Hari Itu Bangsa Kita Bebas dari Penjajahan, Tapi Aku Tidak Pernah Bisa Merdeka dari Kehilangan
Warning:
Meminjam latar Peristiwa Mandor 1944 dan Kemerdekaan Indonesia 1945.
Tokoh-tokoh yang disebut dalam karya fiksi ini merupakan karangan dan tidak berhubungan dengan tokoh-tokoh di dunia nyata.
Penulis dengan ini mengucapkan belasungkawa yang teramat mendalam bagi keluarga korban pembantaian pada Peristiwa Mandor 1944. Tidak ada maksud dari Penulis untuk menghina atau tidak menghormati duka keluarga yang ditinggalkan.
ㅡㅡㅡㅡㅡ
Tokoh:
Park Jimin sebagai Darmadjati Jeon Jeongguk sebagai Awang Kim Namjoon sebagai Tjahyo Kim Taehyung sebagai Danur
ㅡㅡㅡㅡㅡ
‘Dosa apa yang bisa dimiliki oleh orang-orang miskin yang cuma ingin hidup, Djati?’
1944
Mestinya tidak ia biarkan laki-laki itu pergi. Mestinya ia minta laki-laki itu untuk kembali tidur, atau bersetubuh dengannya sampai mereka berdua lupa waktu. Mestinya ia marahi Tjahyo sewaktu laki-laki itu datang dan meminta Awang pergi dari pelukannya menuju tanah Kalimantan Barat. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Jauh di dalam hatinya, Darmadjati tahu bahwa tidak peduli ia hidup dalam pengandaian yang mana, Awang tidak akan hidup kembali. Realitanya begitu, dan ia harus menerima meski tak mau.
“Awang meminta kau datang, Djati.”
“Satu menit lalu kau bilang Awang sudah mati.”
“Awang sempat menitip pesan kepada Soedarmono, laki-laki yang menampungnya selama tinggal di Landak.”
Djati tidak membalas. Ia masih kesulitan mencerna informasi ini. Awang sudah mati, kata Danur.
Mati berarti tidak lagi bernyawa. Mati berarti tidak lagi hidup. Mati, berarti tidak lagi Awang bisa mendebat Djati dalam kajian-kajian mereka soal feodalisme, soal neoplatonisme, demokrasi, komunisme, dan berbagai hal yang kerap mampir ke dalam kepala di waktu-waktu yang tidak menentu. Mati berarti ia tidak lagi bisa memandang wajah Awang sebelum tidur, tidak bisa memakan nasi goreng hangus buatan Awang yang tidak kunjung ahli memasak, tidak bisa mengeluh pada Awang, tidak lagi bisa bercinta selepas hari yang melelahkan dan ancaman yang terus datang.
Mendadak kalimat-kalimat Awang datang pada Djati seperti sebuah gelombang pasang.
‘Kita ini bangsa berani, Djati. Bedil dan pedang tidak akan punya guna kalau tak punya nyali.’
‘Aku dikejar seorang Keibodan sampai ke Banjaran, tadi. Beruntung berhasil lolos.’
‘Mati tidak membuatku takut, Djati. Daripada mati, aku lebih takut jadi tidak berguna.’
“Awang minta kau mengurusi proses kremasinya, Djati. Mungkin jauh di dalam hatinya dia tahu bahwa dia takkan bisa pulang padamu dalam keadaan hidup.”
ㅡㅡㅡㅡㅡ
1945
Indonesia Pasti Merdeka, Sebeloem Djagoeng Berboenga
Masih segar di ingatan Djati, berita provokasi yang ditulis rekannya itu yang terbit lima belas Agustus lalu. Dan disinilah ia, tanggal tujuh belas agustus, pukul sebelas malam, mengetik kata demi kata proklamasi yang digaungkan Soekarno pagi tadi. Bunyi mesin tik miliknya nyaring membelah malam, menemani bunyi tonggeret yang saling sahut-menyahut di luar pondokan kecilnya di Bandung Selatan.
Indonesia seolah bergerak dalam tempo yang amat cepat selama satu minggu terakhir. Kekalahan Jepang, pergerakan para pemuda, hilangnya Soekarno-Hatta, perumusan proklamasi, lalu upacara singkat yang terkesan diburu waktu.
Repoeblik Indonesia: Soekarno-Hatta Menerima Makloemat Rakjat
Menekan tuts titik, Djati berhenti menulis. Lalu hening. Para tonggeret sudah kembali lelap dalam tidur atau istirahat mereka yang singkat, meninggalkan Djati tenggelam dalam sunyi.
Ah, andai Awang ada di sini.
Di antara mereka berdua, Awang adalah yang paling berani. Ia selalu menjadi orang yang paling depan berdiri mengawal perjuangan. Awang adalah orang yang mengajari Djati arti dari menulis dan bersikap jujur. Djati hampir bisa membayangkan laki-laki itu menari-nari kegirangan menerima kabar kemerdekaan yang kadung lama mereka dambakan.
“Kita sudah tidak lagi terjajah, Wang. Kita ini bangsa merdeka,” lirih Djati di sela air mata yang menganak sungai di atas pipi.
Kepergian Awang adalah badai terbesar dalam hidup Djati. Meninggalkan rongga yang selamanya takkan pernah berhasil ia isi. Tidak lagi ada Awang yang muncul pukul dua malam di depan kamar kontrakannya sambil membawa seplastik nasi goreng hangat. Tidak akan lagi ada Awang yang mengusap rambutnya, atau mencium bibirnya sewaktu Djati luruh ditelan kecemasan. Tidak ada lagi Awang dan candaannya yang menghibur, Awang dan tawanya yang merdu, Awang dan isi kepalanya yang selalu Djati kagumi.
Awang sudah menjadi abu di dalam kendi.
“Besok, kita pulang, Awang. Kepada Samudera yang kau kehendaki sebagai tempat peristirahatan abadimu,” Djati berujar lirih. Ia sandarkan punggung pada kursi, menatap langit-langit kamarnya yang sudah lapuk dan samar-samar disinari redup lampu.
“Mimpimu sudah jadi nyata, Awang, Kekasihku. Bangsa kita sudah jadi bangsa merdeka.”
Bangsa ini sudah bebas dari penjajahan, Awang. Tinggal aku yang belum merdeka dari rasa kehilangan.