Futsal dan Upaya-upaya Jana

“Oper, oper!” Aris, teman satu kantor Juang, berseru dari sisi lapangan.

Bunyi tendangan terdengar nyaring sewaktu sepatu futsal Juang beradu dengan bola kulit yang menggelinding di atas rumput sintetis lapangan. Udara terasa lembab dan sedikit sesak sewaktu seruan memenuhi atmosfer, menarik Juang ikut serta dalam euforia singkat yang datang dari gol barusan. Aris mengulurkan tangan, mengundang Juang untuk bertukar tos singkat dibumbui sebaris tawa.

“Emang nggak salah gue ngajak lo futsal, Wang,” kata Aris, sebelum melempar pandangan penuh kesombongan ke arah barisan anak-anak Planning, Production & Internal Control. “Biar mampus tuh orang-orang PPIC. Siapa suruh pada banyak gaya.”

Juang hanya tergelak menanggapi. “Kocak dah, lu. Berantemnya.”

Futsal hari ini dipelopori oleh ketegangan yang timbul antara Aris dan seorang anak baru di departemen PPIC. Yang dimulai dari perselisihan kekanakan perihal mengajak kencan seorang pegawai divisi Marketing. Juang, sih, malas betul kalau harus terlibat. Kedatangannya hari ini tidak lain dan tidak bukan datang dari upayanya untuk menggilas bosan. Alasan lainnya, adalah karena Surya belakangan ini datang ke rumah kos miliknya tanpa diundang dan Juang malas meladeni lelaki sinting itu lebih lama.

“Dapet berapa, Ris?” itu adalah Fajar, salah satu pegawai divisi Engineering.

“Lumayan lah, dua juta,” Aris menjawab sambil terkekeh. “Mau foya-foya dimana kita malem ini?”

“Skip, gue. Mau balik aja langsung ke kosan,” Juang menggeleng. Ia tidak sedang dalam suasana hati yang cukup menyenangkan untuk menghabiskan malam di luar. “Yudis mau datang ke kosan sekitaran jam sebelas nanti.”

“Jujur sama gue, deh. Yudis-Yudis ini tuh pacar lu, kan?” Aris memicingkan mata, berupaya menyudutkan Juang dan menuntaskan rasa penasarannya. “Lu sering banget mangkir kumpul karena dia minta dijemput, atau karena dia mau dateng ke kosan. Lu juga bisa langsung tiba-tiba cabut kalau si Yudis minta jalan. Jujur sama gue, deh. Lu tuh sebenernya pacaran sama dia, kan?”

“Ngaco, lu,” Juang mendengus. “Sahabatan doang gue sama dia.”

Bullshit. Sahabat apaan nginep-nginepan mulu. Dia mau beli celana kerja doang mesti banget minta tolong ke lu?”

Juang menghela napas. Alisnya sedikit berkedut, dan ekspresinya tidak lagi bersahabat. “Sahabatan doang,” jawabnya singkat dengan nada tajam.

Aris mengulum bibir, menahan diri untuk memuntahkan satu lagi kata yang bisa saja memutus benang kesabaran Juang. Lelaki yang dua tahun lebih tua itu memilih untuk mengangkat bahu dan menyerah pada pertanyaan-pertanyaannya. “Duitnya jadi gue kirim ke lu aja, nih?”

Juang menggeleng. “Gak usah. I had fun. Nikmatin aja duitnya sama lu-lu pada.”

“Oh, how generous of you, Mr. Juang Bagaspati,” Fajar berkata main-main. “Gue bekelin martabak nanti pas balik.”

“Gak usah, Anjing,” Juang mengumpat. “Gue balik duluan kalo—“

“Wang! Ada yang nyariin lu, nih!” Belum sempat menyelesaikan ucap pamitnya, Juang mendengar namanya dipanggil Radika, satu lagi temannya di divisi Engineering.

Juang menoleh, mencari sumber suara dan menemukan Radika berdiri dekat pintu masuk bersisian dengan sosok mungil yang Juang kenali sebagai Jana Wijaya.

Shit.”

“Hai, Kak.” Adalah sapa yang Jana lempar pada Juang sewaktu jarak mereka menipis menyisakan dua langkah. Anak lelaki yang sedang berada di bangku semester dua kuliah itu terlihat manis dengan sebuah hoodie abu-abu dan celana panjang senada. “Kebetulan banget ketemu di sini.”

Kebetulan my ass.

“Ngapain lu di sini?” Juang memangkas basa-basi. Tatapannya terlihat jelas curiga, tapi Jana tampak tidak peduli.

Jana mengedikkan bahu, menunjuk ke arah lapangan dua dimana sekumpulan anak laki-laki sedang membereskan tas mereka selepas bermain futsal. “Ikut acara anak-anak SMA aja,” sahutnya santai. “Aku tadi mau samperin Kakak, tapi Kak Juang lagi sibuk main futsal.”

Juang mendengus. “Sip kalo gitu. Gak ada keperluan sama gue, kan? Gue mau balik.”

Buru-buru Jana menahan tangan Juang sewaktu lelaki itu hendak melangkah pergi. “ADA!” serunya nyaring, memancing tatap penasaran beberapa orang di dalam gedung. “Ada, Kak. Ih, jangan main pergi-pergi aja, dong.”

“Nyebut, Wang. Belom apa-apa udah pegang-pegangan aja, lo.” Suara Fajar terdengar di belakang punggung Juang. Nadanya penuh goda.

“Aku boleh nebeng Kak Juang pulang, nggak?” Jana berujar, menatap Juang dengan raut penuh permohonan.

“Gak bisa. Gue tadi ke sini bareng Fajar,” Juang menolak tegas.

Fajar menggeleng, membalas. “Eh, santai aja, Wang. Gue bisa numpang sama Dika atau yang lain, kok. Lu anterin aja tuh anak, kasian.”

Juang tidak bodoh, kok. Dia tahu betul Jana sedang modus, dan Juang tidak ada maksud menerima apapun yang anak lelaki itu sedang upayakan. “Nggak bisa. Gue order gojek aja buat lu,” kata lelaki bernama lengkap Juang Bagaspati itu sembari dengan sigap memesan satu ojek lewat gawai pintarnya.

“Daripada sama gojek, mending aku sama Kak Juang aja. Ya? Ya?” Juang masih menggeleng. “Motor gue gak enak dipake bonceng orang.”

Dusta. Motor Juang masih baik-baik saja setelah dipakai membonceng Fajar tadi, kok.

“Tapi tadi sama Kakak yang itu bisa,” Jana merajuk, menunjuk pada Fajar yang sudah berlalu lebih dulu.

Juang masih keras kepala. “Gue orderin gojek buat lu, udah di jalan motornya.”

Jana merengut sebal, merasa gagal menjebak Juang malam ini. Teman-temannya terlihat bingung sewaktu mereka berjalan melewati Jana, tapi memilih untuk tidak bertanya lantaran yang disebut belakangan sudah melotot galak ke arah mereka.

“Kakak kenapa sih nggak mau nganterin aku. Ini udah malem lho, Kak? Emangnya Kakak nggak takut anak cakep kayak aku diapa-apain di jalan?”

Juang mengerutkan dahi. “Nggak,” balasnya singkat. “Lagian kalau lu takut malem-malem naik ojek, ya nggak usah keluar malem.”

Jana menghela napas keras-keras. Di dalam hatinya ia tahu bahwa segala jenis bujuk rayu tidak akan mempan menembus kekeras kepalaan Juang malam ini. Duh, Kak Candra, bisa-bisanya punya teman ganteng tapi sedingin ini. Sedikit banyak, Juang sudah menoreh luka pada harga diri Jana yang nyaris tidak pernah tergores.

“Ojeknya udah di depan. Gue duluan, ya,” kata Juang, lantas melesat keluar tanpa Jana sempat mencegahnya.

Ugh! Susah betul mau PDKT doang!