A Night Before The Big Day

Pagi-pagi sekali di hari Sabtu, Bima sudah menyapa Engkong. Engkong adalah sapaan dari Pak Dadang, satpam SMA 2 yang entah sejak kapan sudah bekerja di sini. Sewaktu Bima sampai di sekolah, Engkong sedang menyapu bagian depan posnya, ditemani secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap putih tipis-tipis ke udara.

Laki-laki yang berada di usia tujuh puluhan itu melambai pada Bima. Cengirannya untuk sesaat membuat Bima lupa rasa jengkel yang muncul sewaktu ia terus gagal mendapat angkot saat hendak berangkat tadi. Maklum saja, angkot yang melintasi gang rumah Bima biasanya dipenuhi ibu-ibu yang hendak belanja kalau pagi. Skenario terburuk, kadang ada peternak bebek yang menggunakan angkot untuk berangkat ke pasar. Bima jadi harus berbagi kursi dengan belasan bebek yang bau dan tidak berhenti bersuara.

“Pagi bener lu datengnye,” kata Engkong sewaktu Bima melintasi pagar. “Noh, bocah-bocah temen lu udah pade di dalem. Acaranye besok pan? Rajin bener dah lu pade, jam segini udah pade rapi-rapi.”

Bima sudah bilang belum, kalau ia suka logat betawi Engkong setiap kali lelaki itu bicara?

“Iya, Kong. Makasih ya udah dibukain gerbang.”

Engkong tertawa. “Ya elah, kaga ngape-ngape. Emang udah tugas gue,” sahutnya. “Udeh gih, lu ke sono aje.”

Bima balas tertawa sebelum ia tinggalkan Engkong kembali pada rutinitas paginya. Perasaannya membaik dengan cepat, jadi ia langkahkan kaki dengan riang menuju ruang kelas Bilingual yang esok akan dipakai sebagai ruang panitia.

Sewaktu Bima membuka pintu, ada Rafa, Maria, Keara dan Maudy di dalam ruangan. Rapi dalam balutan PDL (Pakaian Dinas Latihan) hijau tua mereka. Omong-omong, perlu digaris bawahi kalau Bima menyukai seragam ini. Sekalipun sempat mengeluh soal warnanya yang aneh, motif batik biru yang dijahit diagonal dari pinggang kanan ke bahu kiri entah kenapa terlihat cantik dan unik. Dibanding seragam latihan angkatan lain, Pasgar-11 sepakat bahwa PDL milik mereka adalah yang paling bagus.

(Padahal mungkin itu cuma karena perasaan memiliki saja, ya?)

“Yang lain masih pada OTW, ya?” Bima bertanya. Ia letakkan tas punggungnya di sudut ruangan setelah sempat mengeluarkan laptop. “By the way nanti tenda dateng jam 4 ya, guys. Bantu ingetin takutnya gue lupa.”

“Oke,” Maria menyahut. “Lakban item kemarin ditaro di mana, sih? Gue cari di lemari masa nggak ada.”

“Oh, dibawa Ogi kayaknya. Sekalian sama meteran,” Bima membalas. “Chat si Ogi dong, takutnya tuh anak lupa bawa. HP gue ada di tas, males lagi buka-bukanya.”

“Eh, Bim, jadwal kegiatan udah lo print semua kan? Buat ditempel di jendela?” Itu Keara yang bertanya.

Bima mengangguk. “Tinggal ditempel doang ini.”

Pukul setengah tujuh pagi, para siswa datang dan riuh berangsur-angsur memenuhi sekolah. Bima bersyukur gedung kelas Bilingual terpisah sendirian, menyatu dengan ruang guru dan tata usaha. Setidaknya di sini, suara obrolan dan keramaian kelas tidak terlalu terdengar mengganggu. Ogi datang dengan peluh membanjir, berkata kalau setelah hampir setengah jalan ia lupa membawa lakban dan meteran. Rafa memakinya beberapa kali, sekalipun sepenuhnya sadar bahwa mengomel sekarang pun tidak akan ada manfaatnya. Semua orang di angkatan mereka sudah mengerti tabiat Ketua Pelaksana itu, jadi baik Ogi maupun yang lain memilih untuk berpura-pura tuli.

Pagi berlalu dengan sibuk sekali.

...

Hari Sabtu berlalu dengan cepat. Pukul lima sore, sehabis memasang tenda yang baru datang, Maria membantu mengecek persiapan. Cewek yang bertugas sebagai Sekretaris itu memastikan bahwa tidak satu pun hal terlewati hari ini. Mulai dari menempel jadwal di jendela-jendela kelas, merapikan kursi dan meja, memasang banner di DP 2 (Daerah Persiapan), memasang garis pembatas di lapangan, menyiapkan meja dan payung bagi para juri, mengecek kembali sound system di pendopo, dan segala tetek-bengek lain yang harus selesai hari ini.

“Kang Surya baru datang, tuh. Barengan sama Kang Iwan.” Ogi, yang baru saja datang ke ruangan, bicara. Rafa mendengus, respon yang spontan ia tunjukkan kapanpun mendengar nama Surya dieja.

“Udah lo suruh ke ruang alumni?” Rafa bertanya.

Ogi mengangguk. “Lagi ngobrol sama Angkatan 7, Kang Helmi.”

“Eh, ngomong-ngomong Kang Helmi. Tadi dia nanya itu beneran tenda yang gede mau ditaro di depan lobi?” Daniel menyela. “Soalnya aneh nggak sih kalau yang gede ditaro di depan lobi, sementara bagian yang kecil di depan sepuluh lima?”

“Eh iya gue juga mau nanya ini,” Bima menimpal. “Soalnya kan yang gede tuh buat tamu undangan, terus yang kecil buat stand makanan. Kalau ditaro di depan lobi mah nggak keliatan nanti lapangannya.”

“Aduh iya, itu gue mau minta maaf banget,” Ogi berujar. Suaranya terdengar gugup. “Mas-Mas yang masangin tenda tuh kayaknya salah denger instruksi gue. Jadinya posisinya ketuker gitu. Gue lagi coba hubungin tempat tendanya tapi belum dibales, nih.”

Rafa menghela napas kasar. “Udah balik emang mereka?”

Ogi mengangguk. Bima dan Maria bertukar pandang, mengantisipasi ledakan amarah Rafa yang sudah bisa diprediksi. Tapi cowok yang ditunggu-tunggu kemarahannya itu kemudian hanya mengusap wajah kasar; kentara sekali frustrasi.

“Kita ke ruang alumni, deh. Siapa tau mereka bisa bantu. Kalau pait-paitnya tukang tenda nggak bales, ya mau nggak mau kita bongkar sendiri.”

Bima menghela napas, diikuti teman-temannya yang lain. Belum reda letih mereka, masih kering tenggorokan mereka sehabis bekerja ke sana kemari, masih pula harus jadi tukang hari ini.

“Yok bisa, yok,” kata Yasmine, berusaha menaikkan spirit teman-temannya yang mulai lesu. Meski tentu saja tak berpengaruh banyak mengingat ia sendiri sama lelahnya.

...

Berdasarkan hasil diskusi bersama Akang-Akang dan Teteh-Teteh alumni, juga setelah kuping Bima rasanya mau lepas lantaran dimarahi habis-habisan oleh Surya, mereka akhirnya sampai pada sebuah ide gila.

“Ayo kita gotong tendanya bareng-bareng.”

Tangan Bima mencengkeram besi berkarat penyangga tenda di sudut kiri. Ada enam kaki yang menyangga tenda besar ini, dan satu kaki dipegang oleh tiga sampai empat orang. Sewaktu ia bertukar pandang dengan Keara, Bima meledak dalam tawa. Entah mengapa keadaan ini terasa lucu. Dan di luar dugaan, Bima menikmatinya.

“Pakai aba-aba Helmi aja, Hel,” Surya berujar setelah semua orang siap di posisi mereka masing-masing. “Lo kan mantan Danton Terbaik.”

Helmi, yang kebetulan berada dekat dengan Bima, berdecak. “Ayo dah diungkit melulu,” gerutunya pelan.

“Ayo buru, Hel. Keburu magrib nih!” Rekan satu angkatan Helmi, Ina, menimpali.

“Iye, bawel bener lo,” balas Helmi. “Dengerin aba-aba saya, ya. Satu, dua, tiga... angkat!”

Bersama aba-aba itu, Bima mulai mengangkat. Langkah kaki mereka terdengar berantakan, dan Helmi sudah memberi instruksi baru untuk berhenti selang beberapa detik setelah mulai. Tenda baru bergerak beberapa senti, dan Bima mendadak mendapat semacam praduga kalau malam ini akan jadi panjang dan seru.