Sepucuk Surat pada Senjakala

⠀ ⠀⠀ ⠀

Header

⠀ ⠀⠀ ⠀

Based on 'champagne problems' by Taylor Swift

⠀ ⠀⠀ ⠀

A Kookmin Story for #Kookminday21

⠀ ⠀⠀ ⠀

Tags: Heavy Angst, Post-Break Up, Letter, Alternate Universe, Happy Ending, Hurt/Comfort, Mention of Cheating, Depression, Trauma, Minor Character Death.

⠀ ⠀⠀ ⠀

Introducing: Park Jimin as Janari Basukiharja; Jeon Jeongguk as Gading Cakra Wiryamanta; Kim Namjoon as Jauhari Lukman; Kim Seokjin as Naren Baruna Ghafary; Min Yoongi as Manggala Pranadipa; Jung Hoseok as Raden Apta Gumilar; Kim Taehyung as Laksmana Bhanu.

⠀ ⠀⠀ ⠀

Pada dinding yang lapuk, susah payah kupahat ingatan-ingatan buram mengenai kita dan selamanya yang lagi-lagi rontok pada ujung jarum jam; terkatung-katung dicemooh kejadian Agaknya harapan adalah anak kecil yang banyak meminta; sedang kesempatan adalah penjual permen yang iseng senang mengerjai mereka Pada akhirnya, tidak lagi kutemukan kita Sampai pada suatu titik, kusadari, mungkin kita tidak lagi punya arti.

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

Kepada, Gading Cakra W.

Andai saja bisa, aku ingin kamu mendengar ini bersamaku, Cakra. Bunyi roda kereta menggilas rel sepanjang Jakarta sampai ke Bandung. Aku berharap kamu ada di sini sekarang. Duduk di sampingku, barangkali sibuk menonton anime dengan kaleng bir kedua dalam genggaman. Aku ingin berceloteh padamu tentang pohon-pohon yang kabur. Soal apakah mereka yang kita tinggalkan atau kita yang meninggalkan mereka? Kamu mungkin akan menjawab bahwa perkara tinggal dan meninggalkan adalah persoalan yang subjektif. Aku nyaris saja bisa membayangkan suaramu sewaktu kamu berkata: “Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu karena aku bukan pohon di sisi rel kereta, Jana.”

Ah, andai akan tetap menjadi andai yang melankolis. Pada akhirnya, alih-alih mengeluh padamu dan bertanya ini dan itu, aku hanya duduk memangku dagu memandangi segala sesuatu yang memburam di luar jendela. Undakan sawah, barisan pohon, deretan rumah-rumah kumuh, antrean kendaraan; segala sesuatu yang tidak kau saksikan. Seorang perempuan muda membantu seorang nenek menaiki kereta sewaktu kami tiba di stasiun Purwakarta. Kursi di sampingku pada akhirnya terisi oleh nenek tua itu, yang berkali-kali menawariku camilan ringan dan jamu buatan sendiri. Tapi masih saja bisa kulihat kamu pindah ke kursi lainnya, masih sibuk dengan anime dan dua kaleng minuman. Agaknya kenangan memang betul adalah masa lalu yang jatuh cinta pada nostalgia.

Aku tidak tahu kenapa aku menulis ini untukmu, Cakra. Barangkali karena kamu jadi alasan kepulanganku kini, setelah aku melarikan diri empat tahun yang lalu. Barangkali karena aku berutang penjelasan-penjelasan untukmu yang tidak lagi menunggu jawaban. Barangkali surat ini adalah tebusan bagi segala rasa bersalah yang coba aku tekan. Aku tidak begitu mengerti, dan tidak benar-benar mencoba. Terkadang segala sesuatu mungkin lebih baik tidak terjawab. Seperti pertanyaanmu soal kenapa, dan bagaimana, yang selalu gagal aku dengarkan.

Lewat surat ini, aku ingin berkata bahwa kau, Gading Cakra Wiryamanta, adalah entitas paling berharga yang mungkin saja hanya bisa aku temukan satu kali sepanjang hidup. Mungkin juga sepanjang waktu (kalau saja kita benar-benar punya kehidupan-kehidupan selanjutnya). Bertemu denganmu di hari hujan, di bawah atap tipis penjual jamu di dekat tempat kursus adalah kesempatan emas yang aku masih tidak percaya sudah aku sia-siakan begitu saja.

Tapi apalah arti sesal yang datang terlambat, bukan begitu, Cakra?

Tidak pernah satu kali pun aku lupa pada sosokmu di Jumat malam yang basah oleh hujan itu. Tentang bagaimana kamu mengikat rambutmu yang sedikit ikal ke belakang dengan sebuah karet gelang warna kuning. Bagaimana kacamata yang kamu gunakan melorot sampai ke ujung hidung. Basah dan berembun. Aku ingat postur kamu sewaktu sedang berdiri, pakaian yang kau gunakan, sampai wangi yang samar-samar keluar dari perpotongan pakaianmu yang nyaris kuyup. Lucu sekali, sebab setelah kutinggalkan kamu lewat cara paling bajingan, aku justru jadi orang yang paling kehilangan.

“Ibu tanya, kita kapan menikah?”

Sekarang, sewaktu aku memutuskan untuk berkata jujur padamu, aku akan mengatakan semuanya. Ada banyak sekali hal yang kusimpan untuk diriku sendiri selama kita bersama, Cakra. Satu lagi alasan kenapa penyesalan sialan ini tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Lewat satu surat ini, aku ingin membuka semuanya. Aku ingin, untuk satu kali saja, datang padamu dengan telanjang dan apa adanya.

Sejujurnya, aku takut, Cakra. Takut sekali. Aku tidak pernah benar-benar berhenti bermimpi buruk seperti yang pernah kukatakan padamu. Ingatan-ingatan itu tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Tapi bagaimana caranya aku jelaskan padamu soal ketakutan ini? Soal gemetar di sekujur tubuhku setiap kali kamu bicara soal selamanya dan selalu yang tidak pernah benar-benar aku percaya?

“Aku pikir, mungkin memang ini saatnya. Mimpi burukmu sudah mulai berkurang, dan aku lebih dari bersedia menunggu sampai kamu benar-benar siap. Tapi sampai saat itu tiba,” kamu berlutut di depanku, dengan kotak beludru di kedua tangan dan mata penuh harap bersinar terang. Perlu aku katakan padamu bahwa napasku sempat berhenti saat itu, sewaktu aku lihat binar harap di matamu yang selalu penuh oleh bintang-bintang. “Aku mau memastikan kalau kamu benar-benar bersedia untuk hidup selamanya sama aku, Jana. Kamu mau, kan, menikah sama aku?”

Percayalah bahwa aku mencintaimu, Cakra. Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu. Terkadang kupikir, aku mencintaimu lebih besar dari aku mencintai diriku sendiri. Tapi cinta rupanya tidak cukup menghapus ingatan. Ayah dan Ibuku pernah saling mencintai, tapi cinta rupanya tidak cukup membuat mereka berhenti menyakiti satu sama lain. Cinta tidak cukup membuat Ibu tinggal. Cinta tidak cukup menahan Ayah untuk tidak merangkak ke ranjang perempuan-perempuan yang sampai saat ini masih kerap muncul di mimpi-mimpi burukku.

Seandainya malam itu aku cukup berani untuk memintamu menunggu, barangkali kamu akan benar-benar melakukan itu. Mungkin saja kamu akan bangkit, melupakan sejenak cincin yang kamu pesan sejak dua bulan sebelumnya, dan memelukku sambil berkata bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Sekalipun tentu saja, keadaan tidak pernah benar-benar baik-baik saja untukku. Seandainya malam itu aku cukup berani, dan cukup egois, untuk memintamu bertahan bersama diriku yang berantakan. Barangkali kamu akan ada di sini. Duduk menonton anime dengan dua kaleng bir sebagai minuman. Kamu akan mendengarkan pertanyaan-pertanyaanku tentang pohon-pohon yang kabur. Tentang suara masinis, makanan yang disediakan di dalam kereta, soal lagu-lagu Taylor Swift, tentang seisi langit dan segala hal yang berpijak di atas bumi.

Sebab seperti itulah kamu, Cakra. Dan karena itulah aku jatuh cinta padamu dan tidak pernah benar-benar meninggalkan perasaanku.

Tapi aku pergi. Dan sekalipun aku tahu bahwa ditinggalkan adalah perasaan yang buruk setelah Ibu pergi meninggalkan aku sendirian menghadapi Ayah, aku tetap meninggalkanmu. Aku tetap bangkit dari kursi, dan berlari keluar dari The Parlor bersama pertanyaan yang tidak pernah bisa aku jawab. Sekarang, andai saja kamu bertanya padaku apa aku menyesali malam itu, aku akan dengan jujur berkata ‘iya’. Mimpi-mimpi burukku datang berulang-ulang, dan tidak ada lagi kamu di seberang telepon; bernyanyi untukku agar mereka pergi. Aku adalah pengecut, Cakra. Andai saja aku punya nyali untuk berlutut di hadapanmu dan memohon maaf, mungkin saja mimpi-mimpi buruk itu akan mengampuniku. Sebab, kalau kupikirkan ulang, siapa aku? Atas dasar apa aku berpikir bahwa aku punya hak untuk menyakitimu? Bahkan jikalau kamu hendak mengusirku dan membenciku selama-lamanya, setidaknya maaf itu pernah ada di antara kita berdua.

Ah, pada akhirnya egoisme adalah bagian dari diriku. Dan berkata bahwa aku memilih untuk tidak egois dan memintamu menunggu adalah pembenaran yang aku buat untuk menutupi ketakutanku. Pada akhirnya kamu tetap hidup dengan baik tanpa aku, Cakra. Dan bukan berarti aku tidak bahagia atas itu. Dibanding semua orang di dunia ini, kamu adalah orang yang namanya paling sering kusebut dalam doa.

Semoga kamu bahagia. Semoga kamu bahagia. Semoga kamu bahagia, sekalipun aku tidak membersamaimu dalam pencapaiannya.

Penuh cinta, Janari Basukiharja

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

KEDIAMAN WIRYAMANTA

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali. Pada kediaman Wiryamanta yang pernah kusebut sebagai rumah kedua. Orang-orang duduk pada kursi-kursi plastik berwarna hijau, berpakaian gelap seolah berusaha melibatkan diri dengan duka yang mengental di udara. Gerbang depan yang pendek dan berbau cat baru terasa akrab sekaligus asing di waktu yang sama. Aku sedikit ragu untuk masuk dan berbaur dengan kesedihan di halaman rumah. Benarkah masih ada tempat untukku berduka di sana?

“Nggak masuk, Jan?”

Suara berat yang datang dari balik bahuku membuatku sedikit berjengit. Buru-buru aku menoleh lantas menemukan Bhanu berdiri di sana, bersisian dengan Apta, dibalut pakaian hitam. Ada bekas tangis membasahi bulu matanya yang panjang, berdampingan dengan iris matanya yang memerah. Tanpa sadar, menunggu kebencian itu datang. Bhanu adalah sahabat Cakra. Sahabat sejak kecil, kalau aku boleh menambahkan detail. Aku bahkan tak bisa bayangkan betapa marah dan kecewanya dia mendapati aku di sini, bermuka tebal hendak melayat Ibu, setelah kubuang Cakra tanpa ucapan selamat tinggal empat tahun yang lalu.

“Gue....”

“Cakra ada di dalem. Kemungkinan lagi istirahat habis makamin Ibu di kamarnya. Lo masuk aja ke sana.”

Entah harus bagaimana aku mengartikan kalimat Bhanu. Atau nada suaranya. Atau ekspresi lelah yang mengeruh di wajahnya. Belum sempat aku bertanya lebih jauh, Bhanu pergi. Sedang Apta menepuk bahuku, seolah sedang memintaku memahami Bhanu dan apapun yang sedang lelaki itu hadapi. Bhanu dekat sekali dengan Ibu. Dan kepergian Ibu adalah (mungkin saja) sesuatu yang tidak akan pernah siap dihadapi siapa pun. Tidak aku, tidak Cakra, Bhanu, maupun Apta.

Mengekori Bhanu, Apta menghampiri Naren dan Lukman yang berperan sebagai penerima tamu. Menggantikan posisi Cakra, maupun Afif, yang kutebak belum bisa bangkit dari kehilangan. Ah, faktanya, siapa yang bisa bebas dari kehilangan? Pada suatu titik mungkin saja kami bisa memulai lagi hidup kami dan bersikap biasa. Tapi ruang yang ditinggalkan Ibu selamanya tidak akan pernah mengisi. Selalu, dan akan selalu menjadi rongga yang siap menelan kami kapan saja.

Mau tidak mau aku mulai berpikir, apakah kepergianku memberi mimpi buruk yang sama untuk Cakra, sebagaimana ketiadaannya menyiksaku setiap waktu?

“Gue seneng ketemu lo, Jan.” Lukman, Naren, dan Dipa gantian memelukku sewaktu aku berhasil mengumpulkan nyali untuk melangkah masuk. Pelukan mereka terasa hangat. Mengingatkanku pada pelukan Bibi, dan mendadak membuatku rindu pada perempuan yang kemarin pagi memberiku sekotak sarapan untuk aku makan di dalam kereta.

Aku menggigit bibir. “Seneng ketemu kalian juga.”

“Cakra ada di dalem,” Dipa berucap, mengulang kembali pernyataan yang kudengar dari Bhanu belum genap lima menit lalu.

Mendadak pertanyaan-pertanyaan itu datang lagi. Pantaskah aku? Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk beradaptasi pada ketidak hadiran.

Ah, aku hanya enggan mengakui ketakutanku. Aku hanya tidak siap menghadapi Cakra yang mungkin saja sudah bangkit dan berjalan pergi setelah aku terus-menerus mundur darinya. Aku hanya tidak punya cukup nyali menghadapi penolakan Cakra, yang kalau kupikirkan lagi adalah hal yang pantas aku terima. Lagi pula, apa yang aku harapkan setelah kutinggalkan dia malam itu dan hilang seperti ditelan bumi?

“Jangan takut,” Lukman berkata. Sorot teduh di matanya tidak pernah berubah. “Napas pelan-pelan, jangan panik. Nggak semenakutkan yang lo bayangkan kok, Jana. Gue yakin dibanding kita semua, Cakra sekarang paling butuh lo.”

“Tapi gue pergi,” aku memotong dengan suara lirih. Ah, Jana Basukiharja. Mengapa memilih kalau pada akhirnya menyesal sendiri?

“Tapi lo sekarang di sini,” Dipa membalas. “Dan kita semua lebih dari tahu kalau Cakra bukan pendendam.”

“Seenggaknya,” Bhanu bersuara. Aku bisa mendengar kemarahan tertahan pada suaranya yang lagi-lagi sarat oleh kepedihan itu. “Seenggaknya lo bisa ngomong maaf ke dia, Jan. Cakra berhak dapat permohonan maaf lo.”

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

Aku selalu kagum pada bagaimana waktu memelihara cinta. Khususnya perasaanku, yang hampir saja buncah sewaktu kulihat Cakra duduk dengan tatapan kosong di atas ranjang. Pintu kamarnya tidak terkunci, barangkali upaya Cakra agar orang-orang tidak khawatir padanya. Kamar Cakra masih sama; masih berwarna biru laut lembut dengan perabotan abu-abu. Masih dihiasi lukisan-lukisannya yang selalu bagus sekalipun Cakra membuatnya dengan tidak serius. Ada jejak tangis pada pipinya yang pucat, yang sedikit bernoda oleh tanah merah yang kutebak adalah tanah kuburan Ibu.

“Cakra....”

Aku terkejut pada betapa cepat Cakra menoleh sewaktu kupanggil namanya. Matanya membola, terkejut. Aku tidak menyalahkan respon itu, sebab siapa pula yang tidak kaget mendapati orang yang mati-matian lari darimu kini tiba-tiba berdiri dengan tangis menggantung di kedua mata; tepat di depan kamarmu?

“Jana?”

“Cakra, maafin aku.... Maafin aku....”

Andai saja perasaan bisa digambarkan dengan jelas lewat kata-kata, aku ingin Cakra tahu seberapa besar rasa bersalahku. Aku ingin Cakra mengerti rasa kehilangan yang membuat dadaku sesak. Aku ingin Cakra merasakan seberapa besar keinginanku memeluk dan mengusap punggungnya. Tapi lagi-lagi, bahasa kata-kata adalah bahasa yang terbatas. Dan yang bisa aku lakukan adalah berharap bahwa Cakra bisa mengerti.

Cakra bangkit dari duduknya, lantas berjalan ke arahku dengan langkah terburu-buru seolah aku bisa saja lenyap seperti asap andai ia tidak segera menyentuhku. Tangis yang mungkin sejak tadi berusaha ia tekan sekuat tenaga kembali menganak-sungai setelah kedua tangannya memelukku. Cakra adalah laki-laki yang kuat. Paling kuat yang aku kenal. Tapi laki-laki kuat itu menangis di pelukanku. Dan tangis yang terus terdengar itu membuatku sedih, membuatku hancur, membuatku ingin memutar kembali empat tahun yang terpaksa Cakra lalui tanpa aku.

Lalu pertanyaan itu datang lagi. Bagaimana kalau aku rupanya menjadi mimpi buruk bagi Cakra setelah aku pergi, alih-alih sewaktu aku tinggal? Bagaimana kalau ketakutanku justru menjadi sesuatu yang aku ciptakan sendiri?

“Ibu, Jan....” Cakra terbata-bata berkata di tengah tangisnya yang membasahi bahuku. “Maafin Ibu kalau banyak salah sama kamu.”

“Ibu orang baik, Cakra,” kataku, disertai tangisan yang tanpa kusadari sudah mulai ikut meluncur deras di atas pipi. “Ibu orang baik, dan selalu baik. Orang-orang baik akan pergi ke tempat paling baik. Kita doakan bareng-bareng supaya istirahat Ibu terasa singkat dan tidurnya tenang, ya?”

Cakra tidak menjawab. Ia sibuk menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku. Belum pernah aku melihat Cakra serapuh dan sejatuh ini sejak pertama kali kami saling mengenal, belasan tahun yang lalu. Cakra adalah laki-laki yang kuat dan selalu kuat. Atau begitulah pikirku, sampai aku kemudian mengerti bahwa sekuat apapun bahu, akan ada batas sampai dimana ia kuat memikul beban. Sampai tadi pagi, sampai aku berdiri di depan gerbang, aku masih mempertanyakan kenapa aku datang ke sini. Tapi aku bersyukur aku datang. Aku bersyukur aku ada untuk Cakra sekarang.

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

STASIUN BANDUNG

Sekali lagi aku memandang pada punggung orang-orang yang hendak pergi. Pada tatapan khawatir mereka yang hendak ditinggalkan, dan rasa rindu yang kadung hinggap meski raga belum bergerak. Mataku bergerak, menatap pada dinding yang pucat dan langit-langit yang tinggi. Bandung masih jauh lebih dingin dibanding Jakarta, dan Kota ini menyimpan untukku lebih dari sekadar cerita.

Hatiku terasa berat. Barangkali karena aku tak punya cukup waktu untuk mengenang apa yang Kota ini berikan untukku. Atau mungkin karena aku tidak punya banyak waktu untuk bicara pada Cakra soal segala hal. Aku berharap surat itu dapat memberi Cakra jawaban dari sebagian kecil pertanyaan yang ia simpan selama empat tahun. Aku harap Cakra masih sudi memberiku maaf. Meski tidak sekarang. Aku tidak ingin menjadi egois.

“Ketemu.”

Stasiun cukup bising sore itu, pukul enam sore lewat tiga puluh menit. Ada dua anak kecil berlarian di depanku, diikuti ibunya yang terlihat lelah menghadapi energi mereka yang tampak tidak akan pernah habis. Suara-suara percakapan yang penuh oleh ucapan 'sampai jumpa' terdengar di mana-mana, juga beberapa 'selamat datang'. Tapi tidak peduli bising macam apa, aku tetap bisa mendengar suara itu dengan jelas seolah ia ada tepat di sisi telinga.

Suara Cakra.

Dan kulihat dia, berdiri dua meter di kiri, dengan sandal selop dan hoodie abu-abu. Peluh membuat dahi dan lehernya sedikit berkilat di bawah cahaya lampu. Rambutnya menempel di pelipis, dan matanya yang sejak dulu tidak pernah redup dari harap dan bintang-bintang melihatku dengan takut.

“Kamu langsung pergi gitu aja setelah pengajian. Kamu pikir surat aja cukup?” Cakra berkata lagi. Suaranya naik dua oktaf. Aku bisa merasakan tatapan penuh tanya dari orang-orang di ruangan besar itu, tapi aku tidak peduli.

“Kamu pikir empat tahun bukan waktu yang cukup buat nunggu, Jan?”

Aku tidak pernah berpikir begitu. Empat tahun adalah waktu yang lama untuk memunculkan kerut di ujung mata Cakra . Empat tahun adalah waktu yang lama bagi penyakit Ibu. Empat tahun adalah waktu yang lama, dan aku tidak berani membayangkan bagaimana Cakra mengisi empat tahun itu tanpa ada kami di dalamnya.

“Aku nggak tau apakah aku masih layak kamu tunggu.”

Cakra melangkah mendekat. Setiap inci yang dibawanya mendekatiku terasa menyesakkan sekaligus menyenangkan di waktu yang sama. Harum tubuh Cakra masih sama. Masih wangi nilam bercampur vetiver, yang bagiku sedikit berat tapi entah kenapa cocok sekali dengan Cakra. “Aku yang bisa nilai itu. Bukan kamu.”

Setelah jarak di antara kami terpangkas, aku baru bisa mengenali raut putus asa di wajah Cakra. Ia terlihat sedih, dan takut. Dan berpikir bahwa aku adalah alasan dari perasaan-perasaan kehilangan itu membuatku ingin menangis. Sewaktu aku pergi, berulang kali aku katakan pada diriku sendiri bahwa meninggalkan Cakra adalah salah satu upaya membuatnya bahagia. Ia tidak bisa hidup bersama manusia yang belum utuh seperti aku. Tapi barangkali aku memang hanya seorang pengecut yang mengalah pada rasa takut. Aku hanya sedang berusaha mencari pembenaran-pembenaran atas sikap kurang ajarku.

Pada akhirnya kepergianku membuat kami berdua hancur. Dan Cakra, seperti bagaimana ia selalu, adalah laki-laki yang kuat untuk mengejarku ke sini dan memberiku kesempatan untuk memohon maaf dengan sebaik-baiknya cara.

“Aku marah banget sama kamu, Jana. Berkali-kali aku tanyain ke diri aku sendiri, bagian mana dari diriku yang kamu nggak suka. Yang bikin kamu pergi. Bagian mana dari aku yang masih kurang, sampai kamu nggak mau tinggal sama aku.”

“Maafin aku, Cakra. Aku pikir, itu keputusan terbaik. Aku pikir kamu bakal hidup lebih baik tanpa aku. Aku pikir....”

“Tapi kamu tau, nggak, apa yang Ibu bilang ke aku di hari-hari terakhirnya?” Cakra menarikku dalam pelukan. Pelukannya yang hangat, yang getir, yang masih penuh oleh duka tapi berusaha kuat sebab ia punya Afif dan Ayah untuk berbagi rasa. Ia punya Bhanu, Dipa, Apta, Lukman, dan Naren untuk menghiburnya. Ia punya hal-hal untuk dikejar dan dipertahankan; hal-hal yang juga Ibu cintai.

Aku tidak menjawab. Kubiarkan hidungku menghirup sepuas-puasnya bau tubuh Cakra yang aku rindukan sampai rasanya hampir gila.

“Ibu minta aku maafin kamu, Jana,” Suara Cakra terdengar lirih. “Sampai di saat terakhirnya, Ibu masih ingin ketemu kamu. Ibu mau mastiin kalau kamu hidup dengan baik sekalipun kita nggak bareng-bareng lagi. Sejak dulu selalu gitu, Ibu selalu sayang kamu tanpa syarat.”

Lalu gambaran wajah Ibu muncul di depan mataku. Aku hampir bisa melihat Ibu tersenyum padaku, melambaikan tangannya dengan riang, dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Seperti bagaimana Ibu selalu berhasil menenangkanku. Meninggalkan Ibu, dan tidak berada di sisinya sewaktu ia menantang maut adalah hal yang selamanya akan aku sesali. Tapi lagi-lagi suara Ibu bergema di telingaku; mengalahkan bising stasiun dan suara-suara yang ada di dalamnya.

“Tidak apa-apa menyesal, Jana. Orang perlu menyesal dulu untuk tahu bahwa dia harus berhati-hati mengambil keputusan.”

“Segala proses yang terjadi dalam hidup adalah hidup itu sendiri.”

“Cakra.”

“Ya, Jana?”

Aku membalas pelukan Cakra. Membiarkan diriku kembali pada rengkuhan yang dulu sekali pernah kusebut rumah.

“Aku mau ke makam Ibu, besok. Kamu mau temenin?”

Bisa kurasakan Cakra mengulum senyum sewaktu ia berkali-kali mencium leherku di tengah pelukan kami. “Mau. Ibu pasti senang ketemu kamu.”

⠀ ⠀⠀ ⠀

⠀ ⠀⠀ ⠀

F I N