The Past

///////////

Usia 13 tahun bagi Erlangga adalah neraka dunia. Bukan berarti sekarang ia sudah mencicip surga, hanya saja segalanya mulai terasa dapat ditahan sejak ia mencoba menjadi diri sendiri. Sesuatu yang dulu ia tak mampu. Usia tiga belas bagi Erlangga adalah masa-masa terberat dalam hidup remajanya. Orang bilang, mereka yang 'rusak' itu menakutkan. Sebab mereka tahu cara ubah neraka jadi tempat yang nyaman. Meski daging dan tulang mereka terbakar dan leleh, mereka akan terus tertawa.

Begitulah Erlang saat ia rasakan jiwanya 'rusak' dimakan kejamnya dunia.

Papa Erlang adalah lelaki yang perfeksionis. Sejak dulu, Papa gemar menumpukan ekspektasi di kedua bahu Erlang yang kecil dan rapuh. Seperti bagaimana ia timpakan beban di kedua bahu abangnya yang paling ia sayang.

“Harus jadi juara kelas, atau kamu Papa kurung di ruang baca seminggu penuh,” katanya suatu hari.

Dan Erlang gagal penuhi permintaan itu, sehingga yang ia temukan adalah bau kertas yang lembab, kayu yang lapuk dan kegelapan yang tidak berujung. Ia ingat ia menangis kencang bermalam-malam tapi entah itu Papa, Mama atau Abangnya tak pernah datang menolong. Papa selalu melakukan apa yang ia bilang akan lakukan, meski itu menyakiti Erlang. Mama biasanya tidak pernah berdaya menghadapi Papa, dan Abangnya selalu pergi; selalu lari dari tempat yang terlalu dingin untuk mereka panggil rumah ini.

“Matematika kamu harus lebih dari delapan lima, Erlang. Jangan kayak Abangmu itu, bikin malu keluarga aja bisanya!”

Dan Erlang gagal lagi. Sebab itu dua hari ini ia habiskan berjalan pincang ke sekolah sebab luka pukul kayu di betisnya masih perih bergesekan dengan celana sekolahnya.

Jadi Erlang tidak boleh gagal lagi, pikirnya. Apakah itu menjadi juara kelas, menang turnamen basket, jadi kesayangan guru, ia harus mencapai semuanya. Entah apa yang akan ayahnya lakukan nanti andai saja Erlang kembali membuatnya kecewa. Mungkin menamparnya, mungkin memukulnya di punggung dengan gagang sapu besi, mungkin menjambak rambutnya, membakar komik-komiknya, membuang kamera kesayangannya...

Erlang tidak bisa membiarkan semua itu terjadi.

//////////

“Halo, gue Sagara.”

Sagara adalah anak yang periang. Ia tertawa karena lelucon yang menurut Erlang sama sekali tidak lucu. Ia tinggi, pandai memasak, bodoh di Matematika, berisik dan susah diatur. Guru-guru tidak begitu menyukai Sagara karena ia sering tertangkap tidur di kelas selama pelajaran berlangsung. Tapi Sagara punya banyak teman. Ia menolong mereka saat mereka terlambat mengerjakan PR (meski nilai mereka tidak cukup tinggi akhirnya), membelikan temannya teh kotak saat ia kehabisan uang, mendengarkan cerita mereka, menghabiskan waktu dengan mereka. Sesuatu yang Erlang tidak pernah bisa.lakukan.

Sagara adalah segala sesuatu yang tidak bisa Erlang capai.

Melihat Sagara sedikit banyak mengusik Erlang. Di kelas tujuh, Sagara mendekatinya lebih dulu dan Erlang menyambut dengan senang hati. Tapi perasaan janggal itu tidak pernah pergi. Sagara membagi bekalnya pada Erlang saat Papa tidak memperbolehkannya makan karena nilai bahasa inggrisnya turun. Sagara mengajaknya bermain basket saat Erlang tidak punya waktu latihan karena harus persiapan olimpiade. Sagara bersikap baik padanya tanpa tapi dan tanpa karena.

“Nilai gue kurang dari sembilan puluh,” Erlang menggeram, meremas kertas hasil UTS IPAnya. Rumah Sagara kosong siang itu, sebab Bapak dan Ibunya pergi bekerja, dan Sagara tidak punya saudara. Entah sejak kapan, rumah Sagara jadi tempat paling aman untuk Erlang melarikan diri.

“Santai aja sih, Lang. Lebih parah gue nih, cuma dapet enem puluh. Ibu bakal jadiin gue oncom goreng kalo tau.”

Erlang tertawa. Tawa yang tidak mencapai matanya. Sagara tidak tahu. Erlang bahkan tidak bisa bayangkan akan bagaimana murka Papa kalau tahu ia lagi-lagi gagal penuhi ekspektasi. Sore itu Erlang pamit setelah cium tangan Bapak dan Ibu Sagara. Dalam hati ingin sekali lari ke pelukan mereka yang selalu hangat dan baik, menjauh dari Papa dan Mama. Sore itu Erlang pulang dan menemukan abu-abu buku fotografi koleksinya di halaman depan. Papa berdiri dengan wajah mengeras menahan marah, dan Erlang menangis untuk pertama kalinya.