Sepenggal Cerita Juang

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

Sebenarnya kebahagiaan itu apa, sih? Sebab rasa-rasanya Juang sudah lupa bagaimana bentuknya atau seperti apa aromanya. Sudah lama sekali sejak Juang betul-betul merasa bahagia, sampai ia sendiri tidak bisa lagi merasa rindu pada perasaan yang sekarang terasa jauh itu. Pukul lima sore, Juang sampai di depan kosan Adi, panggilan khusus yang ia buat untuk Yudis. Dinding kosan yang berwarna abu-abu terlihat pucat, namun entah kenapa cocok dengan sosok Adi yang ia kenal selama ini.

Sewaktu Adi keluar dari pintu depan, Juang memperhatikan bagaimana helai-helai rambutnya bergoyang dan jatuh seirama langkah. Bagaimana kulitnya yang pucat terlihat bersinar di bawah siraman cahaya matahari sore. Bagaimana matanya yang runcing menatap pada obsidian milik Juang seolah ia bisa menembus langsung pada jiwanya yang gundah. Juang menyukai sensasi ini, sensasi familiar seolah ia dan Adi adalah dua manusia yang terbelit benang takdir. Ia tidak biasanya jadi seorang hopeless romantic, tapi begitulah Adi menyihir Juang dan begitulah ia biarkan dirinya tenggelam.

“Doyan banget lo sama Es Teh?” Juang bertanya sewaktu Adi mengunci kembali gerbang di belakang mereka.

Adi mengangguk. “Sebenernya gue suka varian green teanya, sih. Tapi kayaknya di situ nggak ada. Berpuas diri aja gue sama thai teanya.”

“Lo yang nyetir ya, Di?” Juang melempar kunci, yang dengan tangkas ditangkap Adi tanpa kesulitan berarti. “Gue ngantuk banget, pengen tidur.”

“Udah jam segini mau tidur? Jangan gila lo ya.”

Juang terkekeh. “Serius, gue. Nanti kalau lo udah beli esnya, kita melipir kemana dulu, kek. Terserah lo.”

“Terus gue nemenin lo tidur dan diem sendirian, gitu? No, thanks.”

“Lo nggak mau?” alis Juang sedikit berkerut.

Adi membuka mulut, siap melontarkan bantahan, sebelum kemudian dihentikan oleh tampang memelas Juang. Wajah yang selalu berhasil menarik keluar rasa iba dalam dirinya. “Anjing lo, ya.”

Juang nyengir lebar.

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

***

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

Cerita Juang jauh dari embel-embel bahagia. Sewaktu ia duduk di kelas dua SMP, Ibu dan Bapak memutuskan untuk bercerai. Bukan sekali dua kali Juang memergoki kedua orang itu berdebat di ruang tengah kediaman mereka, berpikir kalau Juang sudah jauh hanyut dalam lelap. Sebelum segala perpecahan itu datang, Ibu dan Bapak adalah dua orang yang saling mencintai, atau begitulah yang ingin Juang percayai. Bahwa pernah ada ruang bagi mereka untuk merasa bahagia atas keberadaan satu sama lain. Juang adalah buah dari kebahagiaan itu.

Tapi semua orang berubah. Ibu tidak lagi bersandar pada Bapak, dan Bapak tidak lagi memandang Ibu sebagai rumah bagi segala jenuh dan lelahnya. Juang hanyalah anak kecil yang terjebak di tengah-tengah, tali terakhir yang menjadi penghubung dari dua hati orang tuanya yang terpisah jauh.

“Juang, dengerin Bapak, ya. Mulai besok, Bapak sudah nggak lagi bisa ada di sini buat lindungin Ibu. Mulai besok, tugas itu Bapak serahkan sama Juang.”

“Bapak mau ke mana? Juang boleh ikut?”

“Bapak nggak pergi jauh, tapi juga nggak bisa selalu dekat Juang. Bapak akan ada di sana nanti kalau Juang butuh Bapak, tapi nggak akan terus-terusan begitu,” Bapak mengusap kepala Juang penuh afeksi. “Juang jagain Ibu, ya? Bapak akan jaga kalian berdua dari jauh.”

Begitulah kemudian Bapak keluar dari rumah, tinggal di kediaman barunya di bagian kota yang lain. Bapak pergi meninggalkan rumah yang tanpa Juang sadari berubah menjadi dingin.

Bapak bilang bahwa tugas menjaga Ibu adalah milik Juang. Bapak juga bilang bahwa ia akan terus menjaga Juang dan Ibu sekalipun tidak berada di radius pandang mereka setiap waktu. Tapi tidak perlu menunggu waktu sampai Bapak menemukan orang lain untuk ia lindungi, dan Ibu menemukan sosok lain yang bisa menjaganya selain Juang yang masih belia. Pada akhirnya Bapak dan Ibu kembali menjalani hidup mereka masing-masing, meninggalkan Juang yang masih terus menjadi sosok di tengah mereka; terjebak dengan situasinya sendiri.

“Juang,” Ibu memanggil. Juang kelas tiga SMA saat itu. Lelaki yang Juang kenali sebagai Om Damar, kekasih Ibu, berdiri di sampingnya dengan sorot penolakan yang nyata ia arahkan pada Juang. “Juang, dua bulan lagi, Om Damar akan jadi Ayah kamu.”

Juang tidak lagi bocah naif yang ditinggal Bapak empat tahun lalu. Ia sedang beranjak dewasa, dan bisa dengan baik mencerna maksud dari kalimat Ibu yang tidak terlalu rumit itu. Juang melirik Om Damar, memastikan bahwa api penolakan itu masih berkobar di matanya, lalu memutuskan untuk tahu diri. Jawaban Juang hanyalah sepenggal anggukan. Ia putuskan untuk menerima. Pada akhirnya Ibu berhak bahagia, dan Juang tahu bahwa bahagia Ibu tidak lagi terletak padanya seorang diri.

Di sore Jakarta yang dihiasi langit merah muda, Juang memacu motornya membelah rush hour jalanan ibukota. Kepalanya terasa sesak, dan dadanya kesulitan menemukan udara. Ia butuh bertemu Bapak. Ia butuh memastikan bahwa Bapak ada untuknya. Sebab Juang rasa, perlahan tapi pasti, dunia tidak lagi bersedia memberi tempat baginya.

“Mau apa kamu di sini?” Alih-alih Bapak, Mama Risa adalah orang yang menyambutnya di pintu depan. Perempuan kepala tiga yang dinikahi Bapak setahun yang lalu itu melipat kedua lengannya di depan dada. Juang sore itu dihadapkan pada satu lagi sorot kebencian yang terlalu besar untuk ia tanggung sendirian.

“Bapak ada, Ma? Saya mau ketemu Bapak.”

Mama Risa mengerutkan dahi. “Siapa yang nyuruh kamu manggil saya Mama?” tukasnya tak ramah. “Bapakmu lagi istirahat. Capek habis pulang dinas luar. Mending kamu pulang sekarang.”

“Saya tunggu sampai Bapak bangun boleh, Tante? Saya perlu ngomong sama Bapak.”

“Duh, kamu susah bener dibilangin! Bapakmu capek, Juang. Ngerti nggak, kamu? Mending kamu pulang aja. Lagian apapun itu yang mau kamu omongin, memangnya nggak bisa diomongin ke ibumu aja?”

Belum sempat Juang membantah, Mama Risa membanting pintu di depan wajahnya. Samar-samar Juang mendengar gerutuan wanita itu dari balik pintu bicara tentangnya, menyebut Juang sebagai 'beban' yang tidak pernah ia inginkan. Juang sadar diri, ia memang tidak diinginkan di sini.

Melangkah gontai, Juang berjalan ke gerbang. Sekali lagi ia tolehkan kepala, berharap Bapak akan membuka pintu dan menahannya pergi, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Ia hanya sendiri. Sore itu Juang terus-terusan bertanya pada dunia, atas dasar apa ia hidup? Sewaktu kecil Bapak dan Ibu berkata bahwa Juang ada sebagai sumber kebahagiaan mereka. Bahwa Juang adalah hadiah dari Tuhan bagi Bapak dan Ibu. Tapi di usia tujuh belas, Juang tahu bahwa itu tidaklah benar.

Untuk pertama kalinya Juang betul-betul merasa sendiri. Ia menyalakan motor, kembali pada hiruk-pikuk Jakarta yang semakin membuatnya merasa sepi. Dalam benak, Juang bertanya; kepada siapa harus ia tuntut rasa kesepian ini?

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

***

⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀⠀

“Udah bangun?” Suara serak milik Adi menyambut Juang sewaktu ia membuka mata. Jam digital pada dasbor mobil menampilkan angka 19:12, sudah lewat waktu Isya. Pantas saja tenggorokannya kering kerontang. Ia belum makan apapun sejak pagi.

“Nih, minum dulu.” Adi menyerahkan segelas penuh es teh ke arah Juang. Es batunya sudah meleleh sempurna.

Suara debur ombak memberi tanda pada Juang di mana mereka berada kini. Bau asin laut tercium di udara sewaktu Adi mematikan pendingin dan membuka kaca mobil. Perlu beberapa detik bagi Juang untuk menyadari bahwa keningnya bermandi peluh dan jantungnya berdebar keras sejak tadi.

“Di, kalau lagi kesepian, lo biasanya nyalahin siapa?”

“Tiba-tiba banget dah, pertanyaan lo,” Adi mengangkat sebelah alisnya. “What happened?

“Jawab aja, Di.”

Menarik napas, Adi membuang pandangnya pada hamparan gelap di depan mata. Pada hamparan laut yang tampak tidak berujung. “Nggak nyalahin siapa-siapa. Nyalah-nyalahin orang tuh bukan jawaban masalah. Lo sendiri yang dulu bilang gitu ke gue.”

“Iya, kah?” Juang menyedot es miliknya lagi. “Kapan?”

“Dulu. Gue ngomong juga lo gak bakal inget, deh,” Adi membalas. “Menurut gue, a place where I belong itu bukan ditemukan, Ju. Tapi dibuat. Kalau lo kesulitan buat nyiptain tempat itu sendiri, gue bisa bantuin.”

Juang menoleh, menatap Adi tepat di mata. Ia coba menggali dusta dari kedua mata yang memandangnya penuh keyakinan itu, hanya untuk menemukan kesungguhan di sana. Lamat-lamat Juang menghela napas. “Thanks, Di,” katanya.

Adi tersenyum. “Anytime.”

Juang kembali memandang pada laut yang gelap. Jantungnya tidak lagi berdebar takut, berganti oleh debaran lain yang datang dari senyuman Adi. Kepalanya tidak lagi penuh oleh rasa cemas. Berganti oleh sebaris tanya; bolehkah ia bergantung pada Adi lebih dari ini?