia ucap syukur sewaktu Erlang hujani lehernya, pipinya, dan bahu Nale yang terbungkus kemeja biru muda dengan kecupan kupu-kupu.

Ah, rasanya tidak sabar menjalani selamanya bersama Erlang sampai waktu berhenti.

FIN