Kiranya Masih Panjang Waktu Kita
Masih hangat di kepalaku, dongeng dan bisik harap yang kau eja lagi dan lagi. Belum sempat kita pintal rupa masa depan sewaktu ia busuk dibalik kepasrahan. Menjelma pengandaian yang menjadi borok bagi kenangan kita yang tak begitu rupawan.
Seandainya kugenggam tanganmu lebih lama, barangkali mengecap nirwana tak lagi tinggal dalam kepala. Terlupa di bilik ingatan yang enggan kau tengok nemun terus kukenang berulang-ulang. Ah, naif betul kita kala itu. Sesumbar perihal selamanya dan selalu sebelum hancur di atas janji-janji prematur.
Ah, andai tetap akan menjadi andai yang malang dan melankolis.
Karawang, 16.7.
Ponsel milik Joshua Sanjaya tergeletak tak berdaya di atas meja. Berkali-kali Joshua buka ponsel itu, mengecek kembali layarnya yang tak menunjukkan perubahan berarti. Hanya beberapa notifikasi tidak penting dari e-commerce, e-mail pekerjaan, pesan-pesan dari teman kerjanya yang langsung Joshua tandai sudah dibaca tanpa ia repot membalas, juga pemberitahuan-pemberitahuan dari media sosial. Tidak ada nama yang Joshua tunggu di antara rentetan notifikasi itu; tidak ada Jihan Mahesa.
“Katanya lo cuti?” Alif, teman kerja Joshua, meletakkan secangkir es kopi di atas meja. “Ngapain segala nongol di kantor?”
“Nggak jadi gue ambil. Ada urusan di Jakarta.”
Alif mengerutkan kening. “Sayang banget, anjing. Gue kalau punya cuti sebanyak lo, mending leha-leha di Bandung daripada balik ke sini.”
Joshua menimpal dengan kekehan. Sekali lagi ia lirik layar ponselnya yang sejak tadi mati. Kalau boleh jujur, suasana hatinya tak baik sejak pagi. Ia merasa risau, dan gugup, dan takut. Ada berbagai emosi yang enggan Joshua kategorikan bergumpal di dadanya. Semuanya datang dari orang itu, Jihan Mahesa, yang lewat namanya saja berhasil mengirim sengatan-sengatan sesal pada setiap sendi tubuhnya.
“Sore ini mau ikut gue Kokas, gak? Daripada lo suntuk sendirian di kosan, kan?” Alif menawarkan.
Joshua menimbang sebentar. Mungkin tawaran Alif adalah pengalih perhatian yang ia butuhkan. Joshua berulang kali katakan pada dirinya sendiri untuk tidak terbawa suasana. Untuk tidak berharap. Untuk tidak menunggu. Dan meski ia sudah mengucap larangan-larangan itu dalam kepalanya seperti sedang mengucap mantra, pada akhirnya ia tetap menyerah pada sepercik harap yang tidak pasti.
“Boleh, deh,” jawabnya. “Gue suntuk juga,” Joshua menambahkan.
Rasa-rasanya sudah berulang kali Papa bilang bahwa hidup adalah repetisi dari kebetulan-kebetulan yang mengejutkan. Seperti Jimmy, atasannya yang mendadak memberi Joshua tugas yang harus selesai sebelum jam pulang. Siangnya habis bersama revisi-revisi dari Jimmy tanpa Joshua punya waktu untuk melirik ponsel sama sekali.
Kebetulan datang sewaktu Joshua rasakan tubuhnya lesu dan kepalanya melambat mencerna situasi. Barangkali pengaruh lelah, pikirnya. Alif, Rama, Budi dan Yustaf sudah menunggu Joshua di pintu lift sewaktu ia pada akhirnya membuka kunci layar pada ponsel yang sejak tadi terabaikan.
Jihan Mahesa Apa kabar, Josh?
“Lif,” Joshua memanggil. Suaranya sedikit bergetar. “Gue nggak jadi ikut, ya?”
“Lho? Kenapa?” Alis Alif sedikit menukik, bingung.
Joshua tersenyum. Senyuman yang kali ini datang dari hatinya. Pipinya sedikit berkerut dan matanya melengkung membentuk bulan sabit.
“Ada urusan, gue.”