Kalau Iya

///////////////////

Jemari Nale susuri layar besar yang terpampang di depan meja registrasi. Kalau boleh jujur, nyala birunya sedikit membuat mata Nale sakit, tapi ia enggan mundur dan membiarkan rasa penasarannya menggantung tanpa terpuaskan. Jadi Nale bertahan di sana, bersama anak-anak dari seluruh penjuru Jawa Barat, menantikan nama mereka masuk dalam barisan ranking. Nale tidak ingin berharap banyak, tapi ia tidak henti berdoa di dalam hati sejak tadi. Meski Ayah dan Bunda tidak datang, Nale ingin pulang dengan berita gembira untuk mereka berdua.

Itu dia. Namanya, ada di layar biru besar itu, tepat di posisi ketiga.

“Anjir! Edan euy, si Nale. Beneran tembus nomer tiga banget Nal?” itu suara Sultan, menepuk bahu Nale dengan suara campuran antara bahagia dan sedikit iri. Di sisinya, Ratu sudah mengembangkan senyum lima juta watt menyambut Nale yang masih susah memproses keadaan.

Nale mengerjap beberapa kali. “Asli ini teh, guys?” tanyanya. “Asli beneran urang maju ke OSN wakilin Jabar?”

Ratu tertawa. “Asliiiii Kak Nale! Hayu ih, udahan bengongnya, yang lain udah pada nunggu kayaknya di selasar masjid.”

Ketika Nale sampai di sana, beberapa anak Bina Bakti sedang tertawa bersama anak-anak yang baru saja selesai seleksi. Nale melihat Yasa, Arsa, Sagara dan Erlang mengelilingi Krisna yang ia dengar tembus jadi nomor dua di Ekonomi. Sejauh ini, hanya mereka berdua yang akan mewakili Bina Bakti sekaligus Jawa Barat di kancah nasional.

“Aing mah jadi si Yasa kapalang era da, maenya si Krisna leuwih pinter eko ti manehna nu budak IPS (Gue mah jadi si Yasa kepalang malu deh, masa iya Krisna lebih pinter dari dia yang anak IPS),” kata Arsa sambil tertawa.

Yasa mencubit bahu cowok itu sambil melotot sangat. “Kalo ngomong suka gak diayak dulu ya si babi.”

Lengan besar Krisna menarik pacarnya mendekat. “Udah ah, Yang. Dia kan emang aslinya rada edan.”

Anak-anak yang lainnya hadir adalah Juna, Farraz, Lisa, Yulian, Khalisa, Cantika, Luki, Jona, Bobby, Kak Kemala dan beberapa anak kelas dua belas yang tidak Nale kenali. Ia menemukan Olaf berderap menghampiri Sultan dan memberinya senyuman kecil, tapi Nale terlalu fokus pada jaket abu-abu belang yang Yulian pakai. Jaket yang Nale tahu berada dibawah kepemilikan Erlangga Rasyafariq. Jaket yang diam-diam Nale sukai karena Erlang selalu tampak keren dengan jaket itu.

“Nal?” Nale tersentak saat tangan Olaf menyentuh bahunya. Ia menoleh, menemukan senyuman lebar dan raut gugup pada wajah cowok itu.

“Iya Kak?”

Olaf menggigit bibir. “Abis ini balik sama aku yuk?”

Nale ingin berkata tidak. Sungguh. Ia ingin sekali pulang ke rumah dan memeluk Bunda. Bunda bilang, Bunda akan masak ayam rica-rica favorit Nale sore ini. Ayah juga akan membelikannya coklat banyak-banyak. Ia bahkan sudah berjanji akan naik gocar bareng Farraz dan Juna, barangkali mampir dulu di toko waffle favorit mereka di perjalanan nanti. Tapi Nale melirik lagi pada Erlang, yang kini memandang dirinya tanpa ekspresi. Nale tahu ini kekanakan. Tapi kalau ia bilang 'iya', akankah kedekatannya dengan Olaf sedikit mengganggu Erlang?

Jadi Nale menoleh, mengulas sebuah senyuman dan mengangguk.

“Boleh. Sekarang aja yuk, Kak?”

Dengan itu, ia pergi bersama siulan dan godaan yang meluncur bebas dari mulut-mulut teman sekolahnya.