Her

///////////

Namanya Yulian Maulidia. Cewek itu duduk dua bangku di depan Erlangga di kelas delapan. Rambutnya saat itu sepunggung dan lurus tanpa gelombang. Ia punya lesung pipi kecil di bawah bibir saat tertawa; sesuatu yang akan selalu Erlang ingat darinya.

Pada awalnya, Erlang tidak berencana jatuh cinta pada cewek yang selalu tertawa itu. Tapi seperti bagaimana ia luluh untuk Sagara dan Krisna, Erlang luluh juga pada Yulian. Cerita mereka diawali saat gadis itu memergokinya merintih di UKS sambil susah payah mengobati punggungnya yang memar sehabis dipukuli Papa.

“Sini, aku obatin,” kata Yulian dengan suara bergetar.

Erlang mendesis. “Nggak usah.”

Tapi Yulian adalah perempuan yang keras kepala. Dan kekeraskepalaan itu adalah hal yang mendorong kakinya berjinjit mencari betadine di lemari obat. Erlang mengerutkan dahi, tidak suka saat orang lain mengabaikan permintaannya. Ia tidak perlu dikasihani, ia bahkan tidak berencana membuka luka ini pada siapapun termasuk Sagara dan Krisna. Lantas, atas dasar apa ia biarkan cewek ini melihatnya dalam kondisi terburuknya?

“Gue bilang gak usah!” Erlang menghardik, kehilangan rasa sabar yang susah payah ia pertahankan. Di kelas delapan, untuk pertama kalinya seumur hidup, Erlangga membentak seorang perempuan.

Yulian berjengit kaget, dan detik berikutnya yang Erlang lihat adalah bulir-bulir air mata menganak sungai di pipi Yulian.

Cewek itu menangis.

Hening.

Erlang membungkam mulutnya rapat, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Ia baru saja membuat seorang perempuan menangis, pertama kali seumur hidupnya, dan itu jelas bukan pencapaian yang luar biasa.

Yulian terus menangis tanpa suara. Tapi alih-alih pergi, ia malah terus mendekat pada Erlang. Ia meletakkan kotak obat di sisi Erlang, tepat di atas ranjang, dan memandang Erlang dengan mata berkaca-kaca dan suara yang parau:

“A-aku obatin si-sini.”

Dan Erlang menurut tanpa bicara apa-apa. Siang itu hanya ada mereka dan ranjang UKS yang terus bungkam dalam hening yang tidak bertepi.

//////////////////////

Jatuh cinta itu sebenarnya sederhana. Erlang hanya merasa diterima oleh Yulian tanpa tapi dan tanpa karena. Berhari-hari setelah itu, Erlang menunggu ada gosip mengenai dirinya dan memar di punggungnya menyebar di seantero sekolah. Ia tunggu tanya meluncur dari mulut Krisna atau Sagara, perihal kenapa ia terluka, kenapa ia tidak bicara pada mereka berdua.

Tapi tidak ada apapun. Badai yang Erlang prediksi tidak pernah terjadi.

Mungkin Erlang memang kepalang skeptis pada Yulian dan bagaimana cewek itu menghadapi situasi. Mungkin Yulian bukan orang seperti itu. Mungkin sejak itu, Erlang mulai menganggap bahwa Yulian berbeda, dan mulai berpikir untuk lebih terbuka padanya. Buat apa pura-pura, toh Yulian pernah lihat ia dalam versi terburuknya?

“Lang, aku nebeng dong pulangnya? Ayah nggak bisa jemput,” kata Yulian suatu hari. Kalau itu orang lain, Erlang akan gunakan seribu satu alasan untuk menolak. Entah itu latihan basket, belajar tambahan, les, atau sesimpel ia ada urusan mendadak di rumah dan tidak bisa mampir-mampir dulu.

Tapi itu Yulian, dan Erlang dengan mudah langsung mengangguk tanpa berpikir panjang.

Yulian tidak banyak meminta tolong pada Erlang. Mungkin sekali dua kali ikut pulang dibonceng motor bebeknya. Atau meminta Erlang mengajarinya tugas yang kurang ia pahami. Tapi Erlang tidak pernah berkata 'tidak' pada dirinya. Tepatnya, ia tidak mampu.

Di kelas delapan, Erlang tahu ia menyukai Yulian jauh lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.

///////////////

Erlang baik, Yulian tahu. Semua orang akan dengan senang hati menjabarkan kebaikan Erlang yang tidak pernah berujung itu. Yulian sendiri berkali-kali dibantu tanpa pernah satu kalipun Erlang meminta balas jasa. Tapi Yulian juga berkali-kali memergoki Erlang meruntuk, kesal, marah, dan berbagai jenis emosi negatif lain yang tidak pernah ia pertontonkan di depan banyak orang.

“Dasar parasit,” Yulian dengar Erlang bicara sendiri di tengah lorong yang sepi suatu sore. “Punya tangan sama otak, tapi nggak ada yang dia pakek sama sekali.”

Yulian terpaku. Ini sungguh... Erlang yang ia tahu?

Yulian jadi berpikir; apa jangan-jangan Erlang juga melakukan itu di balik punggungnya?

Erlang yang selalu tersenyum, atau Erlang yang sering marah karena hal-hal merepotkan, mana yang adalah sosok Erlang sesungguhnya?

“Aku suka kamu, Le. Jadi pacarku, ya?” Erlang berdiri sambil tersenyum ke arah Yulian sore itu, dengan coklat batang di tangan kanan. Ia tampan sekali, kalau Yulian boleh jujur.

Tapi senyuman itu malah membuat Yulian mual.

Apa senyum itu asli, Lang?

Apa kamu beneran suka aku?

Apa dalam hati, kamu lagi kesel karena aku cuma diam dan nggak jawab cepet-cepet?

Yulian tidak bisa enyahkan pikiran-pikiran itu dari kepalanya. Di depannya, Erlang berdiri dengan gugup. Hampir kesulitan bernapas, malah. Tapi Yulian terlau hanyut dalam prasangkanya sendiri untuk dapat menyadari kegugupan cowok di hadapannya.

“Beneran kamu suka aku, Lang?”

Erlang mengerjap kaget. “Maaf?”

Yulian tersenyum getir. “Beneran, kamu suka aku? Atau jangan-jangan omonganmu ini sama palsunya kayak sikapmu selama ini ke orang-orang?”